Senin, 30 Juni 2008

Hukum Pidana Lumpur Lapindo

Hingga hari ini berkas pidana kasus lumpur Lapindo masih bolak-balik dalam perjalanan di kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim). Kepolisian berpendapat jelas, bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan ‘kelalaian’ dalam proses pemboran di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1). Sedangkan Kejaksaan ragu-ragu, karena pendapat para ahli dalam kasus tersebut berbeda: ada ahli yang mengatakan semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan eksplorasi, ada ahli yang mengatakan semburan lumpur itu bencana alam.

Penyebab semburan lumpur Lapindo memang menjadi polemik. Jika seandainya tidak ada proses ‘kecelakaan’ saat pemboran di sumur BJP-1 Porong Sidoarjo, mungkin gempa Jogja menjadi satu-satunya kambing hitam. Meski jarak semburan (29 Mei 2006) dengan kejadian gempa Jogja (27 Mei 2006) selisih dua hari. Meski timbul pertanyaan: mengapa proses liquifikasi (pencairan) bebatuan akibat gempa baru muncul dua hari sesudahnya? Mengapa hanya lokasi sekitar sumur BJP-1 yang mengalami semburan lumpur, sedangkan di sumur-sumur tambang migas lainnya yang biasanya merupakan patahan-patahan bumi kok tidak mengalami kejadian serupa?

Tetapi seluruh ahli yang berdebat pasti tak dapat menyangkal bahwa dalam proses eksplorasi di sumur BJP-1 telah terjadi ‘masalah’ yaitu patahnya mata bor, pecahnya blow out preventer (BOP), sebagaimana hal itu diakui pihak Lapindo sendiri. Hal itu juga termuat dalam buku audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus tersebut.


Parameter hukum


Baiklah, saya tak akan ikut dalam polemik para ahli pemboran dan geologi yang terkadang sama dengan para ahli hukum yang suka berdebat, yang kadang pendapatnya juga tergantung ‘pendapatannya.’ Saya di sini bermaksud mengeksaminasi cara berpikir penyidik Polda Jatim dengan penuntut Kejati Jatim dalam kasus lumpur Lapindo tersebut, dengan parameter hukum acara pidana.

Berdasarkan pemantauan yang kami lakukan dalam proses penyidikan kasus lumpur tersebut, alat bukti yang sudah dikumpulkan oleh penyidik Polda Jatim diantaranya adalah: keterangan para saksi (per-8 Maret 2007 adalah: saksi korban 21 orang, saksi dari Pemkab Sidoarjo 2 orang, saksi dari BP Migas 6 orang, saksi dari Lapindo Brantas, Inc 14 orang, saksi dari PT. Medici Citra Nusa 7 orang, saksi dari PT. Tiga Musim Mas Jaya 5 orang, saksi dari PT. Elnusa Drilling Services 4 orang), dokumen-dokumen yang menerangkan peristiwa pemboran termasuk daily drilling report, Real Time Chart, hasil survei seismic, perizinan, dokumen UKL - UPL, dokumen Standard Operating Procedure (SOP), dan lain-lain.

Keterangan para ahli yang telah diperiksa adalah: ahli geologi 5 orang, ahli perminyakan 2 orang, ahli pemboran sebanyak 1 orang, ahli lingkungan 1 orang, ahli pengairan sebanyak 1 orang, ahli Hukum Lingkungan 1 orang, ahli bahasa 1 orang, ahli kerusakan tanah 1 orang, ahli gempa (dari Badan Metereologi dan Geofisika) 2 orang. Setelah itu, alat-alat bukti tersebut terus dikembangkan berdasarkan petunjuk (P19) penuntut umum Kejati Jatim.

Sekitar sebulan lalu, penyidik Polda Jatim menjelaskan kepada Komnas HAM yang sedang memantau kasus tersebut di Mapolda Jatim, bahwa petunjuk penuntut umum Kejati Jatim selalu berkembang. “Lha kalau petunjuknya tidak konsisten, terus beranak pinak, ya kapan selesainya?” kata Rusli Nasution, pimpinan penyidiknya saat itu bernada kesal. Berdasarkan hasil pemantauan kami, ternyata penuntut umum Kejati Jatim dalam kasus lumpur Lapindo tersebut terkesan pasif, tidak mau menggunakan wewenangnya untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan yang diperlukan. Padahal jaksa diberikan wewenang itu menurut pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.

Jika diukur dari ketercukupan alat bukti menurut buku hukum acara pidana (KUHAP, pasal 184) sebenarnya apa yang diperoleh penyidik Polda Jatim tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuktikan tindak pidana dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Secara kuantitas telah memenuhi, secara kualitas telah mencukupi. Alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran seirama nada dengan alat bukti Real Time Chart (grafik yang menunjukkan waktu proses pemboran yang sedang berlangsung) serta daily drilling report (laporan pemboran harian) yang membuktikan adanya ‘masalah kecelakaan’ dalam pemboran.

Sedangkan keterangan ahli dalam kasus tersebut sesungguhnya hanya sebagai pelengkap, bukan alat bukti utama, sebab alat bukti keterangan saksi dan alat bukti surat-surat sudah terlalu cukup. Jika ada keterangan ahli yang berbeda, dan ternyata berbeda dengan temuan fakta berdasarkan alat bukti keterangan saksi dan surat-surat, maka keterangan ahli yang berbeda tersebut bisa diabaikan. Biasanya, keterangan ahli yang bersifat meringankan tersangka akan dipakai penasihat hukum sewaktu dalam persidangan di pengadilan. Hal itu juga lazim terjadi dalam kasus-kasus kejahatan korupsi dan lain-lainnya. Jadi, perbedaan keterangan ahli dalam hukum acara pidana selama ini sudah lazim, bukan soal baru.


Kepastian hukum


Dalam pemikiran hukum yang adil, kepastian hukum merupakan hak korban dan tersangka/terdakwa/terpidana. Berlarut-larutnya proses pemeriksaan pidana kasus lumpur Lapindo pasti melanggar hak korban dan para tersangka. Status para tersangka tetap menjadi tersangka tanpa kepastian kapan berakhir. Para korban juga menunggu-nunggu keadilan hukum pidana yang bertujuan menciptakan public order (tertib umum).

Kasus pidana lumpur Lapindo itu menjadi terasa istimewa sebab dalam kasus sebesar itu juga tak ada satupun tersangka yang ditahan. Berbeda misalnya dengan maling sandal jepit yang langsung akan ditahan, padahal kerugian publik yang ditimbulkan kasus lumpur Lapindo jauh lebih besar. Pengistimewaan ini melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Memang bahwa kepentingan penahanan selalu berkaitan dengan alasan formal agar tersangka/terdakwa tidak melarikan diri, tidak merusak atau menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi perbuatannya. Tapi para penegak hukum selama ini telah salah sendiri dalam praktiknya, menafsir alasan tersebut secara subyektif dan bahkan menjadikan wewenang penahanan sebagai alat tawar-menawar dalam perdagangan hukum. Penegak hukum bisa tidak menahan tersangka atau terdakwa jika harganya cocok, dan akan ditahan jika harganya tidak cocok, apalagi jika sama sekali tak ditawarkan harga.

Berlikunya kasus pidana lumpur Lapindo juga dengan mengembangkan logika: “Kejadiannya berada di dalam bumi, tidak ada yang melihat secara langsung.” Logika itu tidak tepat dan cenderung sesat sebab kegiatan pemboran dilakukan di atas bumi dan bisa dilihat serta dirasakan apa yang terjadi, sehingga kesalahan pemboran jelas diketahui oleh pelaksanannya dan dicatat dari detik ke detik. Hanya bornya yang menembus bumi.

Apakah dalam kasus pidana lumpur Lapindo juga terjadi perdagangan hukum sehingga jalannya enjot-enjotan? Wallahu’alam bishowab.

Tidak ada komentar: