Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) dan pemerintah membentur tembok, digagalkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (18/12). Walhi menggugat NMR dan pemerintah, sebab ada dugaan pemerintah bersekongkol dengan NMR dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Buyat. Sebelumnya, Richard Ness, Direktur NMR dibebaskan hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado, 24 April 2007.
Kasus pencemaran lingkungan di Buyat tersebut berbau anyir. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sony Keraf menyatakan bahwa putusan PN Manado tersebut diduga merupakan hasil konspirasi antara NMR dengan pemerintah sebab NMR membayar 30 juta USD atau setara Rp 270 milyar kepada pemerintah, dengan syarat bahwa pemerintah mengakui tidak ada pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh NMR dan pemerintah tidak akan menggugat jika dikemudian hari terbukti ada pencemaran (Indosiar.com, 25/4/2007). Dana USD 30 juta tak otomatis masuk ke kas negara. NMR hanya menransfer USD 12 juta ke rekening penampung (escrow account) milik Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sisanya harus dicicil selama 10 tahun. Dana tersebut disepakati NMR dan pemerintah untuk keperluan pemulihan di kawasan Buyat (Jawa Pos, 1/5/2007).
Perjalanan kasus
Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menjelaskan bahwa kasus pencemaran Buyat oleh NMR diawali oleh pengaduan warga Dusun Buyat Pante, Bolaang Mongondow ke Mabes Polri di tahun 2004 ketika warga mengalami gangguan kesehatan diantaranya penyakit kulit (gatal-gatal), kejang-kejang, benjol-benjol, dan lumpuh selama beberapa bulan. 15 November 2004 pemerintah mengumumkan Teluk Buyat tercemar oleh tailing NMR. Dalam pemeriksaan pidananya Richard Ness ditetapkan menjadi tersangka.
Tanggal 9 Maret 2005, Kementerian Lingkungan Hidup RI mengerahkan 7 (tujuh) orang Jaksa Pengacara Negara dan 3 (tiga) advokat dari Kantor Widjojanto, Sonhadji & Associates untuk menggugat NMR melalui PN Jakarta Selatan dengan register perkara nomor 94/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel. Pemerintah menilai NMR telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mencemari lingkungan hidup. Disamping tindakan pemulihan, pemerintah menggugat NMR ganti kerugian materiil sebesar 117.680.000,- USD dan imateriil sebesar Rp. 150 miliar. Apa dalil alasan gugatan pemerintah kepada NMR?
Pertama, Pemerintah dalam gugatannya menyatakan NMR telah melakukan pembuangan limbah tailing tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana disyaratkan pasal 18 ayat (1) PP No. 19 / 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, terhitung sejak Pebruari 2001.
Kedua, berdasarkan hasil evaluasi laporan pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup pada triwulan III/2000 dan triwulan I, III dan IV/2001, serta triwulan I/2002 ditemukan fakta pelanggaran oleh NMR terhadap syarat mutu limbah yang dibuang ke media lingkungan hidup berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000. Mengenai detoksifikasi, tailing NMR sebelum dibuang ke laut juga mengandung logam berat (As, Fe, Cu, dan CN) di atas standar yang diizinkan menurut Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 tersebut.
Ketiga, Menteri Lingkungan Hidup telah melakukan evaluasi laporan periodik pelaksanaan RKL/RPL NMR triwulan I/1999 sampai dengan triwulan IV/2001 dan menemukan fakta diantaranya: hasil analisis kualitas air tanah pada sumur penduduk menunjukkan parameter kimiawi yang melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Lokasi ‘tercemar’ tersebut disebutkan dengan kode lokasi B.09, SP01, SP02, WB07, SW9, SW10, SW12, SW17, SW19, B, SP.
Keempat, Tim penanganan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok, Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara yang dibentuk Menteri Lingkungan Hidup dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 97/2005 (diubah dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 191/2004) yang melibatkan BPPT, Puslabfor Mabes Polri, akademisi dari UI, Unpad, IPB, serta Universitas Sam Ratulangi, setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas air sumur gali, udara, sedimen, bentos, plankton, phitoplankton dan ikan laut yang melebihi baku mutu lingkungan sehingga berakibat pada kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Tim Penanganan Kasus tersebut menemukan kadar Arsen total rata-rata pada ikan sebesar 1,37 mg/kg yang melebihi baku mutu kadar total Arsen yang ditetapkan Dirjen POM sebesar 1 mg/kg. Kandungan merkuri pada ikan yang dikonsumsi penduduk Desa Buyat Pante mengakibatkan asupan merkuri harian sebesar 82,82 % dari Tolerable Daily Intake (TDI) per-60 kg, sedangkan pada anak-anak berbobot badan 15 kg sebesar 80,98 % dari TDI. Tingginya kadar Arsen dan merkuri tersebut jika terus-menerus masuk terakumulasi dalam tubuh manusia tentu akan menimbulkan penyakit bagi manusia.
Dengan ‘transaksi’ 30 juta USD antara NMR dengan pemerintah tersebut maka gugatan pemerintah kepada NMR berhenti. Kasus publik yang menyangkut kepentingan rakyat berubah menjadi urusan ‘perdata privat’ antara pemerintah dengan NMR.
Tanggung jawab siapa?
Hakim PN Manado yang membebaskan Richard Ness dan NMR dalam kasus pidananya mengemukakan bahwa data pencemaran yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri berbeda dengan sejumlah data pengujian lain yang dilakukan sejumlah instansi penelitian nasional maupun internasional yang menyatakan bahwa konsentrasi logam di dalam air, biota dan tubuh manusia berada di bawah baku mutu yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Selain itu, hasil pengujian konsentrasi limbah tambang (tailing) yang dibuang ke laut bukan bahan beracun. Penempatan tailing di laut pada kedalaman 80 meter, tidak mengganggu termoklin dan selama ini tidak terbawa arus laut sehingga tidak mencemari perairaan. Soal tuduhan pembuangan tailing tanpa izin, sebelum beroperasi NMR telah membuat kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memuat pembuangan tailing ke laut, dan AMDAL tersebut telah disetujui pemerintah.
Hakim telah mengabaikan kenyataan materiil tentang penderitaan masyarakat akibat tercemarnya Buyat, sehingga putusan PN Manado tersebut telah menyimpang dari keadilan sosial dan moral (social and moral justice), disamping keadilan hukumnya sendiri (legal justice). Hukum kita dijalankan secara berputar-putar, membuat orang yang melihat menjadi pusing dan mual-mual. Mestinya sederhana saja, tinggal melihat adanya masyarakat korban dan mencari penyebabnya. Maka semakin banyaklah koleksi putusan pengadilan di negara ini yang ‘mendukung’ pencemaran dan perusakan ekologis. Dalam kasus pencemaran Buyat ini – dan kasus-kasus ekologis lainnya yang melibatkan para pemilik kapital – ternyata asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman Indonesia terpenjara dalam terali kekuasaan para pemilik kapital.
Mau tidak mau masyarakat Buyat Pante dan sekitarnya harus menyingkir dari kondisi lingkungan tempat tinggal mereka yang berbahaya, jika mereka tidak ingin mengalami derita karena penyakit degeneratif. Dengan adanya pembiaran oleh pemerintah seperti itu maka ada bentuk bentuk kesalahan dollus (kesengajaan). Jadi, kasus pencemaran Buyat bukan lagi sekedar menjadi kasus pidana lingkungan hidup, tetapi telah menjadi kasus pelanggaran HAM (violation of human rights). Di sana ada konspirasi kejahatan kemanusiaan. Komnas HAM harus turun tangan. Hanya sebuah negara konyol dan tolol yang tak dapat menemukan siapa pelaku kejahatan yang mengorbankan rakyatnya. Apakah pencemaran lingkungan hidup Buyat dan sekitarnya akan dianggap ‘bencana alam’ seperti kasus Lumpur Lapindo?
Kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran HAM yang menimbulkan korban rakyat tetap saja dapat bersembunyi di dalam ketiak persekongkolan kekuasaan. Pembangunan ekonomi yang bersifat kanibalistis, mengorbankan alam, menindas rakyat. Sementara forum hukum nasional juga terlalu gampang untuk tunduk dan terjajah pada kekuatan uang dan kekuasaan. Setiap hari negara ini menabung potensi-potensi bencana demi peningkatan statistik pertumbuhan ekonomi – di samping faktor-faktor pengayaan harta pribadi para pejabat - mengabaikan keselamatan rakyatnya. Innalillahi wainnailaihi roji’uun. (Subagyo)
Kasus pencemaran lingkungan di Buyat tersebut berbau anyir. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sony Keraf menyatakan bahwa putusan PN Manado tersebut diduga merupakan hasil konspirasi antara NMR dengan pemerintah sebab NMR membayar 30 juta USD atau setara Rp 270 milyar kepada pemerintah, dengan syarat bahwa pemerintah mengakui tidak ada pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh NMR dan pemerintah tidak akan menggugat jika dikemudian hari terbukti ada pencemaran (Indosiar.com, 25/4/2007). Dana USD 30 juta tak otomatis masuk ke kas negara. NMR hanya menransfer USD 12 juta ke rekening penampung (escrow account) milik Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sisanya harus dicicil selama 10 tahun. Dana tersebut disepakati NMR dan pemerintah untuk keperluan pemulihan di kawasan Buyat (Jawa Pos, 1/5/2007).
Perjalanan kasus
Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menjelaskan bahwa kasus pencemaran Buyat oleh NMR diawali oleh pengaduan warga Dusun Buyat Pante, Bolaang Mongondow ke Mabes Polri di tahun 2004 ketika warga mengalami gangguan kesehatan diantaranya penyakit kulit (gatal-gatal), kejang-kejang, benjol-benjol, dan lumpuh selama beberapa bulan. 15 November 2004 pemerintah mengumumkan Teluk Buyat tercemar oleh tailing NMR. Dalam pemeriksaan pidananya Richard Ness ditetapkan menjadi tersangka.
Tanggal 9 Maret 2005, Kementerian Lingkungan Hidup RI mengerahkan 7 (tujuh) orang Jaksa Pengacara Negara dan 3 (tiga) advokat dari Kantor Widjojanto, Sonhadji & Associates untuk menggugat NMR melalui PN Jakarta Selatan dengan register perkara nomor 94/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel. Pemerintah menilai NMR telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mencemari lingkungan hidup. Disamping tindakan pemulihan, pemerintah menggugat NMR ganti kerugian materiil sebesar 117.680.000,- USD dan imateriil sebesar Rp. 150 miliar. Apa dalil alasan gugatan pemerintah kepada NMR?
Pertama, Pemerintah dalam gugatannya menyatakan NMR telah melakukan pembuangan limbah tailing tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana disyaratkan pasal 18 ayat (1) PP No. 19 / 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, terhitung sejak Pebruari 2001.
Kedua, berdasarkan hasil evaluasi laporan pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup pada triwulan III/2000 dan triwulan I, III dan IV/2001, serta triwulan I/2002 ditemukan fakta pelanggaran oleh NMR terhadap syarat mutu limbah yang dibuang ke media lingkungan hidup berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000. Mengenai detoksifikasi, tailing NMR sebelum dibuang ke laut juga mengandung logam berat (As, Fe, Cu, dan CN) di atas standar yang diizinkan menurut Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 tersebut.
Ketiga, Menteri Lingkungan Hidup telah melakukan evaluasi laporan periodik pelaksanaan RKL/RPL NMR triwulan I/1999 sampai dengan triwulan IV/2001 dan menemukan fakta diantaranya: hasil analisis kualitas air tanah pada sumur penduduk menunjukkan parameter kimiawi yang melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Lokasi ‘tercemar’ tersebut disebutkan dengan kode lokasi B.09, SP01, SP02, WB07, SW9, SW10, SW12, SW17, SW19, B, SP.
Keempat, Tim penanganan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok, Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara yang dibentuk Menteri Lingkungan Hidup dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 97/2005 (diubah dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 191/2004) yang melibatkan BPPT, Puslabfor Mabes Polri, akademisi dari UI, Unpad, IPB, serta Universitas Sam Ratulangi, setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas air sumur gali, udara, sedimen, bentos, plankton, phitoplankton dan ikan laut yang melebihi baku mutu lingkungan sehingga berakibat pada kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Tim Penanganan Kasus tersebut menemukan kadar Arsen total rata-rata pada ikan sebesar 1,37 mg/kg yang melebihi baku mutu kadar total Arsen yang ditetapkan Dirjen POM sebesar 1 mg/kg. Kandungan merkuri pada ikan yang dikonsumsi penduduk Desa Buyat Pante mengakibatkan asupan merkuri harian sebesar 82,82 % dari Tolerable Daily Intake (TDI) per-60 kg, sedangkan pada anak-anak berbobot badan 15 kg sebesar 80,98 % dari TDI. Tingginya kadar Arsen dan merkuri tersebut jika terus-menerus masuk terakumulasi dalam tubuh manusia tentu akan menimbulkan penyakit bagi manusia.
Dengan ‘transaksi’ 30 juta USD antara NMR dengan pemerintah tersebut maka gugatan pemerintah kepada NMR berhenti. Kasus publik yang menyangkut kepentingan rakyat berubah menjadi urusan ‘perdata privat’ antara pemerintah dengan NMR.
Tanggung jawab siapa?
Hakim PN Manado yang membebaskan Richard Ness dan NMR dalam kasus pidananya mengemukakan bahwa data pencemaran yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri berbeda dengan sejumlah data pengujian lain yang dilakukan sejumlah instansi penelitian nasional maupun internasional yang menyatakan bahwa konsentrasi logam di dalam air, biota dan tubuh manusia berada di bawah baku mutu yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Selain itu, hasil pengujian konsentrasi limbah tambang (tailing) yang dibuang ke laut bukan bahan beracun. Penempatan tailing di laut pada kedalaman 80 meter, tidak mengganggu termoklin dan selama ini tidak terbawa arus laut sehingga tidak mencemari perairaan. Soal tuduhan pembuangan tailing tanpa izin, sebelum beroperasi NMR telah membuat kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memuat pembuangan tailing ke laut, dan AMDAL tersebut telah disetujui pemerintah.
Hakim telah mengabaikan kenyataan materiil tentang penderitaan masyarakat akibat tercemarnya Buyat, sehingga putusan PN Manado tersebut telah menyimpang dari keadilan sosial dan moral (social and moral justice), disamping keadilan hukumnya sendiri (legal justice). Hukum kita dijalankan secara berputar-putar, membuat orang yang melihat menjadi pusing dan mual-mual. Mestinya sederhana saja, tinggal melihat adanya masyarakat korban dan mencari penyebabnya. Maka semakin banyaklah koleksi putusan pengadilan di negara ini yang ‘mendukung’ pencemaran dan perusakan ekologis. Dalam kasus pencemaran Buyat ini – dan kasus-kasus ekologis lainnya yang melibatkan para pemilik kapital – ternyata asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman Indonesia terpenjara dalam terali kekuasaan para pemilik kapital.
Mau tidak mau masyarakat Buyat Pante dan sekitarnya harus menyingkir dari kondisi lingkungan tempat tinggal mereka yang berbahaya, jika mereka tidak ingin mengalami derita karena penyakit degeneratif. Dengan adanya pembiaran oleh pemerintah seperti itu maka ada bentuk bentuk kesalahan dollus (kesengajaan). Jadi, kasus pencemaran Buyat bukan lagi sekedar menjadi kasus pidana lingkungan hidup, tetapi telah menjadi kasus pelanggaran HAM (violation of human rights). Di sana ada konspirasi kejahatan kemanusiaan. Komnas HAM harus turun tangan. Hanya sebuah negara konyol dan tolol yang tak dapat menemukan siapa pelaku kejahatan yang mengorbankan rakyatnya. Apakah pencemaran lingkungan hidup Buyat dan sekitarnya akan dianggap ‘bencana alam’ seperti kasus Lumpur Lapindo?
Kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran HAM yang menimbulkan korban rakyat tetap saja dapat bersembunyi di dalam ketiak persekongkolan kekuasaan. Pembangunan ekonomi yang bersifat kanibalistis, mengorbankan alam, menindas rakyat. Sementara forum hukum nasional juga terlalu gampang untuk tunduk dan terjajah pada kekuatan uang dan kekuasaan. Setiap hari negara ini menabung potensi-potensi bencana demi peningkatan statistik pertumbuhan ekonomi – di samping faktor-faktor pengayaan harta pribadi para pejabat - mengabaikan keselamatan rakyatnya. Innalillahi wainnailaihi roji’uun. (Subagyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar