Keadilan subsidi
Kita tentu ingat di awal-awal 2005 ada gerakan para ahli ekonomi untuk memerjuangkan pengurangan subsidi BBM. Masyarakat miskin akan diberikan dana kompensasi pengurangan subsidi BBM. Para ahli itu memrediksi, dana kompensasi itu akan menurunkan tingkat kemiskinan sampai dengan 13,87 persen. Resep tersebut dijalankan pemerintah, dan ternyata berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan tahun 2005 sebesar 15,97 persen (dari seluruh penduduk Indonesia) ‘berhasil naik’ menjadi 17,75 persen per-Maret 2006. Salah prediksi atau salah diagnosa?
Program pemberian dana kompensasi pengurangan subsidi BBM dalam bentuk raskin (beras miskin) banyak dikorupsi di saentero Nusantara. Sedangkan bantuan tunai langsung (BLT) dianggap tidak efektif, akhirnya diubah pemerintah dalam bentuk dana pemberdayaan masyarakat miskin. Tapi hingga kini rakyat miskin tetap tak berdaya. Apalagi ditambahi bencana banjir dan longsor bertubi-tubi akibat perusakan lingkungan hidup, terutama rusaknya hutan dan konversi lahan untuk lebih banyak menambah kekayaan orang kaya.
Soal subsidi BBM, saya setuju dihapus bagi penduduk kaya. Orang miskin harus tetap disubsidi. Itu bagian fungsi didirikannya negara, untuk mengatasi ketidakpastian sosial, termasuk kemiskinan. Dalam soal subsidi, ekonom Joseph E Stiglitz mengolok-olok kita: katanya sapi Eropa lebih beruntung dibandingkan penduduk miskin Indonesia sebab sapi Eropa mendapatkan subsidi lebih besar. Dari segi kekayaan alam, Indonesia lebih kaya dari Eropa, sehingga Eropa datang menjajah Indonesia. Sapi Eropa makan subsidi dari negara yang bisa jadi juga dari hasil menghisap Indonesia. Tapi lantas sapi Eropa dibuat kornet dan diimpor Indonesia, dimakan rakyat Indonesia (yang mampu beli). Tetap saja sapi Eropa lebih beruntung: untung tidak dimakan rakyat miskin Indonesia.
Masih soal subsidi. Almarhum Prof. Mubyarto guru besar ekonomi UGM dalam Ekonomi Terjajah (2005) mengatakan: waktu itu (tahun 2005) semua tokoh kita tahu bahwa dalam APBN terdapat pos pengeluaran sebesar Rp. 60 triliun untuk pembayaran bunga kepada bank-bank rekap, kepada sekitar 14.000 orang terkaya Indonesia yang memiliki deposito di atas Rp. 5 miliar, serta cicilan bunga dan pokok utang luar negeri. Ternyata rakyat Indonesia, termasuk yang miskin, menyubsidi Rp. 60 triliun kepada orang-orang kaya. Itu jelas tidak adil. Maka, seharusnya para ahli ekonomi mencari formula yang lebih tepat untuk keadilan subsidi tersebut.
Subsidi dan defisit anggaran
Kita boleh meminta pemerintah untuk menjelaskan secara lebih rinci, dari mana perkiraan angka subsidi BBM Rp. 250 triliun atau sekitar Rp. 3,7 triliun akibat kenaikan harga minyak per 1 dollar AS tersebut, yang patokan harganya dijangkar di New York Mercantile Exchange (Nymenx) itu. ‘Angka horor’ yang menakutkan itu jangan sampai malah dijadikan alasan untuk menghimpit lagi penduduk miskin yang sudah menyubsidi kaum kaya itu. Jangan-jangan angka tersebut muncul dari resep para ahli ekonomi yang pernah dibantah Prof. Mubyarto, yang berasumsi bahwa Indonesia memenuhi kebutuhan BBM-nya dari 100 persen impor? Padahal justru sekitar 60 persen minyak Indonesia diekspor.
Apakah kita sudah menghitung berapa devisa yang diperoleh Indonesia akibat kenaikan harga minyak dunia itu, sebab Indonesia pengekspor minyak dan gas bumi? Dunia tahu hal itu. Encarta Encyclopedia 2005 mencatat: Indonesia produces more than 80 percent of Southeast Asia’s oil and more than 35 percent of the world’s liquefied gas.
Indonesia tampaknya juga ‘menyubsidi’ para korporasi swasta usaha hulu migas triliunan rupiah. Contohnya: hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I 2004-2005 menemukan adanya lima kontraktor production sharing (KPS) migas yang merugikan negara 2,53 miliar dollar AS atau sekitar Rp. 23 triliun. Modusnya termasuk memasukkan dana pendidikan karyawan maupun sumbangan kepada korban bencana sebagai cost recovery. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengaudit penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp.122,68 triliun, menemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18,07 triliun. Cost recovery minyak mentah Indonesia juga mencapai 9,03 USD per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar 4 sampai 6 USD per barel. Cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.
Kita tidak mendengar apakah superkorupsi seperti itu ditindaklanjuti oleh hukum? Maklum, hukum Indonesia juga terjajah. Ada ajaran ‘hukum ramah pasar.’ Hukum tidak boleh macam-macam kepada investor, terutama asing.
Di lain tempat, Pertamina menghitung rencana biaya operasional di Blok Cepu adalah 120 juta dollar AS per tahun. Tapi menurut hitungan Exxon Mobil biayanya adalah 450 juta dollar AS per tahun. (MajalahTrust.com, 6/11/2006). Berarti selisihnya 330 juta dollar AS per tahun. Bagaimana kelanjutan kejelasan hitungannya? Bagaimana ‘kalkulator’ Pertamina dengan Exxon bisa tidak sama? Apa karena kalkulator Pertamina produksi Indonesia dan kalkulator Exxon produksi Amerika? Padahal migasnya milik Indonesia. Misteri semacam itu juga harus dipecahkan, bukan disimpan.
Beban subsidi BBM untuk PLN akibat kenaikan harga BBM termasuk problem ketahanan energi. Formula ekonomi outward looking oriented yang diterapkan Indonesia bertujuan mengejar angka devisa sehingga bukan migas saja yang digelontor ke luar, tapi juga sekitar 70 persen produksi batubara nasional diekspor. Satu persen saja untuk kebutuhan rakyat di sekitar wilayah tambang di Kalimantan Timur dan Selatan sebagai daerah penghasil batubara terbesar, dan sisanya (sekitar 29 persen) dipakai di Jawa (data Walhi Kalimantan Selatan). Berapapun besarnya devisa, tapi kalau habis untuk belanja impor, tetaplah jadi miskin. Penduduk sekitar wilayah tambang pun tetap miskin, ditambah derita penyakit akibat pencemaran lingkungan hidup mereka.
Tampaknya, defisit anggaran Indonesia itu tak dapat dikambinghitamkan sebagai akibat subsidi BBM. Defisit anggaran itu disebabkan banyaknya subsidi untuk orang kaya dan sistem ekonomi outward looking oriented yang kurang tepat. Indonesia ini terus-terusan terhisap, menjauh dari konsep resources nationalism, bahwa sumber daya alam (SDA) kita sesungguhnya untuk kebutuhan nasional, demi ketahanan Indonesia. Papua lama terhisap oleh Freepot, Nusa Tenggara dan Sulawesi Utara oleh Newmont, Aceh oleh Exxon, Kalimantan oleh para korporasi tambang batubara dan hutannya dihabiskan. Tak ada peningkatan kemakmuran akibat masuknya para pemodal raksasa asing itu, sebab para pemodal asing itu bagian dari the global empire dalam imperialisme moderen.
Indonesia terperangkap dalam jaring imperialisme moderen. Seorang economic hit man, John Perkins dalam Confessions of An Economic Hit Man (2004) mengakui bahwa korporatokrasi yang lahir dan berkembang di Amerika telah membayar tinggi kepada economic hit man seperti dia dengan ‘misi rahasia’ agar negara kaya migas seperti Indonesia terjerat utang sebanyak-banyaknya kepada Amerika melalui Bank Dunia dan IMF, sampai pada kondisi ‘tak mampu membayar’, masuk perangkap the global empire sehingga menjamin ‘keamanan nasional Amerika’ (Mubyarto, 2005). Makanya ketika presiden Hugo Chavez (Venezuela) menasionalisasi SDA migas yang dikelola korporasi AS seperti Exxon maka Nymex mengerek terus harga minyak mentah dunia. Mengapa harga migas dunia harus dijangkar dari Amerika dan siapa pemegang kuncinya? Apakah negara-negara di dunia produsen migas tak punya kekuatan untuk memaksa normalisasi harga minyak dunia? Poros konspirasi IMF - World Bank – WTO - korporasi migas, merupakan jawabannya. Pemegang kedaulatan negara-negara di dunia bukan lagi rakyat, tapi korporasi. Dunia dikuasai tirani korporasi (David Korten; Maguire, 2000).
Indonesia ini sebenarnya kaya-raya. Dalam pertarungan globalisasi, Indonesia dapat menggunakan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia tanpa harus mengikuti irama asing yang telah dirancang untuk meninabobokan, memabukkan dan terakhir ‘membunuh’ Indonesia. Seharusnya asing yang harus mengikuti kita, bukan kita yang menuruti asing. Mengapa kekayaan Indonesia ini berubah menjadi malapetaka dalam globalisasi ini? Padahal mestinya menjadi anugerah. Para ahli ekonomi tak harus menggunakan pakem asing mereka, tapi harus berinovasi dengan ‘cara Indonesia.’ Langkah awalnya adalah: berani melawan dominasi asing. Dalam konstalasi internasional, Indonesia bisa mengusahakan lagi menggerakkan Organisasi Negara-negara Nonblok dan OPEC, untuk kembali membebaskan dunia dari imperialisme baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar