Rabu, 10 September 2008

KEBEBASAN PERS, HUKUM, HAM DAN MASYARAKAT

Kejadian-kejadian yang menimpa pers belakangan ini, terkait dengan vonis pengadilan kepada insan pers akibat pemberitaan yang diduga “mencemarkan nama baik”, menunjukkan indikasi bahwa hukum belum berbuat banyak untuk melindungi kebebasan pers - terlepas benar atau tidaknya tuduhan tersebut - sebab cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan perkara pers masih cara yang konvensional.

Saya setuju untuk diadakannya mekanisme atau prosedur khusus dalam penyelesaian sengketa atau perkara di bidang pers, agar pers tidak gampang digeret-geret ke pengadilan, mengingat fungsi pers yang sangat strategis sebagai wahana komunikasi dan kontrol sosial. Apalagi sesungguhnya pengadilan itu adalah suatu jalan yang paling akhir (ultimum remidium) ketika jalan kooperatif menemui jalan buntu.

Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah sistem hukum positif kita telah mendukung gagasan dan upaya itu? Apakah kualitas penegak hukum Indonesia telah mampu untuk memahami fungsi kebebasan pers (meskipun tidak dalam arti bebas tanpa batas)?


Lex specialis?


Banyak argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) merupakan lex specialis, sehingga seluruh kasus-kasus pers harus diselesaikan menurut UU Pers. Kalangan pers mengartikan bahwa sengketa atau perkara tentang pemberitaan pers harus melalui prosedur Hak Jawab.

Kalau dilihat secara utuh muatan UU Pers, sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur Hak Jawab. Batang tubuh UU Pers praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk melayani Hak Jawab.

Hak Jawab merupakan semata-mata “hak” bagi subyek yang diberitakan dan merupakan “kewajiban” bagi pers untuk melayani permintaan Hak Jawab. Hak Jawab yang diatur dalam UU Pers tidak meliputi “prosedur”. Artinya, kalau sesuatu pihak mau menggunakan Hak Jawabnya maka pers harus melayani. Jika tidak mau melayani Hak Jawab maka pihak yang bertanggung jawab secara pidana adalah perusahaan pers dan bukan wartawan atau redakturnya (pasal 5 ayat 2 tersebut).

Dalam hal tersebut, jika ternyata pihak yang merasa dirugikan dalam suatu pemberitaan pers tidak menggunakan Hak Jawab dan langsung menempuh upaya hukum, maka tidak ada satupun ketentuan di dalam UU Pers yang dapat menjadi penghalang, sebab – sekali lagi – UU Pers tidak mengandung ketentuan rincian prosedur penyelesaian sengketa pers dengan masyarakat.

Jadi, dalam konteks hukum positif sesungguhnya argumen yang “mewajibkan” prosedur Hak Jawab dalam penyelesaian perkara pemberitaan pers, juga masih lemah. Pewajiban penggunaan Hak Jawab lebih dulu hanya dapat dijalankan dengan cara membuat kesepakatan penyeragaman penafsiran yang dirumuskan dalam kesepakatan antar penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung) yang selanjutnya dijadikan petunjuk pelaksanaan (juklak) dalam menangani kasus-kasus pers.

Bicara soal lex specialis, maka harus dihadapkan pada lex generalis-nya. Kalau kita bicara tentang “pencemaran nama baik” maka hal itu sudah jelas diatur di dalam Bab XVI KUHP dan pasal 1372 s.d. 1380 KUHPerdata sebagai lex generalis. Marilah kita hadapkan pada UU Pers yang selama ini dipersepsikan sebagai lex specialis-nya. Ternyata ketentuan pidana di dalam UU Pers yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik” terdapat di dalam pasal 18 ayat (2) yang menentukan tanggung jawab hukumnya ada pada perusahaan pers.

Kalau hal itu dianggap lex specialis, ternyata tidak menghapuskan sama sekali tanggung jawab pidanannya sebagaimana ditentukan pasal 18 ayat (2) UU Pers tersebut. Artinya, pidana pencemaran nama baik pers tidak lagi menggunakan BAB XVI KUHP, tapi menggunakan PASAL 18 ayat (2) UU Pers tersebut, yang mewajibkan pers menghormati asas praduga tak bersalah dan tidak memasang iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Tetapi perbedaan penafsiran oleh pengadilan tampak dari putusan-putusan dalam kasus Tempo dan Radar Jogja, yang berbeda dengan yurisprudensi dalam kasus Harian Garuda yang mewajibkan adanya penggunaan Hak Jawab dalam kasus perdata untuk membantah berita yang dirasa merugikan (sengketa antara Harian Garuda dengan PT. Anugerah).

Setelah itu Tempo juga pernah memenangkan perkara tuduhan pencemaran nama baik di tingkat Mahkamah Agung (MA). Tetapi MA juga pernah menghukum (perdata) Times atas gugatan Soeharto. Hal itu berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia tidak mewajibkan para hakim untuk tunduk pada yurisprudensi. Ini termasuk yang menjadi penyebab timbulnya ketidakpastian hukum tersebut. Meski MA mempunyai setumpuk yurisprudensi tetapi tak kuasa untuk memaksa para hakim mematuhi yurisprudensi itu.


Hukum Pers dan HAM

Kalau misalnya para hakim mampu memahami sejarah serta makna kemerdekaan pers maka tidak sulit untuk membuat kesatuan penafsiran tentang makna kebebasan pers yang sesungguhnya juga dijelaskan dalam penjelasan UU Pers. Tapi kebanyakan hakim adalah “corong undang-undang” sebab kurang mampu memahami nilai-nilai keadilan dalam hukum moderen untuk menghormati pers yang di dalam dunia masa kini kedudukannya telah disetarakan dengan lembaga-lembaga negara (pilar keempat setelah lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil). Pasal 2 UU Pers menentukan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Lalu, apakah berarti pers sewaktu-waktu memang gampang untuk dituntut melalui pengadilan? Selama ketidakpastian hukum tersebut masih berlangsung, maka tentu saja pers gampang berurusan dengan institusi penegak hukum, dan itu akan menjadi praktek buruk sebab setelah pers berhasil dibebaskan dari cengkeraman lembaga eksekutif-administratif (Departemen Penerangan), sekarang malah diborgol oleh vonis-vonis pengadilan dalam keadaan hukum yang masih gelap.

Oleh sebab itu, saat ini perjuangan dalam rangka memaksimalkan kemerdekaan pers perlu ditempuh ke arah amandemen UU Pers. Mengapa? Sebab kita telah melihat kenyataan bahwa kualitas penegak hukum kita terletak pada kemampuan “baca huruf” daripada “baca makna”. Perlu adanya desakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyempurnakan UU Pers, terutama menyangkut aturan yang prosedural berkenaan dengan penyelesaian sengketa pers. UU Pers yang baru perlu mengatur secara tegas, apakah KUHP dan KUHPerdata dipergunakan atau tidak, dalam perkara-perkara pers.

Kita tidak akan membuat sistem yang menjadikan pers sebagai dewa yang tak tersentuh hukum, tetapi yang terpenting adalah melindungi kebebasan pers agar dapat berfungsi tanpa intimidasi yang dilakukan para “preman” maupun lembaga negara.
Di benua Amerika terdapat Mahkamah Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (Inter-American Court of Human Rights) yang melindungi kemerdekaan pers. Tahun 2004 Mahkamah HAM Antar-Amerika ini pernah membatalkan vonis Pengadilan Kosta Rika yang memidana wartawan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pengadilan Kosta Rika dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jika kita mengacu pada hukum HAM, Indonesia telah mengadobsinya dalam amandemen UUD 1945, dan secara khusus diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pers tidak riil disebut dalam UU No. 39 Tahun 1999, tetapi menjadi bagian dari ketentuan pasal 14 yang menentukan: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.


Pers, Kepentingan Umum dan Hukum

Penjelasan pasal 6 UU Pers menjelaskan: Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. Jika hal itu dikaitkan dengan maksud kemerdekaan pers dalam pasal 2 UU Pers serta fungsinya, maka pers sudah menjadi kebutuhan publik.
Pers secara normatif melakukan kerjanya juga demi kepentingan umum terkait dengan kontrol sosialnya. Dengan posisi seperti itu, apakah berita investigasi yang menginformasikan keburukan suatu pihak (tentu dengan data dan sumber) yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dapat diketegorikan sebagai pencemaran nama baik?
Dasar khusus gugatan pencemaran nama baik atau penghinaan sebenarnya ada pada pasal 1372 KUHPerdata. Penggugat dapat meminta kepada hakim (menurut pasal 1372 KUHPerdata) agar tergugat dihukum memberikan ganti kerugian, pemulihan kehormatan dan nama baik.
Namun pasal 1376 KUHPerdata menentukan bahwa gugatan penghinaan (atau pencemaran nama baik) tidak dapat dikabulkan jika tidak ternyata adanya maksud untuk mencemarkan nama baik atau menghina. Maksud menghina atau mencemarkan nama baik dianggap tidak ada apabila perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri secara terpaksa.

Dalam konteks fungsi dan peranan pers tersebut maka semestinya hakim tidak dapat mengabulkan gugatan kepada pers dengan dalih pencemaran nama baik. Lalu apakah ini tidak akan menjadi tirani pers? Seharusnya tidak, sebab dalam dunia pers ada lembaga Dewan Pers (pasal 15 UU Pers) yang diantaranya bertugas menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya, pers juga tidak boleh dan tak bisa semaunya sendiri.


Peranan ahli

Hal lain yang menarik dalam kasus-kasus gugatan perdata korporasi kepada pers adalah penggunaan keterangan ahli (bukan saksi ahli) di muka pengadilan sebagai alat bukti dan acuan hakim dalam memutus perkara. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia, praktik itu menjadi sebuah kesalahan besar sebab standard pembuktian hukum acara perdata menurut ketentuan HIR (pasal 164) maupun KUHPerdata (pasal 1886) hanya mengenal jenis alat bukti tertulis (surat), keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Keterangan ahli hanya dibutuhkan manakala kecukupan alat bukti yang ada nilainya masih kurang kuat (Yahya Harahap, 2007: 795).

Keterangan ahli bukanlah keterangan saksi. Keterangan ahli biasanya berupa pendapat. Pasal 1907 alenia ke-2 KUHPerdata menentukan: “Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.” Hakim bisa saja mengangkat ahli (bukan saksi ahli) hanya jika suatu perkara membutuhkan kejelasan duduk perkaranya karena sifatnya yang khusus yang tidak dipahami hakim. Tetapi fungsi ahli di sini untuk menjelaskan alat bukti yang ada. Dalam putusannya hakim tidak boleh menjadikan keterangan ahli sebagai alat bukti untuk memutuskan perkara. Kecuali dalam hukum acara pidana keterangan ahli menjadi salah satu jenis alat bukti (pasal 184 KUHAP).

Dalam kaitannya dengan kasus perdata pers terkait gugatan pencemaran nama baik, ahli yang dibutuhkan adalah ahli yang menjelaskan duduk perkara pers yang akan menguraikan penjelasan hubungan antara hukum pers dengan tuduhan pencemaran nama baik dan tatacara penyelesaiannya. Soal ini sebenarnya bisa menjadi keahlian dari hakim sendiri sehingga tidak membutuhkan keterangan ahli.

Apalagi jika dalam sebuah kasus perdata gugatan pencemaran nama baik terdapat keterangan para ahli yang saling bertentangan maka hakim tidak dapat menggunakan keterangan ahli yang saling bertentangan itu untuk menjadi bahan pertimbangan memutuskan perkara. Memang seharusnya keterangan ahli tidak boleh dijadikan pertimbangan putusan hakim perkara perdata, sebab keterangan ahli bukan alat bukti.
Saya mengingatkan bahwa kemerdekaan pers dalam sejarahnya pernah mengalami tekanan kekuasaan politik, dan kini mengalami tekanan kekuasaan ekonomi (korporasi). Dalam konteks hukum moderen dan HAM dalam korelasinya dengan kemerdekaan pers, sudah waktunya meninggalkan pasal-pasal KUHPerdata dan KUHP yang masih berwatak kolonial, produk abad penjajahan Barat itu.

Prinsip-prinsip hukum internasional dan HAM berkaitan dengan kemerdekaan pers sudah waktunya dilaksanakan. Tahun 2004 contohnya negara Etiopia sudah mulai melakukan proses penghapusan kriminalisasi pers. Hal itu juga terjadi di Eropa Timur, Amerika Latin dan Afrika.

Di sisi lain, untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang buruk dan merugikan (tidak faktual), Dewan Pers harus aktif menjalankan fungsinya, termasuk menyosialisasikan fungsinya ke masyarakat, agar pengaduan tidak langsung menuju ke pengadilan dan kantor polisi.

Pers juga jangan sampai menjadi tirani baru. Kita ciptakan demokrasi chekcs and balance....... Bukan demokrasi cek dan giro seperti yang diterima para anggota DPR dan para ahli sewaan..... (yang juga menjadi rasan-rasan guyonan di komunitas advokat).... Pers juga jangan tidak berani memberitakan berita besar gara-gara terima cek atau giro yang balance.


Salam.

Tidak ada komentar: