Peristiwa kekejaman itu disusul dengan kejadian serupa di hutan jati di Caruban Madiun pada 6 Mei 2008 sore. Patroli gabungan Polwil Madiun dan Perhutani melahirkan malaikat pencabut nyawa, seorang polisi muda, Aditya, menembak warga Desa Wonorejo, Kecamatan Mejayan Madiun bernama Yaimin, sehingga Yaimin harus meninggalkan isteri, anak dan keluarga yang ditanggungnya untuk selamanya.
Di ujung timur Jawa juga ada peristiwa kekejaman yang panjang, tak kunjung berakhir, di mana para petani yang bersengketa dengan PTPN XII mengalami intimidasi, penyiksaan serta perusakan tempat tinggal mereka. Pelaku kekejaman itu juga polisi yang membantu para petugas keamanan perusahaan negara bidang perkebunan itu. Hingga tulisan ini dibuat (13/5), para petani kecil itu mengungsi di gedung DPRD Banyuwangi dan diancam akan diusir paksa oleh Polres Banyuwangi. Jika ditarik ke belakang juga ada kasus berdarah, konflik antara TNI AL dengan warga Alastlogo.
Tampaknya, Jawa Timur akhir-akhir ini tidak hanya tercatat sebagai kantong penduduk buta huruf dengan angka tertinggi di negara ini, tapi juga semakin menunjukkan indeks pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang meningkat (buruk). Hal itu juga tampak pula dalam pola penanganan kasus lumpur Lapindo yang memakai instrumen hukum instan, bukan untuk melindungi kepentingan para penduduk korban, tapi untuk membatasi tanggung jawab Lapindo yang sesungguhnya telah diikat dalam prinsip tanggung jawab mutlak berdasarkan pasal 6 ayat (2) c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Jaring hukum jebol oleh kekuatan kekuasaan, dan hanya bisa meringkus yang kecil-kecil.
Tirani monopoli
Jika di jaman Orde Baru kekerasan dan kekejaman didominasi oleh militer selaku penyangga kekuasaan Soeharto, kini setelah jaman reformasi kekejaman bukan lagi dominasi militer. Jika dihitung dari tabulasi berita media sejak awal reformasi 1998, hingga tahun 2008 ini ada banyak kasus kekejaman yang dilakukan polisi kehutanan dan polisi umum di dalam hutan yang mengorbankan lebih dari 30 nyawa rakyat kecil dan 71 penduduk luka-luka. Belum lagi kasus-kasus yang tak diketahui media, sebab tak semua wilayah kasus kekerasan di dalam hutan tercium media.
Kejadian demi kejadian kekejaman itu terjadi karena tangan-tangan sipil, yaitu para pegawai Perhutani, serta polisi. Reformasi Indonesia hanya sebuah istilah, demokrasinya hanya menjadi ritual, tapi dalam realitasnya Indonesia mendestruksi substansi demokrasi. Kedaulatan rakyat masih menjadi mimpi, jatuh terkapar dalam transformasi berdarah-darah, enggan meninggalkan tradisi kekerasan struktural.
Berkaitan dengan tradisi kekejaman yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, sebenarnya itu berlawanan dengan spirit demokrasi itu juga dapat dilihat jejaknya dalam rumusan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal 2 UU No. 41/1999 menentukan bahwa dalam penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Dalam penjelasan pasal 2 ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan harus memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya serta ekonomi, memberi peluang sama kepada semua warga negara, harus dicegah terjadinya monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni.
Penyelenggaraan kehutanan harus menerapkan pola usaha bersama antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi, mengikuitsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat, dilakukan terpadu, memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain dan masyarakat setempat.
Tetapi asas-asas hukum kehutanan tersebut hanyalah menjadi rumusan hukum imajinatif sebab tanpa ada penerapannya, menjadi hukum yang tidak efektif. Perhutani menjadi penguasa terbesar hutan Jawa, lebih dari 80 persen dari total hutan di Jawa. Luas daratan Jawa sekitar 12,5 juta hektar dan Perhutani mengelola 3,6 juta hektar hutannya. Di Jawa Timur, luas daratannya sekitar 4,642 juta hektar dan memiliki hutan seluas 1,361 hektar (28 persen dari total wilayah daratan Jawa Timur), terdiri dari 217,05 hektar hutan konversi dan 1,144 juta hektar hutan yang dikelola Perhutani. Hutan lindung di Jawa Timur yang dikelola Perhutani hanya 315,505 hektar, sedangkan hutan produksinya 828,889 hektar.
Tampaknya monopoli hutan oleh Perhutani itu telah menimbulkan akibat buruk, penduduk sekitar dan dalam hutan tetap miskin, berada di bawah bayang-bayang moncong senapan. Monopoli selalu berkecenderungan melahirkan tirani. Sebenarnya monopoli oleh negara bisa saja justru menjadi lebih baik daripada liberalisasi pengelolaan kekayaan alam yang menguasai hidup orang banyak, asalkan memperhatikan kebutuhan rakyat dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam penting itu.
Tentu memprihatinkan jika jejak demokrasi dalam hukum kehutanan yang dirumuskan dalam asas-asas hukum kehutanan tersebut tidak terlaksana, tapi juga hingga kini hukum administrasi negara tidak pernah proaktif memberi jalan agar memberi kemudahan mekanisme izin bagi masyarakat yang secara turun-temurun bergantung dan memunyai hubungan alamiah dengan hutan. Terjadilah kriminalisasi. Mandor atau Mantri Perhutani bisa saja memburu dan menangkap penduduk yang menggembalakan ternak di hutan atau membawa peralatan pemotong kayu di hutan (lihat pasal 50 ayat (3) UU No. 41/1999 secara utuh).
UU No. 41/1999 juga masih keliru dalam memandang status hutan rakyat yang dikatakannya sebagai hutan hak, yaitu hutan yang berada di tanah yang dibebani hak (pasal 1 angka 5 dan pasal 5 UU No. 41/1999 serta penjelasannya). Jika ada sebuah korporasi kehutanan yang memperoleh Hak Guna Usaha khusus lalu menjadikannya sebagai hutan maka akankah hutan korporasi itu disebut hutan rakyat? Ini harus dibenahi.
Dalam jangka menengah dan panjang ke depan, asas-asas hukum kehutanan harus dilaksanakan nyata dengan melenyapkan monopoli Perhutani dan diganti dengan pola hutan-hutan desa yang dikelola oleh masyarakat desa. Ada contoh pengelolaan hutan desa yang cukup berhasil seperti hutan Desa Jokarto, Tempeh, Lumajang. Hutan desa itu aman di tangan masyarakat desa, dan justru Kepala Desanya sendiri yang menjadi tukang balaknya. Sistem hutan masyarakat mestinya semakin dikembangkan, agar di masa depan rakyat bisa mengakses hak mereka atas hutan sekaligus menjadi penjaga alamiah. Jika selama ini para penduduk sekitar hutan menjadi tertuduh penjahat hutan, ternyata ada predator hutan terbesar bukanlah mereka, melainkan para penyalahguna kekuasaan. Hutan kita mestinya adalah hutan kesejahteraan, bukan hutan kekejaman kepada rakyat kecil.
1 komentar:
salam,
saya ingin berkomentar tentang tulisan ini. menurut saya memang hukum di indonesia serba semrawut,gak karuan,malah cenderung ngawur...namun untuk hal2 seperti pengelolaan hutan, mohon dikaji dulu lebih dalam.menurut saya hal2 yang diberitakan dalam koran maupun televisi sering kali terdapat provokasi didalamnya, kita tidak boleh semudah itu untuk memakan mentah2 berita tersebut.yang saya ketahui dalam perihal hutan di pulau jawa.kondisi sosioekonomi dalam masyarakat menyebabkan timbulnya rasa ingin memiliki yang berlebihan.sehingga membutakan nurani mereka tentang hal yang benar dan yang salah.jangan salah,bukan hanya polisi yang buta akan nuraninya,terkadang masyarakat yang "kepepet" juga akan buta nuraninya.hutan rusak bukan melulu karena pemerintah,ini didukung oleh lemahnya penegakan hukum,lemahnya perhutani, dan hausnya masyarakat akan kebutuhan rumah berkeramik mahal. mohon agar anda mengkaji dulu persoalan tersebut di lapangan, agar dapat lebih bijak dalam berkomentar. terima kasih...
Posting Komentar