Meskipun pemerintah yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional / BPN) telah memberikan jaminan kepada Lapindo bahwa untuk Lapindo akan diberikan sertifikat setelah selesainya proses jual-beli tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat (petok D, letter C dan SK gogol), tetapi tampaknya Lapindo tetap ngotot tidak bersedia membayar tunai tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat. Masalah itu telah dimediatori Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 29 Agustus 2009, tetapi Lapindo tidak dapat menerima penjelasan pemerintah dan tetap menolak.
Dalam milis Forum Pembaca Kompas (FPK) muncul penjelasan dari nama Singkirbayu yang mengaku sebagai korban Lapindo menjelaskan bahwa pertemuan di Komnas HAM tersebut positif MENEMUI JALAN BUNTU. Singkirbayu menyatakan: “Staf ahli Mensos (bukan mensos) yang hadir dan kepala BPN Joyo Winoto memang menyatakan tanah bukan sertifikat bisa di AJB (Akta Jual Beli) kan,meskipun melawan UU PA th. 1960. Caranya menurut Kepala BPN Joyo Winoto adalah dengan hak atas tanah yang dibayar Lapindo menjadi milik negara dulu kemudian Lapindo memohon hak atas tanah tersebut menjadi haknya. Solusi diatas buntu karena kalo dikuasai negara dulu hak atas tanah
tsb., lapindo maunya ya negara / pemerintah yang bayar bukan dia. Itu berita setengah buruk pertama. Terlebih Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang juga hadir di pertemuan tetap bersikukuh berpendapat tidak akan ada pejabat pembuat akta tanah yang akan mau memproses transaksi tsb karena jelas-jelas melawan hukum pertanahan yang masih berlaku. Secara profesi mereka mengaku takut ada apa-apa dibelakang hari karena melawan undang-undang. Rekomendasi kepala BPN belum terlalu kuat untuk melawan undang-unndang, begitu kesimpulan mereka.”
Kabar tersebut (jika seumpama benar – wong saya belum dikabari oleh para relawan lainnya), saya tanggapi sebagai berikut:
Benar bahwa JUAL-BELI tanah Hak Milik antara korban Lapindo perorangan dengan Lapindo (yang menunjuk PT. Minarak Lapindo Jaya / MLJ) menabrak pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Sebab, Lapindo atau MLJ adalah korporasi yang bukan merupakan subyek hukum pemegang Hak Milik atas tanah. Subyek hukum Hak Milik atas tanah menurut pasal 21 UUPA adalah WNI dan badan-badan hukum yang ditunjuk pemerintah, yang selanjutnya diatur dengan PP No. 38 Tahun 1963. Kesalahan bermula dari ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan cara JUAL-BELI tanah antara korban Lapindo dengan Lapindo.
Namun, kesalahan hukum itu kemudian DILEGALKAN oleh Putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007 yang menguatkan tatacara penyelesaian sosial kemasyarakatan bagi korban Lapindo menurut pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu. Inilah yang di dalam hukum disebut DISKRESI HUKUM.
Contoh diskresi hukum lainnya adalah: Jaman dahulu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing melarang modal asing masuk ke sektor tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi Presiden Soeharto menerbitkan PP No. 20 Tahun 1994 yang membolehkan modal asing masuk di sektor-sektor pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kareta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media, bahkan sampai dengan komposisi modal 95 persen asing dan 5 persen modal dalam negeri. Jelas bahwa PP No. 20 Tahun 1994 itu melanggar UU No. 1 Tahun 1967. Tetapi para pengusaha tidak takut menerapkannya sebab dalam hukum berlaku asas rechmatige. Artinya, selama PP No. 20 Tahun 1994 itu tidak diputuskan melanggar undang-undang oleh putusan MA yang berwenang melakukan uji materiil maka PP No. 20 Tahun 1994 itu dianggap legal, sah dan menjadi dasar hukum. (Meski secara akademis saya juga tidak setuju dengan PP No. 20 Tahun 1994 itu, tetapi secara praktis tak dapat dihindari).
Saya kembali pada cara JUAL-BELI tanah Hak Milik korban Lapindo yang WNI dengan MLJ yang merupakan badan hukum perseroan terbatas (PT). Cara itu dilegalkan dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 (pasal 15 ayat 1 dan 2). Bahkan Perpres No. 14 Tahun 2007 sudah posisitf rechmatige (dianggap tidak melanggar undang-undang) sesuai putusan MA No. 24 P/HUM/2007.
Perlu diketahui bahwa dasar pengujian terhadap pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dahulu juga UUPA. Argumentasi korban Lapindo dalam permohonan uji materiil Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dikutip dalam putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut sebagai berikut: “... 72. Bahwa jelas, perjanjian berupa jual beli tanah yang diatur dalam PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara nyata bertentangan dengan konsep hak milik atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dikatakan bahwa yang dapat memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah. Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang mengatur tentang badan-badan hukum mana saja yang dapat memperoleh hak milik, tidak memberikan kemungkinan untuk Lapindo Brantas Inc. sebagai pemegang hak milik atas tanah. Dengan adanya pertentangan dengan hukum agraria yang berlaku, jual beli atas tanah ini melanggar asas kebebasan berkontrak karena menyalahgunakan adanya prinsip ini, prinsip kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan tidak boleh mengabaikan norma hukum yang berlaku. Undang-Undang merupakan tolak ukur yang pertama dan terutama, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dalam setiap perjanjian. Karenanya para pihak tidak boleh memasukkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, perjanjian jual beli ini tidak sah menurut hukum ; 73. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut di atas. Oleh karenanya Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum;...” (putusan tersebut, halaman 24).
Terhadap argumentasi hukum pemohon (yang diwakili advokat YLBHI) tersebut dalam pertimbangan hukumnya MA menyatakan: “Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No.14 Tahun 2007 tidak dapat diuji dan dinilai oleh Hakim, lagi pula Pasal 15 tersebut diterbitkan dalam rangka penanganan masalah sosial terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dengan cara memberikan ganti/membayar nilai harga tanah dan bangunan para korban luapan Lumpur secara wajar dan proporsional seperti telah dipertimbangkan sebelumnya, maka Pasal 15 tersebut tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dari Undang-Undang yang dijadikan dasar atau tolok ukur oleh Para Pemohon keberatan Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon tersebut tidak beralasan, sehingga permohonan Para Pemohon harus ditolak ; (putusan MA tersebut, halaman 58).
Dengan demikian, putusan MA tersebut MENGANGGAP bahwa JUAL-BELI tanah korban Lapindo dengan Lapindo (dalam praktiknya dengan MLJ) tidak bertentangan dengan UUPA. Mengingat putusan MA tersebut sudah final, maka kekhawatiran Lapindo dan Organisasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menabrak UUPA tersebut sudah tidak relevan lagi dikemukakan. Sedangkan secara profetik para PPAT itu menjalankan tugasnya dengan berpayung surat keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN (sekarang yang ada Kepala BPN), dengan telah adanya jaminan dari BPN tersebut mestinya sudah tidak ada lagi persoalan.
Kejanggalan
Saya menangkap adanya kejanggalan sikap dari Lapindo dan organisasi profesi PPAT yang menolak membuatkan akte jual beli (AJB) tanah-tanah Hak Milik korban Lapindo yang belum bersertifikat. Kejanggalan itu dilihat dari fakta sebagai berikut:
Pertama, PPAT/Notaris yang digunakan Lapindo telah bersedia membuat Akta Jual Beli untuk tanah yang bersertifikat padahal tanah bersertifikat itu termasuk ada yang berjenis Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik. Untuk yang HGB tak ada kejanggalan sebab memang MLJ boleh memiliki tanah HGB menurut UUPA. Tetapi Lapindo juga membayar tanah-tanah bersertifikat Hak Milik, padahal jika menngacu pada pasal 21 UUPA tersebut mestinya MLJ atau Lapindo tidak bisa memiliki tanah Hak Milik, sehingga jalan keluarnya adalah 'penurunan jenis hak” dari Hak Milik menjadi HGB, yang harus melalui mekanisme: tanah jatuh menjadi tanah negara lebih dulu. Lalu Lapindo memohon agar menjadi hak sesuai kebutuhannya (bisa HGB, Hak Guna Usaha/HGU atau Hak Pakai atas tanah negara).
Kedua, PPAT/Notaris Lapindo bersedia membuatkan akta peralihan dengan cara cash & resettlement terhadap tanah-tanah korban yang belum bersertifikat. Dibayar tunai bangunannya, tapi ditukar tanahnya. Padahal tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat itu adalah tanah Hak Milik. Sedangkan tanah penukarnya adalah tanah hak MLJ atau tanah kavling hak dari developer yang ditunjuk (di lokasi Kahuripan Nirwana Village). Developer itu PT. Wahana Arta Raya (WAR). Perusahaan developer ini juga dilarang mempunyai Hak Milik. Maka jalan keluarnya adalah: MLJ bertindak sebagai pembayar ke WAR, sedangkan tanah Hak Milik korban yang ditukar itu nantinya menjadi hak Lapindo. Itu juga menabrak pasal 21 UUPA. Sehingga harus dulu jatuh menjadi tanah negara dan barulah dimohonkan hak oleh Lapindo sesuai kebutuhannya, apakah HGB, HGU atau Hak Pakai.
Artinya, dengan alasan bahwa jual beli tanah Hak Milik korban yang belum bersertifikat dengan cara cash & carry dianggap menabrak UUPA, maka cara cash & resettlement juga akan menabrak UUPA, bahkan lebih parah lagi juga menabrak pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 jo. Putusan MA No. 24 P/HUM/2007.
Jika PPAT/Notaris yang dipakai dalam transaksi tanah kasus Lapindo itu takut dengan risiko profesinya yang kuatir menabrak UUPA, maka takutnya seharusnya tidak pilih-pilih. Seharusnya mereka takut membuatkan AJB cash & carry dan takut membuatkan akta peralihan atau tukar-menukar hak dengan cara cash & resettlement itu.
Jalan keluar
Jika sekadar mengatasi ketakutan para PPAT itu, BPN dapat secara khusus menunjuk PPAT Camat saja untuk membuatkan AJB tanah korban Lapindo tersebut, dengan membuat Surat Keputusan (SK) penunjukan. BPLS - selaku lembaga yang ditugasi melaksanakan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan itu - harus mengawali inisiatif itu. Tetapi yang menjadi soal adalah: bagaimana jika Lapindo tetap tidak setuju setelah adanya penunjukan PPAT oleh pemerintah tersebut?
Persoalan itu tampaknya tidak akan selesai dengan cara gontok-gontokan segitiga antara korban – lapindo – pemerintah. Jika Lapindo memang tidak sanggup menjalani diskresi hukum yang sudah ke tahap putusan MA tersebut sebaiknya berterus terang kepada pemerintah. Hal itu untuk memudahkan bagi warga korban dan pemerintah dalam mengambil keputusan dalam rangka percepatan penyelesaian masalah sosial itu.
Pemerintah juga tidak boleh terus-menerus menyerahkan nasib warga korban kepada kesediaan Lapindo yang terbukti sudah tidak mau menggunakan diskresi hukum seperti itu. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo untuk merumuskan bersama-sama dengan pemerintah pusat guna memecah jalan buntu tersebut. Jika perlu pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dana talangan sebagai pembayar tanah korban Lapindo. Hal itu dibenarkan oleh saran BPK dalam laporan audit kasus lumpur Lapindo tertanggal 29 Mei 2007 sehingga sudah ada landasan yang legal pula.
Sedangkan soal pertanggungjawaban Lapindo adalah pemerintah yang wajib mengurusnya, yang silahkan berhitung hak dan kewajiban dengan Lapindo. Warga korban jangan dibiarkan berhadap-hadapan dengan Lapindo berlama-lama sebab hanya akan membuahkan keputusasaan massal.
Jika berlarut-larut tanpa kepastian begini, pakar HAM atau hukum siapa yang bilang tak ada pelanggaran HAM?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar