Suatu saat Rasulullah Muhammad SAW mengetahui penduduk Yahudi menghukum seorang terpidana zina dengan dijemur dan dipukuli. Lalu Rasulullah SAW memanggil ulama agama Yahudi untuk menglarifikasi aturan hukum dalam Taurat yang berlaku bagi kamu Yahudi. Ternyata hukuman yang seharusnya diterapkan bagi pezina menurut Taurat adalah hukuman rajam. Kaum Yahudi sengaja mengubah aturan hukum perzinaan itu karena adanya tabiat penyimpangan hukum Taurat yang dimotori para pembesar Yahudi. Jika para pembesar berzina, hukum diabaikan, tidak efektif. Persis seperti teori kurva kerucut efektivitas hukum, makin ke atas hukum makin tak berdaya. Lantas kaum Yahudi tersebut menciptakan aturan sendiri, yang mengandung sanksi lebih ringan, yaitu: dijemur dan dipukuli. Itu kisah dalam hadits riwayat Ahmad, Muslim dan lain-lain, salah satu asbabun nuzul (sebab turunnya) QS Al-Maidah: 42-47, di mana Allah memfatwa fasik, kafir dan zalim kepada orang-orang yang tidak menggunakan hukum Tuhan dalam memutuskan perkara.
Manusia modern mulai meninggalkan hukum Tuhan. Eropa Abad Kegelapan menjadi tolok ukur sejarah yang mengonklusi bahwa hukum Kitab Suci menjadi ’bahaya besar’ bagi rakyat sebab para ulama sebagai pemegang otoritas tafsir biasa bersekongkol dengan kekuasaan untuk menghabisi rakyat, terutama ’para pembangkang’. Galileo dihukum mati gara-gara membantah keyakinan geosentris gereja. Marthin Luther difatwa sesat, musuh Kristus, sekutu setan, gara-gara menentang otoritarianisme tafsir yang mengarah pada ’penjualan pertobatan’ dengan indulgensia itu. Ditambah lagi, sekularisme menganggap hukum Kitab Suci ’haram’ untuk mengurusi negara. Hukuman qishas, terutama hukuman mati bagi pembunuh, difatwa melanggar HAM oleh para pendekar HAM global. Terpaksa entah tidak, umat beragama membuang hukum Tuhan yang ada di Kitab Suci. Manusia modern memilih produk pikirannya sendiri. Tuhan dianggap kuno, ayat-ayatNya dianggap outdated atau dibumbui agar lebih sedap, serta diaransemen ulang, agar terwujud Tuhan yang baru yang lebih logis menurut jalan pikiran kaum modernis.
Tetapi berbagai eksperimen itu tak memperoleh hasil yang diharap. Hukum hasil pemikiran manusia juga bermasalah ketika diterapkan. Kita tak mempunyai bukti perbedaan akibat sosial ekstrim antara penerapan Hukum Islam di kerajaan Arab Saudi atau Republik Islam Iran dengan hukum sekuler di seluruh dunia. Semua akan tergantung moral penegaknya. Hukum sekuler mengalami nasib sama, ditafsir dengan otoritarianisme, oleh kepentingan. Bahkan dalam praktiknya muncul gaya baru interpretasi hukum yang disebut law interpretation by dollar.
Ambil contoh kasus-kasus korupsi dan kejahatan ekologis di negara ini yang menggunakan hukum sekuler. Apa yang terjadi? Pelajaran dari kegelapan Eropa abad pertengahan ataupun Arab di jamam jahiliah kita temui saat ini di sini. Hukum bukan hanya jauh dari perintah keadilan Tuhan, bukan lagi sekedar menjadi hukum fasik, kafir dan zalim, tapi mengarah pada penghilangan eksistensi ciri khas terpenting manusia, yaitu: berakal. Akal sudah tak lagi bekerja secara murni dalam penerapan hukum. Para penegak hukum tidak mau lagi berpikir apa yang akan terjadi jika hutan rusak di mana-mana, tak mau berpikir bagaimana nasib bangsa ini ketika terus digerogoti dan dihisap drakula-drakula sosial. Yang bekerja adalah akal yang terbelenggu nafsu, khususnya kepada uang atau kekayaan. Logika kolektivitas nasib rebah njrebabah.
Jika manusia kehilangan akal, tinggal nafsu, maka ia sudah jatuh ke level binatang. Dalam psikoanalisanya Sigmund Freud, itu merupakan orang dilevel kepribadian ’id’ atau hewaniyah, atau dalam bahasa Quran (Al-Furqan: 44) digolongkan lebih buruk dari hewan ternak, sebab menuhankan nafsunya. Ternyata tuhan baru hasil eksperimen manusia itu kalah dengan tuhan yang bernama nafsu itu. Orang Indonesia masa kini persis seperti masyarakat Quraish jahiliah; ketika ditanya siapa tuhanmu, mereka menjawab mantap, ”Allah!” Tapi setiap hari mereka menyembah berhala, mengkhianati Allah.
Lebih dari itu, hukum di negara ini juga dikendalikan oleh kaum yang lebih berbahaya dari Iblis. Mengapa? Dalam soal ini, Iblis lebih jujur dibanding manusia. Iblis telah ribuan tahun akrab dengan Allah, sebelum Adam diciptakan. Iblis disuruh Allah untuk tunduk hormat kepada Adam yang kemampuan akalnya lebih tinggi. Dengan ’jujur’ Iblis membangkang perintah Allah dan mendeklarasikan dirinya akan menipu-daya manusia untuk menyeret mereka ke dalam neraka. Iblis jujur mengatakan itu semua kepada Allah dan di hadapan Adam dengan gagah berani. Iblis tidak munafik, tidak menghancurkan manusia dengan tak memberitahu lebih dulu.
Kita melihat para penegak hukum itu tertib menjalankan ibadah ritual, konon untuk menyembah Tuhan. Tapi di balik itu ternyata mereka membangkang Tuhan dengan meminta atau menerima suap, menjungkirkan keadilan sosial ke dalam jurang kesengsaraan. Tempat-tempat ibadah tampaknya telah menjadi tempat pencucian tuhan lain mereka yang bernama uang (money laundering). Mereka adalah para pembangkang Tuhan sejati. Mereka berusaha menipu Tuhan. Mereka dari semula adalah penegak hukum yang telah terfatwa fasik, kafir dan zalim karena telah menerapkan ’cara lain’ daripada cara keadilan menurut Tuhan. Lantas fatwa apa lagi yang pantas diistilahkan untuk kaum pembangkang Tuhan yang lebih buruk daripada Iblis itu? Barangkali Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih tahu itu.
Robohnya keadilan sosial dalam berbagai kasus korupsi dan kejahatan ekologis, menandakan kita telah kehilangan negara. Sebab, seandainya negara ini ada maka akan ada para pengurus negara yang memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya. Negara hanya ada jika hukumnya adalah keadilan, seperti juga kata Saint Augustine. Hukum Indonesia belum berdaulat sebab masih disetir oleh kekuasaan nafsu. Kalau kita hidup di negara yang setiap waktu marak dengan pencurian hak-hak keadilan publik yang bahkan dilakukan oleh para pengurus negara, maka apa bedanya dengan hidup di dalam wilayah genk perompak?
Pun dilihat dari kacamata syarat konstitutif negara, di sini hanya ada negara imajiner sebab kedaulatan rakyat telah dirampas, pemerintahannya tidak merdeka, dijajah oleh kekuatan uang. Indonesia kehilangan syarat sebagai negara. Maraknya demokrasi yang berbiaya mahal di negara ini hanyalah akan terus menelurkan perangai kekuasaan para pencuri yang berbau berhala. Alangkah malangnya Indonesia ini! Kita mestinya membutuhkan para nasionalis sejati seperti contohnya ulama pembebas di Burma, pengacara pejuang seperti di Pakistan dan Malaysia, para pejuang kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Sebelum rakyat sendiri yang bergerak menuntut pengembalian status Indonesia sebagai negara, ketika para imam sosial pun hanya duduk menjadi makmum. Semakin kita abai dan toleran dengan keadaan itu, Indonesia semakin akan tenggelam.
Manusia modern mulai meninggalkan hukum Tuhan. Eropa Abad Kegelapan menjadi tolok ukur sejarah yang mengonklusi bahwa hukum Kitab Suci menjadi ’bahaya besar’ bagi rakyat sebab para ulama sebagai pemegang otoritas tafsir biasa bersekongkol dengan kekuasaan untuk menghabisi rakyat, terutama ’para pembangkang’. Galileo dihukum mati gara-gara membantah keyakinan geosentris gereja. Marthin Luther difatwa sesat, musuh Kristus, sekutu setan, gara-gara menentang otoritarianisme tafsir yang mengarah pada ’penjualan pertobatan’ dengan indulgensia itu. Ditambah lagi, sekularisme menganggap hukum Kitab Suci ’haram’ untuk mengurusi negara. Hukuman qishas, terutama hukuman mati bagi pembunuh, difatwa melanggar HAM oleh para pendekar HAM global. Terpaksa entah tidak, umat beragama membuang hukum Tuhan yang ada di Kitab Suci. Manusia modern memilih produk pikirannya sendiri. Tuhan dianggap kuno, ayat-ayatNya dianggap outdated atau dibumbui agar lebih sedap, serta diaransemen ulang, agar terwujud Tuhan yang baru yang lebih logis menurut jalan pikiran kaum modernis.
Tetapi berbagai eksperimen itu tak memperoleh hasil yang diharap. Hukum hasil pemikiran manusia juga bermasalah ketika diterapkan. Kita tak mempunyai bukti perbedaan akibat sosial ekstrim antara penerapan Hukum Islam di kerajaan Arab Saudi atau Republik Islam Iran dengan hukum sekuler di seluruh dunia. Semua akan tergantung moral penegaknya. Hukum sekuler mengalami nasib sama, ditafsir dengan otoritarianisme, oleh kepentingan. Bahkan dalam praktiknya muncul gaya baru interpretasi hukum yang disebut law interpretation by dollar.
Ambil contoh kasus-kasus korupsi dan kejahatan ekologis di negara ini yang menggunakan hukum sekuler. Apa yang terjadi? Pelajaran dari kegelapan Eropa abad pertengahan ataupun Arab di jamam jahiliah kita temui saat ini di sini. Hukum bukan hanya jauh dari perintah keadilan Tuhan, bukan lagi sekedar menjadi hukum fasik, kafir dan zalim, tapi mengarah pada penghilangan eksistensi ciri khas terpenting manusia, yaitu: berakal. Akal sudah tak lagi bekerja secara murni dalam penerapan hukum. Para penegak hukum tidak mau lagi berpikir apa yang akan terjadi jika hutan rusak di mana-mana, tak mau berpikir bagaimana nasib bangsa ini ketika terus digerogoti dan dihisap drakula-drakula sosial. Yang bekerja adalah akal yang terbelenggu nafsu, khususnya kepada uang atau kekayaan. Logika kolektivitas nasib rebah njrebabah.
Jika manusia kehilangan akal, tinggal nafsu, maka ia sudah jatuh ke level binatang. Dalam psikoanalisanya Sigmund Freud, itu merupakan orang dilevel kepribadian ’id’ atau hewaniyah, atau dalam bahasa Quran (Al-Furqan: 44) digolongkan lebih buruk dari hewan ternak, sebab menuhankan nafsunya. Ternyata tuhan baru hasil eksperimen manusia itu kalah dengan tuhan yang bernama nafsu itu. Orang Indonesia masa kini persis seperti masyarakat Quraish jahiliah; ketika ditanya siapa tuhanmu, mereka menjawab mantap, ”Allah!” Tapi setiap hari mereka menyembah berhala, mengkhianati Allah.
Lebih dari itu, hukum di negara ini juga dikendalikan oleh kaum yang lebih berbahaya dari Iblis. Mengapa? Dalam soal ini, Iblis lebih jujur dibanding manusia. Iblis telah ribuan tahun akrab dengan Allah, sebelum Adam diciptakan. Iblis disuruh Allah untuk tunduk hormat kepada Adam yang kemampuan akalnya lebih tinggi. Dengan ’jujur’ Iblis membangkang perintah Allah dan mendeklarasikan dirinya akan menipu-daya manusia untuk menyeret mereka ke dalam neraka. Iblis jujur mengatakan itu semua kepada Allah dan di hadapan Adam dengan gagah berani. Iblis tidak munafik, tidak menghancurkan manusia dengan tak memberitahu lebih dulu.
Kita melihat para penegak hukum itu tertib menjalankan ibadah ritual, konon untuk menyembah Tuhan. Tapi di balik itu ternyata mereka membangkang Tuhan dengan meminta atau menerima suap, menjungkirkan keadilan sosial ke dalam jurang kesengsaraan. Tempat-tempat ibadah tampaknya telah menjadi tempat pencucian tuhan lain mereka yang bernama uang (money laundering). Mereka adalah para pembangkang Tuhan sejati. Mereka berusaha menipu Tuhan. Mereka dari semula adalah penegak hukum yang telah terfatwa fasik, kafir dan zalim karena telah menerapkan ’cara lain’ daripada cara keadilan menurut Tuhan. Lantas fatwa apa lagi yang pantas diistilahkan untuk kaum pembangkang Tuhan yang lebih buruk daripada Iblis itu? Barangkali Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih tahu itu.
Robohnya keadilan sosial dalam berbagai kasus korupsi dan kejahatan ekologis, menandakan kita telah kehilangan negara. Sebab, seandainya negara ini ada maka akan ada para pengurus negara yang memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya. Negara hanya ada jika hukumnya adalah keadilan, seperti juga kata Saint Augustine. Hukum Indonesia belum berdaulat sebab masih disetir oleh kekuasaan nafsu. Kalau kita hidup di negara yang setiap waktu marak dengan pencurian hak-hak keadilan publik yang bahkan dilakukan oleh para pengurus negara, maka apa bedanya dengan hidup di dalam wilayah genk perompak?
Pun dilihat dari kacamata syarat konstitutif negara, di sini hanya ada negara imajiner sebab kedaulatan rakyat telah dirampas, pemerintahannya tidak merdeka, dijajah oleh kekuatan uang. Indonesia kehilangan syarat sebagai negara. Maraknya demokrasi yang berbiaya mahal di negara ini hanyalah akan terus menelurkan perangai kekuasaan para pencuri yang berbau berhala. Alangkah malangnya Indonesia ini! Kita mestinya membutuhkan para nasionalis sejati seperti contohnya ulama pembebas di Burma, pengacara pejuang seperti di Pakistan dan Malaysia, para pejuang kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Sebelum rakyat sendiri yang bergerak menuntut pengembalian status Indonesia sebagai negara, ketika para imam sosial pun hanya duduk menjadi makmum. Semakin kita abai dan toleran dengan keadaan itu, Indonesia semakin akan tenggelam.
1 komentar:
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
Posting Komentar