Kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berakhir dalam suasana gelap, melahirkan suap (yang ketahuan) Rp. 6 miliar kepada pimpinan tim jaksa yang menangani. Para konglomerat yang menikmati dana BLBI tersenyum lega ketika pemerintah ‘memutihkan’ ratusan triliun bunga dan denda. Kasus korupsi dana kredit usaha tani (KUT) juga tak kunjung selesai ketika Presiden SBY mengumumkan pemutihan KUT senilai Rp. 5,71 triliun. Bukan petani yang menikmati pemutihan KUT itu tapi para petualang LSM dan pengurus parpol. Penulis memegang data hura-hura, bagi-bagi uang KUT itu untuk kegiatan parpol dan menyogok para penegak hukum. Apakah kebijakan ‘pemutihan-pemutihan’ piutang negara yang merugikan negara itu bukan korupsi?
Dalam acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Jakarta yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Selasa, 4 Desember 2007, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto menjelaskan bahwa tahun 2007 lalu di Departemen Dalam Negeri (Depdagri) terdapat 72 kepala daerah tersangkut kasus korupsi, yaitu: 7 orang gubernur, 3 orang gubernur dan 62 bupati/walikota. Selain itu Depdagri mengeluarkan 372 izin pemeriksaan terhadap anggota DPRD terkait korupsi. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan hasil investigasi dari 1.902 pengaduan terkait korupsi dan kerugian negara pada tahun 2002 – 2007 menunjukkan angka korupsi dengan kerugian negara: Rp. 11.013,245 miliar, US $ 1.102.865.819,58 dan FFr. 11.771.734,61.
Rimba
Angka korupsi tersebut banyak yang belum tersentuh, yang bahkan mungkin sengaja disembunyikan, atau adanya pelaku korupsi yang ‘tidak ditebang’ dalam fenomena pemberantasan korupsi ‘tebang pilih’ di negara ini. Biasanya kasus korupsi yang sengaja dilipat dan disimpan di dalam lemari kekuasaan adalah yang berkaitan dengan keterlibatan pejabat maupun partai politik (parpol) yang berkuasa yang uang korupsinya dimasukkan ke kantong parpol, kecuali jika uangnya dimasukkan ke kantong pribadi.
Seharusnya kita terpingkal-pingkal dalam keheranan di negara yang paling lucu dan memrihatinkan di jagat raya ini. Mengapa? Di negara ini setiap warga negaranya wajib memegang teguh ideologi Pancasila yang ditahbiskan sebagai sumber dari segala sumber hukum di mana nilai sila pertamanya ditransfer ke pasal 29 UUD 1945 yang menentukan bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu Tuhan mana yang diimajinasikan membiarkan manusia untuk mencuri hak-hak orang lain, apalagi hak rakyat dalam sebuah negara? Para pejabat itu bahkan mengajarkan nasionalisme. Nasionalisme model apa itu? Rakyat kecil dan kaum intelektual yang ‘mengganggu’ status quo kekuasaan yang korup gampang dituduh tidak nasionalis, ada yang dipenjarakan dan bahkan dibunuh dengan cara curang seperti contohnya Marsinah, Widji Thukul, Munir, rakyat Alastlogo Pasuruan, petani Margorukun Banyuwangi dan lain-lainnya.
Inilah, bahwa kita sedang hidup dalam komunitas atau bangsa rimba, di mana hukum hanya dijadikan menindas yang lemah, sedangkan yang kuat tertawa terkekeh-kekeh dalam jubah kekuasaan mereka. Para koruptor merajalela, sesat sesesat-sesatnya dari pandangan agama, hukum, moral dan hukum adat, tapi para pemegang otoritas agama tak pernah memfatwa mereka sesat, sedangkan otoritas pemerintahan tak memberikan hukuman pemerintahan yang jelas, serta otoritas hukum seringkali memaklumkan para koruptor, karena hukum juga dikuasai para penganut aliran sesat, tampak dari gemarnya para penegak hukum menerima uang suap yang dianggapnya rejeki dari Tuhan.
Pemerintahan imajiner
Mari kita lihat apa yang tertempel di bahu kiri dan kanan para pegawai pemerintahan kita, terdapat tanda pangkat berbentuk roda kemudi kapal. Pegawai pemerintah adalah nahkoda, pemegang kemudi kapal. Negara ini diibaratkan kapal. Etika Bahari mewajibkan nahkoda untuk bertanggung jawab terhadap keselamatan para penumpang kapal. Jika ada petaka tak terduga maka yang diselamatkan lebih dulu adalah orang-orang lemah, yaitu: bayi, orang sakit, perempuan, selanjutnya para penumpang lainnya dan anak buah kapal (ABK). Terakhir nahkoda, itupun kalau ada kesempatan. Jika nahkoda harus mati menjadi tumbal keselamatan para penumpang kapal maka ia adalah juru selamat, martir, korban, pahlawan, syuhada (Taliziduhu Ndraha, 2005). Ini pula prinsip pemerintahan yang diterapkan Khalifah Umar bin Khatab: rakyat didahulukan.
Ilmu agama, ilmu hukum, etika, ilmu pemerintahan, rupanya tak mempan diajarkan di negara ini kepada para penyelenggara negara. Pesta korupsi berjalan terus, enggan berhenti. Padahal itu kejahatan sosial, kriminal negara, melanggar ajaran agama yang sudah jelas nistanya. Tak ada lagi rasa takut atau sungkan dengan Tuhan. Ini menjadi suatu tanda bahwa negara telah diurus oleh manusia-manusia yang secara psikologis sudah abnormal, menderita penyakit patologi, meminjam Emile Durkheim. Negara ini diurus oleh banyak orang yang menurut bahasa Al-Quran adalah ‘kaum yang lebih buruk dari binatang ternak’ sebab menuhankan hawa nafsu (Al-Furqan: 44).
Tak ada yang tak dirusak di negara ini. Keuangan negara, hutan, sungai, danau, laut, pulau, tanah, bukit, gunung dan bahkan manusianya dirusak. Pelakunya paling besar adalah oligarki kekuasaan. Itu menunjukkan minimnya peran pemerintahan dalam mengamankan para manusia yang hidup di negara ini. Demokrasi yang berbiaya tinggi di negara ini berjalan hanya ritual dan bahkan memberi kemerdekaan bagi para pejabat untuk korupsi, merusak orde hukum dan merusak masa depan sosial dengan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada korporasi kapitalis. Jaman dahulu rakyat ditindas oleh otoritarianisme monarki, kini rakyat Indonesia ditindas dengan cara demokrasi sebab rakyat keliru memilih para pengurus negara yang ternyata adalah para vampir penghisap. Mestinya kita membutuhkan pimpinan negara yang mampu dan mau menjadi pembebas rakyat dari cengkeraman ‘para kanibal’. Kita memerlukan Presiden, pimpinan MA, Kejaksaan dan Kepolisian yang mampu dan mau menjadi martir pembebas rakyat dari penindasan hukum. Kita membutuhkan para pemimpin agama yang mampu dan mau menggerakkan umat untuk melawan kemunkaran. Kita tidak butuh para pemimpin yang hanya basa-basi dalam membersihkan negara ini dari unsur-unsur sesat yang menguasai seluruh ruangan negara. Kita butuh para pemimpin yang jujur, tegas dan progresif, jika perlu revolusioner. Jika tidak, pastikan bahwa pesta itu (korupsi) akan sulit berakhir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar