Tirani modern merupakan tirani kapital, di mana kebanyakan kekuasaan negara, termasuk militer dan polisi, serta otoritas agama, akademik dan kebudayaan, tunduk kepadanya.
Senin, 01 Desember 2008
Nasib Rakyat di Tangan Saudagar
Kita mempunyai presiden berlatar belakang militer-intelektual. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang purnawirawan jendral Angkatan Darat dan doktor dalam bidang ilmu pertanian. Setidak-tidaknya memahami bagaimana manajemen pertahanan negara, sekaligus memahami pembangunan pertanian yang juga menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Bagaimana kenyataannya di tahun penghujung jabatannya?
Wakil presidennya adalah Muhammad Jusuf Kalla (MJK), merupakan seorang pengusaha, pedagang (saudagar) tulen yang kaya-raya dengan seabrek pengalaman dalam mengelola perusahaan bermerek (keluarga) “H. Kalla” yang sangat terkenal kebesaraanya di Indonesia bagian Timur. Untuk itulah MJK selaku Wakil Presiden ditugasi untuk menyusun program pembangunan ekonomi.
Tak lupa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (dahulu Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri) adalah Aburizal Bakrie, juga saudagar kaya-raya dengan perusahaan yang bermerek “Bakrie” yang juga sangat terkenal itu yang konon terkaya di Asia Tenggara. Bagaimana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia kini?
Resesi kemakmuran?
Saudagar yang menjadi pejabat negara tak selamanya terampil mengurus kebutuhan rakyat. Bisa jadi konsentrasinya terbelah. Tak tahu seperempat, setengah, dua pertiga, atau berapa kadarnya, kemampuan intelektualnya tak dapat meninggalkan nasib usahanya. Kemungkinan ‘selingkuh’ dari rakyat bisa terjadi.
Abu Bakar Shidiq ketika ditunjuk menjadi khalifah, ia tinggalkan dagangannya. Seratus persen mengurus negara. Konsenstrasinya tak boleh pecah, sebab mengurus negara itu amanat besar, tak boleh main-main dijadikan pekerjaan sampingan. Bahkan Umar bin Khatab ketika terpilih menjadi khalifah juga melarang anaknya menjadi pengusaha (peternak) sebab takut tercampur dengan penggunaan fasilitas negara.
Meninggalkan dagangan, atau melarang anaknya berdagang, yang dilakukan dua contoh pemimpin negara yang berpusat di Madinah itu tentu bukan akal-akalan. Bukan sekadar tidak tercatat memiliki saham atau tidak terdaftar sebagai pengurus perusahaan. Secara formil dan materiil memang benar-benar membersihkan diri dari potensi konflik kepentingan negara dengan pribadi atau keluarga.
Akibatnya, jika ada rakyatnya yang miskin tersembunyi di desa terpencilpun akan tahu dan segera diurus. Pikiran dan tenaganya fokus kepada rakyat, tak perlu menghubungkan nasib rakyat dengan kelangsungan usahanya.
Tetapi tampaknya kisah nyata masa lampau itu tak dijadikan contoh yang baik bagi para pengurus negeri ini. Jangankan rakyat miskin tersembunyi, puluhan ribu korban Lapindo yang sengsara selama lebih dari dua tahun, yang menjadi konsumsi kabar internasional pun tidak memperoleh penyelesaian nasib yang serius.
Korban Lapindo mengalami resesi kemakmuran. Meski menurut penelitian setidaknya separoh penduduk sekitar Blok Brantas hidup dalam ekonomi yang pas-pasan dan cenderung miskin, tetapi sebelum munculnya kasus semburan lumpur itu mereka masih hidup nyaman, anak-anak bisa sekolah, para orang tua masih bisa bekerja. Mereka pernah makmur dalam pengertian secara perasaan sebagai rakyat kecil yang biasa hidup apa adanya dan nerima ing pandum (tidak serakah).
Pada mulanya mereka tidak tahu jika di tempat tinggal mereka tersimpan kekayaan gas yang besar. Mereka tidak tahu adanya pemboran gas di Sumur Banjar Panji 1 Porong itu. Bahkan informasi yang mereka terima adalah rencana usaha peternakan, bukan pemboran migas.
Para korban Lapindo itu juga tidak mengetahui bahwa pemerintah kabupaten Sidoarjo hanya gigit jari, tidak memperoleh bagian apa-apa dari eksploitasi gas di wilayahnya. Mereka juga tidak mengetahui bahwa izin lokasi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 itu melanggar kaidah jarak minimum dan menabrak Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sidoarjo waktu itu. Itu semua menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan meninggalkan asas partisipasi rakyat.
Di tangan saudagar
Sejak dahulu banyak kalangan mengingatkan pemerintah, agar nasib rakyat korban Lapindo tidak diserahkan face to face dengan Lapindo. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan auditnya tentang kasus Lapindo itu telah menyarankan agar nasib korban Lapindo ditangani pemerintah dengan dana negara lebih dulu. Selanjutnya pemerintah dapat meminta ganti kepada Lapindo jika memang Lapindo bersalah. Secara hukum, menyatakan Lapindo salah dalam pemboran tak perlu menunggu putusan pengadilan, tapi cukup dengan keputusan administrasi pemerintah didasarkan hasil investigasi.
Alih-alih begitu, kini setelah bisnis Grup Bakrie mengalami masalah keuangan, malah ribut dalam pemerintahan, menganggu kinerja pemerintah. Menteri kesejahteraan akan pusing memikirkan kejatuhan korporasinya. Nasib korban Lapindo yang menjadi tanggung jawab Lapindo menurut peta terdampak 22 Maret 2007 menjadi tidak jelas dengan alasan bahwa Grup Bakrie kesulitan finansial.
Ini menjadi negara aneh. Bagaimana nasib rakyat yang tertimpa bencana (akibat eksplorasi gas) diserahkan kepada saudagar yang mempunyai kepentingan mengamankan diri dari kasus semburan lumpur Lapindo? Kalau kebijakan itu dianggap dan terbukti sebagai sebuah kesalahan, apakah tak ada niat untuk merevisi kebijakan yang tidak bijak itu?
Jelas bahwa berlarut-larutnya nasib puluhan ribu korban Lapindo yang dibiarkan oleh pemerintah benar-benar menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemerintah mestinya mempunyai kewajiban untuk memenuhi, melindungi, menegakkan HAM (pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).
Bahwa dengan sifat hukum HAM yang perlindungannya universal maka pemerintah Indonesia dapat dipersoalkan dalam forum HAM internasional sebab tidak dapat melindungi warga negaranya sendiri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sudah tidak lagi digubris oleh pemerintah seharusnya mulai membawa kasus itu ke forum hukum HAM internasional. Padahal para ahli geologi sudah melakukan forum ilmiah internasional dalam meneliti dan menilai penyebab semburan lumpurnya.
Di penghujung tulisan ini, saya hanya mengingatkan, bahwa di tangan para saudagar itu negeri ini telah dijual. Keselamatan rakyat dijadikan jaminan harga diri dan utang-utang mereka atas besarnya biaya pencalonan diri mereka selaku para pemimpin negara. Pembangunan dengan dana negara 100 persen hingga kini masih hanya memunculkan kualitas 40 – 50 persennya saja. 50 persennya dianggap keuntungan di muka yang mereka bagi beramai-ramai. Bukan hanya saudagar tulen. Meski itu prajurit, aktivis, akademis, jika kakinya menginjak altar kekuasaan, berubah menjadi saudagar. Nasib rakyat diperdagangkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Artikel anda:
http://pemerintahan-indonesia.infogue.com/
http://pemerintahan-indonesia.infogue.com/nasib_rakyat_di_tangan_saudagar
promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!
Posting Komentar