Selasa, 13 Mei 2008

Belajar Kejam Dari Penguasa

Minggu, 11 Mei 2008, ketika terik matahari masih tersisa, sekitar jam 15.00, kami naik motor ke Terminal Bunder Gresik. Di sana sudah menunggu seorang kawan. Sudah sore, sewaktu bus kami dari terminal Bunder Gresik mulai berangkat ke Bojonegoro. Seperti biasa, beberapa pengamen mulai bergiliran mengibur para penumpang di dalam bus yang penuh menempuh jalan yang panas. Tiba giliran seorang pengamen kecil sekitar 9 tahun menyanyikan lagu dengan suara sumbang, seperti semakin sumbangnya suara jalanan yang membincangkan soal kehidupan negara yang tak kunjung merdu. Suara-suara yang hanya menjadi suara yang dianggap sampah, tak pernah dihargai para pengurus negara. Hidup semakin berjejalan, disesaki oleh kebisingan kecurangan serta penindasan di mana-mana. Seolah ini kehidupan babar, seperti dongeng dari Abad Kegelapan.

Tiba di terminal Rajegwesi Bojonegoro sudah melewati maghrib. Bahkan waktu tersita menunggu jemputan kawan yang berjanji akan menjemput kami. Setelah melewati jam tujuh malam, ia datang dengan senyum bekas ketiduran. Kami maklum.


Kami bergegas bertemu dengan kawan-kawan jaringan di tempat yang telah disepakati, dekat gedung DPRD Bojonegoro. Diskusi dimulai, mengalir bebas dan sulit terhenti, seperti air dari sumber yang dilindungi oleh lebatnya kehijauan hutan di negara Mimpi. Bukan di negeri ini yang mulai kehabisan sumber nurani sehingga menghancurkan berjuta-juta hektar hutan yang melindungi. Akhirnya aliansi menyepakati agar masing-masing organisasi membuat kertas kerja agar nantinya dipertemukan sebagai bahan untuk ‘bagi tugas.’


Dalam diskusi malam yang sesekali dikejutkan suara deru knalpot motor anak-anak muda kota Bojonegoro itu, ada banyak konklusi strategi, tentang bagaimana untuk menemami perjuangan para penduduk sekitar hutan di Jawa yang tetap miskin dan bahkan menjadi korban penindasan Perhutani selaku monopolis hutan di Jawa, menguasai 3,6 juta hektar hutan dari wilayah daratan Jawa yang sekitar 12,5 juta hektar ini.


Seperti pula yang dialami sekelompok penduduk Desa Babad Kidul dan Desa Pejok Bojonegoro yang sedang mencari rencek, diberondong senapan semi otomatis oleh Mantri Perhutani yang bernama Supriyanto (33) di Alas Jati Sekidang, Desa Bareng, Sugihwaras, Bojonegoro pada Rabu, 23 April 2008 sekitar jam 13.00. Dalam peristiwa itu Bambang Sutejo (30) warga Desa Babad Idul dan Sucipto (33), warga Desa Pejok, meninggal dunia tertempus peluru Perhutani yang dibeli dari kekayaan rakyat sendiri. Sedangkan Suprayitno alias Yudono (40) penduduk Desa Babad Kidul terkena peluru di pelipis kanannya. Perhutani membeli senjata api dan peluru dari kekayaan negara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi nyatanya digunakan untuk mencelakai dan membunuh rakyat. Kesejahteraan rakyat masih tetap menjadi mimpi.


Diskusi kami akhiri sekitar jam 24.30 WIB. Usulku untuk tidur di masjid ditolak oleh bisik angin malam kota Bojonegoro yang mulai dingin. Akhirnya kami tidur di rumah kawan kami di Bojonegoro.


Esoknya, 12 Mei 2008, kami berangkat ke Dusun Kalikunci, Desa Pejok, Kecamatan Kedungadem. Dari Kota Bojonegoro kami diantar seorang kawan dengan mobilnya. Sampai di Desa mana ya, lupa, kami berganti kendaraan, dipinjami sepeda motor oleh kawan-kawan di desa itu.


Jalan menuju Dusun Kalikunci memang panjang, berliku, sedikit naik-turun dan berbatu. Ada kawan yang mengeluh bokongnya gemetaran. Benar-benar wilayah yang tertinggal. Di sepanjang jalan tampak rumah-rumah papan kayu jati yang sangat sederhana, bahkan ada yang miring.


Sampailah kami di Dusun Kalikunci yang terpencil itu. Di sana kami bertemu dengan para penduduk. Ada juga Pak Kepolo Dusun. Kami berusaha membuka tanggul-tanggul kemasgulan perasaan seluruh warga yang berkumpul di situ, agar mereka mencurahkan segala perasaan dan beban derita yang mereka alami sebagai penduduk di sekitar hutan jati yang tertimpa masalah itu.


Kami berusaha menguatkan semangat dan mengembalikan perasaan traumatik mereka, terutama Ibu Sucipto yang ditinggal mati suaminya akibat peluru Perhutani itu. Sedangkan Ibu Bambang Sutejo katanya masih belum diberitahu, dijauhkan dari desanya, ke tempat jauh, agar tidak lebih dulu mendengar berita kematian suaminya di tangan kejam pegawai Perhutani itu. “Entah apa yang akan terjadi jika isteri Mas Bambang tahu suaminya meninggal Mas. Ia mungkin lebih tidak siap,” kata salah seorang warga. Kami merasakan hawa kesedihan yang mendalam. Derita kemiskinan mereka masih harus ditambah kematian yang tak terduga itu.


Kami katakan siap membantu, memberikan bantuan hukum gratis kepada para korban kekejaman Perhutani itu, jika mereka hendak menggugat Perhutani. Kami memberikan secukupnya bekal pengetahuan tentang hutan, hukum kehutanan, dan hak-hak hukum serta asasi para penduduk yang hidup di sekitar dan dalam hutan. Bahwa Perhutani adalah sebuah contoh tirani dan monopolis hutan di Jawa. Hukum Kehutanan melarang monopoli, tapi monopoli tetap terjadi. Rakyat yang diberi hak untuk turut memanfaatkan hasil hutan dihadang dengan monopoli dan kesulitan Hukum Administrasi Negara yang tidak memihak rakyat, tapi malah menjadi sarana kriminalisasi terhadap rakyat kecil. Mengambil rencek dianggap penjahat. Membawa alat pemotong kayu di dalam hutan dianggap penjahat. Menggembala ternak di dalam hutan dianggap penjahat. Lalu para penduduk kecil dan lemah itu diburu dan ditembaki, diperlakukan seperti ternak hutan. Tapi penguasa, termasuk penguasa modal, yang merampok hak-hak rakyat dan meracuni dan membunuhi penduduk dianggap pahlawan ekonomi. Sungguh kita hidup di wilayah barbar yang terlalu jauh untuk disebut sebagai negara.


Rakyat kecil telah diajari cara-cara menumpahkan darah. Anak-anak kaum miskin dijejali dendam kesumat atas terbunuhnya para orang tua mereka oleh peluru dan pentungan para penguasa negara. Indonesia telah merangkai spiral kekerasan yang akan sulit ditemui ujungnya. Sekali lagi kita bertanya: apa sesungguhnya fungsi negara yang telah mencelakai dan merampas jiwa rakyatnya? Derita penduduk sekitar hutan Bojonegoro itu hanyalah satu fakta dari berjuta fakta akibat arogansi kekuasaan yang hanya mahir dalam ritual tapi kehilangan kemurnian substansi hidup dan kemanusiaan. Kami berusaha memutus spiral kekerasan. Kami berusaha menutup katup dendam kesumat. Kami mencoba memotong rantai belenggu ketertindasan itu. Dengan edukasi sosial. Semoga anak keturunan para penduduk yang tertindas itu dapat mengambil tongkat kekuasaan dari para tiran babar, mengubah negara ini menjadi lebih santun dan peduli kepada rakyatnya yang sejak lama disepakati sebagai pemegang kedaulatan negara.


Kami pulang sore, setelah Maghrib, berangkat dari Terminal Bojonegoro menuju Surabaya. Para pengamen bus tetap menyanyikan lagu-lagu dengan setia, sebagai cara untuk mendapatkan uang, meski recehan, sebagai hiasan-hiasan diantara miliaran US dollar kekayaan Bojonegoro yang dikelola para pemodal asing.


Dari Terminal Bunder Gresik kami naik motor ke Surabaya. Sudah sekitar jam 21.00 WIB ketika ban motor kami bocor, lalu ditambalkan di Jalan Darmokali Surabaya. Kami menunggu tukang tambal ban bekerja, sambil menikmati perjalanan malam yang lelah itu dengan minum es jeruk. Perjalanan selanjutnya sampai ke rumah tak perlu kami ceritakan. Yang jelas malam itu kami tak sempat untuk memimpikan sesuatu dalam tidur. Sebab, di siang haripun kami tetap hidup di negeri mimpi. Apakah kami harus bermimpi dalam keadaan bermimpi?


1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah bagus sekali, saya senang membacanya. Salam kenal