Senin, 23 Juni 2008

Menanti Fatwa MUI Soal Pertambangan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi umat Islam merupakan salah satu ‘kiblat’ acuan interpretasi agama (Islam), meski sekali waktu juga mengundang kritik atau polemik. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen, penilaian MUI juga diperlukan dalam menentukan label ‘halal’ atas produk makanan, yang diwajibkan menurut UU No. 8 / 1999.

Kali ini saya akan membawa peran fatwa agama pada persoalan pertambangan, terutama yang dalam banyak kasus menimbulkan kerugian ekologis sosial. Dalam Alquran terdapat sebuah ayat ekologis yang amat terkenal, yaitu Surat Ar-Rum ayat 41, di mana Tuhan ‘mengecam’ tindakan destruktif manusia di darat dan laut yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan Tuhan mengancamnya dengan azab. Pemanasan global tampaknya merupakan azab global, selain bencana banjir, tanah longsor kekeringan, serta meningkatnya penyakit degeneratif pada manusia.

Tetapi tampaknya ayat Tuhan tersebut tak mendapatkan tempat, masih kalah dengan ‘ayat ekonomi kapitalisme global’ yang bahkan membuat banyak pemerintahan di dunia ini bertekuk lutut kepada para penguasa kapital. Dalam kasus Buyat misalnya, fungsi agama tidak berjalan dan hukum administrasi negara sebagai hukum preventif tidak mampu bekerja, malah berbalik mendukung korporasi pelaku pencemaran (Newmont) hanya dengan kesepakatan ‘perdamaian’ dengan pembayaran Newmont kepada pemerintah, dicicil selama 10 tahun. Dalam kasus lumpur Lapindo fatwa agama juga tidak ada, sedangkan hukum pemerintahan – juga pengadilan – telah memihak kepada korporasi perusak lingkungan (Lapindo sebagai anak Grup Bakrie).

Banyak pula kasus-kasus pertambangan yang bersifat destruktif, merusak fungsi alam untuk melindungi masyarakat, seperti halnya perijinan tambang di hutan-hutan lindung, pengambilan pasir laut, ijin pertambangan daerah untuk mengeksploitasi tanah-tanah dan bukit (sirtu) yang menimbulkan potensi tanah longsor, termasuk ijin tambang emas di Banyuwangi (Tumpang Pitu) yang rencananya akan memangkas bukit Tumpang Pitu yang selama ini menjadi bagian alam yang melindungi warga penduduk di sekitarnya. Di mana posisi dan peran agama untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan yang merata di muka bumi?


Manfaat versus mudlarat


Dalam menetapkan suatu fatwa hukum (Islam) biasanya mengacu pada manfaat yang dibandingkan dengan mudlarat (kerugian). Setelah ditimbang maka barulah ditentukan nilai hukumnya; halal, haram, mubah (boleh), makruh (boleh tapi lebih baik ditinggalkan), atau dalam bentuk lainnya misalnya munkar atau sebaliknya ma’ruf. Fatwa hukum tersebut biasanya ditetapkan karena terdapat hal-hal yang belum jelas hukumnya sebab tidak diatur khusus dalam Quran dan Hadits. Atau, fatwa juga diperlukan dalam hal terdapat ‘kesalahan pemahaman umat’ terhadap praktik hidup tertentu yang sebenarnya menyimpang dari hukum agama yang sudah jelas tetapi dianggap benar oleh umat.

Dalam hal ini kadang ada perbedaan pendapat ulama. Contohnya perbuatan merokok diharamkan ulama Madinah, tapi ulama Indonesia menghukumi makruh. Maklum juga, ulama Indonesia banyak yang suka rokok, meski di iklan-iklan rokok sudah menjelaskan risikonya: “Rokok bisa mengakibatkan kanker, gangguan kehamilan dan janin ....... dst.” Dalam soal ini tampaknya ulama Indonesia harus lebih banyak belajar ilmu kesehatan manusia, selain ekonomi kapitalisme.

Dalam soal pertambangan pun para ulama harus lebih banyak belajar ilmu geografi, geologi, fisika, kimia, biologi, sosiologi, ekonomi, dan lain sebagainya secara lebih dalam sebab Quran dan Hadits hanya memberikan dasar-dasar dari seluruh ilmu tersebut. Para ulama tak boleh menentukan suatu hukum berkaitan dengan bobot manfaat dan mudlarat jika hanya atas dasar ‘kira-kira’, apalagi jika sang ulama pernah memperoleh pelajaran atau matakuliah ilmu ekonomi di sekolah dan kampus yang sudah terkontaminasi dengan faham kapitalisme. Padahal ilmu ekonomi kapitalisme itu menurut orang Barat sendiri tidak baik. “Ilmu ekonomi kapitalisme itu menjijikkan,” kata Prof. Daniel C. Maguire, seorang pakar etika. Johan Galtung, tokoh perdamaian itu juga menyatakan bahwa kapitalisme itu bercirikan tamak dan tidak peduli.

Ekonomi kapitalisme jelas akan menganggap investasi pertambangan itu menguntungkan secara ekonomi. Iklannya adalah: meningkatkan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran), meningkatkan pendapatan negara, menaikkan tabungan sosial mengakibatkan akumulasi investasi sosial. Tak lupa – meski sering dengan cara curang – dibuat program corporate social responsibility (CSR). Bahkan untuk ‘menandingi’ gerakan advokasi lingkungan hidup maka hampir semua korporasi membikin program ‘hijau, hijau, hijau,... green, green, green, ...’ Korporasi yang jagoan menghabiskan hutan pun membuat ‘green program’ sebagai cara mengelabuhi masyarakat. Begitu cerdiknya kapitalisme bersembunyi di balik kejahatan ekologis mereka.

Seumpama saja iklan lembut penuh kata harapan yang dibuat para penjahat kapitalisme itu benar alias tidak bohong, maka tentunya rakyat Indonesia sudah makmur dan berlimpah kebahagiaan sebab selama lebih dari 62 tahun Bumi Pertiwi ditambang tanpa henti, bahkan diperkosa habis-habisan. Tak ada orang Indonesia yang harus susah payah mempertaruhkan nasib buruk disiksa dan diperkosa di luar negeri untuk menjadi kuli atau pembantu rumah tangga. Juga tak ada kasus longsor, banjir, penyakit degeneratif, kanker, kelambatan mental akibat kehancuran dan toksinasi lingkungan hidup.

Nyatanya? Kekayaan Bumi Pertiwi semakin habis, rakyatnya tetap kembang-kempis, memegangi derita nasib yang meringis. Hanya para pemodal dan pejabat yang bertambah kaya, bersaing dengan orang-orang kaya di dunia, tapi yang miskin tambah miskin terlempar dalam jurang kesengsaraan hidup. Kaum buruh tambang pun tak beda dengan buruh pada umumnya yang berpenghasilan minim dan sewaktu-waktu rawan dipecat (di-PHK). Jika kekayaan yang ditambang habis maka para buruh pun kehilangan pekerjaan.

Jika begitu, ekonomi pertambangan terbukti memberi manfaat banyak bagi para pemodal (pengusaha), tapi lebih banyak merugikan masyarakat luas. Kerugian tak hanya menimpa generasi masa kini, tapi juga ditanggung generasi mendatang. Maka ada adagium sindiran: kita hidup dengan cara mengorbankan anak cucu.


Fatwa MUI


Pertambangan di Indonesia selain menimbulkan soal pencemaran serta kerusakan ekologis juga harus mempertimbangkan karakter geologis Indonesia yang dilalui oleh jajaran gunung berapi yang populer disebut sebagai Pacific Ring of Fire (cincin api Pasifik) dan tempat pertemuan tiga lempeng bumi. Jadi, mengebor bumi Indonesia sebenarnya sama halnya mengundang bahaya geologis. Oleh sebab itu, perijinan pertambangan migas yang berada di wilayah padat penduduk – terutama di Jawa yang padat - adalah sebuah kebodohan besar pemerintahan sebab mengorbankan nasib rakyat yang diurus.

Kasus semburan lumpur Lapindo hanyalah salah satu contoh kecelakaan akibat kesembronoan dalam pemboran. Ada kasus-kasus lain serupa yang tidak diketahui masyarakat umum sebab tempatnya di tengah laut atau di dalam hutan. Demikian pernah dikatakan oleh DR. Andang Bachtiar yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia perminyakan. Hal itu juga terungkap dari keterangan DR. Rudi Rubiandini, pakar pemboran dari ITB yang pernah bersaksi di pengadilan dalam kasus lumpur Lapindo.

Dengan melihat banyak contoh kasus dalam pertambangan, serta belajar dari kerugian kolosal akibat kasus Buyat dan lumpur Lapindo, maka para ulama harus bertindak memfungsikan agama untuk menolak kemunkaran-kemunkaran yang dilakukan para hamba iblis kapitalisme. Itu akan lebih bermanfaat dibandingkan fatwa-fatwa yang bisa menimbulkan kerusakan kerukunan umat.

Ulama Indonesia, terutama MUI, seharusnya mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pertambangan yang sifatnya mengancam keselamatan umat. Seperti halnya pulau Jawa sebenarnya sudah tak layak lagi ditambang sebab saking padat penduduknya. Begitu pula jika pertambangan itu dilakukan dengan cara melanggar fungsi ekologi kawasan lindung atau yang seharusnya dijadikan area perlindungan umat. Hal itu akan menjadikan peran agama yang lebih bisa mengamankan keselamatan umat.

Tanpa pertambangan umat bisa hidup makmur jika pemerintahnya pandai, jujur dan pekerja keras. Sebelum Timur Tengah menambang migas, pada jaman dahulu pernah makmur padahal masyarakatnya hidup di padang pasir. Apalagi Indonesia yang tanahnya luas bisa untuk bertani dan lautannya lebih luas lagi kaya dengan ikan. Dengan mengelola pertanian dan perikanan secara sungguh-sungguh negeri ini bisa makmur.

Tapi, celakanya para pejabat negara ini lebih tunduk kepada para pemodal yang semakin kaya-raya dengan sadar atau tidak telah memiskinkan rakyat dan membuat rakyat bergantung kepada para kapitalis curang itu. Waktunya bangkit sungguh-sungguh, untuk keluar dari pembohongan dan penindasan kapitalis neoimperialisme! Dan agama seharusnya berperan penting untuk membebaskan umat dari penindasan itu.

Tidak ada komentar: