Artikel Mochamad Toha (MT), watawan Forum Keadilan, yang dimuat Jawa Pos (3/1/2008) berjudul ‘Vonis Perdata Sama dengan Bebaskan Lapindo?’ ( bisa dilihat di: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=319856 ). MT menjawab judul artikelnya itu pada pokoknya sebagai berikut: (1) Vonis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (27/12/2007) yang menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) bisa menjadi amunisi ‘status hukum’ Lapindo dalam kasus semburan lumpur. Lapindo bisa ‘terbebas’ dari segala kewajiban akibat dampak semburan lumpur. (2) Dua vonis perdata (PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan) yang menolak gugatan YLBHI dan Walhi memerkuat posisi Lapindo di mata hukum. (3) Hak-hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) korban semburan lumpur Lapindo telah dipenuhi dengan bantuan Lapindo kepada korban berupa bantuan sewa rumah, uang pindah, jatah hidup, biaya pendidikan dan kesehatan, relokasi 10 pabrik, bantuan usaha 306 UKM, perjanjian jual-beli, bantuan pekerja, sewa tanah gagal panen, transaksi ‘ganti untung’ lahan warga korban, biaya penanganan teknis dan nonteknis. Kita disuruh menghitung sendiri jumlahnya. Juga dikeluarkan Kepres No. 13/2006 dan Perpres No. 14/2007 untuk penanganan semburan.
(4) Gugatan Walhi dan YLBHI dianggap tidak mendasar dengan melihat fakta dan semua proses penanganan semburan lumpur, tak ada yang bisa memastikan bahwa semburan lumpur itu berasal dari sumur Lapindo, sehingga wajar hakim menolak gugatan Walhi dan YLBHI. (5) Upaya penutupan semburan lumpur yang dilakukan selalu gagal, mengartian bahwa sumber semburan bukan dari Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1). (6) Konsekuensi vonis hakim tersebut Lapindo bisa lepas dari tuntutan perdata. (7) Secara pidana polisi cuma bergantung pada progress report Lapindo, sebab tempat kejadian perkara (TKP) sudah rusak, sehingga jaksa dan hakim pun tidak mungkin bisa sidang di TKP. (8) Dengan vonis hakim tersebut Lapindo bisa menuntut balik, harta Aburizal Bakrie senilai Rp. 50,22 triliun pun tak berkurang. “Mau?” tanya MT.
Keliru
Di level permukaan dasar-dasar ilmu, termasuk ilmu hukumnya MT sudah keliru, apalagi untuk masuk ke kedalamannya. Pertama, penggunaan istilah ‘tuntutan’ dalam upaya hukum perdata adalah tidak tepat. Sejak berlakunya KUHAP yang menggunakan istilah yuridis ‘tuntutan’ yang menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum maka istilah ‘tuntutan’ dalam hukum perdata dibiasakan (dilazimkan) dengan ‘gugatan’. Itu sudah menjadi istilah yuridis. Jika terjemahan BW (KUHPerdata) ataupun HIR dalam Bahasa Indonesia masih menggunakan istilah ‘tuntutan’ maka perlu dikoreksi.
Kedua, MT menganggap ‘bantuan’ Lapindo kepada korban sebagai pelaksanaan hak ekosob. Itu keliru besar. Bantuan Lapindo itu tidak mengikat secara hukum. Perbuatan ‘memberikan bantuan’ bukan kewajiban hukum, tapi bisa menjadi kewajiban moral. Kami berterima kasih atas ‘bantuan’ Lapindo itu kepada warga korban. Tapi bantuan tak menghilangkan pertanggngjawaban hukum. Di samping itu, hak ekosob itu merupakan bagian hak asasi manusia (HAM). Kalau warga korban memunyai ‘hak’ ekosob maka di pihak lain ada yang memunyai ‘kewajiban’ memenuhi hak ekosob. Dalam UUD 1945 (yang telah diamandemen) pihak yang berkewajiban memenuhi, memajukan dan menegakkan HAM adalah negara, terutama pemerintah (pasal 28 I ayat 4). Jadi, kalau ‘bantuan’ diopinikan sebagai pemenuhan HAM (hak ekosob), itu akrobat. Mungkin belum begitu paham soal HAM, atau ada apa?
Ketiga, putusan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan yang ‘memenangkan’ Lapindo belum memunyai akibat hukum apapun kalau YLBHI dan Walhi mengajukan upaya banding. Itu berkaitan dengan asas hukum acara perdata. Maka, keliru besar jika putusan pengadilan pertama yang belum memunyai kekuatan hukum tetap itu dianggap dapat menjadi amunisi, alat pembebas Lapindo, memerkuat posisi hukum Lapindo di mata hukum. Jika dilakukan upaya hukum sesuai dengan prosedur hukum yang tersedia (banding atau kasasi) maka sebuah putusan pengadilan tingkat pertama menjadi belum berkekuatan hukum tetap, dianggap ‘mentah.’ Mahasiswa Fakultas Hukum semester IV paham soal begitu. Pendapat MT seperti itu hanya akrobat, bisa ‘menyihir’ pemahaman sosial tentang hukum, terutama yang masih awam hukum.
Keempat, soal penanganan kasus pidananya, MT tidak harus seolah-olah menganggap polisi (penyidik) tolol hanya mengandalkan progress report Lapindo. Kami sudah pernah bertemu dengan Tim Penyidik Polda Jatim, mereka sudah bekerja keras, alat-alat buktinya sangat lengkap, termasuk melakukan pemeriksaan barang-barang bukti serta dokumen-dokumen yang tak terakses para ahli yang dipakai Lapindo. Dalam hukum acara pidana tak ada kewajiban bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara di TKP. Akibat kasus semburan lumpur itu sudah menjadi ‘pengetahuan umum.’ Penyidik sudah melimpahkan kasus itu ke Kejaksaa Tinggi Jawa Timur beberapa kali, selalu dikembalikan. Alasannya, pendapat ahli dari Lapindo berbeda dengan pendapat ahli lainnya. Lha iya, itu biasa. Para koruptor untuk membebaskan diri juga mengajukan keterangan ahli, tapi perkaranya tetap bisa jalan kan?
Kelima, soal ilmu teknik berkaitan dengan apakah semburan itu akibat kesalahan Lapindo atau bencana alam maka saya tidak berkompeten untuk menjelaskan karena bukan ahlinya. Nanti bisa keliru. MT juga bukan ahli petrolium geologis. Jadi, untuk menjelaskan soal itu saya harus ‘meminjam hasil penelitian’ ahli yang memunyai kompetensi keilmuan di bidang tersebut.
Kalkulasi alat bukti
Saya akan khusus membahas tentang apakah di pengadilan terbukti bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan eksplorasi yang menjadi tanggung jawab Lapindo. Ukurannya adalah standar degree of evidence dalam hukum acara perdata, sebab gugatan YLBHI (soal HAM) dan Walhi (soal lingkungan hidup) menggunakan hukum perdata.
Kalau YLBHI dan Walhi (selaku penggugat) mengajukan alat bukti surat berupa Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan eksplorasi maka alat bukti tersebut adalah termasuk akte otentik yang memunyai kekuatan hukum sempurna dan mengikat (pasal 1870 KUHperdata). Batas minimal pembuktian dengan akte otentik adalah cukup satu akte otentik itu sendiri (baca juga Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Gugatan – Putusan Pengadilan, 2007: 546).
Apakah hasil audit BPK itu memang tergolong akte otentik? Ukuran dasarnya pasal 1868 KUHPerdata, yaitu akte yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akte dibuat. Pejabat BPK jelas masuk kategori pejabat yang berwenang. Bentuk hasil kerjanya ditentukan UU No. 15/2006 tentang BPK. Tapi apa BPK berwenang menyimpulkan Lapindo melakukan kesalahan dalam eksplorasi?
Lapindo merupakan kontraktor production sharing (KPS) Blok Brantas yang menurut sistem UU No. 22/2001 tentang Migas mengelola ‘kekayaan negara’ (migas) sehingga BPK berwenang mengaudit KPS, sesuai fungsi BPK menurut UU No. 15/2006 dan dalam rangka audit tersebut BPK juga berwenang mengaudit kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat 3). Bagi BPK, menyimpulkan salah atau tidaknya Lapindo dalam kasus semburan lumpur itu penting untuk keperluan kebijakan pemerintah, apakah nantinya uang yang akan dikeluarkan untuk menanggulangi masalah itu uang Lapindo atau uang negara. Kalau hasil audit BPK menyimpulkan Lapindo salah dalam kinerjanya maka itu menjadi tanggung jawab finansial Lapindo. Jadi, hasil audit BPK dalam kasus semburan lumpur itu tergolong akte otentik.
Nah, hanya dengan alat bukti hasil audit BPK tersebut maka secara hukum terbukti bahwa Lapindo bersalah. Lantas bagaimana hakim kok memihak Lapindo berdasarkan keterangan ahli yang diajukan Lapindo? Dalam hukum acara perdata, keterangan ahli (orang awam hukum menyebut saksi ahli) itu bukan alat bukti. Lihat pasal 164 HIR dan pasal 1866 KUHPerdata, di sana tidak mencantumkan ‘keterangan ahli’ sebagai alat bukti. Keterangan ahli tersebut bisa dalam bentuk tulisan atau lisan, tapi harus disumpah. Cara menilai kekuatan pembuktiannya tidak bisa berdiri sendiri sebab keterangan ahli bukan alat bukti, tapi hanya berfungsi ‘menjelaskan’ duduk perkara. Lapindo tidak memunyai alat bukti kecuali hasil analisis para ahli termasuk penelitian laboratorium. Bukankah hasil audit BPK juga termasuk keteragan ahli? Ya, tapi keterangan ahli yang dipakai BPK berada di konteks penelitian, tapi dokumen hasil audit BPK sudah menjadi akte otentik.
Apalagi keterangan ahli yang diajukan Lapindo berlawanan dengan keterangan ahli yang diajukan YLBHI dan Walhi sehingga posisi kekuatan hukum keterangan ahli pihak penggugat dengan tergugat menjadi ‘meragukan’. Akhirnya, hakim seharusnya terikat dengan alat bukti akte otentik, hasil audit BPK tersebut. Jadi, kalau hakim menggunakan keterangan ahli dari Lapindo sebagai alat bukti yang ‘menentukan perkara’ maka hakimnya harus belajar lebih banyak soal penerapan Teori Pembuktian. Atau, ada sesuatu lain yang membuatnya menjadi begitu, seperti kata Djoko Sarwoko, pejabat MA, bahwa 90 persen hakim Indonesia korup? (Jawa Pos, 6/12/2007).
Risiko KPS
Di luar perdebatan soal kesalahan Lapindo, orang hukum melupakan prinsip yang dianut dalam UU No. 22/2001. Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 menentukan bahwa kontrak kerjasama kegiatan usaha hulu migas harus menentukan syarat ditanggungnya modal dan risiko oleh pelaku usaha. Istilah ‘risiko’ dalam UU No. 22/2001 tersebut tidak bicara soal kesalahan, tapi yang jelas semburan lumpur tersebut berada dalam ‘kawasan risiko’ Blok Brantas. Definisi ‘risiko’ dalam doktrin Hukum Perikatan (menurut Prof. Subekti) ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Subekti juga berpendapat bahwa kata ‘risiko’ berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian (Subekti, 1982: 144). Lihat juga definisi di kamus-kamus hukum.
Penjelasan pasal 6 ayat (2) UU No. 22/2001 tersebut juga memuat penjelasan: “Modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap adalah bahwa dalam Kontrak Kerja Sama ini Pemerintah melalui Badan Pelaksana berdasarkan Undang-undang ini tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan investasi dan menanggung risiko finansial dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama.” Kalau soal risiko tersebut dikaitkan dengan kesalahan Lapindo dalam kasus semburan lumpur tersebut (sesuai hasil audit BPK) maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberanikan diri menjadi ‘pagar’ pembatas tanggung jawab Lapindo dan induk korporasinya dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Kelak bisa ada implikasi hukumnya, sebab menabrak prinsip penanggungan risiko oleh Lapindo selaku KPS di Blok Brantas.
Jadi, dengan bekal UU No. 22/2001 yang konon ‘pesanan asing’ itu, apakah semburan lumpur itu karena ‘perbuatan Tuhan’ (bencana alam) atau perbuatan sub-sub kontraktor dari kontraktor yang ditunjuk Lapindo, maka Lapindo tetap menanggung seluruh risikonya. Jika itu dianggap apes juga tidak, sebab katanya harta Aburizal Bakrie (yang lebih tepat: ‘keluarga’ Bakrie) sebesar Rp. 50,22 triliun, yang juga termasuk diperoleh dari menambang kekayaan rakyat Indonesia.
Mudah-mudahan penjelasan ini bisa menyadarkan yang membaca bahwa pemain akrobat itu kadang-kadang membahayakan masyarakat ‘konsumen’ akrobat. Minimal, agar tidak tergelincir dalam memahami ilmu hukum dan HAM.
Tolong juga kalau analisis ini keliru juga dibetulkan agar tidak tergelincir!
Beberapa ahli yang ‘dipakai’ Lapindo:
1. Ir Agus Guntoro, dosen Teknik Geologi Universitas Trisakti menerangkan bahwa fenomena Lumpur Sidoarjo merupakan mud volcano yang murni akibat aktivitas alam, tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Kejadian itu menurut Agus tidak ada kaitannya dengan aktivitas pengeboran oleh Lapindo, melainkan dipicu oleh gempa Yogyakarta 27 Mei 2006.
2. Prof Dr Ir Sukandar Asikin, PhD, guru besar Teknik Geologi ITB. Dengan memaparkan teori tentang fenomena pergerakan lempeng benua – sesuai keahliannya sebagai pakar tektonik – Asikin mengarahkan pendapatnya bahwa peristiwa Lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh gempa Yogyakarta.
3. Sofyan Hadi Djojopranoto, saksi ahli ketiga, yang juga merupakan Deputi Bidang Operasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), staf ahli riset ITS. Sofyan juga sependapat dengan para saksi ahli sebelumnya bahwa Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh aktivitas tektonik
4. Dr. Dodi Nawangsidi dari Teknik Perminyakan ITB, ahli di bidang pengeboran (drilling). Dodi mengakui ketidaksesuaian drilling dengan perencanaan, tapi hal ini dianggap wajar. Dodi membuat perumpamaan, “Jika naik mobil dari Bandung ke Jakarta, di awal sudah direncanakan jam segini nyampai Puncak, dalam kenyataannya bisa tidak sesuai…”
5. Prof. Agoes Sugianto ahli ekotoksikologi dari Fakultas MIPA Universitas Airlangga Surabaya. Agus mengatakan punya teman dari Puslitbang Geologi Kelautan, dia bilang lumpur Sidoarjo malah bisa dipakai untuk spa, bisa menyembuhkan penyakit.
( juga ada di: http://walhicourtcase.wordpress.com ).
Ahli yang diajukan Walhi di pengadilan:
1. Dr Rudi Rubiandini, ahli pertambangan ITB, mantan Ketua Tim Investigasi Independen yang dibentuk pemerintah yang meneliti kasus semburan lumpur Lapindo. Rudi telah membantah semburan lumpur Lapindo itu bukan fenomena alam belaka.
2. Ahli lainnya frustasi, tidak jadi memberikan keterangan karena dipersulit hakim beberapa kali.