Cobalah kita ingat-ingat dan kita lihat di sekitar kita, ternyata mark up atau penggelembungan anggaran untuk keperluan apapun, baik yang terjadi di lingkungan RT, RW, Desa, Kelurahan, Kecamatan dan di organisasi-organisasi formal dan informal, kerap kali terjadi dan tampaknya menjadi tradisi. Maka jangan heran jika dalam pemerintahan negara ini, dari ujung desa sampai ke pusat, selalu diwarnai korupsi, dan meski dibentuk undang-undang baru, lembaga penegakan hukum baru, tetap saja tidak menyurutkan semangat korupsi.
Ada mantan Menteri Agama di negara ini harus mendekam di tahanan karena tuduhan korupsi. Kepala Kantor Departemen Agama di Jombang juga diadili dengan tuduhan korupsi. Departemen serta Dinas Pendidikan Nasional sebagai penyangga pendidikan moral dan hukum pun tetap disibukkan dengan korupsi. Tak lupa, di Departemen Pertahanan juga ada kasus pembelian tank Scorpion yang kasusnya mandek, dan kali ini ada lagi kasus pembelian empat unit helikopter Mi-17 yang merugikan negara 3,2 juta US Dollar, juga penyalahgunaan dana di Yayasan ASABRI. Di Kementerian Perikanan dan Kelautan juga ada korupsi dalam pengadaan peralatan Laboratorium Badan Riset Kelautan.
Kita tengok sedikit contoh korupsi di daerah. Di Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Surabaya juga ada korupsi pengadaan 127 unit mikroskop, di Kabupaten Jember juga kehilangan kas daerah sebesar Rp. 18 miliar karena korupsi, di Magetan juga ada korupsi dalam anggaran pembangunan gedung serbaguna dan DPRD dengan kerugian negara Rp. 3,2 miliar, dan lain-lain. Kalau Anda pergi ke BPKP dan sempat memeriksa data hasil auditnya, maka hampir di semua lini kehidupan pemerintahan di negara ini dijadikan sarang koruptor.
Lalu, siapa yang nasibnya dibuntungkan atas korupsi itu? Yaitu: rakyat kebanyakan!
Mari kita tengok sedikit, sejarah kehebatan negara ini dalam melakukan korupsi. Menjelang akhir tahun 1998, Menteri Koordinator Pengawasan dan Pembangunan mengumumkan temuan bahwa di tujuh departemen pemerintahn terdapat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan semasa pemerintahan Orde Baru merugikan negara sebesar sekitar Rp. 4,387 trilyun. Saat itu, Indonesia menjadi juara korupsi di Asia menurut hasil riset Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. (PERC), dan menurut penelitian Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin, Jerman, menunjukkan Indonesia berada di urutan ke 80 dari 85 negara yang diteliti dengan skor 2,0 (termasuk paling korup di dunia).
Tahun 1999, negara ini mengalami “peningkatan prestasi” dalam korupsi. Menurut TI, tahun 1999, Indonesia berada di peringkat 96 dari 99 negara yang diteliti tingkat korupsinya. Artinya, dengan skor 1,7, Indonesia merupakan negara keempat paling korup. Tahun 2002, menurut PERC, dengan menggunakan skor 0-10 (0 = terbaik dan 10 = terburuk), Indonesia meraih nilai 9,92 alias juara korupsi se-Asia.
Tahun 2003, Indonesia berada di peringkat ke-122 atau merupakan negara paling korup keenam dari 133 negara yang dinilai Transparancy International Indonesia (TII). Peringkat tersebut berdasarkan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparansi Internasional 2003 yang dihasilkan dari 13 survei independen oleh lembaga survei internasional.
Tahun 2004, Syafii Ma’arif, Ketua PP Muhammadiyah mengatakan, walaupun Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mengakui banyak agama, tetapi perilaku bangsa ini dinilainya seolah bangsa dengan masyarakat yang tidak beragama. Tahun itu disinyalir kebocoran keuangan negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai 40 persen. Tahun 2004, menurut PERC, indeks Indonesia yang mencapai angka 9,25 yang merupakan kinerja paling buruk, lagi-lagi juara Asia untuk perlombaan korupsi.
Data Kejaksaan Agung (Kejagung) tahun 2004 mencatat bahwa di antara 690 skandal korupsi yang dilaporkan ke kejaksaan selama periode Januari 2003 hingga April 2004, sebanyak 270 perkara di antaranya adalah skandal korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Hebat kan?
Ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tugasnya berakhir 27 Pebruari 2004, terdapat fakta bahwa uang negara yang telah dikucurkan ke perbankan senilai Rp. 699,9 triliun, tetapi nilai uang itu menyusut menjadi Rp. 449,03 triliun sebab banyak aset yang nilainya digelembungkan. BPPN hanya berhasil mengembalikan kepada negara sebesar Rp. 172,4 triliun. Sisanya triliun hangus menjadi asap! Hebat!
Tahun-tahun berikutnya, 2005 hingga 2006, para penganut “agama korupsi”, agama yang paling banyak penganutnya ini, mulai melancarkan aksi mereka setelah melihat komitmen pemerintah pusat dalam pemberantasan korupsi. Di dinas-dinas serta departemen pemerintahan dihembuskan isu adanya “ketakutan” para pejabat yang harus mengurusi proyek-proyek yang menggunakan APBN atau APBD. Mengapa takut? Kalau mereka orang-orang jujur, mengapa harus takut?
Bukan hanya itu. Mafia korupsi pun mulai beraksi dengan mengajukan uji meteriil terhadap UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya yaitu UU No. 20/.2001. Mahkamah Konstutusi (MK) pun larut dalam euforia demam antipemberantasan korupsi dengan memutuskan bahwa penjelasan pasal 2 UU No. 31/1999 “diralat”, sehingga pengertian “perbuatan melawan hukum” (sebagai salah satu unsur perbuatan korupsi) tidak lagi mengandung arti materiil, tapi harus dalam arti formal.
MK mundur ke sebelum tahun 1983, sebab di jaman Orde Baru saja muncul yurisprudensi, putusan MA No. 275 K/Pid/1983, tanggal 15 Desember 1983; Natalegawa, Direktur Bank Bumi Daya divonis MA melakukan korupsi dengan melakukan interpretasi arti perbuatan melawan hukum secara materiil, sebagai koreksi atas putusan PN Jakarta Pusat yang membebaskan Natalegawa. Belum lagi adanya upaya uji materiil terhadap ketentuan mengenai wewenang KPK dalam kasus Abdullah Puteh serta yang terbaru adalah pengujian atas wewenang KPK dalam melakukan penyadapan komunikasi para pelaku korupsi dalam kasus Mulyana W. Kusumah.
Dalam upaya pemberantasan korupsi pun pemerintah meskipun mempunyai konsep bagus, tapi realisasinya kurang tegas. Kejaksaan di daerah-daerah pun masih berbelit-belit dan hobi membuat P19, membolak-balikkan berkas. Belum lagi laporan yang langsung di Kejaksaan di daerah yang “disimpan” lebih dari setahun? Ditambah lagi pengadilan yang juga masih dipenuhi para pedagang hukum dan keadilan, yang kadang-kadang membuat para penyidik korupsi dan masyarakat “pusing kepala” sampai harus terpingkal-pingkal melihat kelucuan praktik penegakan hukum di pengadilan yang ujung-ujungnya membuat perut otak mual-mual!
Negara ini tidak akan maju jika tidak memperbaiki kondisi penegakan hukum. Dengan kata lain, Indonesia akan terus terpuruk sebagai “paria” di antara negara-negara yang sedang berlomba maju................. Indonesia kaya sumber alam, tapi penduduknya hanya menjadi penonton pembangunan karena sistem pemerintahan yang korup dan tak berkepastian hukum? Indonesia tak lagi memiliki modal, dan daya beli kian merosot.
Hai Presiden! Kalau terlalu sulit memberantas korupsi, tak perlu susah-susah membuat konsep yang tak bisa dijalankan karena hampir semua pejabat di negara ini hobi korupsi! Sulit kan mengharap koruptor menghukum sesama koruptor? Mengapa Anda tidak melakukan revolusi struktur penegakan hukum dan terang-terangan “menyerang” impotensi pengadilan secara terus-menerus? Anda pasti akan didukung rakyat! Sebab rakyat sudah terlalu lama bosan menjadi korban para pejabat penipu rakyat! Kalau Anda tidak dapat menjadi pioner revolusi hukum dan keadilan, silahkan mundur saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar