Minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam (SDA) yang oleh bahasa ekonomi disebut ‘kekayaan alam’ yang terbatas, tak dapat diperbaharui. Suatu saat migas akan habis dari perut bumi. Tak dapat dipungkiri bahwa migas merupakan sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, bahkan bagi masyarakat dunia. Ketika harga minyak mentah dunia mencapai di atas 100 dollar AS per barrel, ekonomi global menjadi panik.
Para pendiri Indonesia cukup cerdas ketika merumuskan pasal 33 UUD 1945 yang memberi aturan dasar bahwa SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak ‘dikuasai negara.’ Pasalnya, kalau penguasaannya sampai jatuh ke tangan swasta maka nasib masyarakat banyak akan berada di tangan partikelir (swasta).
Tetapi tampaknya kecerdasan para pendiri Indonesia itu diotak-atik oleh para penerus pengurus negara ini. Istilah ‘dikuasai negara’ selanjutnya direformulasi maknanya, dengan mereduksi fungsi negara. Negara menguasai SDA yang menjadi hajat hidup orang banyak bisa dengan perijinan dan pengawasan. Negara tak harus menguasai dalam arti memiliki secara perdata. Sejak Pak Harto naik tahta sekitar 1967, liberalisasi ekonomi mulai dijalankan. Setelah menginjak reformasi, bukan reformasi yang terjadi tapi justru deformasi. Keluarnya UU No. 22/2001 tentang Migas semakin mengukuhkan cengkeraman korporasi asing atas kekayaan migas Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 yang mengukuhkan UU No. 22/2001 tersebut juga menjadi alat pencengkeraman abadi oleh asing terhadap kekayaan migas Indonesia.
Ekonomi keserakahan
Hukum perminyakan nasional - bahkan hukum ekonomi Indonesia pada umumnya – telah terkontaminasi oleh doktrin ekonomi liberal yang mengajarkan bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam ekonomi. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Jika para pakar hukum meneliti cara kerja hukum ekonomi Indonesia maka mereka akan mendapatkan gambaran ‘hukum pasar’, yaitu hukum yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Seolah-olah kebutuhan pasar adalah kebutuhan masyarakat. Namun kalau kita masuk lebih dalam ke jantung fenomena kultur market global maka kita akan mendapatkan kenyataan bahwa dominator pasar global adalah nafsu keserakahan yang tak peduli dengan humanisme. Para praktisi ekonomi mungkin juga mahfum bahwa ‘cara-cara hitam’ juga seringkali mewarnai praktik bisnis ekonomi.
Mari kita bandingkan antara kekayaan negara dengan korporasi. Sebagai salah satu contoh kecil, mari kita bandingkan keuntungan Exxon Mobil, salah satu korporasi Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Indonesia. Tahun 2007, Exxon membukukan keuntungan 40,6 miliar dollar AS (sekitar Rp. 373 triliun), padahal Exxon hanya ‘kutu kecil’ di Indonesia selain yang besar-besar seperti Cevron, Shell, ConocoPhillips, dan lain-lain. Sedangkan Pertamina sendiri hanya mengelola sekitar 8 persen migas nasional.
Korporasi-korporasi migas asing itu sangat diuntungkan oleh meroketnya harga migas dunia. Semakin tinggi harga minyak, semakin tinggi pula keuntungan mereka, sebab biaya produksinya relatif stabil (tidak naik). Pertanyaannya: lha wong yang punya minyak itu negara Indonesia yang dalam kontrak kerjasamanya berhak bagi hasil rata-rata 85 persen, tapi mengapa kok Indonesia menjadi terancam bangkrut gara-gara melambungnya harga minyak mentah dunia? Paradoks ekonomi seperti itu harus dipecahkan, bukan malah mengamini istilah ‘subsidi harga BBM’ yang sesungguhnya patut dipertanyakan itu. Misalnya, harga bensin saat ini Rp. 4.500,- per liter, padahal biaya produksinya sekitar Rp. 630,- per liter. Dari mana subsidi itu muncul jika rakyat harus membayar harga BBM lebih mahal daripada yang seharusnya mereka bayar? Yang disubsidi pemerintah itu rakyat atau korporasi produsen BBM? Rakyat dibohongi oleh hitung-hitungan para ekonom politikus pendukung penghisapan negara.
Celakanya, para ahli ekonomi pendukung kenaikan harga BBM itu tidak pernah secara kritis mempertanyakan: (1) dari mana asal angka subsidi BBM yang dikatakan pemerintah bisa mencapai Rp. 200 triliun itu? (2) mengapa kekurangan produksi minyak nasional tak pernah ditaksir dengan surplus produksi gas nasional? (3) bagaimana hasil kajian tingkat efesiensi nasional jika migas dikelola korporasi asing dibandingkan dengan apabila dikelola oleh perusahaan negara sendiri?
Perlu diketahui bahwa produksi minyak Indonesia rata-rata sekitar 1 juta barrel per hari. Sedangkan kebutuhan nasional rata-rata sekitar 1,2 juta barrel per hari. Jadi, kekurangannya adalah sekitar 200 ribu barrel per hari. Tetapi hitungan itu menjadi lain ketika sebagian besar (sekitar 60 persen) produksi minyak nasional diekspor. Jika demikian, mestinya ada devisa yang besar dari ekspor minyak tersebut. Belum lagi surplus kebutuhan gas nasional, di mana Indonesia merupakan produsen 35 persen dari total produksi gas dunia.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, tingkat konsumsi minyak rakyat Indonesia berada di peringkat 116 di bawah negara-negara Afrika seperti Namibia dan Bostwana (data Kwik Kian Gie, 2008) yang jarang terdengar di telinga kita. Berarti kita masih setara dengan negara-negara terbelakang itu. Artinya, produksi minyak Indonesia lebih banyak dikonsumsi asing, bukan oleh rakyat Indonesia yang sedang dilanda krisis energi ini.
Kalau kita tengok biaya produksi yang harus ditanggung oleh hasil produksi minyak (cost recovery / CR), rata-rata CR produsen minyak dunia maksimum sekitar 6 dollar AS per barrel (BPKP; Bisnis Indonesia, 24/1/2007). Sedangkan CR minyak Indonesia sampai dengan 15 dollar AS per barrel. Berarti CR di Indonesia selisih (lebih mahal) sekitar 9 dollar AS per barrel dari rata-rata CR di negara-negara produsen minyak lainnya. Coba kita ambil yang lebih rendah, misalnya selisihnya hanya 5 dollar AS per barrel, sehingga dengan lifting 1 juta barrel per hari maka dalam sehari kita kehilangan uang 5 dollar AS x 1 juta barrel = 5 juta dollar AS. Dalam setahun kita kehilangan 5 juta dollar AS x 365 hari = 1,825 miliar dollar AS.
Jadi, isu subsidi BBM kepada rakyat tersebut tampaknya hanyalah fakta yang ada di permukaan, merupakan kebohongan. Di balik fakta itu masih ada banyak kenyataan yang harus diungkap bahwa pengelolaan SDA migas nasional juga masih berada di tangan ‘para mafia internasional’ yang mempunyai kaki-tangan alias antek-antek nasional, yang tak jauh-jauh dari budaya korupsi Indonesia. Serangan kebohongan itu dari luar dan dalam. Seperti yang pernah saya dengarkan sendiri dari seorang guru besar, konsultan migas di Jakarta, yang mengatakan bahwa kita seringkali dipermainkan oleh asing dan pemerintah kita menjadi ‘penurut’ perintah asing. Kita masih terjajah.
Kekayaan Indonesia melimpah, tapi rakyatnya harus bersusah-payah. Kalaupun kekayaan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan rakyat maka terlalu cukup dan berlebih-lebih. Tapi logika normal, akal sehat itu tak berlaku di sini. Hanya keserakahan yang membuat kita kehilangan banyak kekayaan dan hidup seolah-olah di negeri miskin yang tak punya apa-apa selain air mata. Mahatma Gandi berkata, dunia ini terlalu cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuninya, tapi tak akan cukup memenuhi keinginan satu orang yang serakah.
Harapannya, anak-anak muda tidak mewarisi mental terjajah, mental antek penjajah, tapi kelak mereka bisa menjadi para pemimpin negara yang benar-benar ngugemi Pancasila, punya perasaan yang kuat untuk memihak rakyat. Para kaum muda yang belajar teknologi juga harus mulai mencari cara: bagaimana agar peralatan yang kita gunakan sehari-hari tidak bergantung pada satu jenis energi, tapi dapat menggunakan berbagai jenis bahan energi, sehingga kelak bahan energi bukan lagi menjadi barang mahal yang bisa dijadikan alat para mafia ekonomi dunia untuk meremukkan bangsa Indonesia seperti sekarang ini. Kapan bangsa Indonesia bisa merdeka? Tergantung kesiapan mental bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar