Selasa, 13 Mei 2008

Belajar Kejam Dari Penguasa

Minggu, 11 Mei 2008, ketika terik matahari masih tersisa, sekitar jam 15.00, kami naik motor ke Terminal Bunder Gresik. Di sana sudah menunggu seorang kawan. Sudah sore, sewaktu bus kami dari terminal Bunder Gresik mulai berangkat ke Bojonegoro. Seperti biasa, beberapa pengamen mulai bergiliran mengibur para penumpang di dalam bus yang penuh menempuh jalan yang panas. Tiba giliran seorang pengamen kecil sekitar 9 tahun menyanyikan lagu dengan suara sumbang, seperti semakin sumbangnya suara jalanan yang membincangkan soal kehidupan negara yang tak kunjung merdu. Suara-suara yang hanya menjadi suara yang dianggap sampah, tak pernah dihargai para pengurus negara. Hidup semakin berjejalan, disesaki oleh kebisingan kecurangan serta penindasan di mana-mana. Seolah ini kehidupan babar, seperti dongeng dari Abad Kegelapan.

Tiba di terminal Rajegwesi Bojonegoro sudah melewati maghrib. Bahkan waktu tersita menunggu jemputan kawan yang berjanji akan menjemput kami. Setelah melewati jam tujuh malam, ia datang dengan senyum bekas ketiduran. Kami maklum.


Kami bergegas bertemu dengan kawan-kawan jaringan di tempat yang telah disepakati, dekat gedung DPRD Bojonegoro. Diskusi dimulai, mengalir bebas dan sulit terhenti, seperti air dari sumber yang dilindungi oleh lebatnya kehijauan hutan di negara Mimpi. Bukan di negeri ini yang mulai kehabisan sumber nurani sehingga menghancurkan berjuta-juta hektar hutan yang melindungi. Akhirnya aliansi menyepakati agar masing-masing organisasi membuat kertas kerja agar nantinya dipertemukan sebagai bahan untuk ‘bagi tugas.’


Dalam diskusi malam yang sesekali dikejutkan suara deru knalpot motor anak-anak muda kota Bojonegoro itu, ada banyak konklusi strategi, tentang bagaimana untuk menemami perjuangan para penduduk sekitar hutan di Jawa yang tetap miskin dan bahkan menjadi korban penindasan Perhutani selaku monopolis hutan di Jawa, menguasai 3,6 juta hektar hutan dari wilayah daratan Jawa yang sekitar 12,5 juta hektar ini.


Seperti pula yang dialami sekelompok penduduk Desa Babad Kidul dan Desa Pejok Bojonegoro yang sedang mencari rencek, diberondong senapan semi otomatis oleh Mantri Perhutani yang bernama Supriyanto (33) di Alas Jati Sekidang, Desa Bareng, Sugihwaras, Bojonegoro pada Rabu, 23 April 2008 sekitar jam 13.00. Dalam peristiwa itu Bambang Sutejo (30) warga Desa Babad Idul dan Sucipto (33), warga Desa Pejok, meninggal dunia tertempus peluru Perhutani yang dibeli dari kekayaan rakyat sendiri. Sedangkan Suprayitno alias Yudono (40) penduduk Desa Babad Kidul terkena peluru di pelipis kanannya. Perhutani membeli senjata api dan peluru dari kekayaan negara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi nyatanya digunakan untuk mencelakai dan membunuh rakyat. Kesejahteraan rakyat masih tetap menjadi mimpi.


Diskusi kami akhiri sekitar jam 24.30 WIB. Usulku untuk tidur di masjid ditolak oleh bisik angin malam kota Bojonegoro yang mulai dingin. Akhirnya kami tidur di rumah kawan kami di Bojonegoro.


Esoknya, 12 Mei 2008, kami berangkat ke Dusun Kalikunci, Desa Pejok, Kecamatan Kedungadem. Dari Kota Bojonegoro kami diantar seorang kawan dengan mobilnya. Sampai di Desa mana ya, lupa, kami berganti kendaraan, dipinjami sepeda motor oleh kawan-kawan di desa itu.


Jalan menuju Dusun Kalikunci memang panjang, berliku, sedikit naik-turun dan berbatu. Ada kawan yang mengeluh bokongnya gemetaran. Benar-benar wilayah yang tertinggal. Di sepanjang jalan tampak rumah-rumah papan kayu jati yang sangat sederhana, bahkan ada yang miring.


Sampailah kami di Dusun Kalikunci yang terpencil itu. Di sana kami bertemu dengan para penduduk. Ada juga Pak Kepolo Dusun. Kami berusaha membuka tanggul-tanggul kemasgulan perasaan seluruh warga yang berkumpul di situ, agar mereka mencurahkan segala perasaan dan beban derita yang mereka alami sebagai penduduk di sekitar hutan jati yang tertimpa masalah itu.


Kami berusaha menguatkan semangat dan mengembalikan perasaan traumatik mereka, terutama Ibu Sucipto yang ditinggal mati suaminya akibat peluru Perhutani itu. Sedangkan Ibu Bambang Sutejo katanya masih belum diberitahu, dijauhkan dari desanya, ke tempat jauh, agar tidak lebih dulu mendengar berita kematian suaminya di tangan kejam pegawai Perhutani itu. “Entah apa yang akan terjadi jika isteri Mas Bambang tahu suaminya meninggal Mas. Ia mungkin lebih tidak siap,” kata salah seorang warga. Kami merasakan hawa kesedihan yang mendalam. Derita kemiskinan mereka masih harus ditambah kematian yang tak terduga itu.


Kami katakan siap membantu, memberikan bantuan hukum gratis kepada para korban kekejaman Perhutani itu, jika mereka hendak menggugat Perhutani. Kami memberikan secukupnya bekal pengetahuan tentang hutan, hukum kehutanan, dan hak-hak hukum serta asasi para penduduk yang hidup di sekitar dan dalam hutan. Bahwa Perhutani adalah sebuah contoh tirani dan monopolis hutan di Jawa. Hukum Kehutanan melarang monopoli, tapi monopoli tetap terjadi. Rakyat yang diberi hak untuk turut memanfaatkan hasil hutan dihadang dengan monopoli dan kesulitan Hukum Administrasi Negara yang tidak memihak rakyat, tapi malah menjadi sarana kriminalisasi terhadap rakyat kecil. Mengambil rencek dianggap penjahat. Membawa alat pemotong kayu di dalam hutan dianggap penjahat. Menggembala ternak di dalam hutan dianggap penjahat. Lalu para penduduk kecil dan lemah itu diburu dan ditembaki, diperlakukan seperti ternak hutan. Tapi penguasa, termasuk penguasa modal, yang merampok hak-hak rakyat dan meracuni dan membunuhi penduduk dianggap pahlawan ekonomi. Sungguh kita hidup di wilayah barbar yang terlalu jauh untuk disebut sebagai negara.


Rakyat kecil telah diajari cara-cara menumpahkan darah. Anak-anak kaum miskin dijejali dendam kesumat atas terbunuhnya para orang tua mereka oleh peluru dan pentungan para penguasa negara. Indonesia telah merangkai spiral kekerasan yang akan sulit ditemui ujungnya. Sekali lagi kita bertanya: apa sesungguhnya fungsi negara yang telah mencelakai dan merampas jiwa rakyatnya? Derita penduduk sekitar hutan Bojonegoro itu hanyalah satu fakta dari berjuta fakta akibat arogansi kekuasaan yang hanya mahir dalam ritual tapi kehilangan kemurnian substansi hidup dan kemanusiaan. Kami berusaha memutus spiral kekerasan. Kami berusaha menutup katup dendam kesumat. Kami mencoba memotong rantai belenggu ketertindasan itu. Dengan edukasi sosial. Semoga anak keturunan para penduduk yang tertindas itu dapat mengambil tongkat kekuasaan dari para tiran babar, mengubah negara ini menjadi lebih santun dan peduli kepada rakyatnya yang sejak lama disepakati sebagai pemegang kedaulatan negara.


Kami pulang sore, setelah Maghrib, berangkat dari Terminal Bojonegoro menuju Surabaya. Para pengamen bus tetap menyanyikan lagu-lagu dengan setia, sebagai cara untuk mendapatkan uang, meski recehan, sebagai hiasan-hiasan diantara miliaran US dollar kekayaan Bojonegoro yang dikelola para pemodal asing.


Dari Terminal Bunder Gresik kami naik motor ke Surabaya. Sudah sekitar jam 21.00 WIB ketika ban motor kami bocor, lalu ditambalkan di Jalan Darmokali Surabaya. Kami menunggu tukang tambal ban bekerja, sambil menikmati perjalanan malam yang lelah itu dengan minum es jeruk. Perjalanan selanjutnya sampai ke rumah tak perlu kami ceritakan. Yang jelas malam itu kami tak sempat untuk memimpikan sesuatu dalam tidur. Sebab, di siang haripun kami tetap hidup di negeri mimpi. Apakah kami harus bermimpi dalam keadaan bermimpi?


Hutan Ke-KEJAM-an di Jawa Timur

Rabu, 23 April 2008, sekitar jam 13.00 WIB telah lahir kematian dua orang rakyat kecil, kepala mereka tertembus peluru yang muntah dari senapan semiotomatik mantri Perhutani, Supriyanto. Peristiwa itu terjadi di hutan jati Sekidang, Sugihwaras Bojonegoro. Dua orang yang meninggal itu adalah Bambang Sutejo, tetembak dari arah belakang dan Sucipto tertembak dari arah depan. Selain itu, ada Suprayitno alias Yudono yang tertembak, terluka pelipis kanannya, tidak sampai meninggal.

Peristiwa kekejaman itu disusul dengan kejadian serupa di hutan jati di Caruban Madiun pada 6 Mei 2008 sore. Patroli gabungan Polwil Madiun dan Perhutani melahirkan malaikat pencabut nyawa, seorang polisi muda, Aditya, menembak warga Desa Wonorejo, Kecamatan Mejayan Madiun bernama Yaimin, sehingga Yaimin harus meninggalkan isteri, anak dan keluarga yang ditanggungnya untuk selamanya.

Di ujung timur Jawa juga ada peristiwa kekejaman yang panjang, tak kunjung berakhir, di mana para petani yang bersengketa dengan PTPN XII mengalami intimidasi, penyiksaan serta perusakan tempat tinggal mereka. Pelaku kekejaman itu juga polisi yang membantu para petugas keamanan perusahaan negara bidang perkebunan itu. Hingga tulisan ini dibuat (13/5), para petani kecil itu mengungsi di gedung DPRD Banyuwangi dan diancam akan diusir paksa oleh Polres Banyuwangi. Jika ditarik ke belakang juga ada kasus berdarah, konflik antara TNI AL dengan warga Alastlogo.

Tampaknya, Jawa Timur akhir-akhir ini tidak hanya tercatat sebagai kantong penduduk buta huruf dengan angka tertinggi di negara ini, tapi juga semakin menunjukkan indeks pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang meningkat (buruk). Hal itu juga tampak pula dalam pola penanganan kasus lumpur Lapindo yang memakai instrumen hukum instan, bukan untuk melindungi kepentingan para penduduk korban, tapi untuk membatasi tanggung jawab Lapindo yang sesungguhnya telah diikat dalam prinsip tanggung jawab mutlak berdasarkan pasal 6 ayat (2) c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Jaring hukum jebol oleh kekuatan kekuasaan, dan hanya bisa meringkus yang kecil-kecil.


Tirani monopoli


Jika di jaman Orde Baru kekerasan dan kekejaman didominasi oleh militer selaku penyangga kekuasaan Soeharto, kini setelah jaman reformasi kekejaman bukan lagi dominasi militer. Jika dihitung dari tabulasi berita media sejak awal reformasi 1998, hingga tahun 2008 ini ada banyak kasus kekejaman yang dilakukan polisi kehutanan dan polisi umum di dalam hutan yang mengorbankan lebih dari 30 nyawa rakyat kecil dan 71 penduduk luka-luka. Belum lagi kasus-kasus yang tak diketahui media, sebab tak semua wilayah kasus kekerasan di dalam hutan tercium media.

Kejadian demi kejadian kekejaman itu terjadi karena tangan-tangan sipil, yaitu para pegawai Perhutani, serta polisi. Reformasi Indonesia hanya sebuah istilah, demokrasinya hanya menjadi ritual, tapi dalam realitasnya Indonesia mendestruksi substansi demokrasi. Kedaulatan rakyat masih menjadi mimpi, jatuh terkapar dalam transformasi berdarah-darah, enggan meninggalkan tradisi kekerasan struktural.

Berkaitan dengan tradisi kekejaman yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, sebenarnya itu berlawanan dengan spirit demokrasi itu juga dapat dilihat jejaknya dalam rumusan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal 2 UU No. 41/1999 menentukan bahwa dalam penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Dalam penjelasan pasal 2 ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan harus memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya serta ekonomi, memberi peluang sama kepada semua warga negara, harus dicegah terjadinya monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni.

Penyelenggaraan kehutanan harus menerapkan pola usaha bersama antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi, mengikuitsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat, dilakukan terpadu, memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain dan masyarakat setempat.

Tetapi asas-asas hukum kehutanan tersebut hanyalah menjadi rumusan hukum imajinatif sebab tanpa ada penerapannya, menjadi hukum yang tidak efektif. Perhutani menjadi penguasa terbesar hutan Jawa, lebih dari 80 persen dari total hutan di Jawa. Luas daratan Jawa sekitar 12,5 juta hektar dan Perhutani mengelola 3,6 juta hektar hutannya. Di Jawa Timur, luas daratannya sekitar 4,642 juta hektar dan memiliki hutan seluas 1,361 hektar (28 persen dari total wilayah daratan Jawa Timur), terdiri dari 217,05 hektar hutan konversi dan 1,144 juta hektar hutan yang dikelola Perhutani. Hutan lindung di Jawa Timur yang dikelola Perhutani hanya 315,505 hektar, sedangkan hutan produksinya 828,889 hektar.

Tampaknya monopoli hutan oleh Perhutani itu telah menimbulkan akibat buruk, penduduk sekitar dan dalam hutan tetap miskin, berada di bawah bayang-bayang moncong senapan. Monopoli selalu berkecenderungan melahirkan tirani. Sebenarnya monopoli oleh negara bisa saja justru menjadi lebih baik daripada liberalisasi pengelolaan kekayaan alam yang menguasai hidup orang banyak, asalkan memperhatikan kebutuhan rakyat dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam penting itu.

Tentu memprihatinkan jika jejak demokrasi dalam hukum kehutanan yang dirumuskan dalam asas-asas hukum kehutanan tersebut tidak terlaksana, tapi juga hingga kini hukum administrasi negara tidak pernah proaktif memberi jalan agar memberi kemudahan mekanisme izin bagi masyarakat yang secara turun-temurun bergantung dan memunyai hubungan alamiah dengan hutan. Terjadilah kriminalisasi. Mandor atau Mantri Perhutani bisa saja memburu dan menangkap penduduk yang menggembalakan ternak di hutan atau membawa peralatan pemotong kayu di hutan (lihat pasal 50 ayat (3) UU No. 41/1999 secara utuh).

UU No. 41/1999 juga masih keliru dalam memandang status hutan rakyat yang dikatakannya sebagai hutan hak, yaitu hutan yang berada di tanah yang dibebani hak (pasal 1 angka 5 dan pasal 5 UU No. 41/1999 serta penjelasannya). Jika ada sebuah korporasi kehutanan yang memperoleh Hak Guna Usaha khusus lalu menjadikannya sebagai hutan maka akankah hutan korporasi itu disebut hutan rakyat? Ini harus dibenahi.

Dalam jangka menengah dan panjang ke depan, asas-asas hukum kehutanan harus dilaksanakan nyata dengan melenyapkan monopoli Perhutani dan diganti dengan pola hutan-hutan desa yang dikelola oleh masyarakat desa. Ada contoh pengelolaan hutan desa yang cukup berhasil seperti hutan Desa Jokarto, Tempeh, Lumajang. Hutan desa itu aman di tangan masyarakat desa, dan justru Kepala Desanya sendiri yang menjadi tukang balaknya. Sistem hutan masyarakat mestinya semakin dikembangkan, agar di masa depan rakyat bisa mengakses hak mereka atas hutan sekaligus menjadi penjaga alamiah. Jika selama ini para penduduk sekitar hutan menjadi tertuduh penjahat hutan, ternyata ada predator hutan terbesar bukanlah mereka, melainkan para penyalahguna kekuasaan. Hutan kita mestinya adalah hutan kesejahteraan, bukan hutan kekejaman kepada rakyat kecil.


Rabu, 07 Mei 2008

Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo

Hingga hari ini semburan lumpur Lapindo sampai pada fase yang terus mengkhawatirkan, dengan korban terus bertambah. Akibat semburan lumpur yang hampir genap dua tahun itu telah semakin memperberat dan memperluas penderitaan sosial (great social suffering). Jika semburan lumpur itu berjalan hingga 50 tahun, Greenomics menghitung biaya penanggulangan masalah lumpur Lapindo itu akan menjadi Rp. 756 triliun (Hukumonline.com, 13/2/2007).

Sedangkan trio pemegang partisipating interest Blok Brantas yang terdiri dari Grup Bakrie, Medco dan Santos menanggung hanya Rp. 5 triliun sesuai janji mereka yang berlindung di balik jubah Perpres No. 14/2007.

Jika itu benar, negara (rakyat) Indonesia akan menanggung Rp. 751 triliun, jika tak ada upaya keras lebih lanjut untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo. Upaya penghentian semburan lumpur pernah dilakukan tapi dihentikan dengan alasan ‘dana.’ Lalu ditumpuki dengan pendapat sekelompok ahli geologi yang memustahilkan upaya penghentian semburan. Ini menjadi misteri tersendiri yang perlu dikuak.

Unsur kesengajaan

Kejaksaan RI hingga kini tampak ragu dengan setumpuk alat bukti pidana kasus semburan lumpur itu, maka patut dipertanyakan. Pasalnya, selain telah adanya berbagai alat dan barang bukti, ada juga acuan dokumen otentik, yaitu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang sudah sangat gamblang menjelaskan berbagai pelanggaran dalam proses peralihan Blok Brantas hingga kesalahan proses eksplorasi. Kejaksaan seharusnya tidak terjebak dalam kancah perbedaan pendapat para ahli geologi. Bukankah selama ini para koruptor yang diadili juga ‘menyewa’ ahli dan perkaranya tetap dibawa ke pengadilan?

Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.

Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu.

Akal sehat (logika obyektif) semua orang bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya dasar itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas yang diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan keselamatan sosial.

Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi jika semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya, maka unsur ‘kesengajaan’ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK juga menemukan banyaknya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi, kasus semburan lumpur Lapindo itu bukan ‘kelalaian’ tapi sengaja menabrak rambu-rambu keselamatan sosial.

Pelanggaran HAM berat

Melihat fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu.

Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …”

Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi ‘pelanggaran HAM berat’ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Nah, kiranya dengan menerapkan tafsir historis yang progresif terhadap hukum HAM internasional tersebut dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo itu maka para pengambil keputusan di tubuh Grup Bakrie dan pemerintah dalam pengusahaan Blok Brantas tersebut dapat diadili di Pengadilan HAM. Tapi bisakah - dalam praktiknya - hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum kita selama ini. Reformasi jatuh tersandung di soal itu.

Maka Komnas HAM selaku lembaga independen seyogyanya dijadikan komisi yang tak sebatas selaku penyelidik, tapi juga sebagai penyidik dan penuntut khusus dalam kasus pelanggaran HAM berat. UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 harus diperbaiki guna menambah fungsi dan wewenang Komnas HAM itu.

Jumat, 02 Mei 2008

Investor Asing yang Setan Gundul

Lakonana klawan sabaraning kalbu; Lamun obah niniwasi; Kasusupan setan gundhul; Ambebidung nggawa kendhi; Isine rupiah kethon. (Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran; Sebab jika bergeser akan menderita kehancuran; Kemasukan setan gundul; Menggoda membawa kendi berisi uang banyak). Ini adalah penggalan syair Sabdo Jati, karya Ronggowarsito yang ditulis tahun 1873. Saya akan menghubungkan petuah syair itu dengan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia dikaitkan dengan mimpi kesejahteraan rakyat Indonesia.

China yang komunis itu mencemaskan bagi Amerika Serikat (AS). China menjadi kiblat baru bagi Afrika dalam hal investasi ketika Afrika mulai jengah dengan imperium ekonomi Barat yang tidak membawa perubahan apa-apa bagi Afrika selain kekacauan. India semakin jaya dalam menjual teknologi informasi (TI). Lantas kita bertanya: kenapa Indonesia yang superkaya sumber daya alam (SDA), sebagai negara terbesar keempat di dunia ini tidak bisa seperti Cina atau India? Kenapa ekonomi Indonesia kalah langkah dengan si kecil Vietnam yang sepuluh tahun lalu tidak ada apa-apanya?


Setan gundul

Beda Indonesia dengan China dan India terletak pada kecerdikan. China dan India cerdik dalam mengelola SDA mereka, mengontrol investasi asing dengan nasionalisme, mempertahankan badan usaha milik negara (BUMN) yang strategis. Mereka paham bahwa investor yang mereka hadapi adalah imperium ekonomi kapitalisme yang akan melakukan apa saja, seperti kata Henryk Grossman (1929) bahwa kapitalisme tidak peduli dengan perbaikan manusia tapi hanya mengejar profit. Investor asing itu adalah setan gundul yang membawa kendi berisi uang banyak. Jika kita tidak bersabar, terburu-buru dalam menandatangani kontrak-kontrak, bergegas-gegas dalam memakai formula ekonomi mereka, maka kita sudah bergeser dari nasionalisme Indonesia sehingga kehancuran yang kita terima.Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika menemukan penggelembungan cost recovery yang dilakukan para kontraktor production sharing (KPS) minyak dan gas bumi yang merugikan negara, sebab konon terlalu longgarnya klausul kontrak sehingga takut mengusut. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengaudit penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp.122,68 triliun, menemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18,07 triliun. Cost recovery minyak mentah Indonesia juga mencapai 9,03 USD per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar 4 sampai 6 USD per barel. Cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia (rilis pers LMND, 22/2/2008). Pemerintah juga terburu-buru meneken kontrak dengan Exxon Mobil ketika belum tuntas dalam kalkulasi biaya produksi migas Blok Cepu. Pertamina waktu itu menawarkan biaya operasional yang lebih murah, yaitu 120 juta USD per tahun, padahal, Exxon menghitungnya senilai 450 juta USD per tahun. Di Papua pemerintah buru-buru memperpanjang kontrak dengan Freeport dengan memberi tambahan masa konsesi selama 30 tahun lagi plus masa opsi 2 kali 10 tahun, sehingga perusahaan tersebut akan terus mengeduk Gunung Grasberg hingga tahun 2041 (MajalahTrust.com, 6/11/2006).
Sementara itu data Greenomics Indonesia menunjukkan tarif sewa dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk 13 perusahaan tambang di hutan lindung Indonesia hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun atau hanya 3,96% dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun (siaran Pers JATAM, 7 Maret 2008). Persis seperti hasil kajian Prof. Mubyarto dalam Ekonomi Terjajah (2005), bahwa ekonomi Indonesia terjajah, tampak dari terhisapnya rata-rata lebih dari 50 persen produksi Indonesia dibawa para investor asing. Ternyata Indonesia menjadi negara yang pemerintahnya tidak segagah China atau India dalam mengelola kapital asing. Indonesia kalah cerdik dengan setan gundul yang memameri kantong banyak uang (kapital), tapi malah menerima kehancuran. Data Bank Dunia menyebutkan penduduk miskin Indonesia adalah 49 persen dengan pendapatan di bawah 2 USD per hari. Kematian rakyat atau bunuh diri karena miskin, bayi-bayi kurang gizi, penduduk makan nasi aking menjadi menu sehari-hari rakyat Indonesia. Kita kalah dengan setan gundul.


Nasionalisasi atau rekontrak


Ketika Evo Morales, petani aktivis itu terpilih menjadi presiden Bolivia tahun 2005, ia mengumumkan pemotongan separoh gajinya dan para menterinya, agar bisa menggaji pegawai pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Sejak 1985 pemerintah Bolivia mengeluarkan dekrit kebijakan pasar bebas atas rekomendasi Washington. Tapi selama itu pula Bolivia tetap miskin, termiskin di Amerika Latin, padahal negara kecil itu punya kekayaan migas yang dikelola investasi asing. Dekrit itu dicabut Morales dan menolak bantuan AS jika AS meminta pemberantasan tanaman koka.

Selanjutnya Morales mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan migas asing. Pengumuman itu langsung didukung militer Bolivia yang langsung menjaga ladang migas. Militer tidak untuk menjaga kapital asing, tapi menjaga kekayaan nasional. Dengan nasionalisasi itu penerimaan Bolivia disektor migas melonjak menjadi 780 USD juta tahun 2007 atau meningkat enam kali lipat dibanding tahun 2002. Terhadap perusahaan asing yang menolak, mereka boleh pergi, kata Menteri Energi Bolivia, Andres Soliz.

Indonesia yang sebesar ini entah mengapa terlalu takut dengan asing. Nasionalisme hanya dijadikan senjata untuk membunuhi rakyat sendiri dengan peluru tentara dan polisi, tapi tunduk kepada dominasi kapital asing. Lebih konyol juga bahwa menurut Jusuf Anwar, saat masih menjabat Menteri Keuangan, ada sekitar 750 perusahaan modal asing (PMA) yang tidak membayar pajak penghasilan (PPH) dengan modus pengakuan merugi sebagai konsekuensi dari penerapan sistem self assessment tersebut (Kompas, 22/11/2005).

Bagi Indonesia, jika tak ingin terus dikibuli setan gundul itu, maka hanya ada dua jalan: nasionalisasi SDA vital dikelola PMA sebagai wujud kedaulatan Indonesia atas kekayaannya sendiri, atau dilakukan rekontrak (kontrak ulang) yang lebih menguntungkan Indonesia agar ada keadilan bagi rakyat Indonesia yang selama ini ngaplo, hanya menjadi penonton atas kekayaan negaranya sendiri dan bahkan teracuni limbah orang asing yang menyedot kekayaan Indonesia.



Senin, 21 April 2008

Lumpur Lapindo dan Kerugian Rakyat

Ketika lumpur Lapindo baru sekitar dua bulan menyembur, Aburizal Bakrie alias Ical, Menteri Koordianator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) - yang juga bos Grup Bakrie pemilik Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) - mengatakan bahwa ia yakin Lapindo akan mampu menanggung seluruh biaya untuk mengatasi semburan lumpur panas itu, sehingga pemerintah sama sekali tidak mencadangkan anggaran untuk ganti rugi warga, relokasi maupun penanganan lumpur. Penjelasan Ical tersebut menanggapi pernyataan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan dana sepeserpun dari APBN untuk penanganan kasus lumpur Lapindo itu (Jawa Pos, 13/8/2006).

Waktu berjalan, sebulan kemudian semburan lumpur tak kunjung berhenti. Saat itu Lapindo mengatakan telah menghabiskan dana 35 juta – 40 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk biaya penanggulangan luapan lumpur. Wacana relokasi penduduk korban mulai muncul. Tapi Lapindo menolak untuk membeli tanah warga yang terendam. Yuniwati Teryana, Kepala Divisi Humas Lapindo saat itu mengatakan bahwa Lapindo itu production sharing contractor (PSC), tidak bergerak di bidang properti. Sebagai perusahaan PSC Lapindo terikat kontrak dengan pemerintah. Untuk mengadakan aset pun Lapindo harus mendapatkan rekomendasi pemerintah sebab aset itu nantinya menjadi milik negara (Jawa Pos, 13/9/2006). Yuniwati benar. Pendapatnya sesuai prinsip UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).

Tapi Yuniwati lupa bahwa Grup Bakrie juga mempunyai usaha properti di mana-mana. Singkat cerita, Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang mewajibkan Lapindo membeli lahan korban lumpur, tapi dibatasi menurut peta terdampak 22 Maret 2007. Biaya relokasi, pengalihan infrastruktur dan lain-lain di luar peta itu akan ditanggung negara dan sumber lain yang sah. Hingga di sini, pemerintah pusat menjilat ludahnya sendiri.

Selanjutnya Lapindo memberi kuasa kepada PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk melakukan jual-beli aset terendam lumpur dengan korban di wilayah terdampak menurut peta 22 Maret 2007. Tapi kekisruhan demi kekisruhan terjadi termasuk soal formalitas bukti hak atas tanah, hingga Emha Ainun Nadjib meredakan kekisruhan itu dengan cara ‘sumpah’. Emha yang kebetulan punya kedekatan hubungan dengan keluarga Bakrie dipercaya oleh Lapindo dan diberi kuasa oleh ribuan korban lumpur.

Soal itu masih akan menjadi teka-teki untuk masa depan. Apakah tanah yang dibeli MLJ tersebut akan menjadi hak Lapindo atau MLJ? Jika seumpama tanah korban lumpur itu beralih menjadi hak MLJ apakah sah menurut UU No. 22 /2001 dan Perpres No. 14/2007? Bukankah MLJ yang diberikan kuasa oleh Lapindo adalah ‘wakil’ Lapindo? Apakah wakil boleh ‘memiliki’ urusan yang diwakilinya sebagai urusannya sendiri dengan akibat memperoleh hak yang berasal dari urusan yang diwakilinya? Apakah hukum membenarkan adanya klausul perjanjian jual-beli baku (standard contract) antara korban lumpur Lapindo dengan MLJ yang menyebutkan syarat untuk ‘tidak akan menuntut Lapindo’? Bagaimana jika kasus serupa terjadi di lain tempat di Indonesia yang kaya-raya migas ini, apakah akan diselesaikan dengan cara serupa? Apakah hukum yang adil membolehkan seluruh rakyat Indonesia dipaksa menanggung beban atau risiko semburan lumpur di luar peta terdampak 22 Maret 2007 yang dikonstruksikan dengan Perpres No. 14/2007 itu?

Wewenang daerah

Jika jawaban-jawaban atas seluruh pertanyaan tersebut adalah ‘ketidakpastian’ maka negara ini perlu merumuskan ‘kepastian’, khusus dalam model pertanggungjawaban pengelolaan kekayaan alam migas dan pertambangan lainnya. Jika pemerintah pusat terlalu sulit untuk memberikan kepastian itu maka pemerintah daerah harus segera merumuskan aturan main (rule of game) guna memberikan jaminan kepastian hukum atas nasib rakyat di daerah masing-masing, agar tidak menjadi bulan-bulanan permainan oligarki. Sebab, ketidakpastian itulah yang menjadi alat para pemilik kapital untuk terus menggunakan kuku-kuku kekuasaan ekonomi mereka, ‘membeli’ siapapun untuk memenangkan pertarungan melawan publik. Ujungnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Pemerintah daerah mempunyai wewenang menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dengan instrumen hukum tersebut pemerintah daerah masing-masing seharusnya menata ruang dan menata guna tanah dengan berpedoman pada sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 UUD 1945. Setiap pelaku usaha tambang di daerah akan diberikan izin lokasi jika mau memberikan jaminan absolut atas risiko usaha mereka, seperti halnya korporasi asuransi modern yang berani menggaransi risiko kejadian-kejadian di luar kesalahan tertanggung sebab korporasi tersebut menggunakan kekayaan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Pemerintah daerah juga menetapkan ruang-ruang mana yang menjadi ruang pengaman rakyat, dikonservasi dan dilarang untuk dikonversi sembarangan. Penataan ruang dan penatagunaan tanah harus memperhatikan hak keadilan ekologis (eco-justice) dan keadilan sosial (social justice). Kedua prinsip keadilan itu selama ini diabaikan sehingga bukan hanya kasus lumpur Lapindo yang muncul, tetapi juga banjir serta longsor di mana-mana akibat konversi lahan sembarangan demi mendewakan pembangunan ekonomi yang tidak kunjung memakmurkan rakyat tetapi malah menimpulkan malapetaka berkepanjangan.

Para ekonom maupun teknokrat ekonomi harus mulai berpikir bahwa nilai guna ekonomi barang juga menyangkut nilai ekologis (eco-value atau eco-utility). Mengapa mereka tidak menghitung berapa nilai kerugian yang harus ditanggung rakyat dan negara akibat perusakan lingkungan hidup? Tahun ini saja pemerintah menghitung kebutuhan sekitar Rp. 60 triliun untuk biaya perbaikan infrastruktur akibat banjir di saentero Nusantara ini. Belum lagi tiap tahun APBN serta APBD Jawa Timur harus menanggung beban biaya semburan lumpur Lapindo selama semburan itu belum dihentikan atau berhenti. Lalu berapa hasil Blok Brantas yang dikelola Lapindo-Medco-Santos itu yang telah masuk ke negara?

Jika begitu, itu bukan membangun, tapi merusak. Negara menoleransi penguasa lumpur yang merusak hidup rakyat. Lalu apa guna negara bagi rakyat?

Kamis, 10 April 2008

Sains dan Hukum dalam Lumpur Lapindo

SAINS DAN HUKUM DALAM LUMPUR

Oleh: Subagyo


Jika lumpur Lapindo itu dipandang dari kacamata tasawuf misalnya, bisa saja dianggap sebagai ‘anugerah’ atau sebaliknya ‘hukuman’ Tuhan, sebab sesungguhnya kejadian di muka bumi tidak terbebas dari peran Tuhan dan perilaku manusia. Seumpama seluruh manusia mampu menyingkap tirai penghalang diri mereka dengan Tuhan, maka kita tak membutuhkan struktur dan bangunan negara yang harus dibiayai dari kekayaan masyarakat yang tunduk diperintah, sebab semua orang mampu secara sempurna menjadi Pangeran ngejawantah, khalifatullah atau representasi Tuhan di muka bumi, sehingga Allah pun tak perlu mengutus Nabi dan Rasul. Tapi inilah dunia dengan disain penuh masalah sebagai 'yang tak dapat dihindari.'

Ada pula yang berpendapat dengan kacamata ekonomi bahwa korban lumpur Lapindo menerima berkah ekonomi sebab tanah mereka dibeli Lapindo dengan harga tujuh atau 15 kali lipat dari harga pasar. Wajar jika tanah yang ada di atas cadangan kekayaan migas memiliki nilai ekonomi jauh di atas harga rata-rata tanah lainnya. Tetapi ternyata manusia tidak semuanya hanya memikirkan angka materi. Adakalanya orang sangat menghargai sejarah perjuangan hidup, karya, budaya, nilai sosial, kedamaian, nilai-nilai non-ekonomi yang tak akan terjangkau oleh angka ekonomi. Jika nilai-nilai non-ekonomi itu lenyap maka berapapun besarnya uang tak akan mampu menggantikannya. Menurut saya, ada soal tanggung jawab yang harus diperjelas dan dipertegas, menyangkut masa depan Indonesia.


Sains dan tanggung jawab


Sejak kasus lumpur itu meledak, tak terhitung lagi acara-acara seminar, diskusi dan sebagainya yang membahas soal lumpur Lapindo. Ada dua kubu ahli atau ilmuwan dalam menilai penyebab semburan lumpur Lapindo itu. Ada ahli yang menghubungkan semburan lumpur itu dengan gempa Jogja, ada ahli yang menyimpulkan kesalahan dalam proses eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 Porong.

Pertanyaannya: Apakah pendapat para ahli tersebut dapat dijadikan dasar memutuskan pertanggungjawaban akibat semburan lumpur itu? Tidak. Sebab perdebatan para ahli itu berada di ruang sains. Pertanggungjawaban merupakan terminologi normatif, terkait hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam interaksi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Jika pertanggungjawaban itu ditarik menjadi persoalan norma hukum maka penyelesaian hukum membutuhkan kejelasan fakta. Fakta tidak dibuktikan dengan sains yang masih dualistik, tapi dengan alat bukti. Alat bukti sudah ada (hasil audit BPK, keterangan saksi-saksi fakta, surat-surat/dokumen). Tinggal bagaimana logika obyektif penegak hukum dalam kecerdasan mereka. Penegak hukum dalam kasus Munir bisa menjadi sangat cerdas meski tak satupun ada saksi pembunuhan terhadap Munir. Tapi mengapa dalam kasus yang lebih gampang menjadi gagap? Ada faktor ‘X’ yang berkaitan dengan dominasi kapital. Hukum dijajah kapitalisme.

Tetapi masyarakat berhak menguji konklusi sains atas suatu masalah yang terkait dengan kepentingan sosial, agar tidak menjadi bahasa sains yang tak teruji kebenarannya. Sebab sains juga mencari rumusan kebenaran. Plato merupakan pioner epistemologi yang menghendaki adanya debat ilmiah yang hidup. Plato juga melihat Yunani Kuno yang memunculkan fenomena penggunaan bahasa (pengetahuan) yang memperjualbelikan integritas demi kekuasaan (Kieron O’Hara dalam Plato and Internet, 1999). Kekuasaan moderen juga didominasi korporasi seperti kata David Loy, David Korten, John Perkins, dan lain-lain. Kekuasaan politik menjalankan platform pemerintahan sesuai kehendak korporasi donor yang mendanai penguasa pemenang pemilu (HA Shutt, 2001).

Selain berkuasa atas pemerintahan, korporasi juga menggunakan para intelektual ahli untuk upaya membebaskan mereka dari jerat hukum, selain kepentingan bisnis keseharian. O’Hara mengatakan bahwa era ekonomi moderen tidak dapat dilangsungkan dengan mengandalkan otot, melainkan otak. Ekonomi baru menuntut ‘pekerja pengetahuan’ yang menciptakan nilai dan kapital intelektual.

Meski Alan Burton Jones (1999) – sebagaimana dikutip O’Hara – mengatakan bahwa pengetahuan masih dipahami sempit, dinilai sebagai sumber ekonomi yang tidak berharga, tapi kita melihat ternyata korporasi-korporasi bahkan telah menempatkan para intelektual ahli menjadi soft labor (buruh lunak) yang mengerjakan apapun sesuai dengan pesanan korporasi, yang bahkan mau kehilangan kemerdekaan intelektual mereka.

Prof. Bain berkata, makna sejati kemerdekaan adalah tidak adanya dorongan dari luar. Seekor rubah yang terdorong lapar dan kemudian masuk ke dalam peternakan, tetapi tidak tergoda, maka ia adalah agen yang bebas (Khan Sahib Khaja Khan; Ahmad Nashir Budiman, 2000). Para intelektual kita belum sepenuhnya merdeka dari motif pribadi (subyektif). Contohnya, dalam praktik hukum ada banyak ahli dan guru besar yang bisa ‘disewa’ untuk kepentingan membebaskan terdakwa dengan memberikan analisis yang palsu, tapi toh tidak selalu dipercaya hakim. Inilah fenomena buruk kapitalisasi intelektual karena hegemoni kapitalisme yang menawarkan hedonisme. Imperialisasi ternyata merambah dunia sains.


Ahli dan fakta


Pada kasus lumpur Lapindo, seharusnya pendapat atau teori ahli hanya untuk menjelaskan alat bukti, tidak dinilai sebagai fakta. Keterangan ahli bukan alat bukti perdata (pasal 1886 KUHPerdata jo. pasal 164 HIR). Ahli bisa diangkat hakim (pasal 154 HIR) tapi keterangan hanya dibutuhkan manakala kecukupan alat bukti yang ada nilainya masih kurang kuat (Yahya Harahap, 2007: 795). Sedangkan dalam hukum acara pidana, keterangan ahli hanya salah satu jenis alat bukti (pasal 184 KUHAP). Artinya, ahli yang tidak berfungsi menjelaskan alat bukti seharusnya diabaikan. Misalnya, tidak ada korelasi rasional antara alat bukti fakta pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam pemboran dengan keterangan ahli tentang pengaruh gempa Jogja.

Fakta dalam kasus lumpur Lapindo sudah ditemukan oleh negara melalui BPK yang menemukan fakta bahwa kontraktor pemboran kurang kompeten dari segi pengalaman, penggunaan peralatan dan personel, peralatan pemboran yang digunakan sering mengalami kerusakan, penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar peralatan, lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki) yang berkorelasi dengan kelambatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss. Selain itu ada fakta patahnya mata bor. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No.384/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Pst. menyimpulkan Lapindo lalai tidak memasang casing di kedalaman tertentu yang menyebabkan semburan lumpur itu. Tapi PN Jakarta Selatan berpendapat berbeda. Hakim perdata yang mestinya terikat alat bukti otentik yang diterbitkan negara tapi malah mengikuti pendapat ahli yang simpang-siur.

Hukum harus memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia agar tidak menanggung beban semburan lumpur dalam waktu yang tak tentu melalui APBN dan APBD. Haruskah setiap bayi Indonesia yang baru lahir mesti menanggung tanggung jawab Grup Bakrie, Gorup Medco dan Grup Santos Australia di Blok Brantas itu, selain utang luar negeri? Sekarang, sains seharusnya berperan untuk menghentikan semburan lumpur dan mengantisipasi problem masa depan. Hanya begitukah kepintaran para ahli Indonesia?

Hampir dua tahun lumpur itu menyembur, tapi mana teknologi yang konon akan mengolahnya menjadi berkah? Kata para ahli lumpur Lapindo bisa sebagai bahan semen, kosmetik, gerabah, dan lain-lain, atau apa? Yang sudah jelas, lumpur itu adalah bahan derita sosial ketika kekuasaan pemerintahan lumpuh terbenam ke dalam lumpur.

Sabtu, 05 April 2008

Setan Diberi Makan Setan (Polisi Suap)

Setiap Hari Rp 3,6 Miliar Dibagi ke Polisi


POLISI di Kalimantan Barat tidak berdaya menghadapi pembalakan liar besar-besaran yang kemudian diselundupkan ke Malaysia. Kalau dikatakan tidak melihat atau tidak mengetahui hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut kayu illegal itu, sepertinya tidak mungkin. Setiap hari rata-rata ada 30 kapal yang keluar masuk mengangkut kayu illegal.

Dan rasanya juga tidak mungkin kalau tidak melihat atau mengetahui, sebab di sepanjang alur yang dipakai untuk mengangkut kayu illegal untuk diselundupkan ke Malaysia itu terdapat 18 pos penjagaan. Jadi kalau misalnya ada satu pos yang tidak melihat, tentu masih ada 17 pos lagi yang melihat.

Menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Abubakar, pembalakan liar di Kalbar sudah berlangsung beberapa tahun. Dan praktik itu baru terungkap setelah tim dari Bareskrim Mabes Polri yang dipimpin langsung Kabareskrim Komjen Bambang Hendarso Dhanuri melakukan operasi sejak 14 Maret lalu.

Kerja keras tim dari Bareskrim yang hanya setengah bulan ini tidak mengecewakan. Sebanyak 26 orang tersangka ditangkap, 19 kapal diamankan, dan 12 ribu meter kubik kayu illegal seharga Rp 216 miliar diamankan.

Padahal kapal-kapal yang melintas di pos-pos polisi itu bukan kapal kecil yang tidak terlihat dalam jarak beberapa meter. Tapi kapal-kapal besar yang paling sedikit memiliki kapasitas angkut 500 ton.

Kadiv Humas menyebut panjang kapal antara 25 meter sampai 40 meter. Kalau untuk mengangkut kayu bisa diisi sampai lebih dari 1.000 meter kubik. Ini artinya kapal tersebut akan terlihat dari jarak jauh.

Lalu kenapa kok polisi yang jaga dipospos sepanjang alur pengangkutan kapal kayu illegal ini tidak melihat? Menurut keterangan dari beberapa tersangka, setiap kapal bermuatan kayu illegal lewat, kapal ini akan menebar duit kepada para petugas. Ada petugas khusus yang biasa menebar uang tutup mata polisi ini.Namanya Wijaya. Ia sudah ditangkap tim Mabes Polri sejak Rabu (2/4) lalu.

Jumlah uang yang ditebar untuk menutup mata petugas ini tidak sedikit. Mereka mengistilahkan uang tutup mata ini dengan sebutan 'tabur bunga'. Setiap kapal yang lewat, disediakan uang tabur bunga sebanyak Rp 120 juta. Padahal dalam sehari, ada sekitar 30 kapal yang lewat. Ini artinya sehari ada sekitar Rp 3,6 M yang ditebar untuk menutup mata petugas di 18 pos jaga itu.

Bayangkan kalau sebulan saja bertugas di pos jaga itu. Apalagi sampai setahun. Makanya pilih diam saja. Toh diam saja sudah dapat bagian.

Sumber: Bangka Pos, Jum'at, 04 April 2008.


Selasa, 01 April 2008

Membuka Teka-teki Penyebab Lumpur Lapindo

MEMBUKA TEKA-TEKI PENYEBAB SEMBURAN LUMPUR LAPINDO

Analisis Perbandingan Pendapat Para Ahli

Oleh: Subagyo


ABSTRAK

  1. Pendapat para ahli geologi, pemboran, dan perminyakan yang berpendapat bahwa semburan lumpur Sidoarjo disebabkan gempa Jogja telah meragukan sebab para ahli tersebut bukanlah ahli atau peneliti gempa bumi. Para ahli tersebut juga tidak pernah menganalisis secara mendalam pengaruh jeda waktu atau perbedaan peristiwa gempa Jogja 27 Mei 2006 dengan awal semburan lumpur Lapindo 29 Mei 2006. Sedangkan para ahli geologi serta pemboran yang berpendapat bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah kesalahan eksplorasi Lapindo cocok atau sesuai dengan kejadian kronologi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo yang disusun oleh Lapindo Brantas Inc., BP Migas, Mekanik Kontraktor Pemboran Lapindo Brantas Inc (PT. Tiga Musim Jaya Mas) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun demikian untuk menghilangkan keraguan adanya pengaruh gempa Jogja atau tidak sebagai penyebab semburan lumpur tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang dilakukan ahli gempa berkerjasama dengan ahli geologi lainnya serta ahli pemboran minyak dan gas bumi (migas) dengan data-data primer. Lapindo Brantas Inc seharusnya buka-bukaan, tidak menyembunyikan data pentingnya untuk tujuan kemudahan menyimpulkan penyebab semburan lumpur itu guna penentuan metode upaya penghentian semburan lumpur Lapindo.


PENDAHULUAN

Hingga saat ini (tulisan ini dimulai 27 Maret 2008) penyebab semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) yang berlokasi di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo masih menjadi teka-teki. Ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan eksplorasi yang dilakukan kontraktor yang ditunjuk Lapindo (yang tanggung jawabnya ada di Lapindo) dan ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan fenomena alam mud volcano terkait gempa Jogja 27 Mei 2006.

Dua kelompok pendapat ahli tersebut mempengaruhi penegak hukum. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No. 384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. (atas gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia / YLBHI) menyimpulkan adanya fakta ‘kesalahan dalam pemboran’. Dalam pertimbangan hukumnya Hakim PN Jakarta Pusat tersebut menyatakan:

Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.”

Tetapi hakim PN Jakarta Pusat tersebut tidak menghukum Lapindo dan para tergugat lainnya dengan alasan bahwa para Tergugat telah melaksanakan upaya secara optimal dalam memenuhi hak perlindungan korban maupun upaya penghentian semburan lumpur.

Sedangkan hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara No. 284/Pdt.G/2006/ PN.Jak.Sel. (atas gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia / WALHI) menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo tersebut karena fenomena alam. Dalam pertimbangannya hakim PN Jakarta Selatan menjelaskan:

Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”

Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur juga berkali-kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur dengan alasan adanya dualisme pendapat para ahli tersebut.

Untuk itulah, tulisan ini dimaksudkan untuk membedah dualisme pendapat para ahli yang selama ini dipersepsikan sebagai ‘bertolak belakang’ sehingga kebenaran tentang penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut menjadi polemik yang tidak jelas. Tulisan ini tunduk menggunakan formula ilmiah dalam menuju konklusi, melalui koleksi data, komparasi, klasifikasi, analisis hingga sampai pada konklusi untuk menjawab teka-teki tersebut. Oleh sebab penulis bukan ahli geologi dan bukan ahli pemboran perminyakan maka penulis mencari kebenaran penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut dengan menggunakan pendapat para ahli, termasuk mereka yang berada dalam dua kelompok yang berbeda pendapat.

Teknik pencarian kebenaran yang penulis gunakan adalah teknik komparatif seperti yang biasa digunakan oleh hakim, membandingkan pendapat para ahli yang berbeda pendapat, mencari titik-titik lemah dan titik-titik kuat, menggunakan logika obyektif, lalu menemukan konklusi sebagai teori, yang memungkinkan dalam bentuk:

  1. Menyetujui salah satu kelompok pendapat dengan menganggap kelompok pendapat lainnya tidak benar; atau

  2. Menemukan hukum atau teori berdasarkan titik singgung yang mempertemukan dua kelompok pendapat ahli yang berbeda; atau

  3. Tidak menemukan kebenaran dengan menyimpulkan bahwa kedua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut telah keliru dalam menyimpulkan penyebab semburan lumpur, atau

  4. yang lainnya.


KRONOLOGI KEJADIAN SEMBURAN

Penulis merupakan salah satu anggota Tim Advokasi Kemanusiaan Korban Lumpur Lapindo yang turut merumuskan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah. Untuk berusaha menjaga obyektivitas dan keadilan dalam merumuskan tulisan ini maka penulis juga menggunakan kronologi serta pendapat versi Lapindo dan pemerintah.


    1. Kronologi Versi Lapindo dan BP Migas


Berdasarkan fotocopy dokumen kronologi kejadian semburan lumpur Lapindo yang dibuat Lapindo dan Badan Pengawas Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tertanggal 12 Juni 2006, semburan lumpur Lapindo terjadi di lokasi sekitar Sumur BJP 1 Sidoarjo sebagai berikut:

      1. Pemboran sumur mulai 8 Maret 2006.

      2. Pemboran aman sampai dengan kedalaman 3.580 feet, casing 13 3/8” diset dan disemen.

      3. Pemboran dilanjutkan sampai dengan kedalaman 9.297 feet, terjadi kehilangan lumpur Sabtu pagi (Sabtu pagi tersebut adalah tanggal 27 Mei 2006, pen). Kejadian ini ditanggulangi dengan LCM (singkatan dari lost circulation material, pen).

      4. Selanjutnya direncanakan penyemenan di daerah loss (yang kehilangan lumpur itu, pen) dan pemasangan casing.

      5. Rangkaian pemboran dicabut (diangkat ke atas, pen) sampai kedalaman 4.421 feet dimana terjadi well kick pada Minggu (hari Minggu tersebut adalah tanggal 28 Mei 2006, pen).

Kejadian well kick tersebut ditangani dengan Kill Mud sampai sumur tersebut mati dan bisa terkendali lagi. Selanjutnya dilakukan dilakukan sirkulasi lumpur untuk membersihkan sumur dari sepih bor.

      1. Rangkaian mata bor direncanakan untuk dicabut sampai ke permukaan tetapi tidak berhasil (terjepit).

      2. Pada Senin pagi (Senin pagi tersebut tanggal 29 Mei 2006, pen) timbul semburan lumpur alami 150 meter dari lokasi pemboran.

      3. Seminggu kemudian semburan lumpur alami tidak mengalami penurunan intensitas. Kondisi pemboran dinilai tidak aman. Diputuskan menyelamatkan sumur dan peralatan pemboran. Rangkaian pemboran dilepaskan dan dipasang cement plug di bawah mata bor dan di atas pipa.

      4. Drilling rig dan alat pemboran lainnya dikeluarkan dari lokasi dan dikembalikan kepada pemilik (siapa pemilik drilling rig dan alat pemboran?, pen).


    1. Kronologi Versi BPK


Dalam laporan auditnya tertanggal 29 Mei 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi sebagai berikut:

      1. Pemboran Sumur BJP 1 dimulai pada tanggal 8 Maret 2006.

      2. Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa, pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick dan pipa terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah maupun berputar/berotasi.

      3. Pada tanggal 29 Mei 2006 sejak jam 4.30 muncul semburan H2S, air dan lumpur ke permukaan. Lokasi semburan + 150 meter dari lokasi Sumur BJP 1.

      4. Karena luapan semburan lumpur mulai menggenangi area Sumur BJP 1, ada rekahan dan pipa terjepit, maka pada tanggal 4 Juni 2006 Sumur BJP 1 ditinggal untuk sementara (temporary well abandonment). Pada saat ditinggalkan, tinggi semburan berkisar 1-2 meter dan berasal dari tiga titik semburan.

      5. Akhirnya LBI (Lapindo) menutup sumur secara permanen (permanent well abandonment) pada tanggal 18 Agustus 2006 setelah upaya menghentikan semburan lumpur melalui Sumur BJP-1 gagal.


    1. Kronologi Versi Mekanik Kontraktor Pemboran


Syahdun, sorang mekanik PT. Tiga Musim Jaya Mas selaku kontraktor pemboran yang ditunjuk Lapindo menjelaskan kepada media (Kompas, 8/6/2006). Syahdun juga telah diperiksa penyidik Polda Jawa Timur dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Syahdun menjelaskan:

      1. Pada mulanya formasi sumur pemboran pecah.

      2. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet, gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa.

      3. Lumpur panas keluar dari kedalaman 9.000 feet atau 2.743 meter dari perut bumi, juga keluar dari enam titik lainnya.


Ketiga versi kronologi tersebut tidak berbeda secara substansial, sehingga dalam soal tersebut tidak ada masalah.


PENDAPAT PARA AHLI


Pendapat ahli yang penulis kutip selanjutnya ini hanya beberapa ahli geologi dan pemboran perminyakan berasal dari Indonesia yang relevan dalam mencaritahu penyebab semburan lumpur Lapindo. Penulis sengaja tidak menggunakan hasil analisis Prof. Richard J Davies sebagaimana di di jurnal geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 maupun hasil laporan PBB Juni-Juli 2006 dengan alasan menghindari kecurigaan subyektivitas persepsi sebab keduanya merupakan produk 'asing', meski sesungguhnya dalam kajian ilmiah tidak etis untuk berlaku diskriminatif.

Dengan ukuran obyektivitas maka hasil analisis Prof. Richard J Davies tersebut menurut penulis sebenarnya yang paling ilmiah dan masuk akal sebab bisa dengan tepat menjelaskan pengaruh gempa Jogja yang berbeda waktu dengan awal peristiwa semburan lumpur Lapindo. Maka penulis mencoba sengaja untuk memulai analisis ini dengan mengakomodasi pemikiran para ahli yang telah 'meminjam data-data' pihak Lapindo (termasuk Energi Mega Persada), sebab penulis merupakan salah satu anggota perumus gugatan kepada Lapindo Brantas Inc dan tergugat lainnya yang dilakukan YLBHI dan WALHI.

Pada dasarnya terdapat dua kelompok ahli yang berpendapat dalam soal penyebab semburan lumpur Sidoarjo, yaitu: Kelompok ahli penyimpul bahwa semburan lumpur karena bencana alam, dan kelompok ahli penyimpul bahwa semburan lumpur Lapindo karena kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo.


    1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Bencana Alam


Penulis tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pada dasarnya pendapatnya dilandasi argumentasi yang sama. Dalam kelompok ahli ini saya kutip pendapat beberapa ahli yang cukup mewakili sebab para ahli ini diantaranya diminta pihak Lapindo untuk menjadi ahli di PN Jakarta Pusat dan Selatan dalam sidang atas gugatan YLBHI dan WALHI. Para ahli tersebut adalah:

      1. Agus Guntoro, ahli Teknik Geologi Universitas Trisaksi, peneliti anggota Tim Investigasi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

      2. Sukendar Asikin, Guru Besar, ahli geologi Institut Teknologi Bandung (ITB).

      3. Mochamad Sofian Hadi, ahli geologi dipekerjakan di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

      4. Dody Nawangsidi, ahli Teknik Perminyakan dari ITB.


Pendapat ahli Agus Guntoro :

Ia menjelaskan perdapatnya dalam Temu Ilmiah Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, Analisa Penyebab dan Alternatif Penanggulangannya, di Jakarta, 7 Desember 2006 yang diorganisasi oleh Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas). Dalam acara tersebut Agus Guntoro memaparkan makalahnya berjudul: Hipotesa Semburan Lumpur Sidoarjo dari perspektif Geologi. Agus Guntoro menjelaskan 4 (empat) hipotesa penyebab semburan lumpur Lapindo, yaitu:

  1. Semburan akibat pemboran Sumur BJP 1,

  2. Semburan akibat Gempa Jogja (terjadi dua hari sebelum semburan Lusi),

  3. Semburan akibat proses aktivitas Gunung Lumpur (mud volcano), dan

  4. Semburan akibat adanya aktivitas panas bumi (geothermal).


Dalam makalahnya tersebut Agus Guntoro berkesimpulan diantaranya khusus dalam soal penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut di kesimpulan huruf d dinyatakan: “Sangat mungkin semburan lumpur Sidoarjo tidak berkaitan dengan pemboran tetapi merupakan sebuah fenomena alam berupa mud volcano yang keluar melalui zona patahan yang teraktifasi yang dapat disebabkan oleh gempa Jogjakarta yang mendahului 2 hari sebelum semburan.”


Agus Guntoro menjelaskan bahwa naiknya erupsi semburan lumpur panas di daerah sekitar Sumur BJP 1 merupakan hasil dari adanya zona plastis yang merupakan bagian dari shale diapirism yang naik ke permukaan sebagai mud volcano. Fenomena ini tersebar secara regional dari Jawa Barat hingga utara Lombok. Patahan-patahan yang terekam pada bawah permukaan bukan semata terbentuk secara tektonik dan merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Contemporaneuous Fault System. Patahan tersebut sangat labil terhadap pergerakan masa dari sepih yang masih plastis dan inkompetibel.


Menurut Guntoro, dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen hingga Oligosen.


Dalam keterangannya di muka PN Jakarta Selatan (gugatan WALHI kepada Lapindo dll.) Agus Guntoro menerangkan telah melakukan penelitian sehingga menyimpulkan, diantaranya:

    • Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).

    • Hasil analisis air menunjukkan lumpur dan air itu merupakan dua sistem yang berbeda letaknya.

    • Adanya gas H2S yang biasanya menunjukkan di dalam geologi untuk Jawa Timur berasal dari formasi Kujung.

    • Kandungan Florid berkisar sekitar 14.000 ppm, sangat tinggi dan tidak berasal dari formasi Kalibeng di mana lumpur itu berasal.


Dalam korelasi antara gempa Jogja dengan masalah pemboran Guntoro menjelaskan:

    • Bahwa terjadi korelasi antara gempa dengan proses loss yang terjadi pada saat pemboran yaitu sekitar 10 menit setelah terjadinya gempa Jogja yang terjadi persis loss yang hilangnya lumpur pemboran yang digunakan, kemudian 6 jam setelah itu terjadi loss mengakibatkan terjadinya loss dan kick.


Dalam acara Temu ilmiah di Jakarta (7/12/2006), Agus menjawab pertanyaan korelasi antara pemboran sumur Banjar Panji1 dengan mud volcano sebagai berikut:

    • Apa yang kita hadapi saat ini sangat kompleks, sehingga tidak bisa dilihat dari satu disiplin ilmu. Yang dilihat secara geologi adalah melihat fakta secara regional dengan menggunakan metode induksi dan deduksi. Karena tidak mungkin seorang geogolog memutuskan secara final, yang kita sampaikan adalah dari sudut pandang geologi.”


Guntoro di sidang PN Jakarta Selatan memastikan semburan lumpur Lapindo bukan karena aktivitas pemboran dengan alasan:

    • ada beberapa penelitian yang saksi (Agus Guntoro) lakukan menunjukkan bahwa air dan lumpur berasal dari dua sistem yang berbeda. Kemudian yang kita lihat adalah temperatur yang begitu tinggi tidak menunjukkan sebagai fluida yang dari titik bor sampai pada kedalaman.

    • Volume yang begitu besar sulit dibayangkan keluar dari lubang sumur yang diameternya 12,5 inchi, karena itu saksi (Agus Guntoro) berpendapat keluarnya semburan melalui suatu bidang yang berkaitan dengan aktivitas dari pergerakan kulit bumi.


Pendapat ahli Sukendar Asikin:

Ia menjelaskan secara lebih umum di hadapan hakim PN Jakarta Selatan berkaitan dengan adanya korelasi antara semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja. Asikin mengatakan:

    • Bahwa yang menyebabkan keluarnya lumpur di Sidoarjo adalah ada beberapa patahan atau cekungan yang diisi oleh sedimen. Sedimen ini lunak disebut lempung yang sangat tebal pada waktu terjadi gerak tektonik cekungan tadi sudah diiris oleh patahan-patahan, patahan-patahan itu akan bergerak kembali pada saat gerak tektonik. Patahan inilah menstimuler lempung bergerak ke atas.

    • Bahwa yang menyebabkan adanya lumpur Sidoarjo karena gerakan tektonik itu terjadi hanya beberapa saat setelah terjadi gempa.

    • Bahwa selain di Sidoarjo di tempat lain saksi pernah melihat gunung lumpur ini di Timor, di Irian, di Bangkalan dan di Purwodadi itu semuanya karena gerak kerak bumi atau tektonik tadi di Timor tidak ada pemboran, tapi gunung lumpur itu bersamaan keluarnya dengan oilship atau rembesan-rembesan minyak. Di situ ada lumpur yang bergerak ke atas tapi juga ada rembesan minyak.


Dalam kaitannya dengan jarak gempa Jogja dengan Sumur BJP 1 Sidoarjo yang lebih jauh (250 km) dibandingkan lokasi Bleduk Kuwu yang lebih dekat (120 km), Asikin menjawab:

    • Bleduk Kuwu umurnya sudah ratusan tahun, wajar keluar lumpurnya hanya sedikit.

(Keterangan Asikin ini tidak dicatat dalam putusan PN Jakarta Selatan tersebut, tapi direkam oleh Walhi: www.walhi.or.id, 8/11/2007)


Pendapat ahli Mochamad Sofian Hadi:

Ia menerangkan penyebab semburan lumpur Lapindo di PN Jakarta Selatan, diantaranya:

    • Saksi ahli dalam bidang tektonik dan telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan lumpur itu disebabkan tektonik terjadi apabila ada benturan.

    • Bahwa lumpur tersebut sampai keluar karena air bersentuhan dengan magma yang sanggup mendorong fluida keluar.

    • Bahwa yang menyebabkan lumpur Sidoarjo keluar adalah karena tektonik, lumpur yang sekarang ini keluar sama dengan di Madura.


Selanjutnya ia juga menerangkan:

    • Bahwa lumpur keluar setelah pemboran itu hanya kebetulan.

    • Bahwa luapan lumpur itu bisa dihentikan ada dua sisi tinjau, kalau sisi tinjau keliling melihat ini underground blowout jawabannya bisa dihentikan luapan lumpur tersebut, tapi kalau ini sisi tinjau mud volcano di mana air mendidih karena dapur magma menjawabnya tidak bisa dihentikan luapan lumpur tersebut.


Pendapat ahli Dody Nawangsidi:

Soal tidak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran di Sumur BJP 1 tersebut Dody Nawangsidi di PN Jakarta Selatan menerangkan:

    • Bahwa pemasangan casing itu adalah kick toleran apa terlampau atau tidak dan pada saat itu kick toleran belum melampaui harga minimum maka pemboran tersebut bisa dilakukan sampai sedalam mungkin. Ini hal yang normal dan di mana-mana orang mengebor itu dengan open hole tanpa casing itu sangat panjang, jauh melebihi yang di Banjar Panji. Di dunia ternyata lebih panjang itu misalnya di Laut Cina Selatan, Selat Madura, Kalimantan 6.000 feet belum dipasang casing.

    • Bahwa sumur BJP 1 belum terpasang casing sampai kedalaman lubang terbuka 6.000 feet itu merupakan hal yang wajar, bukan kesalahan.

    • Bahwa proses pemboran di Sumur BJP 1 setelah saksi pelajari dari data perencanaan hingga operasi dan penanggulangan masalah, semuanya tidak ada yang menyalahi prosedur, semuanya sudah sesuai dengan prosedur yang ada.


Soal keluarnya lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:

    • Bahwa degan pemboran ini tidak ada hubungannya dengan keluarnya lumpur. Patahan ini dalamnya 20.000 kaki sedangkan pemboran hanya 900 kaki (maksudnya 9.000 kaki, pen) dan casingnya tidak pecah.

    • Bahwa operasi pemboran di BJP 1 tidak ada yang menyalahi prosedur, dapat dipertanggungjawabkan.

    • Bahwa korelasi antara semburan lumpur dengan pemboran Sumur BJP 1 adalah salah satu korban dari kejadian tektonik itu.

    • Bahwa lumpur Lapindo itu tidak disebabkan drilling accident, karena lumpur tidak berasal dari lubang sumur.


Soal pengaruh gempa dengan jauh-dekatnya jarak suatu tempat, Dody menerangkan:

    • (Tergantung) tingkat kestabilannya, kalau gempa terjadi di suatu lokasi maka pengaruh yang paling dirasakan belum tentu di daerah yang paling dekat, bisa juga di tempat lebih jauh lebih terasa, tergantung struktur lempeng di bawahnya.

    • Saya bukan ahli gempa.” (lihat rekaman Walhi di http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/Lapindo_2007_11_14/).


Tentang lumpur yang muncul dari pemboran Dody berteori:

    • (Lumpur pemboran itu dari) yang pertama berasal dari kaki casing yang pecah, lalu lumpur menyembur keluar dari tempat pemboran, tapi kalau terjadi underground blowout itu keluar dari kaki casing dan kemudian muncul ke atas.

    • Pada umumnya (lumpur karena pemboran) terjadi di lubang pemboran bisa juga di tempat lain yang jauh dari pemboran kurang lebih radius 40 meter.


Soal asal lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:

    • Bahwa lumpur keluar dari tempat lain selain pemboran karena lumpur itu ada di lapisan 3.000 – 4.000, lempung yang keras kemudian ada air mengalir dari bawah kira-kira 20.000 kaki, dia akan bercampur dengan lempung sehingga akan terjadi lumpur karena selnya reaktif maka lumpur bertekanan tinggi mencari jalan keluar melalui rekahan dan kalau semburan akibat pemboran tidak lebih dari 750 m3 per hari. Ini 200 kali lipat.


    1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Pemboran Lapindo.


Penulis juga tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pendapat mereka juga hampir sama secara substansial.

      1. Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran perminyakan dari ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo.

      2. Andang Bachtiar, ahli geologi dan pemboran perminyakan, anggota Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI).

      3. Adi Susilo, ahli geosains, Kepala Laboratorium Geosains Universitas Brawijaya Malang.

      4. Amin Widodo, ahli studi bencana, Kepala Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.


Pendapat ahli Rudi Rubiandini:

Tentang penyebab semburan lumpur Lapindo itu Rudi menerangkan sebagai ahli di PN Jakarta Selatan sebagai berikut:

    • Bahwa semburan lumpur Lapindo ini terjadi (hasil dari hasil investigasi yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan) disimpulkan keluarnya air panas dan asin yang naik ke permukaan menggerus tanah liat kemudian meretakkan batuan di permukaan di dalam lubang yang tidak terpasang casing kemudian keluar ke permukaan menjadi semburan gunung lumpur, itu fenomena yang terjadi di Sumur BJP 1 sekarang.

    • Bahwa data-datanya diperoleh dari daily drilling report yaitu sebuah data-data yang selalu dicatat oleh ahli pemboran, dari situ dapat dilihat bahwa tekanan yang terjadi dalam lubang melebihi kekuatan tekanan batuan yang dimiliki oleh batuan selama pemboran. Akibat tekanan yang melebihi tadi mengakibatkan bahwa batuan menjadi rekah dan tidak mungkin lagi fluida di dalam lubang selamanya sehingga mencari jalan keluar, keluarlah seperti sekarang akhirnya membesar. Sekarang sudah sangat membesar sekali lubangnya sehingga laju alir atau debitnya sudah jauh lebih besar daripada saat awal alirannya sangat kecil, dengan waktu fluktuasi sekarang aliran sudah kontinyu dan mengalir membesar karena lubangnya besar.

    • Bahwa dari data-data, secara ringkas penyebab utama semburan lumpur ini ada dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari bawah yang tidak terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.

    • Bahwa penyebab semburan lumpur ini dari investigasi kami sejak bulan Juni tahun yang lalu kesimpulannya kami bahwa tetap semburan ini disebabkan pada awalnya pada lubang Sumur BJP 1 yang saat itu sedang dibor oleh PT. Lapindo Brantas.


Soal kelanjutan upaya penghentian semburan dengan relief well yang pernah dilakukan Lapindo, Rudi menerangkan:

    • Bahwa ketika saksi (Rudi, pen) sudah masuk Timnas sudah menyarankan relief well tersebut. Saran itu jelas dilaksanakan dan diterima oleh sistem namun kemudian tidak dapat dilanjutkan, yang terakhir kendalanya adalah bahwa biaya untuk melaksanakan pekerjaan tersebut sudah habis, karena itu pekerjaan tidak diteruskan dan pemboran hanya berhenti di tengah jalan.


Rudi menyinggung kaitannya dengan Sumur Porong sebagai berikut:

    • Bahwa jarak Sumur BJP 1 dengan Porong kira-kira 4,5 km sudah dibor lebih dulu kedalamannya relatif sama, tidak menghasilkan, itu juga sumur eksplorasi yang memiliki kedalaman sama. Ada yang sudah menghasilkan di dekat situ namanya sumur Wunut jaraknya kira-kira 2,5 atau 3 km, namun sumurnya cukup dangkal sehingga tidak korelatif dengan sumur yang sedang dibor.


Soal prinsip kick toleran Rudi menjelaskan:

    • Bahwa dikatakan aman atau tidak aman keadaan di bawah tanah secara teknis ada beberapa metode. Metode pertama adalah engineering yaitu melihat berapa kick toleran. Toleran itu adalah berapa sempat sebuah lumpur nanti pada saat dibor ketika terjadi kick dia bertahan. Dalam hitungan saksi (Rudi, pen) Sumur BJP 1 itu sampai kedalaman 9.297 itu hanya memiliki 0,5 pond per gallon dan itu secara operasional dapat diperbolehkan selama tidak ada kejadian apapun jika ketika membor normal itu aman. Namun ketika terjadi proses tadi tekanan kick pasti tidak aman karena tekanan jauh melebihi tekanan tersebut.


Dalam soal kaitan antara casing dengan kejadian kick, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa yang menyebabkan terjadinya kick bukan karena tidak dipasang casing. Kick adalah sebuah kecelakaan pemboran yang kita temui. Ada loss, ada kick, ada stuck. Tapi ketika ada kick kemungkinan kita punya casing maka akan aman-aman saja.


Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa yang berkembang sekarang di media massa adalah beberapa ahli menyatakan gempa bumi, menyatakan geothermal, semua pernyataan tersebut setelah dianalisa kembali dengan data-data dari hasil pemboran dari luapan, dari tekanan, termasuk juga dari hasil evaluasi ahli geofisis tentang gempa ternyata bahwa hipotesa-hipotesa itu terlalu lemah untuk menyatakan bahwa penyebab semburan itu dalah hasil metode tersebut. Sedangkan data-data otentik yang diperoleh dari hasil pemboran cukup memperkuat bahwa aliran itu pertama keluar pada saat pemboran terjadi pada saat kick terjadi.


    • Bahwa hubungan kejadian gempa dengan tidak terpasangnya casing dari analisa ahli geofisis mengatakan itu terlalu jauh untuk mengakibatkan terjadinya semburan Lapindo dari Jogjakarta dan itu jaraknya kira-kira 300 km, itu tidak ada hubungannya.


Soal fungsi rig pemboran saat semburan lumpur terjadi, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa pada saat terjadinya blowout, rig itu tidak boleh pergi. Rig itu harus melakukan killing sampai rig itu terbakar. Yang terjadi di Sumur BJP 1 itu rig pergi setelah memotong pipa sehingga sehingga sangat kesulitan pada saat melakukan killing sehingga kita menunggu 4 bulan blowout sejak 29 Mei 2006.


Pendapat ahli Andang Bachtiar:

Ia pernah memaparkan hasil-hasil temuan datanya dalam presentasi berjudul: “Banjarpanji, Mud Volcano in The Making, Tinjauan Geologi Lumpur Porong” tanggal 7 September 2006. Andang memaparkan fakta temuan semburan, material dan data-data yang berkaitan dengan sumber semburan lumpur sebagai berikut:

    • Appears approx. 200 m from well.

    • Initial burst contains H2S 35 ppm but disappeared or significantly reduced on the second day, Zero for a long time but currently some amount is detected. H2S was encountered when drilling into and kick from Carbonate.

    • MUD - WATER 70%, SOLID 30%.

    • Chloride content: 14.000 ppm.

    • Mud Temperature at Surface: steam 212o F (100 o C). Mixing with near surface water is assumed.

    • Found Nanno and Foram fossils.

    • Contains organic materials of Terrestrial and Marine origin.

    • Thermal Maturity is equivalent to Ro 0.64%.

    • Contains predominantly of Quarts (SiO2) and Clay materials (Smectite, Chlorite and Kaolinite).

    • Contains some Hydrocarbon which is different than the SOBM used to drill the Banjarpanji-1 well.


Dari data-data tersebut Andang membuat kesimpulan asal semburan lumpur, yaitu:

Sources of Solid:

  • The Overpressured Shale

    • Foram & Nanno fossils found suggest from 6.000-4.000 ft.

    • Thermal maturity suggest from 5100 – 6300 ft

    • Kerogen composition correlatable with SWC from 5.600 ft

    • Temperature estimated source is from 5.100-5.500 ft

  • Also contribute water (trapped water) è MOST LIKELY


Sources of Water/Gas/Energy (drive)

  • Kujung Formation.: Initial burst contain H2S suggest contribution from Kujung.

    • Presence of H2S upto present time suggest continued contribution of Kujung

  • Highly porous and permeable Sandstone 6.360-6.385 ft

  • Volcanic Sandstone at 6.100 ft. Superchaged from overlying shale. Limited contribution as it is tight. Should not last long. ==è Pressure reconciliation problems


    • Dalam presentasinya tersebut Andang menjelaskan bahwa gempa Jogja kecil kemungkinannya sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo.

    • Ia menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah bor Lapindo menembus lapisan mud diapir.

    • Andang berkali-kali meminta secara terbuka agar Lapindo membuka data-data yang disembunyikan.


Pendapat ahli Adi Susilo:

Ahli geosains Universitas Brawijaya ini berpendapat (Kompas, 8/6/2006):

    • Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak BJP 1 bukan merupakan bencana alam, tapi merupakan ketidakberuntungan.

    • Diduga, saat penggalian dilakukan lubang galian belum sembat disumbat dengan cairan beton sebagai casing.

    • Lubang itu menganga karena gempa bumi di Jogja yang getarannya dirasakan sampai ke Sidoarjo.

    • Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon yang merupakan bahan baku minyak bumi muncrat karena tekanannya sangat kuat.

    • Prosedurnya memang lubang penggalian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pemboran selesai dilakukan dan minyak mentahnya telah ditemukan.


Pendapat ahli Amien Widodo:

Ia menjelaskan (Kompas, 8/6/2006):

    • Semburan lumpur Lapindo dimungkinkan karena kesalahan prosedural yang mengakibatkan blowout.

    • Secara prosedural kalau ada gas naik akan digunakan lumpur untuk menutupnya. Namun mungkin saja gas bertekanan besar ini mendorong lumpur dan mencari retakan lain yang ada di dalam tanah.

    • Lumpur yang terbawa keluar pun bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa juga lumpur yang menutup lapisan gas di dalam tanah.

Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Amien berpendapat:

    • Perlu gempa berkekuatan 6 skala richter untuk menimbulkan rekahan seperti yang terjadi di Yogyakarta. Di Surabaya yang terasa paling 2 skala richter.

    • Gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalaupun ada retakan yang melintasi Surabaya itu adalah retakan yang melintas dari sekitar Surabaya ke arah Barat Daya Pacitan.


ANALISIS PERBANDINGAN

  1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam

Jika pendapat ahli Agus Guntoro, Sukendar Asikin, Mochamad Sofian Hadi dan Dody Nawangsidi diperbandingkan maka akan ditemukan keadaan-keadaan:

    1. Keterangan Agus Guntoro yang tidak sama dalam hal yang sama, yaitu:

Dalam acara Temu Ilmiah tersebut Agus Guntoro menyatakan:

Dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen hingga Oligosen.”

Ini berbeda dengan keterangannya di PN Jakarta Selatan yang menerangkan: “Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).”

(catatan penulis: Zona atau lapisan bumi Ngimbang, Kujung dan Kalibeng berbeda dalam usia, bentuk lapisan dan kedalamannya).

    1. Keterangan empat ahli tersebut sama dalam hal bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo karena rekahan tanah di sekitar Sumur BJP 1 karena gerakan tektonik.

    1. Dody Nawangsidi mengatakan asal lumpur semburan dari kedalaman 3000 – 4000 kaki, sedangkan Agus Guntoro mengatakan asal lumpur berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).

    1. Perbedaan interpretasi dalam soal sama tersebut dimungkinkan karena perbedaan jenis data yang dianalisis, yaitu data seismic dan data material. Tetapi ini sekaligus menunjukkan bahwa konklusi data geologis ternyata rentan dengan ‘kesalahan’.


  1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi

Jika pendapat ahli Rudi Rubiandini, Andang Bachtiar, Adi Susilo, dan Amin Widodo diperbandingkan maka akan diperoleh temuan:

    1. Para ahli ini sama pendapat bahwa telah terjadi kesalahan eksplorasi oleh Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur tersebut.

    1. Amien Widodo memastikan gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur sebab kekuatannya tidak memenuhi syarat untuk adanya rekahan (di lokasi semburan lumpur tidak sampai 6 skala richter tapi hanya sekitar 2 skala richter). Pendapat ini sama dengan Andang Bachtiar yang membandingkan jarak dengan kekuatan gempa.

    1. Sedangkan Adi Susilo berpendapat bahwa getaran gempa Jogja menjadi pemicu rekahnya kedalaman pemboran yang tidak dipasangi casing oleh Lapindo, sehingga ia mengatakan semburan lumpur itu bukan karena bencana alam.

    1. Pendapat para ahli ini juga mengandung anasir probabilitas, bersifat konklusi sains yang tidak dapat dijadikan alat menyimpulkan kebenaran fakta absolut. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendapat ahli yang dijadikan alat menyimpulkan sebuah hukum atau teori penyebab semburan lumpur Lapindo masih mengandung kelemahan.


  1. Analisis Perbadingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam dengan Penyimpul Kesalahan Eksplorasi

Dari dua kelompok pendapat ahli yang berbeda tersebut, dapat dibandingkan sebagai berikut:

    • Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut adalah para ahli geologi serta ahli pemboran maupun perminyakan yang bukan ahli gempa, kecuali Amien Widodo yang berkecimpung dalam laboratorium Pusat Studi Bencana di ITS. Para ahli geologi yang bukan ahli gempa diragukan untuk bisa menyimpulkan secara akurat bahwa semburan lumpur tersebut merupakan akibat gempa Jogja atau bukan. Ini menyangkut kompetensi keahlian.

    • Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut yang merupakan ahli pemboran tidak fokus dalam menganalisis data-data yang mereka peroleh untuk dikaitkan dengan kronologi semburan lumpur Lapindo, kecuali Rudi Rubiandini dan Andang Bachtiar. Tetapi Andang Bachtiar masih merasa terkendala dengan ‘data-data Lapindo’ yang masih belum diungkapkan ke publik padahal itu penting untuk menyimpulkan penyebab semburan lumpur Lapindo secara lebih tepat.

    • Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam berkesimpulan secara berbeda dengan kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1, tetapi mereka tidak pernah menganalisis tuntas tentang problem yang terjadi selama proses pemboran, contohnya berkaitan dengan terjadinya kick, stuck, dan loss dalam korelasinya dengan long open hole karena tak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran Sumur BJP 1. Ketika mereka menyimpulkan gempa Jogja sebagai penyebab, mereka juga tidak menganalisis tuntas tentang pengaruh perbedaan kejadian (gempa terjadi 27 Mei 2006, sedangkan semburan lumpur terjadi 29 Mei 2006). Ini tentu hal yang tidak bisa mereka lakukan sebab mereka mungkin tidak begitu paham tentang bagaimana proses pencairan bebatuan dalam bumi saat terjadinya gempa, sebab mereka bukan ahli gempa.

    • Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi berkesimpulan secara sama dengan seluruh versi kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1 hingga terjadinya semburan lumpur Lapindo tersebut yang tentunya ini bukan merupakan sebuah kebetulan.


KONKLUSI

    1. Pendapat para ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah gempa Jogja telah meragukan dan tidak dapat digunakan sebagai rujukan sebab: (1) Merupakan analisis ahli yang bukan ahli gempa; (2) Tidak tuntas dalam menganalisis problem yang terjadi dalam proses pemboran di Sumur BJP 1 Sidoarjo, dan (3) Tidak dapat menjelaskan pengaruh perbedaan hari antara peristiwa gempa Jogja (27 Mei 2006) dengan kejadian semburan lumpur Lapindo (mulai 29 Mei 2006).

    2. Pendapat ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo ternyata sesuai dengan kronologi proses pemboran Sumur BJP 1 yang disusun Lapindo, BP Migas serta versi mekanik kontraktor pelaksana pemboran Lapindo sendiri maupun BPK. Namun, konklusi itu masih 'terseret' hipotesis tentang kejadian gempa Jogja sebagai pendapat yang digunakan pihak Lapindo.


SARAN

    1. Lapindo harus membuka seluruh data proses pemboran Sumur BJP 1 Sidoarjo terkait dengan kepentingan korban dan nasional agar segera diputuskan untuk langkah penghentian semburan lumpur Lapindo.

    1. Diperlukan metoda analisis kolaboratif para ahli independen antara ahli geologi gempa, ahli pemboran dan ahli geologi lainnya dengan dasar data-data primer (bukan data sekunder) dan bukan sekedar hipotesis, untuk bisa mengetahui penyebab semburan lumpur Lapindo.

    2. Kolaborasi penelitian ahli inpenden sesungguhnya telah ada dari Tim Investigasi Independen bentukan pemerintah yang dipimpin Rudi Rubiandini serta para ahli yang digunakan BPK, hanya tinggal penelitian para ahli gempa bumi, sebab ahli bencana yang meneliti barulah Amien Widodo dari ITS yang telah menyimpulkan bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur Lapindo.