Minggu, 15 Februari 2009

MAHA BANDIT DAN MALING KECIL

Hari ini ribuan korban Lapindo akan mendatangi Gubernur Jawa Timur yang baru, Soekarwo. Saya tak yakin Soekarwo akan mau menggunakan wewenang paksaan pemerintahan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 (pasal 25) dan UU No. 32 Tahun 2004 (pasal 13 jika nggak salah), agar Lapindo bertanggung jawab. Sulit! Sebab dia bukan muncul dari gerakan perlawanan rakyat, melainkan pelaku cerita kekuasaan kepanjangan tangan dari kekuasaan lama. Kecuali jika ada revolusi pemikirannya yang menjadikannya keluar dari pengaruh lingkungan kultur kekuasaan lama yang korup. Bertobat.
***

.... Saya ingat, suatu hari meminta seorang pensiunan anggota MPR untuk menjadi saksi perkara yang saya tangani di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dia Pak Nur (nama samaran), terkejut ketika tanpa sengaja melihat perkara lainnya, ada orang kecil diadili gara-gara mencuri sebuah jam tangan seharga Rp. 40 ribu-an. Hari itu orang itu didakwa, hari itu juga diputuskan menjadi terpidana, dihukum empat bulan penjara. Sama dengan hukuman yang biasa dijatuhkan kepada terpidana penipu yang merugikan ratusan juta rupiah.

Pak Nur mengatakan baru kali itu melihat proses peradilan secara langsung. “Mengadili orang kecil lebih mudah dibandingkan dengan para bandit besar. Hanya butuh waktu sehari,” kata Pak Nur.

Pak Nur heran, mengapa kasus pencurian sebuah jam tangan seharga Rp. 40 ribu begitu mudah masuk ke pengadilan. Tapi mengapa kasus-kasus besar, termasuk penyimpangan uang negara, perusakan lingkungan hidup, kok sangat sulit masuk ke pengadilan? Jika masuk ke pengadilan harus dengan proses panjang, berbelit, dan tak jarang penjahatnya dibebaskan oleh hakim?

Hukum yang menjadi pedang sakti adalah senjata. Ia tergantung pada siapa yang menguasainya. Jika pedang sakti jatuh ke tangan para bandit, maka korban akan bergelimpangan di mana-mana. Jika pedang sakti itu berada di kekuasaan para pendekar penegak kebenaran dan keadilan, maka akan tegaklah keadilan dan kebenaran.

Para bandit yang berkuasa, dengan dasinya yang mewah, atau dengan kekuasaan formalnya yang menentukan, telah menguasai segala lini kekuasaan sosial. Kampus, pers, LSM, aparatur pemerintahan, dan sudut manapun telah dijadikan antek-antek yang menyuarakan kebenaran dan keadilan palsu, dalam rangka memperkokoh kekuasaan sang maha bandit. Bahkan para bandit jalanan pun adalah alat lain yang dipergunakan untuk mengintimidasi dan menghabisi para penentangnya.

Praktik hukum di negara ini, seperti yang saya lihat sehari-hari dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, telah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat. “Jika ingin menjadi bandit, jadilah maha bandit! Jika ingin menjadi maling, jadilah maha maling! Sebab menjadi maling kecil akan mudah dihukum, sedangkan menjadi maling besar cenderung dapat memperalat hukum. Jika pun harus dihukum, hanya sekadarnya untuk membohongi pikiran dan perasaan sosial.”

Apakah Anda tahu bahwa para bandit kakap yang dipenjara oleh hukum sesungguhnya telah mengendalikan hukum dari balik jeruji besi penjara yang mewah? Andai saya tidak tahu, Anda mungkin tahu!

Rakyat korban Lapindo dan rakyat Indonesia yang urunan dalam APBN untuk menanggung kewajiban penguasa dari penguasa negara, adalah korban yang bergelimpangan....

Surabaya, 16 Pebruari 2009.

Jumat, 16 Januari 2009

Pengemis Kaya


Udara terasa panas menyengat di sekitar jam 11.30, hari Sabtu, 10 Januari 2009. Kawanan awan putih bergerombol-gerombol menggantung di langit muram.

Di jalan Kaliwaron Surabaya aku melintas. Sebuah jalan umum yang agak sempit di depan kampung bersebelahan dengan sungai kecil. Tampak seorang perempuan tua yang lusuh. Perempuan 70-an tahun itu berjalan menyusuri pinggiran jalan beraspal, dengan kaki telanjang.

Sekilas kulihat perempuan kumal itu menengadahkan tangan kepada seorang pekerja bengkel. Mengemis. Pekerja bengkel itu menggelengkan kepala. Mungkin pekerja bengkel itu tak menyimpan uang. Atau mungkin enggan memberi.

Tapi aku harus segera menjemput Gam yang jadual pulang sekolahnya jam 11.00 di hari Sabtu.

Setelah Gam kujemput dari sekolahnya, aku mencari pengemis itu. Ketemu. Aku melihat pengemis tua itu berjalan terus, tidak mencoba lagi meminta uang kepada orang-orang yang dilaluinya di kampung itu. Apa sudah terlalu banyak orang menolaknya sehingga ia mulai putus asa? Entahlah.

Aku berhenti sejenak, merogoh kantongku, tapi tak kutemukan uang. Lalu kuambil dompetku, kuambil uang secukupnya. Motor kujalankan lagi, mendekati pengemis tua itu. Aku ulurkan uangku kepadanya.

Matanya yang cekung sedikit berbinar. Sebelum habis ia mengucapkan kata terima kasih, aku tinggalkan dia. Nasibnya masih akan terus berjalan hingga malaikat maut datang kepadanya untuk membebaskan dirinya dari dunia yang terasa perih dan penuh adegan memuakkan ini.

Sekitar dua tahun lalu, aku pernah berjumpa dengan seorang pengemis perempuan tua di depan gedung BRI Tower Surabaya. Aku sedikit mengorek kehidupannya. Katanya, ia hidup sebatang kara, tak punya anak, suaminya sudah lama meninggalkan dunia. Ia tinggal sendiri, menyewa sebuah kamar di kampung Keputran.

Setiap hari pengemis perempuan tua itu berjalan keliling mengemis, memperoleh Rp. 10 hingga 20 ribu per hari. Jika beruntung kadang bisa mendapatkan Rp. 50 ribu. Tapi tak jarang juga kadang hanya sekadar memperoleh makan dan minum. Perempuan setua dia, yang jalannya sudah bongkok memakai tongkat, memang tak mungkin lagi bisa bekerja. Menyangga badannya sendiri saja susah-payah.

Dalam beberapa tahun ini tampaknya semakin banyak pengemis tua di kampung-kampung dan pinggir jalan raya atau di pinggir-pinggir perempatan jalan raya. Tapi dengan adanya program pemerintah untuk penertiban gepeng (gelandangan dan pengemis) serta anjal (anak jalanan), para pengemis itu tidak lagi berani mengemis di pinggir jalan raya. Jalan raya dibersihkan dari pemandangan pengemisan dan gelandangan. Mereka disembunyikan di balik ketiak pembangunan dan hukum yang menjijikkan.

Bagi pemerintah, kota tak boleh dikotori orang miskin. Kota milik kaum kaya. Kaum kaya pun mewajibkan diri mereka untuk memaki-maki para sopir angkot ataupun kopaja, bus kota, serta para pengendara sepeda motor yang sangat terampil menyusup-nyusup di sela-sela mobil kaum kaya, membuat jantung orang-orang kaya berdegup-degup kencang tanpa henti, takut cat mobilnya tersentuh dan tergores. Target pemerintah dan kaum kaya: kota harus steril dari penyakit yang bernama ‘kaum miskin’ yang menyakitkan mata mereka dan mengganggu kenyamanan mereka.

Kaum kaya yang tinggal di hunian-hunian moderen dalam perumahan-perumahan bagus juga memasang plang larangan masuk bagi para pengamen, pemulung serta pengemis. Tapi saya tak melihat ada larangan kepada para koruptor agar tidak masuk ke pemukiman kaum kaya itu. Mungkin, bisa jadi, tempat tinggal para koruptor memang di pemukiman yang bagus-bagus dan mewah.

Mereka tidak takut dengan penegak hukum sebab penegak hukum itu teman mereka sendiri. Meskipun banyak koruptor yang ditahan atau dipenjara, fasilitas dan kemewahan tetap saja mudah didapatkan, asalkan uang tersedia. Bahkan para penjahat ekonomi rakyat itu bisa dengan mudahnya menyuruh penegak hukum untuk melayani mereka, membelikan ini dan itu, menyediakan apa yang dimau. Asalkan uang tersedia.

Yang paling ditakuti para koruptor dan kaum kaya adalah pencopet, pencuri dan perampok. Dalam pikiran kaum kaya tertanam imajinasi, bahwa orang melarat itu adalah penjahat. Jika ada seorang pemulung membawa karung bekas dan tongkat pengorek tempat sampah maka orang kaya akan takut dan bergumam: “Jangan-jangan itu pencuri atau perampok?”

Dalam waktu yang sangat jarang, imajinasi itu benar. Saya yang tidak kaya kadang kehilangan ember atau sandal jelek di depan rumah ketika lupa tidak menggembok pagar rumah. Orang kaya atau orang berpendidikan tinggi tak akan mau mencuri ember dan sandal jelek. Yang mengambil kemungkinan besar orang miskin.

Soal curi-mencuri, orang kaya dan orang miskin, berpendidikan atau buta huruf, sama-sama ada yang menjadi pencuri. Tinggal menghitung, berapa besar hasil curian orang kaya atau orang berpendidikan, dibandingkan dengan besarnya hasil curian orang miskin atau tak berpendidikan. Target curiannya pun berbeda.

--------------------------

Sesampai di sebuah perempatan jalan di dekat kampung Mulyorejo, merah lampu lalu lintas menyala. Tampak di sekitar perempatan jalan itu persaingan iklan-iklan para politisi yang sedang merayu rakyat agar memilih mereka menjadi anggota dewan alias wakil rakyat. Di pinggir-pinggir jalan umum lainnya juga berderet persaingan iklan para politisi, berlomba besar dan tak mau kalah banyak dengan iklan promosi merek-merek dagang.

Seandainya persaingan iklan dalam bentuk spanduk dan baliho itu indah maka kota Surabaya itu akan menjadi tempat wisata senirupa politik. Tapi sayangnya iklan-iklan politik yang bersaing dengan iklan dagang di jalanan itu menambah pemandangan menjadi ruwet, ruwet dan ruwet. Kecuali ada gambar politisi di perempatan jalan yang sangat cantik memikat, yang pernah membuatku akan menabrak kendaraan di depanku gara-gara terpukau gambar cantik. Busyet!

Apakah pemerintah dan kaum kaya merasa terganggu dengan pemandangan iklan politik yang bersanding dengan iklan dagang itu? Bukankah yang bisa memasang iklan-iklan baliho besar itu mereka yang punya banyak uang?

Sebagian besar perasaanku muak melihat persaingan spanduk dan baliho para politisi di jalanan yang penuh dengan tulisan janji-janji, yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini terbukti hanya sebagai janji-janji palsu dan menjijikkan untuk didengarkan lagi. Mata ini terasa perih dan pedas melihat gambar-gambar para politisi yang seringkali dilalui para pengemis tua dan anak-anak jalanan yang tak bisa sekolah.

Belum lagi iklan produk-produk dagang di jalanan itu yang tak jarang hanya merupakan penipuan kepada masyarakat, bahkan bangunan iklan kadang tumbang mencederai dan membunuh orang di dekatnya.

Sementara itu masyarakat konsumen Indonesia masih sangat lemah dan mudah mau menerima begitu saja penipuan-penipuan yang dilakukan para saudagar. Setiap orang merasa hanya sedikit pulsa yang berkurang gara-gara mengikuti kuis SMS. Tapi jika terdapat sejuta orang yang masing-masing berkurang pulsanya Rp. 2.000,- per hari maka dalam sehari saudagar itu berhasil mendapatkan uang kuis sebesar Rp. 2 miliar per hari. Yang bodoh adalah alat memperkaya yang cerdik!
----------------------------

Lampu menyala hijau, motor bebekku melaju bersaing dengan kendaraan lain. Gam tampak menikmati perjalanan siang yang gerah itu. Tangannya mendekap erat pinggangku.

Aku sangat menyayangi Gam. Tapi aku menghukumnya jika ia berbuat nakal menyakiti temannya atau merusak barang secara sengaja. Bentuk hukumannya kadang berdiri dengan satu kaki selama setengah jam. Aku memang salah jika sekali waktu memukulnya dalam keadaan kesal.

Setelah hukuman itu selesai, aku menjelaskan kepadanya kenapa ia harus diberi sanksi atas perbuatannya yang merugikan orang lain atau merusak. Lalu aku memeluknya dan mengusap kepalanya. Jangan sampai ia berpikiran bahwa hukuman yang aku berikan itu sebagai kebencian.

Dengan cara begitu, ia menjadi sangat akrab dan dekat denganku. Autisnya semakin berkurang dalam kurun waktu empat tahun ini. Ia mulai dapat berkomunikasi dengan baik.

Dalam soal mengasuh dan mendidik anak, aku ingat petuah Suyoto sebelum menjadi Bupati Bojonegoro, yang rutin memberi ceramah agama melalui siaran JTV Surabaya. Ia mengatakan yang intinya begini: “Menjadi orang tua harus bersabar. Kalau ada orang tua yang marah-marah melihat anaknya yang nakal, berarti orang tua itu sudah kehilangan cara, kehilangan akal untuk mengarahkan agar anaknya tidak nakal.”

Selanjutnya Suyoto mengatakan: “Begitu pula dengan penguasa atau pemerintah. Pemerintah seharusnya bersabar dalam mengurusi rakyatnya. Jika pemerintah marah-marah kepada rakyat, berarti pemerintah sudah kehilangan akal.”

Petuah Suyoto itu sulit untuk diterapkan. Saya seringkali marah-marah kepada Gam yang seringkali nakalnya melewati batas dan sengaja seolah-olah meledek saya. Saya larang pipis di depan rumah dengan alasan kebersihan tapi malah disengaja kencing di dekat teras rumah. Saya larang membawa cacing tanah ke dalam rumah dengan alasan kotor tapi malah berteman dengan cacing-cacing tanah dibawa masuk ke rumah. Bukan hanya itu. Gam bahkan bermain dengan tawon, kelabang, kecoak, lalat, cicak, semut, dan serangga atau hewan apapun yang ia temukan ia jadikan mainan. Tentu saja itu membuat orang seisi rumah kami tidak dapat menyesuaikan diri dengan Gam dan marah-marah. Eyangnya yang paling sabar pun kadang dibuat marah, tapi setelah itu menangisinya.

Bahkan Suyoto sendiri tak mampu menjalankan petuahnya sendiri. Ketika ia sudah berhasil menjadi Bupati Bojonegoro, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro mengeluarkan tindakan pemerintahan berupa pemberantasan para pedagang kaki lima (PKL) yang ada di pinggir-pinggir jalan umum dengan alasan ketertiban. Padahal selama ini para PKL di dalam Kota Bojonegoro membayar retribusi yang ditarik secara resmi oleh Pemkab Bojonegoro. Para PKL yang menolak di gusur paksa oleh pemerintahan Suyoto, dimarah-marahi dengan kekuatan gabungan satpol PP, polisi dan tentara.

Agar konflik antara Pemkab Bojonegoro dengan para PKL bisa diselesaikan dengan adil, terutama untuk keberlangsungan nafkah para PKL yang mandiri dan menyumbang pendapatan kepada pemerintah itu maka Komnas HAM mengupayakan mediasi. Saya belum tahu bagaimana hasil mediasi itu, hingga kini.

Berdasarkan informasi para relawan lokal di Bojonegoro, ternyata di antara para PKL ada yang orang kaya menjadi pimpinan paguyuban PKL, hanya memanfaatkan paguyuban PKL untuk kepentingan pribadinya, tak mau mengurusi masalah penggusuran PKL itu. Ia menjadi spion pemerintah untuk mengendalikan para PKL dengan imbalan.

Di manapun tempat perjuangan masyarakat, selalu ada para pengkhianat. Fenomena Londo Blangkon memang ada sejak jaman kolonial Belanda hingga neokolonial reformasi.

Barangkali Tuhan memang menyediakan manusia-manusia rendahan seperti itu sebagai alat uji pergerakan sosial menuju hijrah ke situasi lebih baik, sebagaimana perjalanan hijrah Nabi Muhammad dan umatnya yang juga diganggu oleh para pengkhianat. Para pengkhianat perjuangan sosial seperti itu dibahasakan oleh Quran sebagai kaum munafik. Tata lahirnya tampak bermoral, tapi suatu saat menikam dari belakang.
--------------------------

Bicara tentang hidup para pengemis, apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di negara ini adalah potret-potret karakter bangsa ini. Dahulu Bung Karno terpaksa menerima modal asing untuk mengelola minyak dan gas bumi Indonesia dengan alasan belum mempunyai para insinyur yang pintar.

Tapi setelah Indonesia punya banyak insinyur pintar sepeninggal Bung Karno, malah kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagian besar diserahkan kepada pemodal asing. Nilai-nilai Pancasila menguap oleh api panggang kapitalisme yang menjanjikan kemakmuran global. Setiap aset publik satu persatu diprivatisasi. Rakyat kecil tinggal punya tubuh-tubuh mereka sendiri bersama dengan nasib buruknya, yang setiap saat akan diambil Yang Maha Pemberi Hidup.

Indonesia yang kaya ini menjadi negeri pengemis, mengemis-ngemis utangan kepada bangsa-bangsa maju yang sejak dahulu telah menjajah dan menguras kekayaan bangsa-bangsa lain. Lebih dari tiga setengah abad Indonesia dikuras Belanda, Inggris dan Jepang dalam penjajahan kuno, dan berlanjut pada penjajahan moderen hingga sekarang.

Pemerintah negeri kaya yang pengemis ini membiarkan rakyatnya yang tua-tua renta dan anak-anak kecil menjadi pengemis di jalanan. Kalaupun melarang, dengan cara kasar, mengusir dan memidanakan, lalu membuang begitu saja tanpa jalan penyelesaian. Para pemegang kedaulatan negara diperlakukan seperti sampah setelah tak kebagian harta kekayaan negara yang banyak dicaplok para koruptor dan raksasa asing.

Padahal para pengemis tua itu lahir dan sejak kecil hidup berperih-payah, bersimbah darah, berlinang air mata, menjalani hidup sejak jaman kekerasan kolonial Belanda hingga jaman pasca kemerdekaan. Jika dahulu mereka lari dikejar peluru musuh, kini mereka merangkak meniti hidup yang suram.

Negara ini memang sudah lama diurus oleh para intelektual bermental pengemis, tidak punya kepercayaan diri dan gemar meminta-minta. Sejak masih mahasiswa sudah diberikan keterampilan mengajukan proposal-proposal dana, yang bahkan dana-dana itu diambilkan dari para pengusaha yang ada di lorong-lorong kejahatan kemanusiaan dan kemaksiatan. Sejak sekolah sudah belajar untuk mengarang penggunaan dana fiktif.

Jika proposal-proposal pengemisan dana itu menjadi jembatan menuju kemandirian maka mungkin masih ada nilai baiknya. Tapi dalam kenyataannya proposal-proposal itu terlanjur menjadikan diri bermental pengemis, kehilangan independensi. Mereka memasang target kebahagiaan ada pada penuhnya digit angka kalkulator penghitung uang. Senyum bahagia para korban kejahatan kemanusiaan dan tegaknya keadilan di negeri ini hanya menjadi tujuan imajinatif.

Para pengemis intelektual itu masih akan melanjutkan tongkat kekuasaan negara dan hanya akan memperpanjang sejarah pengemisan negeri kaya yang mengenaskan ini. Mereka tak akan peduli dengan banjir peluh rakyat yang menderita, bahkan membiarkan peluru kekuasaan menembus tubuh-tubuh rakyat miskin yang ringkih yang sedang mempertahankan diri sebagai manusia, agar tidak diperlakukan seperti binatang.

Rakyat kecil sudah jenuh mendengarkan janji yang tak pernah ditepati. Rakyat kecil sudah sadar bahwa mereka hanya obyek atau alat bagi para politisi untuk meraih jabatan kekuasaan. Rakyat kecil sudah sadar bahwa kelak para pejabat itu akan mengerahkan akal untuk mengembalikan biaya-biaya politik yang mereka keluarkan. Hampir seabad kampanye-kampanye politik negara ini adalah kata-kata sombong, kosong dan palsu. Palsu! Palsu! Sekali lagi: PALSU!

Kini, rakyat kecil pun mulai terampil bermain drama uang politik, mengambil uang politik dari para politisi untuk dibagikan kepada teman-temannya. Hari ini mereka membagi uang si Anu, hari esok mereka membagi uang si Ina, esoknya lagi mereka berbagi uang politiknya si Ino, dan seterusnya. Soal mau memilih siapa, itu terserah mereka. Bahkan ketika ditanya mau memilih siapa mereka enggan menjawab. Katanya bingung.
-------------------------------

Gerimis menghiasi sore yang agak riuh. Di pinggir jalan raya Dharmahusada aku berhenti di sebuah warung nasi pecel. Rasanya nikmat menyantap nasi pecel lima ribuan rupiah seporsi dengan minum jeruk hangat seharga dua ribu rupiah. Lebih nikmat jika kubandingkan dengan sebutir roti Rp. 25 ribu dan segelas plastik minuman hot chocolate seharga Rp. 35 ribu yang pernah aku makan di sebuah kafe. Lebih enak dibandingkan nasi pecel serupa seharga Rp. 17 ribu yang pernah kurasakan di pusat makanan di sebuah mal.

Merasakan hidup ini tergantung suasana hati dan selera. Aku tak terlalu berselera dengan harga-harga tinggi di tempat-tempat mewah yang menipu imajinasi, selain uangku terbatas. Enaknya makanan bukan karena tempat dan harganya, tapi apakah cara memasaknya dan formulanya tepat, serta suasana hati yang tenang. Bagiku dan bagi orang miskin lainnya, makan di kandang sapi, di tengah sawah becek, atau di pinggir kali, sudah biasa. Tapi orang-orang kaya tak akan bisa.

Selain itu, bangsa yang pintar seharusnya tidak suka memberikan rente kepada pengusaha asing yang menjual merek dagang di Indonesia. Bangsa pintar seharusnya mampu memberdayakan ekonominya sendiri, ekonomi rakyat Indonesia, agar tidak selalu menjadi budak dan permainan ekonomi asing.

Bayangkan! Kita makan roti, minum kopi atau coklat bermerek Amerika Serikat, Swis, Italia atau Inggris yang bahannya dari Indonesia. Pemodal asing membeli bahan pangan dan minuman dari kita dengan harga sangat murah, lalu diolah dan diberi merek asing oleh pemilik lisensi merek asing, lantas dijual kepada kita dengan harga yang sangat mahal.

Hahaha.... kita dibodohkan oleh kapitalis asing! Kita membayar mahal barang kita sendiri yang pernah kita jual murah kepada merek asing itu. Jadi bangsa bodoh! Pantas jika tetap menjadi bangsa pengemis! Orang yang bodoh pasti merasa bangga dengan kebodohannya itu. Sok hebat! Sok keasing-asingan! Sok berduit! Padahal bangsanya sendiri dihisap.......

Tinggal beberapa sendok nasiku tersisa, ketenanganku makan ‘diganggu’ oleh seorang pengemis perempuan yang belum terlalu tua. Umurnya mungkin 50-an tahun. Aku rogoh saku depan, kutemukan hanya seribu rupiah. Tapi sebelum ia menerima uangku mendadak cepat-cepat pergi. Aku heran.

“Sudah lama menunggu di sini Mas?” tanya isteriku tiba-tiba. Aku memang makan di warung nasi pecel itu sambil menunggu isteriku pulang kantor. Kantornya di dekat warung nasi pecel itu.

“Nggak! Sambil makan ini,” jawabku.

Kami pun pulang. Di perjalanan aku bercerita kepada isteriku tentang pengemis di warung nasi pecel, yang tidak jadi menerima uangku.

“Ooooo... Pengemis itu? Mungkin dia tahu aku datang, lantas dia pergi,” kata isteriku.

“Memangnya ada apa dia takut sama kamu?” tanyaku.

“Ya, nggak takut. Mungkin dia hanya malu sama aku. Sebab aku pernah ketemu dengannya saat dia makan bakso, lagi bercerita bahwa dia menikmati menjadi pengemis. Katanya sehari kalau untung bisa mendapatkan Rp 100,- ribu. Sebulan bisa mendapatkan antara Rp. 600 ribu hingga sejuta rupiah. Ia merasa enak menjadi pengemis, dibandingkan menjadi pembantu rumah tangga yang disuruh-suruh majikan. Nah, saat dia cerita begitu, lalu ia melihat aku yang mendengarkan ceritanya itu,” isteriku menjelaskan.

Ada juga pengemis yang menikmati pekerjaan sebagai pengemis, enggan untuk tidak jadi pengemis. Apa bedanya dengan para pengemis intelektual yang enggan melepaskan watak pengemis mereka?
------------------

Perjalanan masih akan panjang. Negeri besar ini sedang berada di masa-masa yang sulit. Namun bukankah kesulitan itu sudah menjadi hal biasa? Dalam sebuah novel karya Sidney Sheldon (aku lupa judulnya) ada tokoh cerita yang mengatakan bahwa ‘hal yang biasa dialami tak akan menggetarkan jiwa.’

Kesulitan yang dialami rakyat kecil Indonesia akhirnya bukan lagi dianggap sebagai kesulitan. Bagaimana orang akan merasakan dirinya menderita jika seumur hidupnya hanya keadaan serupa dan tetap yang dijalaninya? Bagaimana orang akan dapat membedakan antara keadaan sengsara dengan mudah jika tak pernah merasakan mudah? Paling-paling hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya mempunyai rumah besar dan mobil yang bagus yang dilihatnya.

Tapi masyarakat Indonesia sejak jaman kuno hingga sekarang sudah memegang nilai dan kepercayaan bahwa kebahagiaan itu bersifat batiniah, tidak bergantung pada kepemilikan materi. Artinya, kebahagiaan bukan milik orang miskin atau orang kaya, tapi milik mereka yang mampu meraihnya.

Dan jika kelak rakyat mengalami sesuatu yang lebih baik maka jiwa mereka akan bergetar merasakan perubahan perasaan yang lebih baik. Siapa yang akan mampu menghantarkan rakyat Indonesia, tidak saja pada gerbang pintu kemerdekaan, tapi masuk ke dalam ruang kemerdekaan dan kesejahteraan serta keadilan sosial yang dituju oleh berdirinya sebuah negara Indonesia?

Lantas akupun bertanya-tanya: dengan cara apa bangsa yang kaya yang sedang bermental dan menjadi pengemis ini akan dapat berubah menjadi bangsa yang terhormat? Bagaimana caranya agar rakyat Indonesia ini terbebas dari sistem pendidikan formal dan informal yang menciptakan mental-mental pengemis?

Apakah bisa bulan depan ini sudah tak ada lagi para pengemis tua yang melanjutkan deritanya di jalanan, sebab toh dalam beberapa bulan atau tahun lagi mereka akan meninggal dunia? Apakah para pengemis tua renta itu akan mati di jalanan atau di kamar kumuhnya, mati sebagai pengemis?

Ini negara macam apa, sehingga setelah lebih dari 63 tahun membangun tapi belum juga bangun?

Jika seumpama ada satu pemimpin di antara seribu orang Indonesia yang rela menafkahkan dirinya untuk membangun Indonesia, setiap seribu orang Indonesia akan lebih mudah untuk mampu bangun dari kegelapan yang panjang.

Satu pemimpin di antara seribu itu mampu mengawal terwujudnya konsensus publik: tidak korupsi, mandiri, saling melayani, saling membantu, berjuang bersama mengembalikan kekayaan negara dari tangan asing. Siapa yang melanggar konsensus itu dihukum berupa hukuman hidup bercampur dengan gorila di kebun binatang Ragunan dan Wonokromo seumur hidup. Bagaimana ini?


Surabaya, 14 Januari 2008

Kamis, 01 Januari 2009

Kiamat 2009


Malam tahun baru 2009, rintik hujan bagai air mata yang enggan meninggalkan masa lalu. Ada tanggungan masa lalu yang banyak belum terselesaikan dan akan menjadi beban di masa depan. Masa depan yang akan semakin menumbuhkan generasi pesta-pora, wujud pelarian atas beban berat yang diwariskan para pendahulu.

Oh iya, aku lupa tidak membawa jas hujan. Malam itu, dari posko relawan korban Lapindo di Desa Gedang Sidoarjo aku mau pulang ke Surabaya. Terpaksa membiarkan tubuhku dibasahi perlahan-lahan oleh rintik hujan yang tak deras. Sepeda motor kujalankan perlahan. Tubuh semakin basah di jalanan, mengingatkanku masa remaja di desa, sering kehujanan di tengah hutan ketika mencari kayu bakar.

Jalanan malam tahun baru, meski ramai kendaraan bermotor tapi tampak lesu. Kadang-kadang di beberapa bahu jalan tampak para remaja bergerombol. Semakin mendekati kota Sidoarjo, kelihatan para penjual terompet duduk lesu di dekat dagangan terompet mereka yang ditutupi plastik transparan pelindung hujan. Tak seperti malam tahun baru sebelumnya di mana para penjual terompet bisa lebih beruntung karena tak hujan, sehingga banyak orang yang membeli terompet.

Bukan maksudku menyalahkan hujan. Tidak. Hujan adalah komponen alam, turun atau tidak, bergantung pada hukum alam yang diciptakan Tuhan. Malam itu para pedagang terompet mungkin kesepian rezeki, siapa tahu di lain hari mendapatkan kelimpahan rezeki. Toh mereka berjualan terompet hanya menjelang tahun baru. Setelah itu kan berjualan barang lainnya.

Hari terakhir tahun 2008 terasa menyesakkan dada, mendengar berita-berita yang menyedihkan. Ada berita tentang terdakwa pembunuh mendiang Munir diputus bebas. Alangkah malangnya para korban ketidakadilan di negeri ini yang masih sulit mengungkap kebenaran untuk mencari keadilan yang selama ini seringkali tersembunyi di balik jubah kekuasaan. Ya kekuasaan politik, ya kekuasaan uang. Apakah Munir meninggal karena gempa Jogja?

Kadang para ahli memaksakan diri membuat logika ilmiah yang tidak logis. Ya ahli hukum (termasuk hakim), ahli geologi, ahli pemboran, ahli pers, dan lain-lain. Bungkusnya tentu ilmu pengetahuan. Biasanya karena konspirasi busuk. Kata tokoh sufi Indonesia, DR. Jalaluddin Rahmat, kalau menilai sesuatu tindakan orang yang berkaitan dengan pihak lain itu kuncinya UUD atau UUS. Jika ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, maka itu bukan jalan Tuhan.

Ada lagi Pak, UUP, ujung-ujungnya popularitas. Yang bahaya adalah UUTJ, ujung-ujungnya tidak jelas, seperti nasib korban Lapindo yang jelas tambah merana.

Akhir tahun 2008, malang pula bagi saudara-saudara bangsa Palestina yang semakin terpuruk dalam kepedihan hidup puluhan tahun digerus oleh kekuasaan yang tiran yang haus darah. Anak-anak Palestina pun harus menanggung beban berat, pundak mereka ditumpangi masa depan yang tidak pasti.

Setiap hari anak-anak Palestina disuguhi adegan kekerasan dan kematian. Bahkan mereka sendiri sewaktu-waktu terancam kematian dan cacat. Manusia adalah makhluk paling ganas, lebih ganas dibandingkan harimau paling ganas di dunia ini. Anehnya, meskipun manusia di dunia mempunyai tatanan, tapi seringkali tatanan itu tak berguna.

Konflik Palestina-Israel memang sisa dari konflik politisasi dan konservatifisme agama yang dilatarbelakangi politik kekuasaan dan egosentrisme kebangsaan. Bangsa Bani Israel merasa paling tinggi, bangsa pilihan Tuhan. Perebutan tanah berdarah itu memang diramalkan hanya bisa berakhir di akhir zaman. Tapi manusia sebagai pelaku zaman tentu harus mengusahakan meminimalisasi konflik itu.

Di akhir tahun itu pula posko korban Lapindo semakin sepi. Posko yang didirikan untuk memberikan edukasi dan menyatukan korban Lapindo kini mulai ditinggalkan para korban. Sejak peristiwa kesepakatan cicilan Rp. 30 juta antara para wakil (elite) korban Lapindo dengan pihak Lapindo dan Presiden SBY, banyak kekecewaan di kalangan grassroot korban Lapindo.

Kesepakatan di istana negara itu telah membawa perpecahan yang semakin meluas. Para wakil pengurus korban Lapindo dari berbagai kelompok yang biasanya rutin berdiskusi di posko, kini mereka mulai saling menjauh. Satu kelompok dengan kelompok lain saling curiga, saling membenci, meski ada pula yang sekadar saling acuh. Apakah keadaan seperti memang telah dikondisikan dan dirancang?

Lapindo telah memaksakan berbagai macam cara penyelesaian yang membuat para korban terpecah-belah. Alasannya bermacam-macam. Kami para relawan kesulitan menyatukan mereka, meski tak harus memilih satu cara penyelesaian. Terserah mereka mau memilih cara mana, tapi sayangnya justru terbelah-belah.

Anak-anak cucu kita dibebani oleh demokrasi yang telah rusak. Bagaimana tidak, seperti halnya kasus semburan lumpur Lapindo yang semestinnya menjadi tanggung jawab korporasi penambang, malah membebani rakyat dan negara. Bahkan hukum yang buruk seperti Perpres No. 14 Tahun 2007 masih bisa direduksi lagi (tidak dipatuhi) oleh Lapindo, anak Grup Bakrie.

Presiden SBY pun dibuat tak berkutik. Masyarakat korban Lapindo yang mendukung Perpres No. 14 Tahun 2007 pun harus menanggung kekecewaan sebab Presiden SBY tidak mampu berbuat apa-apa ketika Lapindo tidak patuh pada Perpres itu. Sebuah korporasi yang makan dan menghisap kekayaan rakyat malah bisa melangkahi dan merusak tatanan negara. Ini negara demokrasi jenis apa? Demokrasi model apa? Demokrasi cara apa?

Jangankan di soal transparansi pengelolaan migas, di soal kepatuhan dengan Perpres yang sudah melanggar hak rakyat itu saja tidak ada.

Ketika ada berita tentang pembunuhan sekitar 300 warga Palestina membahana, reaksi keras muncul di mana-mana terutama dari komunitas intelektual yang berembel-embel Islam. Tapi apakah mereka kelelahan dan tak punya tenaga selama lebih dari dua tahun melihat 70 ribu korban Lapindo yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, menderita sakit, menjadi gelandangan, mati ngenes, sakit jiwa, terjerat dalam hidup yang tak pasti berkepanjangan?

Apakah kemanusiaan itu hanya diperjuangkan dalam lingkaran ideologi, agama, golongan, suku, bangsa yang sama? Apakah karena lawan bangsa Palestina itu bangsa Yahudi lalu para hamba Allah berteriak-teriak tidak terima? Apa reaksi kita melihat ratusan ribu bangsa Aceh dibunuh secara kejam? Apa tanggapan kita ketika isteri-isteri para tentara Fretilin diperkosa oleh saudara-saudara kita sendiri?

Apa reaksi kita ketika anak-anak kita dibohongi untuk mengonsumsi makanan produksi kapitalis yang diracuni dengan bahan pengawet, zat pewarna dan bahkan dicampuri melamin? Apa yang bisa kita berbuat ketika alam negeri ini dirusak para pemodal penambang dan perusak hutan sehingga menimbulkan bencana berkepanjangan dan memakan ribuan korban nyawa setiap tahun?

Apakah dengan mengenakan jilbab dan peci serta baju takwa lalu beteriak-teriak Allahu Akbar – Allahu Akbar, mengecam zionis Yahudi, tapi diam membisu melihat kejahatan kemanusia di sekitar kita, lantas Tuhan akan memberikan surga indah di akhirat?

Apakah kita diam saja jika yang melakukan kejahatan kemanusiaan itu golongan kita sendiri? Mengapa kita diam – tak ada tentangan dengan teriakan Allahu Akbar - ketika melihat pejabat yang mengeluarkan surat administrasi negara untuk membebaskan jerat pidana penjarah dan perusak hutan rakyat?

Ataukah diamnya kita karena kita malah bisa turut menikmati uang para penjahat kemanusiaan itu, dan bahkan lantas disumbangkan kepada para korban kejahatan yang berdalih atas nama kemanusiaan?

Jangan-jangan otak kita telah tertulari doktrin kemanusiaan yang bodoh? Bagaimana tidak bodoh, jika kita diam melihat kejahatan kemanusiaan karena kita turut menikmati uang penjahat kemanusiaan itu dan menyumbangkan kepada para korban dengan dalih kemanusiaan? Orang tidak sekolah pun tahu itu adalah kebodohan.

Menurut Slank, hanya orang stupid dan tidak sekolah yang membuang comberan lumpur sembarangan. Lalu apakah kita tidak lebih bodoh jika mau menyumbangkan kekayaan para penjahat kemanusiaan kepada para korbannya? Itu bukan sumbangan, tapi pengembalian bagian kecil dari sekian banyak yang telah dirampok para perampok.
----

Beberapa truk besar mendahului motorku. Beberapa kali pula coberan air hujan menampar wajah dan badanku dari arah ban truk-truk itu. Mulutku memaki, tapi hatiku menyadari bahwa aku sedang berada di jalan milik umum, bukan jalanku sendiri. Para sopir truk itu adalah para pekerja keras yang mengejar waktu, siapa tahu esok hari adalah jatuh tempo anaknya membayar uang sekolah, atau isterinya lagi sakit menunggu di rumah. Mereka yang dalam jalan kebaikan pekerjaannya adalah para syuhada, yaitu: orang yang bersungguh-sungguh berbuat di jalan Tuhan.

Bukan syuhada, tapi hanya makhluk jadi-jadian alias pura-pura jika mulutnya bicara atau berteriak tentang kebenaran, tangannya menggoreskan tulisan keadilan dan kebenaran, tapi memakan makanan dan menerima uang dari para penjahat kemanusiaan. Jika advokat ia adalah advokat sesat. Jika ulama ia adalah ulama murtad. Jika guru, ia adalah guru penipu. Jika budayawan, ia adalah budayawan kentut monyet. Jika wartawan ia adalah wartawan rombeng. Jika pengusaha, ia adalah pedagang nasib orang.

Intelektual seperti itu sebakat dengan para politisi yang biasa menjual otoritas atau jabatan, memboros-boroskan harta negara, membuat rakyat menjadi melarat.

Jika seandainya Tuhan kelak di akhirat memberikan surga para hamba sahaya penjahat kemanusiaan seperti itu maka aku akan memprotesNya dan lebih baik aku tidak usah masuk surga bersama-sama dengan para cecunguk kemanusiaan seperti itu!

Asalkan tidak berkumpul dengan para pengkhianat dan pembual kemanusiaan itu maka aku rela masuk neraka saja! Sekeras-keras sakitnya di neraka masih lebih menyakitkan melihat perilaku para penipu dan pembohong kemanusiaan itu yang mengenakan baju kemunafikan dengan bangganya, yang mereka berikan nama “profesi”.

Matanya buta ditutupi tabir materi dunia yang tak akan dibawa ke liang kubur. Jiwanya mati dan hanya menjadi drakula-drakula kemanusiaan bergentayangan berkampanye soal humanisme dan keadilan. Jarak antara dirinya dengan Tuhannya dihalang-halangi oleh pengabdiannya kepada materi.
---

Umurku semakin bertambah, tak setangguh waktu remaja. Ketika masih remaja aku malah senang diguyur hujan sewaktu memikul rencek kayu dari hutan, atau sedang mencangkul di ladang. Guyuran air hujan menambah badan mudaku menjadi segar. Tapi malam tahun baru kemarin itu aku sampai di rumah menggigil kedinginan. Isteriku sedikit memarahiku, gara-gara aku lupa tidak membawa jas hujan. “Kalau begitu kamu kan bisa sakit!” katanya agak galak. Aku suka melihat kemarahannya.

Anak-anakku yang masih kecil-kecil menyambutku dengan tawa riang. “Ayah kok gak bawa jas hujan sih? Jadinya basah deh,” kata Cempluk, anak perempuanku yang masih berumur lima tahun itu. Aku hanya menjawab dengan senyum.

Segera kubersihkan diriku. Mandi. Setelah itu, aku bermain dengan anak-anakku. Rasa lelah dan gundah sejenak punah.

Dalam hatiku bergumam, anak-anakku pun harus turut menanggung beban dosa yang telah dilakukan para penjahat kemanusiaan.

Anak pertamaku, Gam, terkena autis. Menurut dokter yang memeriksa hasil penelitian laboratorium atas darah, kotoran dan rambutnya, dalam tubuh Gam tercemar toksin yang diduga sejak masih di kandungan ibunya. Gara-garanya, isteriku senang makan kerang dan ikan laut dari pantai Kenjeran yang telah tercemar limbah industri. Kadar merkurinya tinggi.

Sewaktu isteriku hamil mengandung Gam, aku memang tak bisa menungguinya cukup, karena menjadi relawan di Pulau Buton, mengurusi para pengungsi korban kerusuhan Maluku.

Merawat Gam yang autis membutuhkan kesabaran yang ekstra. Kadang aku juga menjadi tidak sabar jika hiperaktifnya menyerang dan merugikan orang lain yang tidak bersalah.

“Bagaimana korban lumpur Lapindo?” tanya isteriku.

“Sudahlah, mari kita bicara yang lain! Untuk apa membahas korban Lapindo? Wong pemangku kewajibannya saja abai dan tidak peduli!” jawabku seolah serius.

“Lha untuk apa ke posko relawan sampai malam?” tanya isteriku.

“Hanya mau cari terompet di Porong apa sama dengan terompet Surabaya,” jawabku bercanda.

“Terus, kok nggak bawa terompet?” tanya isteriku.

“Nggak jadi. Mending biar malaikat Isrofil saja yang meniupkan terompetnya,” jawabku bergurau.

“Mau kiamat?”

“Jika seumpama Allah tidak iba melihat bayi-bayi yang menangis di malam hari, hewan-hewan melata dan orang-orang yang berurai air mata dalam sujudnya di tengah malam, maka Allah sudah murka melihat manusia-manusia yang telah banyak melakukan dosa.”

Jika dalam waktu yang sering kita sudah melihat murka Tuhan dengan banjir bandang gara-gara hutan dihabiskan secara legal dan ilegal, semburan lumpur Lapindo gara-gara motif ekonomi (penghematan), tsunami Aceh, tanah longsor, dan lain-lain, apakah berarti Tuhan sudah tidak iba lagi melihat ketiga faktor penyebab iba itu?

Apakah berarti kita sudah keterlaluan? Mungkin iya. Bahkan jangan salahkan siapa-siapa jika negara ini kelak akan bubar dan bercerai-berai jika ketidakadilan terus berkuasa.

Surabaya, 1 Januari 2009.
Matahari tergelincir ke arah Barat, terbitnya dari Timur. Utara dan Selatan poros bumi. Mata angin tak dapat bersatu kecuali di satu titik tak ada jarak. Ia adalah nol, netral, tawar, tak berasa, tak berwarna. Tapi dunia tak mungkin hanya itu.







.

Sabtu, 06 Desember 2008

PERPRES TONG PES


Tanggal 3 Desember 2008 ada sebuah peristiwa sejarah hukum yang mengenaskan. Kacamata hukum memandang itu luar biasa. Apa itu? Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007) gugur di istana negara, menjelma dalam kesepakatan perdata di tangan orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan hukum utuh.

Sembilan wakil korban Lapindo asal Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo, menyepakati tawaran Nirwan Bakrie yang mewakili Lapindo Brantas Inc, untuk mencicil sisa ganti rugi jual-beli tanah dan rumah korban lapindo yang masih 80 persen itu dengan cicilan sebesar Rp. 30 juta per bulan. Hasil itu disambut dengan demo korban Lapindo lainnya di Sidoarjo yang menolaknya.

Di luar kacamata hukum, itu sukses Lapindo kesekian kalinya memecah-belah warga korban Lapindo. Harus diakui, Lapindo lebih hebat dibandingkan para relawan pendamping korban Lapindo. Sebab, Lapindo dibantu kekuatan pemerintah.

Kronologi Perpres 14 Tahun 2007

Setelah semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 mulai menghancurkan pemukiman penduduk sekitarnya, pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tegas dan tepat untuk menyelamatkan korban. Saat itu pemerintah menyatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab Lapindo. “Pemerintah tak akan mengeluarkan uang sesenpun. Itu tanggung jawab Lapindo,” kata pemerintah waktu itu.

Statemen pemerintah itu tampak dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 (Keppres No. 13 Tahun 2006) yang membebani tanggung jawab semburan lumpur Lapindo seratus persen, sebagaimana disebutkan dalam diktum ke-lime Keppres itu: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga, tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”

Bahkan biaya pelaksanaan tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibebankan sepenuhnya kepada Lapindo Brantas Inc. (diktum ke-enam Keppres No. 13 Tahun 2006).

Entah siapa yang menjadi pembisik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 yang menjadi ‘angka sial’ bagi Lapindo itu diganti dengan Perpres No. 14 Tahun 2007.

Eliminasi Keppres No. 13 Tahun 2006 dengan kelahiran Perpres No. 14 Tahun 2007 lebih menguntungkan anak Grup Bakrie itu sebab berdasarkan pasal 15 Perpres tersebut ditentukan bahwa masalah sosial kemasyarakatan korban pada peta terdampak 22 Maret 2007 akibat semburan lumpur itu dibebankan kepada Lapindo, sedangkan di luar peta 22 Maret 2007 itu menjadi beban negara.

Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada Lapindo, sedangkan biaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

Cara penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan korban Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007 adalah dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo yang terkena dampak semburan lumpur. 20 persen dibayar di muka, sisanya 80 persen dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Demikian ketentuan pasal 15 Parpres No. 14 Tahun 2007.

Tong pes

Dalam pelaksanaannya, pembayaran uang muka 20 persen dilakukan dengan cara kelompok per kelompok berkas, dalam gelombang waktu yang berbeda-beda. Kini, jatuh tempo pelunasan pembayaran 80 persen itu sudah terlewati bagi sebagian besar kelompok korban yang ada, sejak Maret 2008 lalu.

Jangankan pelunasan 80 persen, ternyata masih ada ratusan berkas yang belum menerima pembayaran 20 persen, dipaksa Lapindo mengikuti cara relokasi. Di Desa Kedungbendo masih ada 182 berkas dan di Perumtas I Tanggulangin ada 48 berkas belum dibayar 20 persen, termasuk lebih dari 600 kepala keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru. Belum lagi kelompok-kelompok korban yang ada di Gempolsari, Jatirejo, Renokenongo yang sama sekali belum menerima uang pembayaran 20 persen itu (data Posko Korban Lapindo di Desa Gedang).

Tak kalah mengenaskan, bagi korban yang kadung mau mengikuti program pembayaran tunai bangunan dan tukar tanah (relokasi) ternyata banyak yang menangis karena belum dibayar uang muka 20 persen dan tanah relokasinya belum jelas. Tidak cocok dengan yang diiklankan di media-media massa. Korban Lapindo yang ‘tertipu’ itu dalam kelompok Gabungan Korban Lapindo (GKLL) dan Pagarekontrak yang selama ini paling lama mengungsi di Pasar Porong Baru.

Korban yang belum dilunasi 80 persen datang ke Jakarta. Dengan dalih masalah ekonomi global, di hadapan Presiden SBY terjadi negosiasi yang membenarkan cicilan Rp. 30 juta per bulan. Sementara itu pemerintah menyatakan menutup pintu negosiasi, padahal gelombang korban Lapindo yang menolak hasil negosiasi di sitana negara itu jumlahnya juga masih ribuan, dari kelompok yang berbeda-beda.

Tragedi hukum yang terjadi adalah bahwa Perpres No. 14 tahun 2007 sebagai regulasi ternyata tidak dipatuhi oleh Lapindo, lantas digeser bentuknya dari hukum publik menjadi hukum perdata. Pun penggeseran tersebut belum dapat memenuhi kedudukan hukum para wakil korban Lapindo dari kelompok tertentu, yang tentunya tak dapat mewakili seluruh korban yang ada.

Dari segi hukum, bagi warga dalam satu kelompok pun yang tidak menyetujui hasil negosiasi dalam istana negara itu berhak untuk melakukan aksi opt out (memilih keluar) dari kelompok yang diwakili oleh orang yang tidak dipercayainya. Bagi kelompok korban yang tak terwakili tentu tak boleh dipaksa tunduk dengan hasil negosiasi wakil kelompok yang lainnya. Grup Bakrie dibiarkan Presiden SBY tidak patuh dengan Perpres, lalu apa korban lumpur mau dipaksa patuh hasil negosiasi yang menabrak Perpres?

Pemerintah telah kehilangan kewibawaannnya dalam kasus lumpur Lapindo, yang masih akan menyisakan persoalan dan jalan panjang. Jika terhadap ketentuan hukum publik berupa Perpres itu mudah disimpangi, apalagi terhadap produk hukum perdata berupa hasil negosiasi yang menabrak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Lebih gampang lagi disimpangi.

Solusinya hanya satu. Pemerintahan yang tegas dan berwibawa. Kemarahan seorang Presiden atas penelantaran nasib rakyat korban seharusnya membuahkan garis kebijakan tegas. Perpres No. 14 Tahun 2007 harus dijalankan Lapindo. Jika tidak, diberi sanksi, sebagai ciri hukum yang adil dan pasti. Jika perlu Grup Bakrie dipailitkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberesan seluruh kewajibannya kepada korban Lapindo. Kepailitan bukanlah akhir hidup sebuah korporasi, sebab dalam proses kepailitan itu kegiatan usaha tetap berjalan atas izin Hakim Pengawas.

Apa guna membuat Perpres jika hanya dijadikan tong pes alias gentong kempes yang tak dihargai? Jangan sampai contoh buruk pelaksanaan hukum itu akan menjadi preseden yang berlanjut dalam pemerintahan selanjutnya. Jika ditiru, semua orang boleh dong tidak patuh regulasi pemerintah, dengan dalih ini dan itu?

Senin, 01 Desember 2008

Nasib Rakyat di Tangan Saudagar


Kita mempunyai presiden berlatar belakang militer-intelektual. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang purnawirawan jendral Angkatan Darat dan doktor dalam bidang ilmu pertanian. Setidak-tidaknya memahami bagaimana manajemen pertahanan negara, sekaligus memahami pembangunan pertanian yang juga menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Bagaimana kenyataannya di tahun penghujung jabatannya?

Wakil presidennya adalah Muhammad Jusuf Kalla (MJK), merupakan seorang pengusaha, pedagang (saudagar) tulen yang kaya-raya dengan seabrek pengalaman dalam mengelola perusahaan bermerek (keluarga) “H. Kalla” yang sangat terkenal kebesaraanya di Indonesia bagian Timur. Untuk itulah MJK selaku Wakil Presiden ditugasi untuk menyusun program pembangunan ekonomi.

Tak lupa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (dahulu Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri) adalah Aburizal Bakrie, juga saudagar kaya-raya dengan perusahaan yang bermerek “Bakrie” yang juga sangat terkenal itu yang konon terkaya di Asia Tenggara. Bagaimana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia kini?


Resesi kemakmuran?


Saudagar yang menjadi pejabat negara tak selamanya terampil mengurus kebutuhan rakyat. Bisa jadi konsentrasinya terbelah. Tak tahu seperempat, setengah, dua pertiga, atau berapa kadarnya, kemampuan intelektualnya tak dapat meninggalkan nasib usahanya. Kemungkinan ‘selingkuh’ dari rakyat bisa terjadi.

Abu Bakar Shidiq ketika ditunjuk menjadi khalifah, ia tinggalkan dagangannya. Seratus persen mengurus negara. Konsenstrasinya tak boleh pecah, sebab mengurus negara itu amanat besar, tak boleh main-main dijadikan pekerjaan sampingan. Bahkan Umar bin Khatab ketika terpilih menjadi khalifah juga melarang anaknya menjadi pengusaha (peternak) sebab takut tercampur dengan penggunaan fasilitas negara.

Meninggalkan dagangan, atau melarang anaknya berdagang, yang dilakukan dua contoh pemimpin negara yang berpusat di Madinah itu tentu bukan akal-akalan. Bukan sekadar tidak tercatat memiliki saham atau tidak terdaftar sebagai pengurus perusahaan. Secara formil dan materiil memang benar-benar membersihkan diri dari potensi konflik kepentingan negara dengan pribadi atau keluarga.

Akibatnya, jika ada rakyatnya yang miskin tersembunyi di desa terpencilpun akan tahu dan segera diurus. Pikiran dan tenaganya fokus kepada rakyat, tak perlu menghubungkan nasib rakyat dengan kelangsungan usahanya.

Tetapi tampaknya kisah nyata masa lampau itu tak dijadikan contoh yang baik bagi para pengurus negeri ini. Jangankan rakyat miskin tersembunyi, puluhan ribu korban Lapindo yang sengsara selama lebih dari dua tahun, yang menjadi konsumsi kabar internasional pun tidak memperoleh penyelesaian nasib yang serius.

Korban Lapindo mengalami resesi kemakmuran. Meski menurut penelitian setidaknya separoh penduduk sekitar Blok Brantas hidup dalam ekonomi yang pas-pasan dan cenderung miskin, tetapi sebelum munculnya kasus semburan lumpur itu mereka masih hidup nyaman, anak-anak bisa sekolah, para orang tua masih bisa bekerja. Mereka pernah makmur dalam pengertian secara perasaan sebagai rakyat kecil yang biasa hidup apa adanya dan nerima ing pandum (tidak serakah).

Pada mulanya mereka tidak tahu jika di tempat tinggal mereka tersimpan kekayaan gas yang besar. Mereka tidak tahu adanya pemboran gas di Sumur Banjar Panji 1 Porong itu. Bahkan informasi yang mereka terima adalah rencana usaha peternakan, bukan pemboran migas.

Para korban Lapindo itu juga tidak mengetahui bahwa pemerintah kabupaten Sidoarjo hanya gigit jari, tidak memperoleh bagian apa-apa dari eksploitasi gas di wilayahnya. Mereka juga tidak mengetahui bahwa izin lokasi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 itu melanggar kaidah jarak minimum dan menabrak Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sidoarjo waktu itu. Itu semua menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan meninggalkan asas partisipasi rakyat.


Di tangan saudagar


Sejak dahulu banyak kalangan mengingatkan pemerintah, agar nasib rakyat korban Lapindo tidak diserahkan face to face dengan Lapindo. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan auditnya tentang kasus Lapindo itu telah menyarankan agar nasib korban Lapindo ditangani pemerintah dengan dana negara lebih dulu. Selanjutnya pemerintah dapat meminta ganti kepada Lapindo jika memang Lapindo bersalah. Secara hukum, menyatakan Lapindo salah dalam pemboran tak perlu menunggu putusan pengadilan, tapi cukup dengan keputusan administrasi pemerintah didasarkan hasil investigasi.

Alih-alih begitu, kini setelah bisnis Grup Bakrie mengalami masalah keuangan, malah ribut dalam pemerintahan, menganggu kinerja pemerintah. Menteri kesejahteraan akan pusing memikirkan kejatuhan korporasinya. Nasib korban Lapindo yang menjadi tanggung jawab Lapindo menurut peta terdampak 22 Maret 2007 menjadi tidak jelas dengan alasan bahwa Grup Bakrie kesulitan finansial.

Ini menjadi negara aneh. Bagaimana nasib rakyat yang tertimpa bencana (akibat eksplorasi gas) diserahkan kepada saudagar yang mempunyai kepentingan mengamankan diri dari kasus semburan lumpur Lapindo? Kalau kebijakan itu dianggap dan terbukti sebagai sebuah kesalahan, apakah tak ada niat untuk merevisi kebijakan yang tidak bijak itu?

Jelas bahwa berlarut-larutnya nasib puluhan ribu korban Lapindo yang dibiarkan oleh pemerintah benar-benar menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemerintah mestinya mempunyai kewajiban untuk memenuhi, melindungi, menegakkan HAM (pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).

Bahwa dengan sifat hukum HAM yang perlindungannya universal maka pemerintah Indonesia dapat dipersoalkan dalam forum HAM internasional sebab tidak dapat melindungi warga negaranya sendiri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sudah tidak lagi digubris oleh pemerintah seharusnya mulai membawa kasus itu ke forum hukum HAM internasional. Padahal para ahli geologi sudah melakukan forum ilmiah internasional dalam meneliti dan menilai penyebab semburan lumpurnya.

Di penghujung tulisan ini, saya hanya mengingatkan, bahwa di tangan para saudagar itu negeri ini telah dijual. Keselamatan rakyat dijadikan jaminan harga diri dan utang-utang mereka atas besarnya biaya pencalonan diri mereka selaku para pemimpin negara. Pembangunan dengan dana negara 100 persen hingga kini masih hanya memunculkan kualitas 40 – 50 persennya saja. 50 persennya dianggap keuntungan di muka yang mereka bagi beramai-ramai. Bukan hanya saudagar tulen. Meski itu prajurit, aktivis, akademis, jika kakinya menginjak altar kekuasaan, berubah menjadi saudagar. Nasib rakyat diperdagangkan.

Sabtu, 01 November 2008

KEJAHATAN PENELANTARAN KORBAN LAPINDO


Sejak peristiwa semburan lumpur Lapindo terjadi pada tahun 2006, saat itu khusus Puskesmas Porong mencatat kunjungan penderita penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) masih sekitar 26 ribu orang, tapi kini secara fantastik telah mencapai angka 46 ribu orang (Bambang Catur Nusantara, WALHI Jatim).

Sebenarnya ada bermacam-macam jenis penderitaan korban Lapindo. Berdasarkan penuturan para korban Lapindo, ada beberapa korban Lapindo yang gila dan mati ngenes. Sayangnya fakta-fakta seperti itu ada yang mendata secara khusus.

Pada Maret 2008 ini ada dua orang korban Lapindo yang meninggal dunia akibat gas beracun, yaitu: Bu Luluk dan Pak Sutrisno warga Jatirejo. Lalu bulan Mei 2008 ada dua lagi korban Lapindo yang meninggal dunia karena sesak nafas, yaitu: Pak Yakup dan Bu Qoriatul dari Siring. Hasil pemeriksaan RSUD Sidoarjo sewaktu mereka masih menderita sesak nafas menunjukkan adanya bayangan gas di usus serta indikator lainnya yang menunjukkan adanya gas beracun dalam tubuh mereka.

Berdasarkan data Tim Ahli Pemprov Jawa Timur yang meneliti kondisi lingkungan dan keadaan sosial di wilayah sekitar semburan lumpur Lapindo, disebutkan bahwa konsentrasi gas hidrokarbon (H2S) telah mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas yang diperbolehkan maksimum 0,24 ppm.

Belum lagi jika harus diteliti senyawa-senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang mencapai lebih dari 100 senyawa kimia, yang apabila konsentrasinya melebihi ambang batas juga menjadi bahaya bagi kesehatan masyarakat, termasuk yang sering melalui atau berdekatan dengan lokasi semburan lumpur Lapindo.

Bisa jadi akan terjadi keadaan yang jauh lebih mengerikan dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan, seperti penyakit slow learner (lambat berpikir), tumor, kanker.

Membohongi masyarakat

Penanganan kasus lumpur Lapindo itu memang tampak aneh. Banyak terjadi pembohongan publik menyangkut keadaan korban Lapindo, termasuk cara-cara penyelesaian yang dipenuhi kecurangan. Satu contoh bentuk kecurangannya adalah praktik hukum pelaksanaan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007, yaitu jual-beli tanah dan rumah korban dengan Lapindo (yang dilaksanakan PT. Minarak lapindo Jaya / MLJ).

Meski cara jual-beli tanah hak milik korban lapindo dalam wilayah peta terdampak 22 Maret 2007 sudah disepakati dengan putusan Mahkamah Agung No. 24 P/HUM/2007, Lapindo tetap memaksakan diri cara penyelesaian tukar tanah (resettlement) terhadap tanah nonsertifikat. Semula Lapindo dan MLJ sepakat tidak mempersoalkan tanah-tanah korban yang belum bersertifikat. Buktinya sudah dilakukan penandatanganan Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB) dengan mayoritas korban Lapindo setuju dengan cara jual-beli menurut Perpres No. 14 Tahun 2007 pasal 15 ayat (1) dan (2) tersebut. Tetapi setelah jatuh tempo pembayaran 80 persen (pelunasan) tiba bulan Maret 2008 lalu maka Lapindo mengingkari IPJB.

Baik Bupati Sidoarjo (dalam acara mediasi 5 Agustus 2008) maupun Komnas HAM serta jalan penyelesaian menurut Badan Pertanahan nasional, semua tidak digubris Lapindo.

Lapindo memaksakan kehendaknya bahwa pelunasan 80 persen tersebut akan dilaksanakan dengan cara cash & resettlement, yaitu dibayar harga rumahnya, tapi tanahnya diganti dengan tanah kavling. Lapindo berusaha ‘ambil untung’ sebab tanah pekarangan korban Lapindo yang sudah disepakati dengan harga Rp. 1 juta permeter akan diganti dengan tanah kavling bekas sawah yang harganya paling hanya Rp. 200 ribu permeter. Meski uang muka 20 persen dianggap hibah tapi kalau pelunasan 80 persennya dengan tukar tanah maka justru itu yang lebih menguntungkan Lapindo.

Kalaupun Lapindo berjanji akan mau membeli kembali tanah resettlement itu dengan harga Rp. 1 juta permeter, tapi apa janji itu dapat dipegang? Bukankah dengan memaksakan kehendaknya itu Lapindo telah melanggar IPJB yang telah ditandatanganinya? Bahkan Lapindo berani melanggar dispensasi hukum yang diberikan oleh MA dengan putusannya No. 24 P/HUM/2007 itu.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mandul, tak mampu tegas dengan Lapindo. Bahkan BPLS dalam Rapat 8 September 2008 di Jakarta mendukung keputusan Lapindo untuk menggunakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa harus ada pengukuran tanah yang sulit dilakukan karena tanah sudah tergenang lumpur. Padahal sudah ada peta 22 Maret 2007 buatan pemerintah yang menjadi lampiran Perpres No. 14 Tahun 2007 yang tentukanya sudah ditentukan skalanya sehingga mudah dihitung luasnya.

Kalau Lapindo mau mengganti tanah (resttlement) apa tidak perlu melakukan pengukuran? Apa bedanya dengan jika tanah dibayar uang tunai? Jika transaksi sudah dimulai dengan IPJB dan ukuran tanah dan bangunan sudah disebutkan dalam IPJB, apakah itu tidak cukup?

Alasan pertama Lapindo menolak membayar tunai sisa 80 persen adalah: tanah-tanah nonsertifikat tidak dapat dibuatkan akta jual-beli. Setelah alasan itu dibantah oleh BPN dan diberikan petunjuk pelaksanaan, kini muncul alasan lain yaitu: tidak memungkinkan dilakukan pengukuran tanah-tanah nonsertifikat yang sudah menjadi danau lumpur. Kalau alasan kedua itu terbantahkan, nanti pasti akan muncul alasan lain. Tapi pihak Lapindo pernah keceplosan berkata: “Kalau kami membayar cash & carry, nanti yang sudah mau cash & resettlement akan membatalkan dan pilih bayar tunai.”

Bahwa yang jelas kejadian semburan lumpur Lapindo itu bukanlah karena kesalahan masyarakat korban Lapindo. Audit negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berkesimpulan sama dengan para ahli geologi dunia di Cape Town Afrika Selatan (28/10/2008) bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh pemboran yang dilakukan Lapindo. Polemik penyebab semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah selesai. Yang tersisa tinggal kebohongan-kebohongan saja.

Lapindo juga membohongi dan menganggap bodoh penegak hukum. “Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib,” kata ahli pemboran permigasan, DR. Andang Bachtiar dalam diskusi di milis iagi-net@iagi.or.id (18/7/2008).

Konspirasi kejahatan

Dengan ruwet dan berbelitnya pola penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang mengakibatkan semakin buruknya kondisi korban Lapindo sebab semakin lama mereka tak tertangani maka semakin buruk kondisinya. Termasuk dengan adanya korban meninggal akibat keracunan gas dan puluhan ribu menderita penyakit ISPA. Padahal Lapindo, BPLS dan pemerintah telah diberikan tanggung jawab menurut hukum dan perjanjian atau kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatannya.

Fakta tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan penelantaran orang sebagaimana disebutkan dalam pasal 304 KUHP yang menentukan: “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka berat maka ancaman pidananya 7 tahun penjara. Jika mengakibatkan kematian maka ancaman pidananya 9 tahun penjara (pasal 306 KUHP). Sakit ISPA bisa jadi juga dapat dikategorikan luka berat sebab salah satu definisi luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah jatuh sakit yang menimbulkan bahaya maut. Luka berat juga termasuk jika daya pikir terganggu selama empat minggu lebih, padahal korban Lapindo yang gila karena terlantar sudah banyak.

Pelaku kejahatan penelantaran korban Lapindo adalah para pengurus dan pelaksana BPLS yang sengaja mengetahui dan berkonspirasi dengan Lapindo serta para pengurus Lapindo dan MLJ yang diserahi tanggung jawab menurut pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 dan perjanjian menurut IPJB.

Informasi soal berbelitnya penanganan kasus lumpur Lapindo sudah menjadi berita dan pengetahuan umum. Maka sesuai dengan kewajiban jabatan mereka para polisi yang bertugas menegakkan hukum sudah seharusnya memeriksa perkara itu, tanpa harus adanya laporan dari masyarakat korban Lapindo.

Hanya saja, apakah penegakan hukum pidana itu akan bisa berjalan dengan normal mengingat dalam kasus sebelumnya, yaitu: ledakan pipa gas pertamina yang makan puluhan korban jiwa dan kasus semburan lumpur Lapindo itu sendiri juga belum jelas kelanjutannya.

Tulisan ini mengandaikan hukum negara ini berjalan normal, tidak diskriminatif, tak peduli dengan banyaknya uang penjahatnya. Tapi nyatanya kan hukum masih berjalan kurang sehat, tidak normal. Tapi tak ada salahnya terus diuji dan diuji, didorong terus agar menjadi pelajaran di masa depan. Tak ada kata putus asa.

Setelah hampir tiga tahun berjalan, daftar kejahatan Lapindo semakin bertambah. Pertama, menjadi penjahat lingkungan. Kedua, menjadi penjahat kemanusiaan. Ketiga, menjadi penjahat penelantaran orang. Keempat, bahkan menurut DR. Suparto Wijoyo juga menjadi penjahat teroris (di soal lingkungan).

Dan yang pasti, anak-anak selalu dituntut jujur dan tidak berbohong. Tapi nyatanya rakyat Indonesia ini selalu menjadi korban kebohongan, disuruh urunan menanggung kewajiban Grup Bakrie. Tapi kalau memang ikhlas ya memang tak ada yang lebih baik dibanding rakyat Indonesia yang kaya-raya tiada tara, biasa disedot sejak jaman kolonial Belanda.

Rabu, 10 September 2008

KEBEBASAN PERS, HUKUM, HAM DAN MASYARAKAT

Kejadian-kejadian yang menimpa pers belakangan ini, terkait dengan vonis pengadilan kepada insan pers akibat pemberitaan yang diduga “mencemarkan nama baik”, menunjukkan indikasi bahwa hukum belum berbuat banyak untuk melindungi kebebasan pers - terlepas benar atau tidaknya tuduhan tersebut - sebab cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan perkara pers masih cara yang konvensional.

Saya setuju untuk diadakannya mekanisme atau prosedur khusus dalam penyelesaian sengketa atau perkara di bidang pers, agar pers tidak gampang digeret-geret ke pengadilan, mengingat fungsi pers yang sangat strategis sebagai wahana komunikasi dan kontrol sosial. Apalagi sesungguhnya pengadilan itu adalah suatu jalan yang paling akhir (ultimum remidium) ketika jalan kooperatif menemui jalan buntu.

Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah sistem hukum positif kita telah mendukung gagasan dan upaya itu? Apakah kualitas penegak hukum Indonesia telah mampu untuk memahami fungsi kebebasan pers (meskipun tidak dalam arti bebas tanpa batas)?


Lex specialis?


Banyak argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) merupakan lex specialis, sehingga seluruh kasus-kasus pers harus diselesaikan menurut UU Pers. Kalangan pers mengartikan bahwa sengketa atau perkara tentang pemberitaan pers harus melalui prosedur Hak Jawab.

Kalau dilihat secara utuh muatan UU Pers, sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur Hak Jawab. Batang tubuh UU Pers praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk melayani Hak Jawab.

Hak Jawab merupakan semata-mata “hak” bagi subyek yang diberitakan dan merupakan “kewajiban” bagi pers untuk melayani permintaan Hak Jawab. Hak Jawab yang diatur dalam UU Pers tidak meliputi “prosedur”. Artinya, kalau sesuatu pihak mau menggunakan Hak Jawabnya maka pers harus melayani. Jika tidak mau melayani Hak Jawab maka pihak yang bertanggung jawab secara pidana adalah perusahaan pers dan bukan wartawan atau redakturnya (pasal 5 ayat 2 tersebut).

Dalam hal tersebut, jika ternyata pihak yang merasa dirugikan dalam suatu pemberitaan pers tidak menggunakan Hak Jawab dan langsung menempuh upaya hukum, maka tidak ada satupun ketentuan di dalam UU Pers yang dapat menjadi penghalang, sebab – sekali lagi – UU Pers tidak mengandung ketentuan rincian prosedur penyelesaian sengketa pers dengan masyarakat.

Jadi, dalam konteks hukum positif sesungguhnya argumen yang “mewajibkan” prosedur Hak Jawab dalam penyelesaian perkara pemberitaan pers, juga masih lemah. Pewajiban penggunaan Hak Jawab lebih dulu hanya dapat dijalankan dengan cara membuat kesepakatan penyeragaman penafsiran yang dirumuskan dalam kesepakatan antar penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung) yang selanjutnya dijadikan petunjuk pelaksanaan (juklak) dalam menangani kasus-kasus pers.

Bicara soal lex specialis, maka harus dihadapkan pada lex generalis-nya. Kalau kita bicara tentang “pencemaran nama baik” maka hal itu sudah jelas diatur di dalam Bab XVI KUHP dan pasal 1372 s.d. 1380 KUHPerdata sebagai lex generalis. Marilah kita hadapkan pada UU Pers yang selama ini dipersepsikan sebagai lex specialis-nya. Ternyata ketentuan pidana di dalam UU Pers yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik” terdapat di dalam pasal 18 ayat (2) yang menentukan tanggung jawab hukumnya ada pada perusahaan pers.

Kalau hal itu dianggap lex specialis, ternyata tidak menghapuskan sama sekali tanggung jawab pidanannya sebagaimana ditentukan pasal 18 ayat (2) UU Pers tersebut. Artinya, pidana pencemaran nama baik pers tidak lagi menggunakan BAB XVI KUHP, tapi menggunakan PASAL 18 ayat (2) UU Pers tersebut, yang mewajibkan pers menghormati asas praduga tak bersalah dan tidak memasang iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Tetapi perbedaan penafsiran oleh pengadilan tampak dari putusan-putusan dalam kasus Tempo dan Radar Jogja, yang berbeda dengan yurisprudensi dalam kasus Harian Garuda yang mewajibkan adanya penggunaan Hak Jawab dalam kasus perdata untuk membantah berita yang dirasa merugikan (sengketa antara Harian Garuda dengan PT. Anugerah).

Setelah itu Tempo juga pernah memenangkan perkara tuduhan pencemaran nama baik di tingkat Mahkamah Agung (MA). Tetapi MA juga pernah menghukum (perdata) Times atas gugatan Soeharto. Hal itu berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia tidak mewajibkan para hakim untuk tunduk pada yurisprudensi. Ini termasuk yang menjadi penyebab timbulnya ketidakpastian hukum tersebut. Meski MA mempunyai setumpuk yurisprudensi tetapi tak kuasa untuk memaksa para hakim mematuhi yurisprudensi itu.


Hukum Pers dan HAM

Kalau misalnya para hakim mampu memahami sejarah serta makna kemerdekaan pers maka tidak sulit untuk membuat kesatuan penafsiran tentang makna kebebasan pers yang sesungguhnya juga dijelaskan dalam penjelasan UU Pers. Tapi kebanyakan hakim adalah “corong undang-undang” sebab kurang mampu memahami nilai-nilai keadilan dalam hukum moderen untuk menghormati pers yang di dalam dunia masa kini kedudukannya telah disetarakan dengan lembaga-lembaga negara (pilar keempat setelah lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil). Pasal 2 UU Pers menentukan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Lalu, apakah berarti pers sewaktu-waktu memang gampang untuk dituntut melalui pengadilan? Selama ketidakpastian hukum tersebut masih berlangsung, maka tentu saja pers gampang berurusan dengan institusi penegak hukum, dan itu akan menjadi praktek buruk sebab setelah pers berhasil dibebaskan dari cengkeraman lembaga eksekutif-administratif (Departemen Penerangan), sekarang malah diborgol oleh vonis-vonis pengadilan dalam keadaan hukum yang masih gelap.

Oleh sebab itu, saat ini perjuangan dalam rangka memaksimalkan kemerdekaan pers perlu ditempuh ke arah amandemen UU Pers. Mengapa? Sebab kita telah melihat kenyataan bahwa kualitas penegak hukum kita terletak pada kemampuan “baca huruf” daripada “baca makna”. Perlu adanya desakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyempurnakan UU Pers, terutama menyangkut aturan yang prosedural berkenaan dengan penyelesaian sengketa pers. UU Pers yang baru perlu mengatur secara tegas, apakah KUHP dan KUHPerdata dipergunakan atau tidak, dalam perkara-perkara pers.

Kita tidak akan membuat sistem yang menjadikan pers sebagai dewa yang tak tersentuh hukum, tetapi yang terpenting adalah melindungi kebebasan pers agar dapat berfungsi tanpa intimidasi yang dilakukan para “preman” maupun lembaga negara.
Di benua Amerika terdapat Mahkamah Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (Inter-American Court of Human Rights) yang melindungi kemerdekaan pers. Tahun 2004 Mahkamah HAM Antar-Amerika ini pernah membatalkan vonis Pengadilan Kosta Rika yang memidana wartawan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pengadilan Kosta Rika dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jika kita mengacu pada hukum HAM, Indonesia telah mengadobsinya dalam amandemen UUD 1945, dan secara khusus diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pers tidak riil disebut dalam UU No. 39 Tahun 1999, tetapi menjadi bagian dari ketentuan pasal 14 yang menentukan: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.


Pers, Kepentingan Umum dan Hukum

Penjelasan pasal 6 UU Pers menjelaskan: Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. Jika hal itu dikaitkan dengan maksud kemerdekaan pers dalam pasal 2 UU Pers serta fungsinya, maka pers sudah menjadi kebutuhan publik.
Pers secara normatif melakukan kerjanya juga demi kepentingan umum terkait dengan kontrol sosialnya. Dengan posisi seperti itu, apakah berita investigasi yang menginformasikan keburukan suatu pihak (tentu dengan data dan sumber) yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dapat diketegorikan sebagai pencemaran nama baik?
Dasar khusus gugatan pencemaran nama baik atau penghinaan sebenarnya ada pada pasal 1372 KUHPerdata. Penggugat dapat meminta kepada hakim (menurut pasal 1372 KUHPerdata) agar tergugat dihukum memberikan ganti kerugian, pemulihan kehormatan dan nama baik.
Namun pasal 1376 KUHPerdata menentukan bahwa gugatan penghinaan (atau pencemaran nama baik) tidak dapat dikabulkan jika tidak ternyata adanya maksud untuk mencemarkan nama baik atau menghina. Maksud menghina atau mencemarkan nama baik dianggap tidak ada apabila perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri secara terpaksa.

Dalam konteks fungsi dan peranan pers tersebut maka semestinya hakim tidak dapat mengabulkan gugatan kepada pers dengan dalih pencemaran nama baik. Lalu apakah ini tidak akan menjadi tirani pers? Seharusnya tidak, sebab dalam dunia pers ada lembaga Dewan Pers (pasal 15 UU Pers) yang diantaranya bertugas menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya, pers juga tidak boleh dan tak bisa semaunya sendiri.


Peranan ahli

Hal lain yang menarik dalam kasus-kasus gugatan perdata korporasi kepada pers adalah penggunaan keterangan ahli (bukan saksi ahli) di muka pengadilan sebagai alat bukti dan acuan hakim dalam memutus perkara. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia, praktik itu menjadi sebuah kesalahan besar sebab standard pembuktian hukum acara perdata menurut ketentuan HIR (pasal 164) maupun KUHPerdata (pasal 1886) hanya mengenal jenis alat bukti tertulis (surat), keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Keterangan ahli hanya dibutuhkan manakala kecukupan alat bukti yang ada nilainya masih kurang kuat (Yahya Harahap, 2007: 795).

Keterangan ahli bukanlah keterangan saksi. Keterangan ahli biasanya berupa pendapat. Pasal 1907 alenia ke-2 KUHPerdata menentukan: “Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.” Hakim bisa saja mengangkat ahli (bukan saksi ahli) hanya jika suatu perkara membutuhkan kejelasan duduk perkaranya karena sifatnya yang khusus yang tidak dipahami hakim. Tetapi fungsi ahli di sini untuk menjelaskan alat bukti yang ada. Dalam putusannya hakim tidak boleh menjadikan keterangan ahli sebagai alat bukti untuk memutuskan perkara. Kecuali dalam hukum acara pidana keterangan ahli menjadi salah satu jenis alat bukti (pasal 184 KUHAP).

Dalam kaitannya dengan kasus perdata pers terkait gugatan pencemaran nama baik, ahli yang dibutuhkan adalah ahli yang menjelaskan duduk perkara pers yang akan menguraikan penjelasan hubungan antara hukum pers dengan tuduhan pencemaran nama baik dan tatacara penyelesaiannya. Soal ini sebenarnya bisa menjadi keahlian dari hakim sendiri sehingga tidak membutuhkan keterangan ahli.

Apalagi jika dalam sebuah kasus perdata gugatan pencemaran nama baik terdapat keterangan para ahli yang saling bertentangan maka hakim tidak dapat menggunakan keterangan ahli yang saling bertentangan itu untuk menjadi bahan pertimbangan memutuskan perkara. Memang seharusnya keterangan ahli tidak boleh dijadikan pertimbangan putusan hakim perkara perdata, sebab keterangan ahli bukan alat bukti.
Saya mengingatkan bahwa kemerdekaan pers dalam sejarahnya pernah mengalami tekanan kekuasaan politik, dan kini mengalami tekanan kekuasaan ekonomi (korporasi). Dalam konteks hukum moderen dan HAM dalam korelasinya dengan kemerdekaan pers, sudah waktunya meninggalkan pasal-pasal KUHPerdata dan KUHP yang masih berwatak kolonial, produk abad penjajahan Barat itu.

Prinsip-prinsip hukum internasional dan HAM berkaitan dengan kemerdekaan pers sudah waktunya dilaksanakan. Tahun 2004 contohnya negara Etiopia sudah mulai melakukan proses penghapusan kriminalisasi pers. Hal itu juga terjadi di Eropa Timur, Amerika Latin dan Afrika.

Di sisi lain, untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang buruk dan merugikan (tidak faktual), Dewan Pers harus aktif menjalankan fungsinya, termasuk menyosialisasikan fungsinya ke masyarakat, agar pengaduan tidak langsung menuju ke pengadilan dan kantor polisi.

Pers juga jangan sampai menjadi tirani baru. Kita ciptakan demokrasi chekcs and balance....... Bukan demokrasi cek dan giro seperti yang diterima para anggota DPR dan para ahli sewaan..... (yang juga menjadi rasan-rasan guyonan di komunitas advokat).... Pers juga jangan tidak berani memberitakan berita besar gara-gara terima cek atau giro yang balance.


Salam.

Sabtu, 06 September 2008

JALAN KELUAR PERSELISIHAN SOAL TANAH KORBAN LAPINDO

Meskipun pemerintah yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional / BPN) telah memberikan jaminan kepada Lapindo bahwa untuk Lapindo akan diberikan sertifikat setelah selesainya proses jual-beli tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat (petok D, letter C dan SK gogol), tetapi tampaknya Lapindo tetap ngotot tidak bersedia membayar tunai tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat. Masalah itu telah dimediatori Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 29 Agustus 2009, tetapi Lapindo tidak dapat menerima penjelasan pemerintah dan tetap menolak.

Dalam milis Forum Pembaca Kompas (FPK) muncul penjelasan dari nama Singkirbayu yang mengaku sebagai korban Lapindo menjelaskan bahwa pertemuan di Komnas HAM tersebut positif MENEMUI JALAN BUNTU. Singkirbayu menyatakan: “Staf ahli Mensos (bukan mensos) yang hadir dan kepala BPN Joyo Winoto memang menyatakan tanah bukan sertifikat bisa di AJB (Akta Jual Beli) kan,meskipun melawan UU PA th. 1960. Caranya menurut Kepala BPN Joyo Winoto adalah dengan hak atas tanah yang dibayar Lapindo menjadi milik negara dulu kemudian Lapindo memohon hak atas tanah tersebut menjadi haknya. Solusi diatas buntu karena kalo dikuasai negara dulu hak atas tanah
tsb., lapindo maunya ya negara / pemerintah yang bayar bukan dia. Itu berita setengah buruk pertama. Terlebih Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang juga hadir di pertemuan tetap bersikukuh berpendapat tidak akan ada pejabat pembuat akta tanah yang akan mau memproses transaksi tsb karena jelas-jelas melawan hukum pertanahan yang masih berlaku. Secara profesi mereka mengaku takut ada apa-apa dibelakang hari karena melawan undang-undang. Rekomendasi kepala BPN belum terlalu kuat untuk melawan undang-unndang, begitu kesimpulan mereka.”

Kabar tersebut (jika seumpama benar – wong saya belum dikabari oleh para relawan lainnya), saya tanggapi sebagai berikut:

Benar bahwa JUAL-BELI tanah Hak Milik antara korban Lapindo perorangan dengan Lapindo (yang menunjuk PT. Minarak Lapindo Jaya / MLJ) menabrak pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Sebab, Lapindo atau MLJ adalah korporasi yang bukan merupakan subyek hukum pemegang Hak Milik atas tanah. Subyek hukum Hak Milik atas tanah menurut pasal 21 UUPA adalah WNI dan badan-badan hukum yang ditunjuk pemerintah, yang selanjutnya diatur dengan PP No. 38 Tahun 1963. Kesalahan bermula dari ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan cara JUAL-BELI tanah antara korban Lapindo dengan Lapindo.

Namun, kesalahan hukum itu kemudian DILEGALKAN oleh Putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007 yang menguatkan tatacara penyelesaian sosial kemasyarakatan bagi korban Lapindo menurut pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu. Inilah yang di dalam hukum disebut DISKRESI HUKUM.

Contoh diskresi hukum lainnya adalah: Jaman dahulu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing melarang modal asing masuk ke sektor tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi Presiden Soeharto menerbitkan PP No. 20 Tahun 1994 yang membolehkan modal asing masuk di sektor-sektor pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kareta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media, bahkan sampai dengan komposisi modal 95 persen asing dan 5 persen modal dalam negeri. Jelas bahwa PP No. 20 Tahun 1994 itu melanggar UU No. 1 Tahun 1967. Tetapi para pengusaha tidak takut menerapkannya sebab dalam hukum berlaku asas rechmatige. Artinya, selama PP No. 20 Tahun 1994 itu tidak diputuskan melanggar undang-undang oleh putusan MA yang berwenang melakukan uji materiil maka PP No. 20 Tahun 1994 itu dianggap legal, sah dan menjadi dasar hukum. (Meski secara akademis saya juga tidak setuju dengan PP No. 20 Tahun 1994 itu, tetapi secara praktis tak dapat dihindari).

Saya kembali pada cara JUAL-BELI tanah Hak Milik korban Lapindo yang WNI dengan MLJ yang merupakan badan hukum perseroan terbatas (PT). Cara itu dilegalkan dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 (pasal 15 ayat 1 dan 2). Bahkan Perpres No. 14 Tahun 2007 sudah posisitf rechmatige (dianggap tidak melanggar undang-undang) sesuai putusan MA No. 24 P/HUM/2007.

Perlu diketahui bahwa dasar pengujian terhadap pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dahulu juga UUPA. Argumentasi korban Lapindo dalam permohonan uji materiil Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dikutip dalam putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut sebagai berikut: “... 72. Bahwa jelas, perjanjian berupa jual beli tanah yang diatur dalam PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara nyata bertentangan dengan konsep hak milik atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dikatakan bahwa yang dapat memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah. Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang mengatur tentang badan-badan hukum mana saja yang dapat memperoleh hak milik, tidak memberikan kemungkinan untuk Lapindo Brantas Inc. sebagai pemegang hak milik atas tanah. Dengan adanya pertentangan dengan hukum agraria yang berlaku, jual beli atas tanah ini melanggar asas kebebasan berkontrak karena menyalahgunakan adanya prinsip ini, prinsip kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan tidak boleh mengabaikan norma hukum yang berlaku. Undang-Undang merupakan tolak ukur yang pertama dan terutama, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dalam setiap perjanjian. Karenanya para pihak tidak boleh memasukkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, perjanjian jual beli ini tidak sah menurut hukum ; 73. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut di atas. Oleh karenanya Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum;...” (putusan tersebut, halaman 24).

Terhadap argumentasi hukum pemohon (yang diwakili advokat YLBHI) tersebut dalam pertimbangan hukumnya MA menyatakan: “Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No.14 Tahun 2007 tidak dapat diuji dan dinilai oleh Hakim, lagi pula Pasal 15 tersebut diterbitkan dalam rangka penanganan masalah sosial terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dengan cara memberikan ganti/membayar nilai harga tanah dan bangunan para korban luapan Lumpur secara wajar dan proporsional seperti telah dipertimbangkan sebelumnya, maka Pasal 15 tersebut tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dari Undang-Undang yang dijadikan dasar atau tolok ukur oleh Para Pemohon keberatan Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon tersebut tidak beralasan, sehingga permohonan Para Pemohon harus ditolak ; (putusan MA tersebut, halaman 58).

Dengan demikian, putusan MA tersebut MENGANGGAP bahwa JUAL-BELI tanah korban Lapindo dengan Lapindo (dalam praktiknya dengan MLJ) tidak bertentangan dengan UUPA. Mengingat putusan MA tersebut sudah final, maka kekhawatiran Lapindo dan Organisasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menabrak UUPA tersebut sudah tidak relevan lagi dikemukakan. Sedangkan secara profetik para PPAT itu menjalankan tugasnya dengan berpayung surat keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN (sekarang yang ada Kepala BPN), dengan telah adanya jaminan dari BPN tersebut mestinya sudah tidak ada lagi persoalan.

Kejanggalan

Saya menangkap adanya kejanggalan sikap dari Lapindo dan organisasi profesi PPAT yang menolak membuatkan akte jual beli (AJB) tanah-tanah Hak Milik korban Lapindo yang belum bersertifikat. Kejanggalan itu dilihat dari fakta sebagai berikut:

Pertama, PPAT/Notaris yang digunakan Lapindo telah bersedia membuat Akta Jual Beli untuk tanah yang bersertifikat padahal tanah bersertifikat itu termasuk ada yang berjenis Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik. Untuk yang HGB tak ada kejanggalan sebab memang MLJ boleh memiliki tanah HGB menurut UUPA. Tetapi Lapindo juga membayar tanah-tanah bersertifikat Hak Milik, padahal jika menngacu pada pasal 21 UUPA tersebut mestinya MLJ atau Lapindo tidak bisa memiliki tanah Hak Milik, sehingga jalan keluarnya adalah 'penurunan jenis hak” dari Hak Milik menjadi HGB, yang harus melalui mekanisme: tanah jatuh menjadi tanah negara lebih dulu. Lalu Lapindo memohon agar menjadi hak sesuai kebutuhannya (bisa HGB, Hak Guna Usaha/HGU atau Hak Pakai atas tanah negara).

Kedua, PPAT/Notaris Lapindo bersedia membuatkan akta peralihan dengan cara cash & resettlement terhadap tanah-tanah korban yang belum bersertifikat. Dibayar tunai bangunannya, tapi ditukar tanahnya. Padahal tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat itu adalah tanah Hak Milik. Sedangkan tanah penukarnya adalah tanah hak MLJ atau tanah kavling hak dari developer yang ditunjuk (di lokasi Kahuripan Nirwana Village). Developer itu PT. Wahana Arta Raya (WAR). Perusahaan developer ini juga dilarang mempunyai Hak Milik. Maka jalan keluarnya adalah: MLJ bertindak sebagai pembayar ke WAR, sedangkan tanah Hak Milik korban yang ditukar itu nantinya menjadi hak Lapindo. Itu juga menabrak pasal 21 UUPA. Sehingga harus dulu jatuh menjadi tanah negara dan barulah dimohonkan hak oleh Lapindo sesuai kebutuhannya, apakah HGB, HGU atau Hak Pakai.

Artinya, dengan alasan bahwa jual beli tanah Hak Milik korban yang belum bersertifikat dengan cara cash & carry dianggap menabrak UUPA, maka cara cash & resettlement juga akan menabrak UUPA, bahkan lebih parah lagi juga menabrak pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 jo. Putusan MA No. 24 P/HUM/2007.

Jika PPAT/Notaris yang dipakai dalam transaksi tanah kasus Lapindo itu takut dengan risiko profesinya yang kuatir menabrak UUPA, maka takutnya seharusnya tidak pilih-pilih. Seharusnya mereka takut membuatkan AJB cash & carry dan takut membuatkan akta peralihan atau tukar-menukar hak dengan cara cash & resettlement itu.

Jalan keluar

Jika sekadar mengatasi ketakutan para PPAT itu, BPN dapat secara khusus menunjuk PPAT Camat saja untuk membuatkan AJB tanah korban Lapindo tersebut, dengan membuat Surat Keputusan (SK) penunjukan. BPLS - selaku lembaga yang ditugasi melaksanakan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan itu - harus mengawali inisiatif itu. Tetapi yang menjadi soal adalah: bagaimana jika Lapindo tetap tidak setuju setelah adanya penunjukan PPAT oleh pemerintah tersebut?

Persoalan itu tampaknya tidak akan selesai dengan cara gontok-gontokan segitiga antara korban – lapindo – pemerintah. Jika Lapindo memang tidak sanggup menjalani diskresi hukum yang sudah ke tahap putusan MA tersebut sebaiknya berterus terang kepada pemerintah. Hal itu untuk memudahkan bagi warga korban dan pemerintah dalam mengambil keputusan dalam rangka percepatan penyelesaian masalah sosial itu.

Pemerintah juga tidak boleh terus-menerus menyerahkan nasib warga korban kepada kesediaan Lapindo yang terbukti sudah tidak mau menggunakan diskresi hukum seperti itu. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo untuk merumuskan bersama-sama dengan pemerintah pusat guna memecah jalan buntu tersebut. Jika perlu pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dana talangan sebagai pembayar tanah korban Lapindo. Hal itu dibenarkan oleh saran BPK dalam laporan audit kasus lumpur Lapindo tertanggal 29 Mei 2007 sehingga sudah ada landasan yang legal pula.

Sedangkan soal pertanggungjawaban Lapindo adalah pemerintah yang wajib mengurusnya, yang silahkan berhitung hak dan kewajiban dengan Lapindo. Warga korban jangan dibiarkan berhadap-hadapan dengan Lapindo berlama-lama sebab hanya akan membuahkan keputusasaan massal.

Jika berlarut-larut tanpa kepastian begini, pakar HAM atau hukum siapa yang bilang tak ada pelanggaran HAM?

Rabu, 13 Agustus 2008

Surat Terbuka Kepada Presiden: Korban Lapindo Menagih

Surat Terbuka Kepada Presiden RI:

KORBAN LAPINDO MENAGIH

Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.
Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).
Pasal 15 Perpres itu menentukan: Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).
Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.
Bapak Presiden. Mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris / pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.
Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).
Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.
Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.
Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.
Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu / m2, sedangkan tanah pemukiman / pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta / m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta / m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?
Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo? Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?
Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.
Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.
Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).
Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).
Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.
Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.
Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.
Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo. Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo. Subagyo.