Turut berduka juga atas kematian Indonesia yang masih sulit dihidupkan dengan tirta perwitasari. Indonesia terdiam menyaksikan darah-darah yang tertumpah ruah menggenang di persadanya, atas penikaman keris Empu Gandring yang bermetamorfosis dalam senapan para prajurit Indonesia atas perintah Arok dan Senopati yang dirundung kecurigaan dan kekhawatiran terancamnya kekuasaan.
Kita berkabung, bukan atas kematian Pak Harto sebab Pak Harto juga manusia seperti almarhum Munir, Wiji Thukul, Marsinah, Udin, Mbok Sami, Pak Sakip, Mbah Marto, Mbah Muni, Suleman, Mat Rajab, Wayan Asta, La Amin, Wa Salimah, Mathius Womba dan lain-lain yang tak memerlukan pengibaran bendera setengah tiang. Kita berkabung atas kematian demokrasi Indonesia yang belum juga hidup kembali, sejak tahun 1950-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar