Tirani modern merupakan tirani kapital, di mana kebanyakan kekuasaan negara, termasuk militer dan polisi, serta otoritas agama, akademik dan kebudayaan, tunduk kepadanya.
Kamis, 27 Maret 2008
Pesta Korupsi
Minggu, 23 Maret 2008
Misteri Defisit APBN dan Energi
Keadilan subsidi
Kita tentu ingat di awal-awal 2005 ada gerakan para ahli ekonomi untuk memerjuangkan pengurangan subsidi BBM. Masyarakat miskin akan diberikan dana kompensasi pengurangan subsidi BBM. Para ahli itu memrediksi, dana kompensasi itu akan menurunkan tingkat kemiskinan sampai dengan 13,87 persen. Resep tersebut dijalankan pemerintah, dan ternyata berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan tahun 2005 sebesar 15,97 persen (dari seluruh penduduk Indonesia) ‘berhasil naik’ menjadi 17,75 persen per-Maret 2006. Salah prediksi atau salah diagnosa?
Program pemberian dana kompensasi pengurangan subsidi BBM dalam bentuk raskin (beras miskin) banyak dikorupsi di saentero Nusantara. Sedangkan bantuan tunai langsung (BLT) dianggap tidak efektif, akhirnya diubah pemerintah dalam bentuk dana pemberdayaan masyarakat miskin. Tapi hingga kini rakyat miskin tetap tak berdaya. Apalagi ditambahi bencana banjir dan longsor bertubi-tubi akibat perusakan lingkungan hidup, terutama rusaknya hutan dan konversi lahan untuk lebih banyak menambah kekayaan orang kaya.
Soal subsidi BBM, saya setuju dihapus bagi penduduk kaya. Orang miskin harus tetap disubsidi. Itu bagian fungsi didirikannya negara, untuk mengatasi ketidakpastian sosial, termasuk kemiskinan. Dalam soal subsidi, ekonom Joseph E Stiglitz mengolok-olok kita: katanya sapi Eropa lebih beruntung dibandingkan penduduk miskin Indonesia sebab sapi Eropa mendapatkan subsidi lebih besar. Dari segi kekayaan alam, Indonesia lebih kaya dari Eropa, sehingga Eropa datang menjajah Indonesia. Sapi Eropa makan subsidi dari negara yang bisa jadi juga dari hasil menghisap Indonesia. Tapi lantas sapi Eropa dibuat kornet dan diimpor Indonesia, dimakan rakyat Indonesia (yang mampu beli). Tetap saja sapi Eropa lebih beruntung: untung tidak dimakan rakyat miskin Indonesia.
Masih soal subsidi. Almarhum Prof. Mubyarto guru besar ekonomi UGM dalam Ekonomi Terjajah (2005) mengatakan: waktu itu (tahun 2005) semua tokoh kita tahu bahwa dalam APBN terdapat pos pengeluaran sebesar Rp. 60 triliun untuk pembayaran bunga kepada bank-bank rekap, kepada sekitar 14.000 orang terkaya Indonesia yang memiliki deposito di atas Rp. 5 miliar, serta cicilan bunga dan pokok utang luar negeri. Ternyata rakyat Indonesia, termasuk yang miskin, menyubsidi Rp. 60 triliun kepada orang-orang kaya. Itu jelas tidak adil. Maka, seharusnya para ahli ekonomi mencari formula yang lebih tepat untuk keadilan subsidi tersebut.
Subsidi dan defisit anggaran
Kita boleh meminta pemerintah untuk menjelaskan secara lebih rinci, dari mana perkiraan angka subsidi BBM Rp. 250 triliun atau sekitar Rp. 3,7 triliun akibat kenaikan harga minyak per 1 dollar AS tersebut, yang patokan harganya dijangkar di New York Mercantile Exchange (Nymenx) itu. ‘Angka horor’ yang menakutkan itu jangan sampai malah dijadikan alasan untuk menghimpit lagi penduduk miskin yang sudah menyubsidi kaum kaya itu. Jangan-jangan angka tersebut muncul dari resep para ahli ekonomi yang pernah dibantah Prof. Mubyarto, yang berasumsi bahwa Indonesia memenuhi kebutuhan BBM-nya dari 100 persen impor? Padahal justru sekitar 60 persen minyak Indonesia diekspor.
Apakah kita sudah menghitung berapa devisa yang diperoleh Indonesia akibat kenaikan harga minyak dunia itu, sebab Indonesia pengekspor minyak dan gas bumi? Dunia tahu hal itu. Encarta Encyclopedia 2005 mencatat: Indonesia produces more than 80 percent of Southeast Asia’s oil and more than 35 percent of the world’s liquefied gas.
Indonesia tampaknya juga ‘menyubsidi’ para korporasi swasta usaha hulu migas triliunan rupiah. Contohnya: hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I 2004-2005 menemukan adanya lima kontraktor production sharing (KPS) migas yang merugikan negara 2,53 miliar dollar AS atau sekitar Rp. 23 triliun. Modusnya termasuk memasukkan dana pendidikan karyawan maupun sumbangan kepada korban bencana sebagai cost recovery. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengaudit penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp.122,68 triliun, menemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18,07 triliun. Cost recovery minyak mentah Indonesia juga mencapai 9,03 USD per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar 4 sampai 6 USD per barel. Cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.
Kita tidak mendengar apakah superkorupsi seperti itu ditindaklanjuti oleh hukum? Maklum, hukum Indonesia juga terjajah. Ada ajaran ‘hukum ramah pasar.’ Hukum tidak boleh macam-macam kepada investor, terutama asing.
Di lain tempat, Pertamina menghitung rencana biaya operasional di Blok Cepu adalah 120 juta dollar AS per tahun. Tapi menurut hitungan Exxon Mobil biayanya adalah 450 juta dollar AS per tahun. (MajalahTrust.com, 6/11/2006). Berarti selisihnya 330 juta dollar AS per tahun. Bagaimana kelanjutan kejelasan hitungannya? Bagaimana ‘kalkulator’ Pertamina dengan Exxon bisa tidak sama? Apa karena kalkulator Pertamina produksi Indonesia dan kalkulator Exxon produksi Amerika? Padahal migasnya milik Indonesia. Misteri semacam itu juga harus dipecahkan, bukan disimpan.
Beban subsidi BBM untuk PLN akibat kenaikan harga BBM termasuk problem ketahanan energi. Formula ekonomi outward looking oriented yang diterapkan Indonesia bertujuan mengejar angka devisa sehingga bukan migas saja yang digelontor ke luar, tapi juga sekitar 70 persen produksi batubara nasional diekspor. Satu persen saja untuk kebutuhan rakyat di sekitar wilayah tambang di Kalimantan Timur dan Selatan sebagai daerah penghasil batubara terbesar, dan sisanya (sekitar 29 persen) dipakai di Jawa (data Walhi Kalimantan Selatan). Berapapun besarnya devisa, tapi kalau habis untuk belanja impor, tetaplah jadi miskin. Penduduk sekitar wilayah tambang pun tetap miskin, ditambah derita penyakit akibat pencemaran lingkungan hidup mereka.
Tampaknya, defisit anggaran Indonesia itu tak dapat dikambinghitamkan sebagai akibat subsidi BBM. Defisit anggaran itu disebabkan banyaknya subsidi untuk orang kaya dan sistem ekonomi outward looking oriented yang kurang tepat. Indonesia ini terus-terusan terhisap, menjauh dari konsep resources nationalism, bahwa sumber daya alam (SDA) kita sesungguhnya untuk kebutuhan nasional, demi ketahanan Indonesia. Papua lama terhisap oleh Freepot, Nusa Tenggara dan Sulawesi Utara oleh Newmont, Aceh oleh Exxon, Kalimantan oleh para korporasi tambang batubara dan hutannya dihabiskan. Tak ada peningkatan kemakmuran akibat masuknya para pemodal raksasa asing itu, sebab para pemodal asing itu bagian dari the global empire dalam imperialisme moderen.
Indonesia terperangkap dalam jaring imperialisme moderen. Seorang economic hit man, John Perkins dalam Confessions of An Economic Hit Man (2004) mengakui bahwa korporatokrasi yang lahir dan berkembang di Amerika telah membayar tinggi kepada economic hit man seperti dia dengan ‘misi rahasia’ agar negara kaya migas seperti Indonesia terjerat utang sebanyak-banyaknya kepada Amerika melalui Bank Dunia dan IMF, sampai pada kondisi ‘tak mampu membayar’, masuk perangkap the global empire sehingga menjamin ‘keamanan nasional Amerika’ (Mubyarto, 2005). Makanya ketika presiden Hugo Chavez (Venezuela) menasionalisasi SDA migas yang dikelola korporasi AS seperti Exxon maka Nymex mengerek terus harga minyak mentah dunia. Mengapa harga migas dunia harus dijangkar dari Amerika dan siapa pemegang kuncinya? Apakah negara-negara di dunia produsen migas tak punya kekuatan untuk memaksa normalisasi harga minyak dunia? Poros konspirasi IMF - World Bank – WTO - korporasi migas, merupakan jawabannya. Pemegang kedaulatan negara-negara di dunia bukan lagi rakyat, tapi korporasi. Dunia dikuasai tirani korporasi (David Korten; Maguire, 2000).
Indonesia ini sebenarnya kaya-raya. Dalam pertarungan globalisasi, Indonesia dapat menggunakan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia tanpa harus mengikuti irama asing yang telah dirancang untuk meninabobokan, memabukkan dan terakhir ‘membunuh’ Indonesia. Seharusnya asing yang harus mengikuti kita, bukan kita yang menuruti asing. Mengapa kekayaan Indonesia ini berubah menjadi malapetaka dalam globalisasi ini? Padahal mestinya menjadi anugerah. Para ahli ekonomi tak harus menggunakan pakem asing mereka, tapi harus berinovasi dengan ‘cara Indonesia.’ Langkah awalnya adalah: berani melawan dominasi asing. Dalam konstalasi internasional, Indonesia bisa mengusahakan lagi menggerakkan Organisasi Negara-negara Nonblok dan OPEC, untuk kembali membebaskan dunia dari imperialisme baru.
Jumat, 14 Maret 2008
Ini Bukan Beraknya Pabrik
Kalaupun ia harus berak di kali seperti itu, mungkin pas kebelet dan jauh dari WC. Mudah-mudahan tahinya bukanlah limbah beracun seperti tahi orang-orang kaya pemilik pabrik yang usahanya berak sembarangan meracuni sosial. Mudah-mudahan ikan-ikan senang dan menjadikannya sebagai berkah hari itu.
Selasa, 11 Maret 2008
Jeda: Murid Goblok Indonesia
“Anak-anak! Ibu tanya nih: Apa manfaat modal asing atau luar negeri buat Indonesia?” tanya Bu Stella.
“Untuk mempercepat pembangunan ekonomi Bu!” jawab Ina yang terkenal pandai itu. Kebetulan ayahnya ekonom tulen, lulusan Inggris.
“Untuk membiayai pembangunan Bu, sebab Indonesia kekurangan modal!” jawab Gani yang pintar matematika. Mamanya lulusan Berkeley University.
Hampir semua siswa menjawab.
“Siapa mau berpendapat lagi? Jangan takut salah! Nggak ada itu pendapat salah, asalkan alasannya masuk akal. Keliru juga nggak apa-apa. Namanya juga belajar!”
Tapi para siswa tetap diam, sehingga Bu Stella menunjuk Ugik.
Ugik agak gemetar, tapi malu kalau tidak menjawab. Ugik ini memang agak bloon, konon menderita slow learner gara-gara ibunya sering membelikan makanan ikan laut dengan tujuan supaya pintar, tapi nggak tahunya ikan laut yang dibeli tercemar merkuri dari limbah pabrik-pabrik yang masuk ke laut.
Tapi Ugik agak ingat pernah melihat tayangan televisi tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dikelola perusahaan asing.
“Ee... gini Bu. Modal asing... untuk apa? Supaya ... Indonesia ini diambil minyaknya..., gasnya..., batubaranya..., emasnya... dan lain-lain, agar segera habis...,” jawab Ugik. Teman sekelasnya tertawa riuh.
“Loh..., kok supaya habis, maksudnya gimana Gik?” kejar Bu Stella.
“Iya Bu... Di lagu Indonesia Raya itu kan katanya ...’Indonesia tanah airku..’ Jadi.., kalau tanah airnya masih mengandung minyak.., gas..., batubara..., emas..., tembaga... dan lain-lain... kan tercampur? Supaya tinggal tanah dan air, ...ya... zat yang selain tanah sama air harus diambili semua.... Makanya... ya.. orang-orang asing yang punya banyak uang itu... disuruh ngambili yang selain tanah dan air itu. Kan pakai modal,.. untuk biaya? Kalau sudah habis..., jadilah benar-benar Indonesia, tanah air kita..., tinggal tanah dan air...,” jawab Ugik yang membuat kelas semakin gaduh. Ugik malah tambah malu ditertawakan teman-temannya.
Ugik belum tahu kalau ada UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan Keputusan Presiden No.96/2000 yang membolehkan investor asing memiliki saham sampai 95% dalam sektor air. Sekarang tinggal tanah. Jadinya lagu Indonesia Raya menjadi: “Indonesia tanah-tanahku, tanah tumpah darahku. .... dst.”
Itupun kalau masih beruntung. Kalau misalnya di dalam semua tanah Indonesia ada migas, emas, tembaga, dan mineral yang berharga lainnya maka modal asing bisa membuat perusahaan berbentuk PT di Indonesia, pakai nama orang Indonesia, untuk mengelola seluruh tanah Indonesia, sehingga lagu Indonesia Raya menjadi: “Indonesia, tanah-airmu, tanah tumpah limbahmu. Di sanalah aku berdiri, jadi pandu tuanku....." dst...
Tapi saya dulu juga murid goblok. Jadinya ya begini..... Maklum, namanya juga orang bloon, jadi nggak ngerti teori ekonominya Amerika Serikat.
Jumat, 07 Maret 2008
Nyepi dalam Islam
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, kata Tuhan (QS: Al-Mu’min: 40). Jadi, jangan buru-buru mengira kita ini makhluk terhebat, sebab ada rahasia yang tak terbatas yang tak kita ketahui.
Alam semesta terwujud dan Tuhan menyinarinya. Allah adalah Cahaya langit dan bumi. (QS An-Nur: 35). Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Baqarah: 29).
Ke mana kita bisa menjumpai Tuhan yang Awal eksistensi itu? Dia menjawab, “Di manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (QS: Al-Baqarah: 115). Sudah pernah melihat Tuhan? Nabi Musa meminta Tuhan memperlihatkan diriNya kepada Musa. Tapi Allah memberi contoh, Dia memperlihatkan diriNya kepada bukit, lalu bukit itu hancur. Tapi mengapa Allah mengatakan “di manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”? Allah berkata dalam hadits qudsi, “Manusia adalah rahasiaKu dan aku adalah rahasianya.” Tapi Nabi Muhammad berkata, “Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.” Mengapa manusia bisa tidak mengenal Tuhannya? Nabi Muhammad bersabda, “Jika setan-setan itu tidak berkeliling di dalam hati anak Adam maka anak-anak Adam itu mampu melihat ke alam malakut yang tinggi.”
Setan tak selalu jadi kambing hitam sebab Allah mengatakan bahwa yang menjadi setan itu bisa dari golongan jin (lelembut) dan manusia (QS: An-Naas: 4-6). Manusia bisa menjadi setan bagi dirinya sendiri dan bagi manusia lainnya. Bahkan di jaman kemajuan ini setan kelihatannya sudah bisa duduk-duduk santai sebab para manusia semakin canggih untuk berbuat kejahatan dengan sains dan teknologi, menipu atau membohongi dengan analisis-analisis keahlian. Setan tak perlu bersusah-payah menggoda manusia untuk menemani para setan di neraka kelak.
Manusia semakin terlelap dalam mimpi kegaduhan dunia, dirasuki hawa hedonisme, tak peduli harus menyuap, menerima suap, korupsi, melacurkan intelektualitas, bisnis haram, melakukan persaingan bisnis curang, mengkhianati kawan atau bahkan masyarakat kecil yang dibela, membajak karya cipta orang lain, dan lain-lain. Semakin lama semakin larut dalam kegaduhan itu, dan semakin jauh dari Tuhan yang dikiranya hanya dapat didekatkan dengan shalatnya yang ditumpuki perilaku gaduh itu. Tuhan dikiranya bisa didekati dengan harta haram yang disumbangkan kepada kaum lemah.
Maka umat Islam jika ingin melacak jejak Tuhan tempat kembalinya harus ‘nyepi’ dari kegaduhan itu dengan cara tapa ngrame (bertapa dalam keramaian). Dalam keramaian itu bekerja untuk memberi makan, pakaian dan menjenguk Tuhan yang sedang dalam penderitaan. Tuhan dalam derita (menurut hadits qudsi) adalah mereka yang miskin dan kekurangan, membutuhkan pembelaan. Tuhan tak perlu dibela, kata Gus Dur, jika konteksnya adalah menyerang atau membunuh sesama karena perbedaan gagasan atau keyakinan. Tapi Tuhan harus dibela dalam konteks membela mereka yang lemah (kaum mustadh’afin). Tuhan akan menggunakan hak prerogratif untuk menolak kaum rajin ibadah ritual yang mengesampingkan ibadah sosial, sehingga tak akan memasuki surgaNya yang bahkan malaikat pun terheran-heran. Sebab Tuhan dalam hal khusus telah mengidentikkan diriNya dengan kaum lemah. Maksudnya, Tuhan sendiri Maha Segalanya yang tak butuh apa-apa dari manusia. Dalam menyembahNya yang terpenting adalah memahami manunggaling sapada kang cinipta, peduli sesama. Itulah salah satu rahasiaNya.
Jika nyepi itu sempurna dilakukan, manusia akan mampu masuk ke alam malakut, manunggal dengan Allah, dalam keindahan sejati yang seperti mimpi tapi bukan mimpi. Seperti Ali bin Abi Thalib yang hatinya selalu bergetar melihat Allah ada di dedaunan, pepohonan, gunung-gunung, kerumunan manusia, dan lain-lain, bukan hanya di dalam masjid. Masjid bisa saja menjadi musuh Allah jika menjadi bagian kegaduhan yang mencoba mempermainkan penciptaan Tuhan.
“Shanti, shanti, shanti... dalam keesaanMu ya Allah aku adalah sunyi, senyap, lenyap, kosong dan hanya DiriMu. Kembali kepada yang Sejati...”
Senin, 03 Maret 2008
Neopatriotisme
Defisit anggaran terus berlangsung, apalagi diguncang harga minyak dunia. Kriminalitas menyapa masyarakat setiap hari, jumlah penjahat (termasuk yang berdasi) melebihi daya tampung bangunan penjara. Sementara itu wilayah teritorial Indonesia terdesak dari arah Singapura dan Malaysia, akibat penambahan wilayah pesisir Singapura dan pemindahan patok-patok batas di Kalimantan Utara. Itu terjadi di negara Indonesia yang kaya-raya sumber daya alam (SDA), melimpah sumber daya manusia (SDM), dan wilayahnya yang seluas Eropa.
Reformulasi
Pembangunan menuju arah kesejahteraan. Dalam formula pembangunan Indonesia (Pancasila), yang dibangun lahir dan batin, jiwa dan raga, tidak fisik melulu. Kalau jiwa mati, raga pasti mati. Kalau raga mati, jiwa tak punya instrumen untuk menempatkan diri. Dalam membangun, raga (lahir) harus sehat, jiwa juga kuat, dalam kesadaran. Konon Portugal menjadi negara Eropa yang paling tertinggal karena punya kebiasaan ‘siesta’ atau tidur siang, sehingga mengurangi produktivitas, mengurangi kesadaran hidup. Negara lainnya bekerja, Portugal enak-enakan tidur meski hanya satu jam, padahal waktu sedetik pun sangat bermanfaat. Akhirnya tertinggal.
Pendidikan menjadi penting untuk membangun kesadaran jiwa-raga itu, mampu mereformulasi terhadap resep-resep pembangunan yang gagal. Kabarnya, Amerika Serikat (AS) mampu mendominasi perekonomian, politik, dan militer melalui penguasaan sempurna ilmu pengetahuan dan teknologi. Universitas sebagai pabrik utama ilmu pengetahuan di AS maju pesat. Universitas di AS mendominasi peringkat terbaik menurut berbagai versi (Gumilar Rusliwa Somantri, Kompas, Selasa, 21 November 2006). Konon, waktu tidur orang AS rata-rata 5,5 jam sehari.
Ini jaman perang modern (baca: globalisasi). Pendidikan selain membangkitkan kesadaran jiwa-raga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, harus dibarengi dengan penanaman mental patriotisme untuk mengunggulkan dan mengglobalkan Indonesia. Generasi Indonesia harus tahu sejarah imperialisme dan kelangsungannya, bukan untuk memusuhi asing atau balas dendam, tapi memintarkan diri dalam menghadapi serangan dahsyat dalam perang modern (meminjam Ryamizard Ryacudu, 2004).
Jika Anita Lie (pakar pendidikan) mengatakan bahwa saat ini peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis (Kompas, 18 Pebruari 2008, hal. 12), maka paradigmanya harus diubah: bahwa penanaman kesadaran ideologi, politik, industri dan bisnis kepada para peserta didik tidak lagi untuk kepentingan pemodal, tapi untuk kebesaran Indonesia. Maka, anak didik bukan disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar (global) - yang berarti menciptakan mental buruh – melainkan untuk menguasai pasar. Menciptakan karakter entrepreneurship, sebagaimana pemikiran Ir. Ciputra.
Pembebasan
Bung Karno (1933) mengingatkan kita: imperialisme tua dilahirkan kapitalisme tua, imperialisme modern dilahirkan kapitalisme modern. Kita melihat SDA Indonesia dikuras dari ujung Aceh hingga Papua oleh kapital asing yang telah disusun dalam konspirasi korporatokrasi Barat, terutama AS dan sekutunya, melalui kontrak-kontrak penanaman modal asing (PMA) yang merugikan Indonesia. Tata kelola ekonomi pemerintahan saat ini tidak berbeda jauh dengan cara-cara Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan mengejar ‘pertumbuhan’ sebagai ciri khas ekonomi kapitalisme. Ekonomi Pancasilaisme yang berprinsip keadilan sosial semakin meredup dan hampir mati, sebab bangsa Indonesia kehilangan semangat pratriotisme. Akibatnya: bangsa kaya-raya ini tetap menderita, dibohongi oleh kecerdikan asing.
Indikasi perang modern itu juga dapat dilihat dari rivalitas dalam usaha-usaha negara-negara yang peduli terhadap keadilan kultural global di era globalisasi yang dipimpin oleh Perancis dan Kanada melalui Unesco. Mereka berpendirian bahwa setiap pemerintah mempunyai hak untuk mengayomi, memajukan, dan bahkan melindungi (to safeguard, promote, and even protect) kebudayaan mereka dari persaingan yang datang dari luar. Namun AS dan sekutunya tidak menyetujui langkah tersebut dengan berpendapat bahwa kebinekaan kultural hanya akan tumbuh subur dalam suasana kebebasan yang menjiwai ekonomi global (Mochtar Buchori, Kompas, 18/2/2005).
Jika di era penjajahan (perang) kuno pendidikan sosial mengobarkan semangat patriotisme maka dalam era penjajahan modern (neoimperialisme) sekarang ini pendidikan sosial harus mengobarkan neopatriotisme. Neopatriotisme merupakan cara baru dalam menciptakan Indonesia yang berdaulat dalam soal ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural dan hankam. Jalannya adalah pendidikan dengan konsep edukasi pembebasan: merekayasa rakyat (citizen engineering) Indonesia agar bisa mandiri atau merdeka dalam membangun, termasuk dalam mengelola SDA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Peserta didik menjadi sadar dan bersemangat bahwa Nusantara ini adalah lahan subur untuk bertani, dengan konsep kewirausahaan tani. Kelak evolusi atau revolusi energi akan membutuhkan produk-produk pertanian sebagai bahan baku, memformulasikan ketahanan pangan dan energi Indonesia. Generasi muda berpengetahuan dan menguasai teknologi, berdaya inovasi dan invensi, mahir mengelola sumber kekayaan laut yang melimpah, yang selama ini lebih banyak dicuri para nelayan bangsa yang lebih maju.
Merebaknya tabiat korupsi di negara ini juga menunjukkan betapa lemahnya patriotisme bangsa ini. Itu menunjukkan bahwa semangat individualisme mengalahkan semangat bernegara. Bangsa ini harus punya target jelas: kapan terlepas dari jerat ketergantungan utang dan teknologi kepada asing, agar segera terbebas dari kontrak-kontrak global yang merugikan: paling lama 25 tahun ke depan. Paradigma pembangunan ekonomi mengarah ke resources nasionalism, inward looking oriented, keselamatan sosial dengan sadar fungsi alam, serta mampu memetakan zona-zona potensi bencana untuk antisipasi penyelamatan.
Jiwa neopatriotisme diharapkan mampu mengatasi problem-problem Indonesia tersebut. Seorang neopatriot bukanlah orang yang berkutat untuk kebahagiaan diri, tapi adalah orang yang bangun jiwa-raganya (bersemangat), merdeka, demokratis, humanis, berpengetahuan luas, terampil, menguasai teknologi (termasuk informasi), bermoral dan resah memikirkan kebesaran Indonesia, bahagia dengan kejayaan Indonesia.