Indonesia punya berita besar tentang kasus Soeharto, bencana banjir, longsor, amuk angin puting beliung, soal kedelai dan minyak goreng. Sebenarnya bukan hanya itu. Banyak juga masalah Indonesia yang belum terselesaikan seperti soal korupsi (termasuk mafia hukum), bencana (termasuk akibat perusakan lingkungan hidup), penyalahgunaan narkoba, kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan, kejahatan umum terorganisir (perampokan, pencurian), perdagangan orang, soal buruh migran, kasus HAM (termasuk kasus Munir, Trisakti-Semanggi) dan lain-lain. Dalam soal Pak Harto, ada kalangan yang berpendapat kita tak perlu menyibukkan diri dalam kasus Pak Harto, sebab itu masa lalu. Di depan kita menghadang lawan-lawan besar, para pesaing raksasa dalam globalisasi. Cuma, bagaimana kita dapat bersaing dalam globalisasi jika menyelesaikan kasus Pak Harto saja tidak bisa? Di mana ke-negara-an Indonesia?
Menurut Ilmu Negara, syarat berdirinya negara itu adalah: (1) wilayah, (2) rakyat, (3) pemerintah, dan (4) kedaulatan, disamping (5) pengakuan negara lain. Syarat-syarat tersebut bersifat komulatif, bukan alternatif. Contohnya suku Kurdi di Timur Tengah itu masih disebut ‘bangsa’ sebab masih merupakan kelompok komunitas yang belum memunyai wilayah pemerintahan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memunyai wilayah yang dua per-tiganya merupakan lautan. Wilayah Indonesia seluas sekitar sama dengan benua Eropa. Rakyat Indonesia sekitar 230 juta orang. Indonesia juga memunyai pemerintahan. Indonesia besar dalam hal penampilan kuantitas. Tapi kita boleh menguji, bagaimana dengan syarat ‘kedaulatan’, baik pemerintahan dan rakyatnya. Pemerintahan yang dimaksudkan tersebut adalah pemerintahan dalam arti luas yang dijalankan oleh seluruh lembaga negara yang ada, bukan hanya pemerintahan dalam arti eksekutif saja.
Kasus Pak Harto dapat dijadikan salah satu alat uji kedaulatan pemerintahan (bidang penegakan hukum). Di awal reformasi, ketika semangat reformasi masih menggebu, diterbitkan Ketetapan (Tap) MPR No. 11 Tahun 1998 untuk membersihkan negara dari korupsi. Dalam Tap MPR tersebut sudah ada ‘vonis’ kepada Pak Harto dan kroni-kroninya untuk diusut. Dengan demikian menurut logika hukum demokrasi, berarti rakyat – melalui MPR – telah memvonis Pak Harto (dan kroni-kroninya) bersalah. Sayangnya, forum hukum Indonesia di level yang lebih rendah dari MPR tidak berdaulat, tidak merdeka, meski UUD 1945 jelas merumuskan bahwa Indonesia merupakan rechtsstaat (negara hukum).
Pengadilan Indonesia ‘tidak berani’ menyentuh pendapat dokter Indonesia ketika Pak Harto masih segar bugar bisa salat Id dan membesuk Ibu Tin (almarhumah) di rumah masa depan (makam). Hukum Indonesia juga terlalu takut untuk berhermeneutika demi kepentingan publik, tapi malah menerobos hukum untuk kepentingan pribadi Pak Harto. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) dalam kasus Pak Harto mengambil alasan ‘demi hukum’ di pasal 140 ayat (2) KUHAP. Sakit permanennya Pak Harto (kata dokter) menjadi alasan untuk tidak mengadilinya, demi hukum. Kata mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, itu prinsip hak asasi manusia (HAM) universal. Lalu, bagaimana HAM rakyat korban? Sudahkah dipikirkan?
Jadi, ‘demi hukum’ yang dipakai adalah ‘demi HAM-nya Pak Harto’ bukan demi hukum Indonesia. Bagaimana kalau hukum Indonesia melakukan hermeneutika untuk mengadili Pak Harto tanpa kehadirannya di pengadilan dengan membebaskan para pendukungya untuk membela Pak Harto di muka pengadilan? Tak akan berani, sebab hukum Indonesia tak berdaulat. Banyak contoh kasus lainnya soal perusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Papua (oleh Freeport), Porong Sidoarjo (oleh Lapindo), Minahasa (oleh Newmont), Sumetera Utara (oleh perusahaan Adelin Lis), Riau (oleh perusahaan Sukanto Tanoto), dan lain-lain. Hukum tunduk kepada uang.
Lebih celaka, banyak orang pintar yang mencampur-adukkan pemberian maaf dengan ampunan hukum. Kata mereka, jasa Pak Harto besar bagi Indonesia maka harus dimaafkan, proses hukumnya dihentikan. Padahal ‘maaf’ merupakan urusan pribadi antara pelaku dengan korban. Tetapi pemberian maaf dalam hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menghukum kejahatan, kecuali ‘alasan pemaaf’ yang sudah ditentukan, misalnya orang gila (pasal 44 KUHP). Kalau ada si A mencuri barang milik si B, lalu si B memaafkan si A, maka hakim tetap berkewajiban menghukum si A sebab hukum pidana bukan hanya melindungi kepentingan privat tapi juga untuk menegakkan ketertiban publik. Jika mau memrivatisasi hukum pidana, ubah dulu asas dan aturannya! Lantas, apakah seorang presiden bekerja keras membesarkan negara itu merupakan ‘jasa’ ataukah ‘kewajiban’ hukumnya? Jangan-jangan kita tidak paham apa definisi ‘jasa’ dalam konteks soal Pak Harto?
Bukan hanya hukum yang tidak berdaulat, tapi pengelolaan sumber kekayaan alam Indonesia juga bergantung. Sejak Pak Harto melakukan liberalisasi ekonomi, Indonesia kehilangan kedaulatan ekonomi. Hutang itu biasa dalam ekonomi, tapi hutang luar negeri Indonesia membawa dampak masuknya kapital asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Konon, tak ada makan siang gratisan! Sayangnya bukan investor asing yang bermanfaat bagi Indonesia, tapi Indonesia dikuras habis. Ekonom pro-rakyat, mendiang Prof. Mubyarto (2005) mengatakan bahwa jumlah penghisapan produksi Indonesia oleh investasi partikelir rata-rata lebih dari 50 persen. Ekonomi Indonesia terlalu besar ‘memberi’ hasil kepada investor swasta, tapi ratusan juta rakyat Indonesia membagi kurang dari 50 persen hasil produksi kekayaan Indonesia. Itupun tidak rata, tersudut di simpul-simpul kekuasaan ekonomi. Pantas jika kemiskinan tetap ‘terpelihara.’ Lebih parah lagi, kegiatan usaha ekonomi itu menimbulkan kerugian ekologis yang ujung-ujungnya mengorbankan rakyat Indonesia yang menerima bencana kekeringan dan banjir serta longsor, mengoleksi berbagai macam penyakit, akibat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup mereka. Riilkah keberhasilan ekonomi Indonesia? Semu.
Ironis kalau dua per-tiga wilayah Indonesia lautan tapi rakyat nelayannya miskin. Sungguh absurd kalau negara agraris Indonesia tercekik harga kedelai dan bergantung impor kedelai dari Amerika Serikat (AS)? Malang benar rakyat Indonesia terjerat harga minyak goreng yang tinggi padahal tanah subur Indonesia dipenuhi pohon kelapa dan hutan gambut dihabiskan untuk perkebunan kelapa sawit? Apanya yang salah kalau anggaran Indonesia meringis kesakitan gara-gara meroketnya harga minyak dunia padahal Indonesia juga kaya migas? Tidak masuk akal. Itu karena Indonesia belum benar-benar memunyai kedaulatan. Lantas, bagaimana kita akan menghadapi globalisasi? Apakah kita sudah cukup puas sebagai bangsa jongos yang terhisap?
Kita harus me-negara-kan dulu Indonesia ini dengan cara merebut kembali kedaulatannya. Me-negara-kan Indonesia berarti membangun negara dengan melibatkan dan untuk tujuan rakyat Indonesia, secara berdaulat. Sudah waktunya Indonesia meninggalkan paradigma oligarki dalam pembangunan yang terbukti menjerembabkan Indonesia menjadi pecundang dalam persaingan regional (apalagi global?). Contoh sederhananya: Indonesia tak akan mampu merebut kembali Reog dari Malaysia tanpa ‘kehendak rakyat.’ Orde Baru memberi pondasi rapuh bagi Indonesia: mewariskan akumulasi hutang, meninggalkan kontrak-kontrak penanaman modal asing yang merugikan Indonesia, meninggalkan akibat buruk sektor pertanian akibat Revolusi Hijau meski pernah berhasil dengan swasembada pangan, menancapkan luka sejarah yang dalam, sehingga kita tak layak merindukan masa lalu itu sebab apa yang menimpa Indonesia saat ini juga akibat akumulasi ketidakbijakan pemerintahan Orde Baru.
Ke depan, globalisasi bisa menjadi air bah yang menenggelamkan Indonesia jika rakyat Indonesia lemah dan terbelah-belah, ketahanan pangan mereka rapuh, setiap tahun diburu bencana, ketidakadilan di mana-mana, penggusuran tanpa solusi, pendidikan diniagakan, narkoba meracuni di mana-mana, ekonominya digerogoti, lingkungannya dicemari dan dirusak, dan lain-lain. Bukanlah pembangunan jika hanya mengejar angka statistik tapi tidak mengurus satu persatu nasib orang Indonesia dalam persatuan Indonesia. Nggak tahu lagi kalau Indonesia ini hanya dijadikan ladang bisnis pribadi atau kelompok bagi para pengurusnya? Jika begitu, Indonesia tak akan pernah menjadi negara, sebab rakyat selalu kehilangan kedaulatan. Indonesia hanya menjadi (meminjam istilah Ben Anderson) ‘komunitas terbayang.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar