Tirani modern merupakan tirani kapital, di mana kebanyakan kekuasaan negara, termasuk militer dan polisi, serta otoritas agama, akademik dan kebudayaan, tunduk kepadanya.
Sabtu, 06 Desember 2008
PERPRES TONG PES
Tanggal 3 Desember 2008 ada sebuah peristiwa sejarah hukum yang mengenaskan. Kacamata hukum memandang itu luar biasa. Apa itu? Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007) gugur di istana negara, menjelma dalam kesepakatan perdata di tangan orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan hukum utuh.
Sembilan wakil korban Lapindo asal Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo, menyepakati tawaran Nirwan Bakrie yang mewakili Lapindo Brantas Inc, untuk mencicil sisa ganti rugi jual-beli tanah dan rumah korban lapindo yang masih 80 persen itu dengan cicilan sebesar Rp. 30 juta per bulan. Hasil itu disambut dengan demo korban Lapindo lainnya di Sidoarjo yang menolaknya.
Di luar kacamata hukum, itu sukses Lapindo kesekian kalinya memecah-belah warga korban Lapindo. Harus diakui, Lapindo lebih hebat dibandingkan para relawan pendamping korban Lapindo. Sebab, Lapindo dibantu kekuatan pemerintah.
Kronologi Perpres 14 Tahun 2007
Setelah semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 mulai menghancurkan pemukiman penduduk sekitarnya, pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tegas dan tepat untuk menyelamatkan korban. Saat itu pemerintah menyatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab Lapindo. “Pemerintah tak akan mengeluarkan uang sesenpun. Itu tanggung jawab Lapindo,” kata pemerintah waktu itu.
Statemen pemerintah itu tampak dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 (Keppres No. 13 Tahun 2006) yang membebani tanggung jawab semburan lumpur Lapindo seratus persen, sebagaimana disebutkan dalam diktum ke-lime Keppres itu: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga, tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”
Bahkan biaya pelaksanaan tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibebankan sepenuhnya kepada Lapindo Brantas Inc. (diktum ke-enam Keppres No. 13 Tahun 2006).
Entah siapa yang menjadi pembisik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 yang menjadi ‘angka sial’ bagi Lapindo itu diganti dengan Perpres No. 14 Tahun 2007.
Eliminasi Keppres No. 13 Tahun 2006 dengan kelahiran Perpres No. 14 Tahun 2007 lebih menguntungkan anak Grup Bakrie itu sebab berdasarkan pasal 15 Perpres tersebut ditentukan bahwa masalah sosial kemasyarakatan korban pada peta terdampak 22 Maret 2007 akibat semburan lumpur itu dibebankan kepada Lapindo, sedangkan di luar peta 22 Maret 2007 itu menjadi beban negara.
Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada Lapindo, sedangkan biaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.
Cara penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan korban Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007 adalah dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo yang terkena dampak semburan lumpur. 20 persen dibayar di muka, sisanya 80 persen dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Demikian ketentuan pasal 15 Parpres No. 14 Tahun 2007.
Tong pes
Dalam pelaksanaannya, pembayaran uang muka 20 persen dilakukan dengan cara kelompok per kelompok berkas, dalam gelombang waktu yang berbeda-beda. Kini, jatuh tempo pelunasan pembayaran 80 persen itu sudah terlewati bagi sebagian besar kelompok korban yang ada, sejak Maret 2008 lalu.
Jangankan pelunasan 80 persen, ternyata masih ada ratusan berkas yang belum menerima pembayaran 20 persen, dipaksa Lapindo mengikuti cara relokasi. Di Desa Kedungbendo masih ada 182 berkas dan di Perumtas I Tanggulangin ada 48 berkas belum dibayar 20 persen, termasuk lebih dari 600 kepala keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru. Belum lagi kelompok-kelompok korban yang ada di Gempolsari, Jatirejo, Renokenongo yang sama sekali belum menerima uang pembayaran 20 persen itu (data Posko Korban Lapindo di Desa Gedang).
Tak kalah mengenaskan, bagi korban yang kadung mau mengikuti program pembayaran tunai bangunan dan tukar tanah (relokasi) ternyata banyak yang menangis karena belum dibayar uang muka 20 persen dan tanah relokasinya belum jelas. Tidak cocok dengan yang diiklankan di media-media massa. Korban Lapindo yang ‘tertipu’ itu dalam kelompok Gabungan Korban Lapindo (GKLL) dan Pagarekontrak yang selama ini paling lama mengungsi di Pasar Porong Baru.
Korban yang belum dilunasi 80 persen datang ke Jakarta. Dengan dalih masalah ekonomi global, di hadapan Presiden SBY terjadi negosiasi yang membenarkan cicilan Rp. 30 juta per bulan. Sementara itu pemerintah menyatakan menutup pintu negosiasi, padahal gelombang korban Lapindo yang menolak hasil negosiasi di sitana negara itu jumlahnya juga masih ribuan, dari kelompok yang berbeda-beda.
Tragedi hukum yang terjadi adalah bahwa Perpres No. 14 tahun 2007 sebagai regulasi ternyata tidak dipatuhi oleh Lapindo, lantas digeser bentuknya dari hukum publik menjadi hukum perdata. Pun penggeseran tersebut belum dapat memenuhi kedudukan hukum para wakil korban Lapindo dari kelompok tertentu, yang tentunya tak dapat mewakili seluruh korban yang ada.
Dari segi hukum, bagi warga dalam satu kelompok pun yang tidak menyetujui hasil negosiasi dalam istana negara itu berhak untuk melakukan aksi opt out (memilih keluar) dari kelompok yang diwakili oleh orang yang tidak dipercayainya. Bagi kelompok korban yang tak terwakili tentu tak boleh dipaksa tunduk dengan hasil negosiasi wakil kelompok yang lainnya. Grup Bakrie dibiarkan Presiden SBY tidak patuh dengan Perpres, lalu apa korban lumpur mau dipaksa patuh hasil negosiasi yang menabrak Perpres?
Pemerintah telah kehilangan kewibawaannnya dalam kasus lumpur Lapindo, yang masih akan menyisakan persoalan dan jalan panjang. Jika terhadap ketentuan hukum publik berupa Perpres itu mudah disimpangi, apalagi terhadap produk hukum perdata berupa hasil negosiasi yang menabrak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Lebih gampang lagi disimpangi.
Solusinya hanya satu. Pemerintahan yang tegas dan berwibawa. Kemarahan seorang Presiden atas penelantaran nasib rakyat korban seharusnya membuahkan garis kebijakan tegas. Perpres No. 14 Tahun 2007 harus dijalankan Lapindo. Jika tidak, diberi sanksi, sebagai ciri hukum yang adil dan pasti. Jika perlu Grup Bakrie dipailitkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberesan seluruh kewajibannya kepada korban Lapindo. Kepailitan bukanlah akhir hidup sebuah korporasi, sebab dalam proses kepailitan itu kegiatan usaha tetap berjalan atas izin Hakim Pengawas.
Apa guna membuat Perpres jika hanya dijadikan tong pes alias gentong kempes yang tak dihargai? Jangan sampai contoh buruk pelaksanaan hukum itu akan menjadi preseden yang berlanjut dalam pemerintahan selanjutnya. Jika ditiru, semua orang boleh dong tidak patuh regulasi pemerintah, dengan dalih ini dan itu?
Senin, 01 Desember 2008
Nasib Rakyat di Tangan Saudagar
Kita mempunyai presiden berlatar belakang militer-intelektual. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang purnawirawan jendral Angkatan Darat dan doktor dalam bidang ilmu pertanian. Setidak-tidaknya memahami bagaimana manajemen pertahanan negara, sekaligus memahami pembangunan pertanian yang juga menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Bagaimana kenyataannya di tahun penghujung jabatannya?
Wakil presidennya adalah Muhammad Jusuf Kalla (MJK), merupakan seorang pengusaha, pedagang (saudagar) tulen yang kaya-raya dengan seabrek pengalaman dalam mengelola perusahaan bermerek (keluarga) “H. Kalla” yang sangat terkenal kebesaraanya di Indonesia bagian Timur. Untuk itulah MJK selaku Wakil Presiden ditugasi untuk menyusun program pembangunan ekonomi.
Tak lupa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (dahulu Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri) adalah Aburizal Bakrie, juga saudagar kaya-raya dengan perusahaan yang bermerek “Bakrie” yang juga sangat terkenal itu yang konon terkaya di Asia Tenggara. Bagaimana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia kini?
Resesi kemakmuran?
Saudagar yang menjadi pejabat negara tak selamanya terampil mengurus kebutuhan rakyat. Bisa jadi konsentrasinya terbelah. Tak tahu seperempat, setengah, dua pertiga, atau berapa kadarnya, kemampuan intelektualnya tak dapat meninggalkan nasib usahanya. Kemungkinan ‘selingkuh’ dari rakyat bisa terjadi.
Abu Bakar Shidiq ketika ditunjuk menjadi khalifah, ia tinggalkan dagangannya. Seratus persen mengurus negara. Konsenstrasinya tak boleh pecah, sebab mengurus negara itu amanat besar, tak boleh main-main dijadikan pekerjaan sampingan. Bahkan Umar bin Khatab ketika terpilih menjadi khalifah juga melarang anaknya menjadi pengusaha (peternak) sebab takut tercampur dengan penggunaan fasilitas negara.
Meninggalkan dagangan, atau melarang anaknya berdagang, yang dilakukan dua contoh pemimpin negara yang berpusat di Madinah itu tentu bukan akal-akalan. Bukan sekadar tidak tercatat memiliki saham atau tidak terdaftar sebagai pengurus perusahaan. Secara formil dan materiil memang benar-benar membersihkan diri dari potensi konflik kepentingan negara dengan pribadi atau keluarga.
Akibatnya, jika ada rakyatnya yang miskin tersembunyi di desa terpencilpun akan tahu dan segera diurus. Pikiran dan tenaganya fokus kepada rakyat, tak perlu menghubungkan nasib rakyat dengan kelangsungan usahanya.
Tetapi tampaknya kisah nyata masa lampau itu tak dijadikan contoh yang baik bagi para pengurus negeri ini. Jangankan rakyat miskin tersembunyi, puluhan ribu korban Lapindo yang sengsara selama lebih dari dua tahun, yang menjadi konsumsi kabar internasional pun tidak memperoleh penyelesaian nasib yang serius.
Korban Lapindo mengalami resesi kemakmuran. Meski menurut penelitian setidaknya separoh penduduk sekitar Blok Brantas hidup dalam ekonomi yang pas-pasan dan cenderung miskin, tetapi sebelum munculnya kasus semburan lumpur itu mereka masih hidup nyaman, anak-anak bisa sekolah, para orang tua masih bisa bekerja. Mereka pernah makmur dalam pengertian secara perasaan sebagai rakyat kecil yang biasa hidup apa adanya dan nerima ing pandum (tidak serakah).
Pada mulanya mereka tidak tahu jika di tempat tinggal mereka tersimpan kekayaan gas yang besar. Mereka tidak tahu adanya pemboran gas di Sumur Banjar Panji 1 Porong itu. Bahkan informasi yang mereka terima adalah rencana usaha peternakan, bukan pemboran migas.
Para korban Lapindo itu juga tidak mengetahui bahwa pemerintah kabupaten Sidoarjo hanya gigit jari, tidak memperoleh bagian apa-apa dari eksploitasi gas di wilayahnya. Mereka juga tidak mengetahui bahwa izin lokasi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 itu melanggar kaidah jarak minimum dan menabrak Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sidoarjo waktu itu. Itu semua menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan meninggalkan asas partisipasi rakyat.
Di tangan saudagar
Sejak dahulu banyak kalangan mengingatkan pemerintah, agar nasib rakyat korban Lapindo tidak diserahkan face to face dengan Lapindo. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan auditnya tentang kasus Lapindo itu telah menyarankan agar nasib korban Lapindo ditangani pemerintah dengan dana negara lebih dulu. Selanjutnya pemerintah dapat meminta ganti kepada Lapindo jika memang Lapindo bersalah. Secara hukum, menyatakan Lapindo salah dalam pemboran tak perlu menunggu putusan pengadilan, tapi cukup dengan keputusan administrasi pemerintah didasarkan hasil investigasi.
Alih-alih begitu, kini setelah bisnis Grup Bakrie mengalami masalah keuangan, malah ribut dalam pemerintahan, menganggu kinerja pemerintah. Menteri kesejahteraan akan pusing memikirkan kejatuhan korporasinya. Nasib korban Lapindo yang menjadi tanggung jawab Lapindo menurut peta terdampak 22 Maret 2007 menjadi tidak jelas dengan alasan bahwa Grup Bakrie kesulitan finansial.
Ini menjadi negara aneh. Bagaimana nasib rakyat yang tertimpa bencana (akibat eksplorasi gas) diserahkan kepada saudagar yang mempunyai kepentingan mengamankan diri dari kasus semburan lumpur Lapindo? Kalau kebijakan itu dianggap dan terbukti sebagai sebuah kesalahan, apakah tak ada niat untuk merevisi kebijakan yang tidak bijak itu?
Jelas bahwa berlarut-larutnya nasib puluhan ribu korban Lapindo yang dibiarkan oleh pemerintah benar-benar menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemerintah mestinya mempunyai kewajiban untuk memenuhi, melindungi, menegakkan HAM (pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).
Bahwa dengan sifat hukum HAM yang perlindungannya universal maka pemerintah Indonesia dapat dipersoalkan dalam forum HAM internasional sebab tidak dapat melindungi warga negaranya sendiri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sudah tidak lagi digubris oleh pemerintah seharusnya mulai membawa kasus itu ke forum hukum HAM internasional. Padahal para ahli geologi sudah melakukan forum ilmiah internasional dalam meneliti dan menilai penyebab semburan lumpurnya.
Di penghujung tulisan ini, saya hanya mengingatkan, bahwa di tangan para saudagar itu negeri ini telah dijual. Keselamatan rakyat dijadikan jaminan harga diri dan utang-utang mereka atas besarnya biaya pencalonan diri mereka selaku para pemimpin negara. Pembangunan dengan dana negara 100 persen hingga kini masih hanya memunculkan kualitas 40 – 50 persennya saja. 50 persennya dianggap keuntungan di muka yang mereka bagi beramai-ramai. Bukan hanya saudagar tulen. Meski itu prajurit, aktivis, akademis, jika kakinya menginjak altar kekuasaan, berubah menjadi saudagar. Nasib rakyat diperdagangkan.
Sabtu, 01 November 2008
KEJAHATAN PENELANTARAN KORBAN LAPINDO
Sejak peristiwa semburan lumpur Lapindo terjadi pada tahun 2006, saat itu khusus Puskesmas Porong mencatat kunjungan penderita penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) masih sekitar 26 ribu orang, tapi kini secara fantastik telah mencapai angka 46 ribu orang (Bambang Catur Nusantara, WALHI Jatim).
Sebenarnya ada bermacam-macam jenis penderitaan korban Lapindo. Berdasarkan penuturan para korban Lapindo, ada beberapa korban Lapindo yang gila dan mati ngenes. Sayangnya fakta-fakta seperti itu ada yang mendata secara khusus.
Pada Maret 2008 ini ada dua orang korban Lapindo yang meninggal dunia akibat gas beracun, yaitu: Bu Luluk dan Pak Sutrisno warga Jatirejo. Lalu bulan Mei 2008 ada dua lagi korban Lapindo yang meninggal dunia karena sesak nafas, yaitu: Pak Yakup dan Bu Qoriatul dari Siring. Hasil pemeriksaan RSUD Sidoarjo sewaktu mereka masih menderita sesak nafas menunjukkan adanya bayangan gas di usus serta indikator lainnya yang menunjukkan adanya gas beracun dalam tubuh mereka.
Berdasarkan data Tim Ahli Pemprov Jawa Timur yang meneliti kondisi lingkungan dan keadaan sosial di wilayah sekitar semburan lumpur Lapindo, disebutkan bahwa konsentrasi gas hidrokarbon (H2S) telah mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas yang diperbolehkan maksimum 0,24 ppm.
Belum lagi jika harus diteliti senyawa-senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang mencapai lebih dari 100 senyawa kimia, yang apabila konsentrasinya melebihi ambang batas juga menjadi bahaya bagi kesehatan masyarakat, termasuk yang sering melalui atau berdekatan dengan lokasi semburan lumpur Lapindo.
Bisa jadi akan terjadi keadaan yang jauh lebih mengerikan dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan, seperti penyakit slow learner (lambat berpikir), tumor, kanker.
Membohongi masyarakat
Penanganan kasus lumpur Lapindo itu memang tampak aneh. Banyak terjadi pembohongan publik menyangkut keadaan korban Lapindo, termasuk cara-cara penyelesaian yang dipenuhi kecurangan. Satu contoh bentuk kecurangannya adalah praktik hukum pelaksanaan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007, yaitu jual-beli tanah dan rumah korban dengan Lapindo (yang dilaksanakan PT. Minarak lapindo Jaya / MLJ).
Meski cara jual-beli tanah hak milik korban lapindo dalam wilayah peta terdampak 22 Maret 2007 sudah disepakati dengan putusan Mahkamah Agung No. 24 P/HUM/2007, Lapindo tetap memaksakan diri cara penyelesaian tukar tanah (resettlement) terhadap tanah nonsertifikat. Semula Lapindo dan MLJ sepakat tidak mempersoalkan tanah-tanah korban yang belum bersertifikat. Buktinya sudah dilakukan penandatanganan Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB) dengan mayoritas korban Lapindo setuju dengan cara jual-beli menurut Perpres No. 14 Tahun 2007 pasal 15 ayat (1) dan (2) tersebut. Tetapi setelah jatuh tempo pembayaran 80 persen (pelunasan) tiba bulan Maret 2008 lalu maka Lapindo mengingkari IPJB.
Baik Bupati Sidoarjo (dalam acara mediasi 5 Agustus 2008) maupun Komnas HAM serta jalan penyelesaian menurut Badan Pertanahan nasional, semua tidak digubris Lapindo.
Lapindo memaksakan kehendaknya bahwa pelunasan 80 persen tersebut akan dilaksanakan dengan cara cash & resettlement, yaitu dibayar harga rumahnya, tapi tanahnya diganti dengan tanah kavling. Lapindo berusaha ‘ambil untung’ sebab tanah pekarangan korban Lapindo yang sudah disepakati dengan harga Rp. 1 juta permeter akan diganti dengan tanah kavling bekas sawah yang harganya paling hanya Rp. 200 ribu permeter. Meski uang muka 20 persen dianggap hibah tapi kalau pelunasan 80 persennya dengan tukar tanah maka justru itu yang lebih menguntungkan Lapindo.
Kalaupun Lapindo berjanji akan mau membeli kembali tanah resettlement itu dengan harga Rp. 1 juta permeter, tapi apa janji itu dapat dipegang? Bukankah dengan memaksakan kehendaknya itu Lapindo telah melanggar IPJB yang telah ditandatanganinya? Bahkan Lapindo berani melanggar dispensasi hukum yang diberikan oleh MA dengan putusannya No. 24 P/HUM/2007 itu.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mandul, tak mampu tegas dengan Lapindo. Bahkan BPLS dalam Rapat 8 September 2008 di Jakarta mendukung keputusan Lapindo untuk menggunakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa harus ada pengukuran tanah yang sulit dilakukan karena tanah sudah tergenang lumpur. Padahal sudah ada peta 22 Maret 2007 buatan pemerintah yang menjadi lampiran Perpres No. 14 Tahun 2007 yang tentukanya sudah ditentukan skalanya sehingga mudah dihitung luasnya.
Kalau Lapindo mau mengganti tanah (resttlement) apa tidak perlu melakukan pengukuran? Apa bedanya dengan jika tanah dibayar uang tunai? Jika transaksi sudah dimulai dengan IPJB dan ukuran tanah dan bangunan sudah disebutkan dalam IPJB, apakah itu tidak cukup?
Alasan pertama Lapindo menolak membayar tunai sisa 80 persen adalah: tanah-tanah nonsertifikat tidak dapat dibuatkan akta jual-beli. Setelah alasan itu dibantah oleh BPN dan diberikan petunjuk pelaksanaan, kini muncul alasan lain yaitu: tidak memungkinkan dilakukan pengukuran tanah-tanah nonsertifikat yang sudah menjadi danau lumpur. Kalau alasan kedua itu terbantahkan, nanti pasti akan muncul alasan lain. Tapi pihak Lapindo pernah keceplosan berkata: “Kalau kami membayar cash & carry, nanti yang sudah mau cash & resettlement akan membatalkan dan pilih bayar tunai.”
Bahwa yang jelas kejadian semburan lumpur Lapindo itu bukanlah karena kesalahan masyarakat korban Lapindo. Audit negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berkesimpulan sama dengan para ahli geologi dunia di Cape Town Afrika Selatan (28/10/2008) bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh pemboran yang dilakukan Lapindo. Polemik penyebab semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah selesai. Yang tersisa tinggal kebohongan-kebohongan saja.
Lapindo juga membohongi dan menganggap bodoh penegak hukum. “Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib,” kata ahli pemboran permigasan, DR. Andang Bachtiar dalam diskusi di milis iagi-net@iagi.or.id (18/7/2008).
Konspirasi kejahatan
Dengan ruwet dan berbelitnya pola penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang mengakibatkan semakin buruknya kondisi korban Lapindo sebab semakin lama mereka tak tertangani maka semakin buruk kondisinya. Termasuk dengan adanya korban meninggal akibat keracunan gas dan puluhan ribu menderita penyakit ISPA. Padahal Lapindo, BPLS dan pemerintah telah diberikan tanggung jawab menurut hukum dan perjanjian atau kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatannya.
Fakta tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan penelantaran orang sebagaimana disebutkan dalam pasal 304 KUHP yang menentukan: “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka berat maka ancaman pidananya 7 tahun penjara. Jika mengakibatkan kematian maka ancaman pidananya 9 tahun penjara (pasal 306 KUHP). Sakit ISPA bisa jadi juga dapat dikategorikan luka berat sebab salah satu definisi luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah jatuh sakit yang menimbulkan bahaya maut. Luka berat juga termasuk jika daya pikir terganggu selama empat minggu lebih, padahal korban Lapindo yang gila karena terlantar sudah banyak.
Pelaku kejahatan penelantaran korban Lapindo adalah para pengurus dan pelaksana BPLS yang sengaja mengetahui dan berkonspirasi dengan Lapindo serta para pengurus Lapindo dan MLJ yang diserahi tanggung jawab menurut pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 dan perjanjian menurut IPJB.
Informasi soal berbelitnya penanganan kasus lumpur Lapindo sudah menjadi berita dan pengetahuan umum. Maka sesuai dengan kewajiban jabatan mereka para polisi yang bertugas menegakkan hukum sudah seharusnya memeriksa perkara itu, tanpa harus adanya laporan dari masyarakat korban Lapindo.
Hanya saja, apakah penegakan hukum pidana itu akan bisa berjalan dengan normal mengingat dalam kasus sebelumnya, yaitu: ledakan pipa gas pertamina yang makan puluhan korban jiwa dan kasus semburan lumpur Lapindo itu sendiri juga belum jelas kelanjutannya.
Tulisan ini mengandaikan hukum negara ini berjalan normal, tidak diskriminatif, tak peduli dengan banyaknya uang penjahatnya. Tapi nyatanya kan hukum masih berjalan kurang sehat, tidak normal. Tapi tak ada salahnya terus diuji dan diuji, didorong terus agar menjadi pelajaran di masa depan. Tak ada kata putus asa.
Setelah hampir tiga tahun berjalan, daftar kejahatan Lapindo semakin bertambah. Pertama, menjadi penjahat lingkungan. Kedua, menjadi penjahat kemanusiaan. Ketiga, menjadi penjahat penelantaran orang. Keempat, bahkan menurut DR. Suparto Wijoyo juga menjadi penjahat teroris (di soal lingkungan).
Dan yang pasti, anak-anak selalu dituntut jujur dan tidak berbohong. Tapi nyatanya rakyat Indonesia ini selalu menjadi korban kebohongan, disuruh urunan menanggung kewajiban Grup Bakrie. Tapi kalau memang ikhlas ya memang tak ada yang lebih baik dibanding rakyat Indonesia yang kaya-raya tiada tara, biasa disedot sejak jaman kolonial Belanda.
Rabu, 10 September 2008
KEBEBASAN PERS, HUKUM, HAM DAN MASYARAKAT
Saya setuju untuk diadakannya mekanisme atau prosedur khusus dalam penyelesaian sengketa atau perkara di bidang pers, agar pers tidak gampang digeret-geret ke pengadilan, mengingat fungsi pers yang sangat strategis sebagai wahana komunikasi dan kontrol sosial. Apalagi sesungguhnya pengadilan itu adalah suatu jalan yang paling akhir (ultimum remidium) ketika jalan kooperatif menemui jalan buntu.
Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah sistem hukum positif kita telah mendukung gagasan dan upaya itu? Apakah kualitas penegak hukum Indonesia telah mampu untuk memahami fungsi kebebasan pers (meskipun tidak dalam arti bebas tanpa batas)?
Lex specialis?
Banyak argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) merupakan lex specialis, sehingga seluruh kasus-kasus pers harus diselesaikan menurut UU Pers. Kalangan pers mengartikan bahwa sengketa atau perkara tentang pemberitaan pers harus melalui prosedur Hak Jawab.
Kalau dilihat secara utuh muatan UU Pers, sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur Hak Jawab. Batang tubuh UU Pers praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk melayani Hak Jawab.
Hak Jawab merupakan semata-mata “hak” bagi subyek yang diberitakan dan merupakan “kewajiban” bagi pers untuk melayani permintaan Hak Jawab. Hak Jawab yang diatur dalam UU Pers tidak meliputi “prosedur”. Artinya, kalau sesuatu pihak mau menggunakan Hak Jawabnya maka pers harus melayani. Jika tidak mau melayani Hak Jawab maka pihak yang bertanggung jawab secara pidana adalah perusahaan pers dan bukan wartawan atau redakturnya (pasal 5 ayat 2 tersebut).
Dalam hal tersebut, jika ternyata pihak yang merasa dirugikan dalam suatu pemberitaan pers tidak menggunakan Hak Jawab dan langsung menempuh upaya hukum, maka tidak ada satupun ketentuan di dalam UU Pers yang dapat menjadi penghalang, sebab – sekali lagi – UU Pers tidak mengandung ketentuan rincian prosedur penyelesaian sengketa pers dengan masyarakat.
Jadi, dalam konteks hukum positif sesungguhnya argumen yang “mewajibkan” prosedur Hak Jawab dalam penyelesaian perkara pemberitaan pers, juga masih lemah. Pewajiban penggunaan Hak Jawab lebih dulu hanya dapat dijalankan dengan cara membuat kesepakatan penyeragaman penafsiran yang dirumuskan dalam kesepakatan antar penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung) yang selanjutnya dijadikan petunjuk pelaksanaan (juklak) dalam menangani kasus-kasus pers.
Bicara soal lex specialis, maka harus dihadapkan pada lex generalis-nya. Kalau kita bicara tentang “pencemaran nama baik” maka hal itu sudah jelas diatur di dalam Bab XVI KUHP dan pasal 1372 s.d. 1380 KUHPerdata sebagai lex generalis. Marilah kita hadapkan pada UU Pers yang selama ini dipersepsikan sebagai lex specialis-nya. Ternyata ketentuan pidana di dalam UU Pers yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik” terdapat di dalam pasal 18 ayat (2) yang menentukan tanggung jawab hukumnya ada pada perusahaan pers.
Kalau hal itu dianggap lex specialis, ternyata tidak menghapuskan sama sekali tanggung jawab pidanannya sebagaimana ditentukan pasal 18 ayat (2) UU Pers tersebut. Artinya, pidana pencemaran nama baik pers tidak lagi menggunakan BAB XVI KUHP, tapi menggunakan PASAL 18 ayat (2) UU Pers tersebut, yang mewajibkan pers menghormati asas praduga tak bersalah dan tidak memasang iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Tetapi perbedaan penafsiran oleh pengadilan tampak dari putusan-putusan dalam kasus Tempo dan Radar Jogja, yang berbeda dengan yurisprudensi dalam kasus Harian Garuda yang mewajibkan adanya penggunaan Hak Jawab dalam kasus perdata untuk membantah berita yang dirasa merugikan (sengketa antara Harian Garuda dengan PT. Anugerah).
Setelah itu Tempo juga pernah memenangkan perkara tuduhan pencemaran nama baik di tingkat Mahkamah Agung (MA). Tetapi MA juga pernah menghukum (perdata) Times atas gugatan Soeharto. Hal itu berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia tidak mewajibkan para hakim untuk tunduk pada yurisprudensi. Ini termasuk yang menjadi penyebab timbulnya ketidakpastian hukum tersebut. Meski MA mempunyai setumpuk yurisprudensi tetapi tak kuasa untuk memaksa para hakim mematuhi yurisprudensi itu.
Hukum Pers dan HAM
Kalau misalnya para hakim mampu memahami sejarah serta makna kemerdekaan pers maka tidak sulit untuk membuat kesatuan penafsiran tentang makna kebebasan pers yang sesungguhnya juga dijelaskan dalam penjelasan UU Pers. Tapi kebanyakan hakim adalah “corong undang-undang” sebab kurang mampu memahami nilai-nilai keadilan dalam hukum moderen untuk menghormati pers yang di dalam dunia masa kini kedudukannya telah disetarakan dengan lembaga-lembaga negara (pilar keempat setelah lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil). Pasal 2 UU Pers menentukan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Lalu, apakah berarti pers sewaktu-waktu memang gampang untuk dituntut melalui pengadilan? Selama ketidakpastian hukum tersebut masih berlangsung, maka tentu saja pers gampang berurusan dengan institusi penegak hukum, dan itu akan menjadi praktek buruk sebab setelah pers berhasil dibebaskan dari cengkeraman lembaga eksekutif-administratif (Departemen Penerangan), sekarang malah diborgol oleh vonis-vonis pengadilan dalam keadaan hukum yang masih gelap.
Oleh sebab itu, saat ini perjuangan dalam rangka memaksimalkan kemerdekaan pers perlu ditempuh ke arah amandemen UU Pers. Mengapa? Sebab kita telah melihat kenyataan bahwa kualitas penegak hukum kita terletak pada kemampuan “baca huruf” daripada “baca makna”. Perlu adanya desakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyempurnakan UU Pers, terutama menyangkut aturan yang prosedural berkenaan dengan penyelesaian sengketa pers. UU Pers yang baru perlu mengatur secara tegas, apakah KUHP dan KUHPerdata dipergunakan atau tidak, dalam perkara-perkara pers.
Kita tidak akan membuat sistem yang menjadikan pers sebagai dewa yang tak tersentuh hukum, tetapi yang terpenting adalah melindungi kebebasan pers agar dapat berfungsi tanpa intimidasi yang dilakukan para “preman” maupun lembaga negara.
Di benua Amerika terdapat Mahkamah Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (Inter-American Court of Human Rights) yang melindungi kemerdekaan pers. Tahun 2004 Mahkamah HAM Antar-Amerika ini pernah membatalkan vonis Pengadilan Kosta Rika yang memidana wartawan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pengadilan Kosta Rika dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Jika kita mengacu pada hukum HAM, Indonesia telah mengadobsinya dalam amandemen UUD 1945, dan secara khusus diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pers tidak riil disebut dalam UU No. 39 Tahun 1999, tetapi menjadi bagian dari ketentuan pasal 14 yang menentukan: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pers, Kepentingan Umum dan Hukum
Penjelasan pasal 6 UU Pers menjelaskan: Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. Jika hal itu dikaitkan dengan maksud kemerdekaan pers dalam pasal 2 UU Pers serta fungsinya, maka pers sudah menjadi kebutuhan publik.
Pers secara normatif melakukan kerjanya juga demi kepentingan umum terkait dengan kontrol sosialnya. Dengan posisi seperti itu, apakah berita investigasi yang menginformasikan keburukan suatu pihak (tentu dengan data dan sumber) yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dapat diketegorikan sebagai pencemaran nama baik?
Dasar khusus gugatan pencemaran nama baik atau penghinaan sebenarnya ada pada pasal 1372 KUHPerdata. Penggugat dapat meminta kepada hakim (menurut pasal 1372 KUHPerdata) agar tergugat dihukum memberikan ganti kerugian, pemulihan kehormatan dan nama baik.
Namun pasal 1376 KUHPerdata menentukan bahwa gugatan penghinaan (atau pencemaran nama baik) tidak dapat dikabulkan jika tidak ternyata adanya maksud untuk mencemarkan nama baik atau menghina. Maksud menghina atau mencemarkan nama baik dianggap tidak ada apabila perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri secara terpaksa.
Dalam konteks fungsi dan peranan pers tersebut maka semestinya hakim tidak dapat mengabulkan gugatan kepada pers dengan dalih pencemaran nama baik. Lalu apakah ini tidak akan menjadi tirani pers? Seharusnya tidak, sebab dalam dunia pers ada lembaga Dewan Pers (pasal 15 UU Pers) yang diantaranya bertugas menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya, pers juga tidak boleh dan tak bisa semaunya sendiri.
Peranan ahli
Hal lain yang menarik dalam kasus-kasus gugatan perdata korporasi kepada pers adalah penggunaan keterangan ahli (bukan saksi ahli) di muka pengadilan sebagai alat bukti dan acuan hakim dalam memutus perkara. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia, praktik itu menjadi sebuah kesalahan besar sebab standard pembuktian hukum acara perdata menurut ketentuan HIR (pasal 164) maupun KUHPerdata (pasal 1886) hanya mengenal jenis alat bukti tertulis (surat), keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Keterangan ahli hanya dibutuhkan manakala kecukupan alat bukti yang ada nilainya masih kurang kuat (Yahya Harahap, 2007: 795).
Keterangan ahli bukanlah keterangan saksi. Keterangan ahli biasanya berupa pendapat. Pasal 1907 alenia ke-2 KUHPerdata menentukan: “Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.” Hakim bisa saja mengangkat ahli (bukan saksi ahli) hanya jika suatu perkara membutuhkan kejelasan duduk perkaranya karena sifatnya yang khusus yang tidak dipahami hakim. Tetapi fungsi ahli di sini untuk menjelaskan alat bukti yang ada. Dalam putusannya hakim tidak boleh menjadikan keterangan ahli sebagai alat bukti untuk memutuskan perkara. Kecuali dalam hukum acara pidana keterangan ahli menjadi salah satu jenis alat bukti (pasal 184 KUHAP).
Dalam kaitannya dengan kasus perdata pers terkait gugatan pencemaran nama baik, ahli yang dibutuhkan adalah ahli yang menjelaskan duduk perkara pers yang akan menguraikan penjelasan hubungan antara hukum pers dengan tuduhan pencemaran nama baik dan tatacara penyelesaiannya. Soal ini sebenarnya bisa menjadi keahlian dari hakim sendiri sehingga tidak membutuhkan keterangan ahli.
Apalagi jika dalam sebuah kasus perdata gugatan pencemaran nama baik terdapat keterangan para ahli yang saling bertentangan maka hakim tidak dapat menggunakan keterangan ahli yang saling bertentangan itu untuk menjadi bahan pertimbangan memutuskan perkara. Memang seharusnya keterangan ahli tidak boleh dijadikan pertimbangan putusan hakim perkara perdata, sebab keterangan ahli bukan alat bukti.
Saya mengingatkan bahwa kemerdekaan pers dalam sejarahnya pernah mengalami tekanan kekuasaan politik, dan kini mengalami tekanan kekuasaan ekonomi (korporasi). Dalam konteks hukum moderen dan HAM dalam korelasinya dengan kemerdekaan pers, sudah waktunya meninggalkan pasal-pasal KUHPerdata dan KUHP yang masih berwatak kolonial, produk abad penjajahan Barat itu.
Prinsip-prinsip hukum internasional dan HAM berkaitan dengan kemerdekaan pers sudah waktunya dilaksanakan. Tahun 2004 contohnya negara Etiopia sudah mulai melakukan proses penghapusan kriminalisasi pers. Hal itu juga terjadi di Eropa Timur, Amerika Latin dan Afrika.
Di sisi lain, untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang buruk dan merugikan (tidak faktual), Dewan Pers harus aktif menjalankan fungsinya, termasuk menyosialisasikan fungsinya ke masyarakat, agar pengaduan tidak langsung menuju ke pengadilan dan kantor polisi.
Pers juga jangan sampai menjadi tirani baru. Kita ciptakan demokrasi chekcs and balance....... Bukan demokrasi cek dan giro seperti yang diterima para anggota DPR dan para ahli sewaan..... (yang juga menjadi rasan-rasan guyonan di komunitas advokat).... Pers juga jangan tidak berani memberitakan berita besar gara-gara terima cek atau giro yang balance.
Salam.
Sabtu, 06 September 2008
JALAN KELUAR PERSELISIHAN SOAL TANAH KORBAN LAPINDO
Dalam milis Forum Pembaca Kompas (FPK) muncul penjelasan dari nama Singkirbayu yang mengaku sebagai korban Lapindo menjelaskan bahwa pertemuan di Komnas HAM tersebut positif MENEMUI JALAN BUNTU. Singkirbayu menyatakan: “Staf ahli Mensos (bukan mensos) yang hadir dan kepala BPN Joyo Winoto memang menyatakan tanah bukan sertifikat bisa di AJB (Akta Jual Beli) kan,meskipun melawan UU PA th. 1960. Caranya menurut Kepala BPN Joyo Winoto adalah dengan hak atas tanah yang dibayar Lapindo menjadi milik negara dulu kemudian Lapindo memohon hak atas tanah tersebut menjadi haknya. Solusi diatas buntu karena kalo dikuasai negara dulu hak atas tanah
tsb., lapindo maunya ya negara / pemerintah yang bayar bukan dia. Itu berita setengah buruk pertama. Terlebih Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang juga hadir di pertemuan tetap bersikukuh berpendapat tidak akan ada pejabat pembuat akta tanah yang akan mau memproses transaksi tsb karena jelas-jelas melawan hukum pertanahan yang masih berlaku. Secara profesi mereka mengaku takut ada apa-apa dibelakang hari karena melawan undang-undang. Rekomendasi kepala BPN belum terlalu kuat untuk melawan undang-unndang, begitu kesimpulan mereka.”
Kabar tersebut (jika seumpama benar – wong saya belum dikabari oleh para relawan lainnya), saya tanggapi sebagai berikut:
Benar bahwa JUAL-BELI tanah Hak Milik antara korban Lapindo perorangan dengan Lapindo (yang menunjuk PT. Minarak Lapindo Jaya / MLJ) menabrak pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Sebab, Lapindo atau MLJ adalah korporasi yang bukan merupakan subyek hukum pemegang Hak Milik atas tanah. Subyek hukum Hak Milik atas tanah menurut pasal 21 UUPA adalah WNI dan badan-badan hukum yang ditunjuk pemerintah, yang selanjutnya diatur dengan PP No. 38 Tahun 1963. Kesalahan bermula dari ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan cara JUAL-BELI tanah antara korban Lapindo dengan Lapindo.
Namun, kesalahan hukum itu kemudian DILEGALKAN oleh Putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007 yang menguatkan tatacara penyelesaian sosial kemasyarakatan bagi korban Lapindo menurut pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu. Inilah yang di dalam hukum disebut DISKRESI HUKUM.
Contoh diskresi hukum lainnya adalah: Jaman dahulu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing melarang modal asing masuk ke sektor tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi Presiden Soeharto menerbitkan PP No. 20 Tahun 1994 yang membolehkan modal asing masuk di sektor-sektor pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kareta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media, bahkan sampai dengan komposisi modal 95 persen asing dan 5 persen modal dalam negeri. Jelas bahwa PP No. 20 Tahun 1994 itu melanggar UU No. 1 Tahun 1967. Tetapi para pengusaha tidak takut menerapkannya sebab dalam hukum berlaku asas rechmatige. Artinya, selama PP No. 20 Tahun 1994 itu tidak diputuskan melanggar undang-undang oleh putusan MA yang berwenang melakukan uji materiil maka PP No. 20 Tahun 1994 itu dianggap legal, sah dan menjadi dasar hukum. (Meski secara akademis saya juga tidak setuju dengan PP No. 20 Tahun 1994 itu, tetapi secara praktis tak dapat dihindari).
Saya kembali pada cara JUAL-BELI tanah Hak Milik korban Lapindo yang WNI dengan MLJ yang merupakan badan hukum perseroan terbatas (PT). Cara itu dilegalkan dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 (pasal 15 ayat 1 dan 2). Bahkan Perpres No. 14 Tahun 2007 sudah posisitf rechmatige (dianggap tidak melanggar undang-undang) sesuai putusan MA No. 24 P/HUM/2007.
Perlu diketahui bahwa dasar pengujian terhadap pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dahulu juga UUPA. Argumentasi korban Lapindo dalam permohonan uji materiil Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dikutip dalam putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut sebagai berikut: “... 72. Bahwa jelas, perjanjian berupa jual beli tanah yang diatur dalam PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara nyata bertentangan dengan konsep hak milik atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dikatakan bahwa yang dapat memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah. Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang mengatur tentang badan-badan hukum mana saja yang dapat memperoleh hak milik, tidak memberikan kemungkinan untuk Lapindo Brantas Inc. sebagai pemegang hak milik atas tanah. Dengan adanya pertentangan dengan hukum agraria yang berlaku, jual beli atas tanah ini melanggar asas kebebasan berkontrak karena menyalahgunakan adanya prinsip ini, prinsip kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan tidak boleh mengabaikan norma hukum yang berlaku. Undang-Undang merupakan tolak ukur yang pertama dan terutama, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dalam setiap perjanjian. Karenanya para pihak tidak boleh memasukkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, perjanjian jual beli ini tidak sah menurut hukum ; 73. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut di atas. Oleh karenanya Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum;...” (putusan tersebut, halaman 24).
Terhadap argumentasi hukum pemohon (yang diwakili advokat YLBHI) tersebut dalam pertimbangan hukumnya MA menyatakan: “Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No.14 Tahun 2007 tidak dapat diuji dan dinilai oleh Hakim, lagi pula Pasal 15 tersebut diterbitkan dalam rangka penanganan masalah sosial terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dengan cara memberikan ganti/membayar nilai harga tanah dan bangunan para korban luapan Lumpur secara wajar dan proporsional seperti telah dipertimbangkan sebelumnya, maka Pasal 15 tersebut tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dari Undang-Undang yang dijadikan dasar atau tolok ukur oleh Para Pemohon keberatan Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon tersebut tidak beralasan, sehingga permohonan Para Pemohon harus ditolak ; (putusan MA tersebut, halaman 58).
Dengan demikian, putusan MA tersebut MENGANGGAP bahwa JUAL-BELI tanah korban Lapindo dengan Lapindo (dalam praktiknya dengan MLJ) tidak bertentangan dengan UUPA. Mengingat putusan MA tersebut sudah final, maka kekhawatiran Lapindo dan Organisasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menabrak UUPA tersebut sudah tidak relevan lagi dikemukakan. Sedangkan secara profetik para PPAT itu menjalankan tugasnya dengan berpayung surat keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN (sekarang yang ada Kepala BPN), dengan telah adanya jaminan dari BPN tersebut mestinya sudah tidak ada lagi persoalan.
Kejanggalan
Saya menangkap adanya kejanggalan sikap dari Lapindo dan organisasi profesi PPAT yang menolak membuatkan akte jual beli (AJB) tanah-tanah Hak Milik korban Lapindo yang belum bersertifikat. Kejanggalan itu dilihat dari fakta sebagai berikut:
Pertama, PPAT/Notaris yang digunakan Lapindo telah bersedia membuat Akta Jual Beli untuk tanah yang bersertifikat padahal tanah bersertifikat itu termasuk ada yang berjenis Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik. Untuk yang HGB tak ada kejanggalan sebab memang MLJ boleh memiliki tanah HGB menurut UUPA. Tetapi Lapindo juga membayar tanah-tanah bersertifikat Hak Milik, padahal jika menngacu pada pasal 21 UUPA tersebut mestinya MLJ atau Lapindo tidak bisa memiliki tanah Hak Milik, sehingga jalan keluarnya adalah 'penurunan jenis hak” dari Hak Milik menjadi HGB, yang harus melalui mekanisme: tanah jatuh menjadi tanah negara lebih dulu. Lalu Lapindo memohon agar menjadi hak sesuai kebutuhannya (bisa HGB, Hak Guna Usaha/HGU atau Hak Pakai atas tanah negara).
Kedua, PPAT/Notaris Lapindo bersedia membuatkan akta peralihan dengan cara cash & resettlement terhadap tanah-tanah korban yang belum bersertifikat. Dibayar tunai bangunannya, tapi ditukar tanahnya. Padahal tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat itu adalah tanah Hak Milik. Sedangkan tanah penukarnya adalah tanah hak MLJ atau tanah kavling hak dari developer yang ditunjuk (di lokasi Kahuripan Nirwana Village). Developer itu PT. Wahana Arta Raya (WAR). Perusahaan developer ini juga dilarang mempunyai Hak Milik. Maka jalan keluarnya adalah: MLJ bertindak sebagai pembayar ke WAR, sedangkan tanah Hak Milik korban yang ditukar itu nantinya menjadi hak Lapindo. Itu juga menabrak pasal 21 UUPA. Sehingga harus dulu jatuh menjadi tanah negara dan barulah dimohonkan hak oleh Lapindo sesuai kebutuhannya, apakah HGB, HGU atau Hak Pakai.
Artinya, dengan alasan bahwa jual beli tanah Hak Milik korban yang belum bersertifikat dengan cara cash & carry dianggap menabrak UUPA, maka cara cash & resettlement juga akan menabrak UUPA, bahkan lebih parah lagi juga menabrak pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 jo. Putusan MA No. 24 P/HUM/2007.
Jika PPAT/Notaris yang dipakai dalam transaksi tanah kasus Lapindo itu takut dengan risiko profesinya yang kuatir menabrak UUPA, maka takutnya seharusnya tidak pilih-pilih. Seharusnya mereka takut membuatkan AJB cash & carry dan takut membuatkan akta peralihan atau tukar-menukar hak dengan cara cash & resettlement itu.
Jalan keluar
Jika sekadar mengatasi ketakutan para PPAT itu, BPN dapat secara khusus menunjuk PPAT Camat saja untuk membuatkan AJB tanah korban Lapindo tersebut, dengan membuat Surat Keputusan (SK) penunjukan. BPLS - selaku lembaga yang ditugasi melaksanakan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan itu - harus mengawali inisiatif itu. Tetapi yang menjadi soal adalah: bagaimana jika Lapindo tetap tidak setuju setelah adanya penunjukan PPAT oleh pemerintah tersebut?
Persoalan itu tampaknya tidak akan selesai dengan cara gontok-gontokan segitiga antara korban – lapindo – pemerintah. Jika Lapindo memang tidak sanggup menjalani diskresi hukum yang sudah ke tahap putusan MA tersebut sebaiknya berterus terang kepada pemerintah. Hal itu untuk memudahkan bagi warga korban dan pemerintah dalam mengambil keputusan dalam rangka percepatan penyelesaian masalah sosial itu.
Pemerintah juga tidak boleh terus-menerus menyerahkan nasib warga korban kepada kesediaan Lapindo yang terbukti sudah tidak mau menggunakan diskresi hukum seperti itu. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo untuk merumuskan bersama-sama dengan pemerintah pusat guna memecah jalan buntu tersebut. Jika perlu pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dana talangan sebagai pembayar tanah korban Lapindo. Hal itu dibenarkan oleh saran BPK dalam laporan audit kasus lumpur Lapindo tertanggal 29 Mei 2007 sehingga sudah ada landasan yang legal pula.
Sedangkan soal pertanggungjawaban Lapindo adalah pemerintah yang wajib mengurusnya, yang silahkan berhitung hak dan kewajiban dengan Lapindo. Warga korban jangan dibiarkan berhadap-hadapan dengan Lapindo berlama-lama sebab hanya akan membuahkan keputusasaan massal.
Jika berlarut-larut tanpa kepastian begini, pakar HAM atau hukum siapa yang bilang tak ada pelanggaran HAM?
Rabu, 13 Agustus 2008
Surat Terbuka Kepada Presiden: Korban Lapindo Menagih
KORBAN LAPINDO MENAGIH
Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.
Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).
Pasal 15 Perpres itu menentukan: Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).
Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.
Bapak Presiden. Mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris / pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.
Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).
Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.
Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.
Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.
Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu / m2, sedangkan tanah pemukiman / pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta / m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta / m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?
Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo? Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?
Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.
Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.
Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).
Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).
Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.
Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.
Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.
Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo. Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo. Subagyo.
Kamis, 31 Juli 2008
CASH & RESETTLEMENT, JALAN YANG TAK PASTI
Kilas balik perjuangan warga korban lumpur Lapindo, saya coba ingatkan kembali. Dahulu, warga korban lumpur terkotak-kotak dalam wadah yang secara prinsip terbelah dalam dua aliran.
Aliran pertama, warga yang setuju skema Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) yaitu jalan penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dan rumah warga korban dengan pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah korban berakhir (cash & carry / C&C). Mereka kini tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang konon merupakan mayoritas korban lumpur Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007.
Aliran kedua, warga yang tidak setuju skema Perpres No. 14/2007, mereka meminta pembayaran strict cash (tunai langsung). Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak). Tapi seiring jalan, Pagarrekontrak yang bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru Sidoarjo itu akhirnya setuju dengan skema Perpres No. 14/2007 setelah ditekan melalui ancaman pemutusan air PDAM, listrik dan penghentian jatah makanan. Pada akhir April 2008 kemarin Pagarekontrak setuju dengan skema pembayaran jual-beli 20 persen : 80 persen, tapi meminta jaminan jika ternyata PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji. Namun, terakhir pimpinan mereka (H. Sunarto) tiba-tiba mengambil keputusan menukik tajam: setuju cash & resettlement yang menimbulkan rasan-rasan para pengikutnya yang takut menyatakan ketidaksetujuan mereka.
Di luar GKLL dan Pagarrekontrak masih ada ribuan korban lain yang berjuang dalam kelompok-kelompok kecil dan para individu. Bahkan di Pasar Porong Baru saya menemukan adabeberapa orang korban yang mendeklarasikan tekadnya,” Sampai kiamatpun saya tak akan menjual tanah dan rumah saya yang telah terendam!” Ternyata di luar itu juga banyak yang belum mau menjual tanah dan rumah mereka yang terkubur lumpur. Mereka kelak akan menggugat ganti rugi kepada Lapindo. Pilihan ini juga harus dihormati.
Ada juga warga yang berkasnya ‘diblokir’ oknum aparat desa sebab mereka tidak mau menuruti adanya pungutan 25 persen sehingga BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) tidak berani meneruskan prosesnya. Ada juga sengketa perbedaan tafsir jenis tanah yang menurut dokumennya tanah pekarangan tapi menurut kenyataan separoh rumah dan separoh dibuat tempat menamam kangkung (ditafsir sawah).
Ada pula warga yang resah sebab ada pengurus desa atau kelurahan atau pengurus kelompok warga yang meminta ‘uang jasa’ 0,5 persen. Ada juga sedikit warga yang ‘berbelanja perhiasan dan kendaraan’ setelah memperoleh pembayaran uang muka 20 persen. Dan lain-lain, kisahnya tidak sesederhana yang diberitakan media, tidak semesra apa yang digambarkan oleh iklan-iklan Lapindo di media.
Jalan tengah?
Warga kini dibelit masalah baru, yaitu: MLJ tidak lagi tunduk pada skema Perpres No. 14/2007. MLJ tidak mau membayar cash and carry (C&C) sesuai klausul PIJB dan Perpres No. 14/2007. Alasannya, tanah nonsertifikat (Petok D dan Letter C) tidak dapat di-dibuatkan akte jual beli (di-AJB-kan) karena berbenturan dengan aturan UU No. 5/1960 (UUPA).
Atas dalih tersebut, maka muncullah skema baru di luar PIJB yang telah ditandatangani MLJ dan korban lumpur Lapindo, yaitu: cash and resettlement (C&R). Skema C&R itu disusun dalam Nota Kesepahaman tanggal 25 Juni 2008 antara MLJ, pengurus GKLL, perwakilan warga dan Emha Ainun Nadjib yang dinyatakan dalam nota tersebut sebagai penggagas pendekatan budaya. Dalam skema ini, pembayaran uang muka 20 persen yang telah dilakukan MLJ kepada warga dihibahkan kepada penerimanya. Selanjutnya, MLJ hanya mau membayar harga rumah atau bangunan milik warga yang terendam lumpur. Sedangkan tanahnya tidak dibeli, tapi diganti dengan tanah di tempat lain. Inilah yang dianggap sebagai ‘jalan tengah’ sebagai bentuk win win solution.
Sesungguhnya, ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 sudah menjadi ‘jalan tengah’ bagi Lapindo Brantas Inc., (putusan Mahkamah Agung RI No. 24 P/HUM/2007) meski belum tentu jalan adil bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat melalui APBN harus menanggung biaya pembangunan infrastruktur serta biaya penyelesaian sosial di luar peta terdampak versi pemerintah. Perpres No. 14/2007 itu sendiri sudah tidak taat dengan prinsip absolute liability dalam pertanggungjawaban usaha hulu migas yang seharusnya diformulasikan dalam kontrak kerjasama usaha hulu migas berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).
Ketika mayoritas korban lumpur Lapindo mau menerima skema pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu maka aturan jual-belinya membentur UU No. 5/1960 (lihat pasal 21). Sebab, mayoritas tanah korban lumpur adalah tanah Hak Milik. Sedangkan MLJ selaku perseroan terbatas (PT) bukan merupakan subyek hukum yang boleh memiliki Hak Milik atas tanah. Seharusnya mekanisme formalnya bukan jual-beli tanah, tapi bisa dengan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres No. 14/2007 (tampak pada catatan tangan di Risalah Pertemuan tanggal 2 Mei 2007 antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, MLJ dan perwakilan 4 desa). Tapi kini MLJ mulai ‘membangkang’ Perpres itu, ingkar dengan klausul C&C dalam PIJB yang disusunnya sendiri. Pebruari 2008 lalu, MLJ meminta syarat: “MLJ akan mau meng-AJB-kan tanah-tanah Petok D dan Letter C, asalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi persetujuan.” Lalu BPN mengeluarkan Surat BPN tanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Lapindo (yang ditandatangani Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Atas tanah) yang menjamin dapatnya dilaksanakan jual-beli terhadap tanah-tanah Petok D, Letter C, gogol dan yasan.
Sebelumnya, Kepala BPN Sidoarjo juga menjamin akan menerbitkan sertifikat kepada Lapindo jika seluruh tanah warga korban lumpur sudah dibeli (Radar Sidoarjo, 12/4/2007). Menteri Sosial pun pernah mengatakan bahwa Lapindo tidak bisa tidak membayar, karena itu perintah Perpres No. 14/2007 (Kompas, 4/5/2007). Tetapi nyatanya MLJ bisa ‘memaksakan diri’ untuk mengingkari skema Perpres No. 14/2007 dan PIJB yang telah dikonsepnya sendiri. Bagi Lapindo, hukum itu adalah apa saja keinginannya. Negara sepertinya tunduk kepada Lapindo.
Jalan sesat
Silahkan para pihak yang menyetujui cara atau skema C&R untuk menganggapnya sebagai jalan tengah. Tetapi bukan berarti para korban lumpur yang 'terpaksa' menerima jalan itu telah diperlakukan adil dan pasti. Saya katakan 'terpaksa' sebab jika mereka ditanya jawabannya memang terpaksa, daripada tak memperoleh apa-apa.
Skema C&R itu secara hukum menjadi ‘jalan sesat’ sebab melawan aturan Perpres No. 14/2007 yang susah payah melanggar UUPA dan ‘terpaksa’ dilegalisasi dengan putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007. Itulah diskresi hukum yang di tingkat teknis telah disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pihak Lapindo telah diberikan jaminan kepastian hukum oleh Presiden, MA dan BPN.
Tetapi justru hak kepastian hukum para korban lumpur Lapindo dilanggar oleh MLJ seenaknya sendiri. Jika hari ini Lapindo bisa membangkang Perpres No. 14/2007 dan perjanjian (PIJB) yang telah ditandatanginya, apa susahnya baginya untuk kelak mengingkari model-model penyelesaian baru yang sudah terlanjur disetujui dengan ‘keterpaksaan’ warga korban lumpur Lapindo yang tak pernah diberikan pilihan, baik skema C&R dan lain-lainnya yang tak ada payung hukumnya? Bolehkah masyarakat korban lumpur Lapindo juga seenaknya sendiri untuk tidak patuh pada hukum negara?
Apakah MLJ bisa dijamin tak akan ingkar lagi dan tak akan membuat masalah lagi dengan skema penyelesaian baru yang belum pasti itu? Salahkah para korban yang tidak lagi menaruh kepercayaan kepada MLJ setelah dibohongi?
Artikel ini tidak memberikan solusi baru, kecuali bahwa seharusnya solusi yang telah disepakati agar dilaksanakan, sebagai cara saling menghormati kedudukan hukum masing-masing pihak. Jika tidak, negara punya wewenang melakukan ‘paksaan pemerintahan’ kepada Lapindo serta MLJ untuk tunduk kepada hukum negara. Jika tidak, berapa kali lagi negara ini dan warga korban lumpur akan diremehkan terus oleh anak-anak kecil dari Grup Bakrie itu?
Senin, 21 Juli 2008
Skandal Ekosida Lumpur Lapindo
Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.
Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).
Zat beracun
PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah
Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.
Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:
Parameter | Satuan | Kep.MenKes No. 907/2002 | Hasil Analisa Logam Pada Materi | |||
Lumpur Lapindo | Air Lumpur Lapindo | Sedimen Sungai Porong | Air Sungai Porong | |||
Kromium (Cr) | mg/L | 0,05 | Un-detetected (nd) | nd | nd | nd |
Kadmium (Cd) | mg/L | 0,003 | 0,3063 | 0,0314 | 0,2571 | 0,0271 |
Tembaga (Cu) | mg/L | 1 | 0,4379 | 0,008 | 0,4919 | 0,0144 |
Timbal (Pb) | mg/L | 0,05 | 7,2876 | 0,8776 | 3,1018 | 0,6949 |
Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:
Parameter | Satuan | Kadar maksimal yang diperbolehkan | |||||
Per. MenKes No. 416/1990 | Kep.MenKes No. 907/2002 | WHO 1992 | Masy. Eropa | Kanada | USA | ||
Kromium (Cr) | mg/L | 0,05 | 0,05 | 0,05 | 0,005 | 0,05 | 0,05 |
Kadmium (Cd) | mg/L | 0,005 | 0,003 | 0,005 | 0,005 | 0,005 | 0,005 |
Tembaga (Cu) | mg/L | 1 | 1 | 1 | 0,1 | 1 | 1 |
Timbal (Pb) | mg/L | 0,05 | 0,05 | 0,05 | 0,05 | 0,05 | 0,05 |
Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.
Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).
Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.
Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.
Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.
Peran negara dan korporasi
Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.
Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.
Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.
Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!
Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.
Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?