SAINS DAN HUKUM DALAM LUMPUR
Oleh: Subagyo
Jika lumpur Lapindo itu dipandang dari kacamata tasawuf misalnya, bisa saja dianggap sebagai ‘anugerah’ atau sebaliknya ‘hukuman’ Tuhan, sebab sesungguhnya kejadian di muka bumi tidak terbebas dari peran Tuhan dan perilaku manusia. Seumpama seluruh manusia mampu menyingkap tirai penghalang diri mereka dengan Tuhan, maka kita tak membutuhkan struktur dan bangunan negara yang harus dibiayai dari kekayaan masyarakat yang tunduk diperintah, sebab semua orang mampu secara sempurna menjadi Pangeran ngejawantah, khalifatullah atau representasi Tuhan di muka bumi, sehingga Allah pun tak perlu mengutus Nabi dan Rasul. Tapi inilah dunia dengan disain penuh masalah sebagai 'yang tak dapat dihindari.'
Ada pula yang berpendapat dengan kacamata ekonomi bahwa korban lumpur Lapindo menerima berkah ekonomi sebab tanah mereka dibeli Lapindo dengan harga tujuh atau 15 kali lipat dari harga pasar. Wajar jika tanah yang ada di atas cadangan kekayaan migas memiliki nilai ekonomi jauh di atas harga rata-rata tanah lainnya. Tetapi ternyata manusia tidak semuanya hanya memikirkan angka materi. Adakalanya orang sangat menghargai sejarah perjuangan hidup, karya, budaya, nilai sosial, kedamaian, nilai-nilai non-ekonomi yang tak akan terjangkau oleh angka ekonomi. Jika nilai-nilai non-ekonomi itu lenyap maka berapapun besarnya uang tak akan mampu menggantikannya. Menurut saya, ada soal tanggung jawab yang harus diperjelas dan dipertegas, menyangkut masa depan Indonesia.
Sains dan tanggung jawab
Sejak kasus lumpur itu meledak, tak terhitung lagi acara-acara seminar, diskusi dan sebagainya yang membahas soal lumpur Lapindo. Ada dua kubu ahli atau ilmuwan dalam menilai penyebab semburan lumpur Lapindo itu. Ada ahli yang menghubungkan semburan lumpur itu dengan gempa Jogja, ada ahli yang menyimpulkan kesalahan dalam proses eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 Porong.
Pertanyaannya: Apakah pendapat para ahli tersebut dapat dijadikan dasar memutuskan pertanggungjawaban akibat semburan lumpur itu? Tidak. Sebab perdebatan para ahli itu berada di ruang sains. Pertanggungjawaban merupakan terminologi normatif, terkait hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam interaksi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Jika pertanggungjawaban itu ditarik menjadi persoalan norma hukum maka penyelesaian hukum membutuhkan kejelasan fakta. Fakta tidak dibuktikan dengan sains yang masih dualistik, tapi dengan alat bukti. Alat bukti sudah ada (hasil audit BPK, keterangan saksi-saksi fakta, surat-surat/dokumen). Tinggal bagaimana logika obyektif penegak hukum dalam kecerdasan mereka. Penegak hukum dalam kasus Munir bisa menjadi sangat cerdas meski tak satupun ada saksi pembunuhan terhadap Munir. Tapi mengapa dalam kasus yang lebih gampang menjadi gagap? Ada faktor ‘X’ yang berkaitan dengan dominasi kapital. Hukum dijajah kapitalisme.
Tetapi masyarakat berhak menguji konklusi sains atas suatu masalah yang terkait dengan kepentingan sosial, agar tidak menjadi bahasa sains yang tak teruji kebenarannya. Sebab sains juga mencari rumusan kebenaran. Plato merupakan pioner epistemologi yang menghendaki adanya debat ilmiah yang hidup. Plato juga melihat Yunani Kuno yang memunculkan fenomena penggunaan bahasa (pengetahuan) yang memperjualbelikan integritas demi kekuasaan (Kieron O’Hara dalam Plato and Internet, 1999). Kekuasaan moderen juga didominasi korporasi seperti kata David Loy, David Korten, John Perkins, dan lain-lain. Kekuasaan politik menjalankan platform pemerintahan sesuai kehendak korporasi donor yang mendanai penguasa pemenang pemilu (HA Shutt, 2001).
Selain berkuasa atas pemerintahan, korporasi juga menggunakan para intelektual ahli untuk upaya membebaskan mereka dari jerat hukum, selain kepentingan bisnis keseharian. O’Hara mengatakan bahwa era ekonomi moderen tidak dapat dilangsungkan dengan mengandalkan otot, melainkan otak. Ekonomi baru menuntut ‘pekerja pengetahuan’ yang menciptakan nilai dan kapital intelektual.
Meski Alan Burton Jones (1999) – sebagaimana dikutip O’Hara – mengatakan bahwa pengetahuan masih dipahami sempit, dinilai sebagai sumber ekonomi yang tidak berharga, tapi kita melihat ternyata korporasi-korporasi bahkan telah menempatkan para intelektual ahli menjadi soft labor (buruh lunak) yang mengerjakan apapun sesuai dengan pesanan korporasi, yang bahkan mau kehilangan kemerdekaan intelektual mereka.
Prof. Bain berkata, makna sejati kemerdekaan adalah tidak adanya dorongan dari luar. Seekor rubah yang terdorong lapar dan kemudian masuk ke dalam peternakan, tetapi tidak tergoda, maka ia adalah agen yang bebas (Khan Sahib Khaja Khan; Ahmad Nashir Budiman, 2000). Para intelektual kita belum sepenuhnya merdeka dari motif pribadi (subyektif). Contohnya, dalam praktik hukum ada banyak ahli dan guru besar yang bisa ‘disewa’ untuk kepentingan membebaskan terdakwa dengan memberikan analisis yang palsu, tapi toh tidak selalu dipercaya hakim. Inilah fenomena buruk kapitalisasi intelektual karena hegemoni kapitalisme yang menawarkan hedonisme. Imperialisasi ternyata merambah dunia sains.
Ahli dan fakta
Pada kasus lumpur Lapindo, seharusnya pendapat atau teori ahli hanya untuk menjelaskan alat bukti, tidak dinilai sebagai fakta. Keterangan ahli bukan alat bukti perdata (pasal 1886 KUHPerdata jo. pasal 164 HIR). Ahli bisa diangkat hakim (pasal 154 HIR) tapi keterangan hanya dibutuhkan manakala kecukupan alat bukti yang ada nilainya masih kurang kuat (Yahya Harahap, 2007: 795). Sedangkan dalam hukum acara pidana, keterangan ahli hanya salah satu jenis alat bukti (pasal 184 KUHAP). Artinya, ahli yang tidak berfungsi menjelaskan alat bukti seharusnya diabaikan. Misalnya, tidak ada korelasi rasional antara alat bukti fakta pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam pemboran dengan keterangan ahli tentang pengaruh gempa Jogja.
Fakta dalam kasus lumpur Lapindo sudah ditemukan oleh negara melalui BPK yang menemukan fakta bahwa kontraktor pemboran kurang kompeten dari segi pengalaman, penggunaan peralatan dan personel, peralatan pemboran yang digunakan sering mengalami kerusakan, penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar peralatan, lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki) yang berkorelasi dengan kelambatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss. Selain itu ada fakta patahnya mata bor. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No.384/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Pst. menyimpulkan Lapindo lalai tidak memasang casing di kedalaman tertentu yang menyebabkan semburan lumpur itu. Tapi PN Jakarta Selatan berpendapat berbeda. Hakim perdata yang mestinya terikat alat bukti otentik yang diterbitkan negara tapi malah mengikuti pendapat ahli yang simpang-siur.
Hukum harus memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia agar tidak menanggung beban semburan lumpur dalam waktu yang tak tentu melalui APBN dan APBD. Haruskah setiap bayi Indonesia yang baru lahir mesti menanggung tanggung jawab Grup Bakrie, Gorup Medco dan Grup Santos Australia di Blok Brantas itu, selain utang luar negeri? Sekarang, sains seharusnya berperan untuk menghentikan semburan lumpur dan mengantisipasi problem masa depan. Hanya begitukah kepintaran para ahli Indonesia?
Hampir dua tahun lumpur itu menyembur, tapi mana teknologi yang konon akan mengolahnya menjadi berkah? Kata para ahli lumpur Lapindo bisa sebagai bahan semen, kosmetik, gerabah, dan lain-lain, atau apa? Yang sudah jelas, lumpur itu adalah bahan derita sosial ketika kekuasaan pemerintahan lumpuh terbenam ke dalam lumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar