Penyidik Polda Jawa Timur pada acara 8 Maret 2007 itu menjelaskan telah memeriksa 59 orang saksi fakta, 16 ahli dan 13 tersangka. Barang bukti yang telah disita termasuk dokumen dan surat-surat (Production Sharing Contract, Drilling Program, Daily Drilling Report, instruksi kerja, Real Time Chart, survey seismic, perizinan, dokumen UKL-UPL, Pedoman Standard of Operation, kontrak kerja antara Lapindo dengan PT. Medici Citra Nusa (MCN) beserta sub kontraktornya dan lain-lain), 1 (satu) unit Rig beserta komponennya. Di luar itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menemukan bekas bor milik Lapindo di lokasi pertambangan migas Santos di Pasuruan, tapi ini tidak termasuk barang bukti yang disita penyidik.
Penyidik menemukan fakta bahwa eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong Sidoarjo mengalami peristiwa kick dan stuck di kedalaman 4.241 kaki. Di kedalaman 9.297 kaki terjadi lost. Dalam keadaan kick and lost, dilakukan penarikan bor ke atas. Tetapi malapetakan terjadi ketika formasi di bawah casing shoe di kedalaman 3580 kaki pecah akibat tekanan dari bawah yang berlebih. Penyidik menyimpulkan: “Pada 29 Mei 2006 telah terjadi semburan lumpur yang berada di + 200 m dari lokasi pemboran sumur Banjar Panji 1 di Ds. Reno Kenongo, Kec. Porong, Kab. Sidoarjo yang diduga akibat dari kesalahan dalam penanganan Lost dan Kick yang menimbulkan tekanan melebihi kemampuan casing shoe sehingga menyebabkan retak / pecahnya formasi dibawah casing shoe (kedalaman 3.580 ft) pada kegiatan pemboran sumur Banjar Panji 1 yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc beserta para subkontraktornya yang mengakibatkan terjadinya banjir lumpur dan kerusakan serta pencemaran terhadap lingkungan.” Kesimpulan itu bukan diperoleh dari theoritical proving, tapi fact evidence, sebab diperoleh dari keterangan para saksi pengeboran serta laporan pengeboran harian (daily drilling report). Penyidik mengatakan telah memeriksa ‘saksi kunci’ pelaksana pengeboran berkat informasi dari aktivis jurnalis dan Walhi.
Kepolisian memunyai data tentang tekanan selama pengeboran – sebagaimana juga dikatakan Prof. Rudi Rubiandini, ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) (Kompas, 23/1/2008) – hal mana data tersebut juga merupakan salah satu alat bukti fakta (fact evidence). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga punya surat dari Dinas Survei & Pemboran BP Migas yang dilampiri penjelasan tertulis dari Edi Sutriono (Senior Drilling Manager PT Energy Mega Persada, Tbk) yang menjelaskan bahwa proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki pada tanggal 28 Mei 2006 pagi telah menyebabkan well kick yang terlambat diantisipasi. Kick baru diidentifikasi pada kedalaman 4.241 kaki. Langkah penanganan dilakukan dengan menutup sumur dengan BOP (blow out preventer) dan selanjutnya membunuh kick dengan metode volumetric.
Silang pendapat
Pendapat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Selatan serta Kapolda Jawa Timur berbeda dengan hasil audit BPK yang dilaporkan 29 Mei 2007. Itu sekaligus menunjukkan adanya silang pendapat antarpengurus negara, meski BPK dalam laporan auditnya implisit menghormati proses hukum. BPK melaksanakan wewenangnya menurut UU No. 15/2006, dalam rangka audit kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat 3). (Hasil audit dapat dilihat dari www.bpk.go.id). Berkaitan dengan proses eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut diantaranya BPK menjelaskan fakta bahwa laporan harian pemboran (daily drilling report) menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan pekerjaan pemboran karena kerusakan dan perbaikan peralatan pemboran. Total hari perbaikan peralatan pemboran mencapai 667,9 jam atau kurang lebih 27 hari yang disebabkan suku cadang yang tersedia tidak memadai. Selain peralatan pemboran yang sering rusak, PT MCN (kontraktor pengeboran yang ditunjuk Lapindo) juga diduga menggunakan beberapa peralatan bekas, atau peralatan yang tidak memenuhi standar kualitas. Terjadi praktik kanibalisasi dan penggunaan suku cadang yang tidak asli antar mesin dan mud pump. PT MCN maupun subkontraktor penyedia drilling rig disimpulkan tidak memiliki kesiapan, peralatan dan personil yang memadai dalam melaksanakan pekerjaan pemboran Sumur BJP-1.
BPK juga menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di sekitar lokasi Sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang ditandatangani oleh Lapindo dan BP Migas menyebutkan, BP Migas maupun Lapindo sepakat bahwa semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Sumber semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu Formasi Shallow G-10 (overpressure zone) dan formasi Kujung (formasi batuan gamping) yang telah tertembus saat operasi pemboran berlangsung dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada. Laporan final Loss Adjuster Matthews Daniel tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis (rekahan).
Alat bukti faktual (fact evidence) kasus semburan lumpur Lapindo (yang diperoleh dari dokumen dan para saksi pihak Lapindo sendiri) membuktikan adanya kesalahan dalam proses eksplorasi yang mengakibatkan semburan. Alat bukti tersebut diperoleh dari factual proving, bukan sekedar theoritical proving. Sedangkan pendapat para ahli yang menghubungkan semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja atau pergeseran lempeng bumi, hanya bersifat hipotesis (belum mengarah pada kebenaran teori), tidak berdasarkan factual evidence. Para ahli yang ‘membela Lapindo’ itu mengabaikan fakta adanya kesalahan dalam proses eksplorasi. Logikanya sederhana: ahli geologi disuruh menjelaskan ‘kesalahan eksplorasi’ terang tidak bisa. Ahli pengeboran perminyakan juga tak akan tahu apakah penyebab semburan lumpur itu gempa atau bukan. Tapi para tenaga pelaksana pengeboran Lapindo mengetahui dan mengalami sendiri apa yang telah terjadi dalam eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut. Penyidik Polda Jawa Timur dan pemeriksa dari BPK telah meminta keterangan mereka beserta data-data proses pengeborannya. Apa lagi yang kurang?
Penegak hukum dalam kasus lumpur Lapindo itu sudah memunyai alat bukti lebih dari cukup, dan tidak seharusnya berkaca pada pendapat para ahli pembela Lapindo yang hanya bisa berhipotesis tapi bukan saksi fakta yang melakukan proses eksplorasi. Apalagi Indonesia yang semakin 'kaya' ahli yang menjadi prostitusi intelektual, menjajakan diri di ruang-ruang pengadilan karena permintaan korporasi atau orang berduit, bukan untuk kebenaran sejati.
Penegakan hukum tak hanya membentur perilaku korup penegak hukum sendiri, tapi juga para ahli penjaja diri yang merobohkan postulat dan prinsip keluhuran perikemanusiaan, hanya untuk keuntungan pribadi mereka. Jika generasi masa depan diberikan makan dari hasil kebohongan dan penjualan harga diri, mereka akan menjadi para pedagang diri. Ini benar-benar bangsa yang berlumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar