Dalam angkot T2 jurusan terminal Joyoboyo ada dua perempuan berbincang. Bicaranya mengalir dalam pusaran hidup kota yang sesak. Satu perempuan itu menceritakan tentang adiknya yang bercita-cita menjadi tentara. Keluarganya kelihatan rukun, sebab kakaknya yang menjadi TKI di Malaysia membantu Rp. 20 juta, lantas perempuan itu juga membantu adiknya dengan menjual sawah, laku Rp. 40 juta. Untuk apa uang itu? Katanya untuk ‘jalan’ menjadi tentara. Konon, pamannya yang telah menjadi Kapten, sebagai ‘tim sukses’, meminta untuk disediakan sekitar Rp. 80 juta, untuk bisa menjadi bintara.
Cerita itu mengingatkan kisah seorang pemuda di Desa Banggle, Nganjuk, bernama Podho. Pada jaman Orde Baru dahulu, ia ingin menjadi tentara. Orang tuanya yang petani terpaksa menjual habis sawah dan beberapa ekor sapi. Tetapi nasib tak beruntung yang hinggap, sehingga Podho memupus cita-citanya untuk menjadi tentara setelah orang tuanya kehilangan sawah dan beberapa ekor sapi yang menjadi penopang hidup keluarganya. Podho kini bekerja sebagai petani, mewarisi orang tuanya.
Tak semua kisahnya seperti itu. Di Desa Banggle itu, ada Sampun dan Sutono yang hanya menjual beberapa sapi dan bisa menjadi tentara. Ada pula Samidi yang tidak menjual apa-apa tapi bisa menjadi tentara lewat jalur di Kalimantan.....
Menjadi tentara, polisi, pegawai pemerintah, anggota dewan, bupati, walikota, gubernur dan presiden di negara ini harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Apakah pengorbanan itu hanya sekadar untuk mengejar cita-cita, mimpi, harga diri, ataukah di dalamnya ada misi pengabdian yang tulus? Jawabannya ada di onggokan dan bahkan gunung kasus korupsi, mafia peradilan, suap-menyuap, dan lain-lain yang semakin memuakkan. Tuhan hanya dijadikan ornamen hidup, ditertawakan dan dibokongi dalam kegelapan. Dia tak lagi menjadi Maha Yang Ditakuti, Maha Yang Disopani, tapi digantikan dengan kesenangan dan keangkuhan hidup yang tidak lagi peduli dengan nasib sesama. Tempat-tempat ibadah dibangun megah seiring kemegahan penyelewenangan moral. Upacara keagamaan dimeriahkan dengan kemeriahan penyimpangan tata hidup. Masjid, gereja dan kelenteng menjadi tempat pencucian tuhan. Tuhan masa kini adalah uang. Jika kita dengan istilah money laundering, maka akan terdengar: god laundering.
Kisah perjalanan dalam angkot itu membuat waktu terasa singkat, tiba-tiba aku harus pindah ke bus kota jurusan Tanjung Perak. Tak ada pemandangan yang berubah sejak dahulu, para seniman jalanan terus mendendangkan lagu di atas bus kota dan mengumpulkan satu persatu koin penyambung hidup. Laju bus kota yang kencang membuat semua orang di dalamnya sia-sia jika bicara. Tak lama kemudian sampailah aku di atas kapal feri di Selat Madura.
Angin Selat Madura setengah siang terasa hangat. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu hingga beberapa bulan lalu. Perubahan hanya tampak pada air laut Selat Madura yang kian keruh dan kadang-kadang kapal menerjang arus laut yang ternoda oleh tumpahan-tumpahan minyak. Sesekali waktu penumpang kapal membuang puntung rokok serta botol plastik air mineral ke laut yang tak berdosa itu. Lautan yang telah setia menyangga hidup manusia jutaan tahun, tak pernah mengeluh atas penodaan yang dilakukan manusia.
Tiba di Kamal, aku naik bus, menuju Sumenep. Di sebelahku duduk seorang ibu empatpuluh tahunan bersama anaknya yang berumur empat tahun. Aku kira dia orang Madura yang mau pulang, ternyata orang Jawa yang mau bersilaturahmi ke besannya di Pamekasan. Saya coba mengakrabkan diri dengan mulai bertanya tentang bagaimana kisah ibu itu memperoleh menantu orang Pamekasan.
Jawaban yang banyak terungkap adalah kisah tentang perempuan itu. Ia berasal dari sebuah desa di Nganjuk. Dahulunya ia menikah dengan laki-laki dari Pamekasan. Suaminya tidak berbakat bertani, lalu pergi merantau ke Bangka, bekerja sebagai penggali tambang timah. Tidak bekerja di perusahaan resmi tapi bekerja kepada seorang ‘bos’ pemilik tambang. Pekerjaannya menggali tanah, berkubang di kedalaman yang seringkali berendam di air. Begitu katanya.
Belum setahun suaminya bekerja di tambang timah, terdengar kabar bahwa suaminya sakit. Perempuan itu ‘mengambil’ suaminya dari Bangka, dibawa pulang ke Nganjuk. Lalu suaminya meninggal. Terpaksa perempuan itu harus bekerja keras sendiri sebagai petani di desanya untuk menghidupi tiga anaknya. Anak keduanya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia, lalu menikah dengan pemuda TKI asal Pamekasan.
Kini anak pertamanya yang pernah menjadi TKI sudah pulang ke desanya, sebab termasuk menjadi TKI ilegal (tanpa visa kerja) yang diusir oleh pemerintah Malaysia tahun lalu.
Kadang saya menjadi heran. Di Jawa Timur ada sekitar 34 blok tambang minyak dan gas bumi yang rata-rata dikelola korporasi asing. Belum lagi kekayaan lautnya. Tapi seolah-olah menjadi wilayah miskin sehingga sepertiga penduduknya hidup dalam kemiskinan dan harus berbondong-bondong pergi mencari nafkah ke luar negeri sebagai kuli dan pembantu rumah tangga dengan risiko tinggi. Dalam bulan Januari hingga Juni 2008 ini saja terhitung sekitar 40 orang buruh migran yang meninggal di luar negeri dengan kasus penganiayaan atau penyiksaan, bunuh diri, terjatuh dari apartemen, sakit, dan lain-lain.
Menjadi orang miskin di Indonesia bukanlah karena nasib buruk, tapi karena masalah struktural negara di mana kebijakan pemerintah dan pembangunan yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Programnya ada, janjinya banyak, tapi realisasinya omong kosong. Rakyat kecil hanya dibohongi, dijadikan obyek kampanye politik. Setelah pesta upacara demokrasi usai maka ‘selamat tinggal, silahkan hidup sendiri-sendiri.’ Sekali waktu dihibur dengan bantuan beras miskin yang dikorupsi aparat desa dan kecamatan, atau uang kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tak dapat mengejar laju tingkat kemahalan harga-harga kebutuhan pokok.
Perempuan desa yang menanggung beban hidup berat itu turun di Terminal bus Pamekasan.
Di bangunan terminal dipasang spanduk Dinas Perhubungan yang bertuliskan “DILARANG KERAS BERJUDI, MIRAS DAN PELACURAN DI DALAM TERMINAL”. Apa berarti di luar terminal boleh? Apa berarti korupsi di dalam terminal boleh sebab yang dilarang hanya berjudi, miras dan pelacuran? Meski tak ada tulisan spanduk itu, semua orang juga tahu bahwa maksiat di dalam dan luar terminal itu dilarang.
Bus terus melaju ke arah Sumenep. Saya menjuluki Madura sebagai karpet migas, sebab bahkan sumur warga di Sumenep ada yang mengeluarkan minyak. Di sawah-sawah yang terhampar luas tampak hijau tanaman tembakau, bahan rokok yang asapnya mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang membahayakan kesehatan manusia. Madura memang juga terkenal dengan hasil tembakaunya. Tetapi tetap saja yang kaya bukan petani tembakau melainkan para tengkulak dan pabrik-pabrik rokok. Madura kaya-raya dengan migas, tetapi yang mengambil kekayaan itu korporasi tambang dan para mafia permigasan. Rakyatnya tetap miskin.
Turun dari bus, aku dijemput seorang kawan, mampir di warung sebentar, lalu menuju ke sebuah desa para petani garam di Kalianget. Sungguh mengagetkan jika ternyata hamparan tambak garam di sekitar desa mereka bukan merupakan tanah mereka sendiri melainkan tanah yang sudah dibebaskan PT. Garam, sebuah BUMN produksi garam. Menurut cerita mereka, sekitar tahun 1976 tanah-tanah rakyat di situ dibebaskan paksa oleh pemerintah untuk program modernisasi. Tanah-tanah rakyat itu lalu diserahkan kepada PT. Garam.
Setelah reformasi konon warga petani garam itu menuntut tanah mereka melalui cara-cara aksi damai. Tetapi jalan penyelesaiannya bukan mengembalikan tanah rakyat tambak garam itu. PT. Garam hanya mau memberikan hak garap yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh PT. Garam. Kini masyarakat petani garam itu hanya sebagai penggarap. Lebih runyam lagi ternyata para pengurus Yayasan para petani garam itu mulai bertingkah menyewakan tambak-tambak garam itu kepada ‘orang luar.’
Tampaknya kasus itu masih akan berlanjut, meski tak ada kehendak para wakil petani itu untuk melawan PT. Garam. Mereka merasa bisa menerima status sebagai petani penggarap. Tetapi saya belum menjajaki jalan pikiran seluruh petani garam di sana.
Setelah memberikan penjelasan kepada perwakilan petani garam di Kalianget itu, saya kembali ke Surabaya. Sekitar jam tujuh malam bus dari Sumenep mulai berjalan. Penumpang bus berjejal, maklum malam Senin.
Setiba di Selat Madura, angin laut malam agak kencang, sehingga kapal terasa meronta-ronta, hal yang belum pernah aku alami selama naik kapal feri di Selat Madura sebelumnya. Dari jauh tampak lampu-lampu gemerlap kota Surabaya yang kian angkuh.
Sampai di Tanjung Perak aku coba cari taksi. Rasanya ingin segera sampai ke rumah. Sudah jam 12 malam lebih. Dari deretan taksi yang ada, aku pilih yang kelihatannya paling tua dan jelek. Pikirku: jika semua orang pilih taksi yang baik, lalu siapa yang akan memesan taksi yang kurang baik, di mana sopirnya juga membutuhkan rejeki untuk menghidupi keluarganya.
Sopir taksi menawarkan harga borongan, tapi aku ngotot minta pakai argo. Sopir itu mengalah. Mobil sedan taksi itu berjalan dengan sempoyongan. Belum setengah perjalanan si sopir taksi minta aku pindah taksi sebab rupanya taksi itu tak mampu berjalan lebih jauh lagi. Takut mogok. Tanpa protes aku bayar sesuai angka argo, lebih sedikit, lalu aku pindah taksi.
Dalam hidup ini terkadang niat membantu sesekali waktu akan berbuah kesusahan. Tetapi hal itu tak harus membuat cemberut dan marah, sebab dalam membantu yang utama adalah yang dibantu. Jika suatu saat orang yang dibantu meninggalkan kita yang membantu, barangkali ia sudah tak perlu bantuan kita. Dalam pergaulan hidup akan lebih baik jika 'aku' menjadi lenyap dan tak penting lagi siapa 'aku.'
Sampai di rumah hampir jam satu malam. Petualang sepertiku selalu membawa kunci rumah sendiri ke manapun pergi. Setelah membersihkan diri dan menebus shalat Isya’, aku tengok anak-anakku dan isteriku yang tertidur pulas.
Pelan-pelan kuangkat Gam, anak pertamaku yang menderita autis itu. Kupindahkan ia ke kamar atas. Gam biasa tidur bersamaku di kamar atas. Kurebahkan ia di atas tempat tidur kami, kucium kening dan pipinya. Aku ingat neneknya selalu menangis jika aku berlaku agak keras kepada Gam yang sudah sembilan tahun itu menderita auitis. Kata dokter, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, di dalam darah, rambut dan kotoran Gam terkandung logam berat: timbal, kadmium dan merkuri.
“Kamu tahu? Kalau kamu pergi jauh nggak pulang beberapa hari, Gam selalu bertanya, kenapa ayah tidak pulang-pulang! Tapi setelah kamu di rumah kok malah seperti itu!” kata ibu mertuaku sambil mengusap matanya yang basah, jika melihat aku marah kepada Gam yang hiperaktif dan terkadang melakukan hal-hal berbahaya.
Rasanya aku tak sanggup untuk memanggul harapan hidup yang terlalu tinggi. Apa yang aku lakukan adalah menjalankan apa yang sebisanya aku lakukan. Dalam hati, aku tak berharap Gam akan menjadi orang sepertiku. Kelak, ia seharusnya bisa lebih baik dariku.
Tetapi Gam telah menjadi korban keserakahan manusia yang sembarangan menumpahkan sisa dan kotoran keserakahannya hingga meracuni sesama hidup. Gam juga korban ketidaktahuan kami sebagai orang tuanya atas persoalan kejahatan terhadap lingkungan hidup itu. Membimbing anak seperti Gam, jauh lebih berat dan harus bersabar dibandingkan dengan membimbing anak-anak normal. Dengan semakin pandainya si Cempluk (adik Gam) yang sudah berumur empat tahun itu maka kami menjadi semakin terbantu, sebab di rumah ada teman bermain Gam.
Aku tak tahu, bagaimana 10 atau 15 tahun ke depan: Bagaimana pula dengan nasib masyarakat petani garam Kalianget yang telah kehilangan tanah-tanah mereka? Bagaimana nasib masyarakat korban lumpur Lapindo? Bagaimana perkembangan Gam?
Hidup ini masih akan berjalan mengarungi waktu yang tak berbatas kecuali dibatasi oleh hidup itu sendiri..... Ia mengalir seperti arus air lautan yang berawal dari akhir pertemuan semula, di mana awal menjadi akhir dan akhir itu menjadi awal. Awal hidup hanyalah pintu-pintu, sebagaimana kematian adalah pintu menuju hidup selanjutnya.
Dalam ruang dan waktu yang telah disediakan itu, apa yang telah kita lakukan? Apakah menjadi beban, ataukah menjadi kemanfaatan? Biarkan waktu yang menjawab....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar