26 September 2007 ada ‘aksi yang langka’ di Malaysia. Sekitar 1.000 advokat (pengacara) Malaysia tergabung dalam Dewan Pengacara Malaysia bergerak menuntut ‘perubahan’. Gerakan tersebut dipicu adanya video klip tentang advokat berpengaruh yang menjadi pialang hakim untuk menduduki posisi yang lebih senior. Sebelumnya, 21 Maret 2007 lalu di Pakistan juga berlangsung aksi damai sekitar 3.000 advokat Pakistan yang menolak otoritarianisme Presiden Jendral Pervez Musharraf yang mencopot jabatan Ketua Mahkamah Agung Pakistan, Iftikhar Mohammed Chaudhry, yang telah menolak perpanjangan jabatan Musharraf lebih dari lima tahun.
Advokat Indonesia
Bagaimana dengan advokat Indonesia? Dalam sejarahnya, Daniel S Lev (2002) mencatat para advokat Indonesia generasi pertama juga menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923. Mereka diantaranya Mr. Besar Martokoesoemo, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Muh. Roem, Ko Tjay Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain, aktif sebelum dan sesudah kemerdekaaan sampai 1960-an dan beberapa di antaranya sampai 1980-an.
Dari generasi tertua advokat Indonesia ada banyak yang turut aktif dalam gerakan kemerdekaan, memperjuangkan negara hukum dan hak asasi manusia, serta sering mengorbankan diri untuk membela prinsip. Pada zaman itu, walau ada kesulitan yang luar biasa sesudah revolusi, kemampuan dan integritas peradilan (termasuk kejaksaan dan polisi) cukup baik dan dapat dipercaya. Proses hukum terjamin efektif, antara lain karena ada pemimpin dalam hampir semua partai besar yang berasal dari kalangan advokat dan merasa terikat pada prinsip-prinsip hukum.
Menurut Daniel S Lev, era Demokrasi Parlementer masih lebih unggul dibandingkan era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dari sudut pertanggungjawaban pimpinan politik, efektivitas lembaga-lembaga hukum, dan keamanan masyarakat. Sumbangan para advokat, walaupun sedikit sekali jumlahnya pada waktu itu, perlu dihormati.
Tetapi, Yap Thiam Hien - sebagai advokat generasi pertama yang bertahan hidup termasuk paling lama - merasakan kepahitan di usia senjanya tahun 1980-an ketika melihat fenomena bernama mafia peradilan. Mungkin Yap Thiam Hien akan merasa lebih jijik seandainya melihat sistuasi sekarang di mana advokat Indonesia justru menjadi bagian dari kegelapan hukum negara ini. Keadilan diperdagangkan dalam bursa di wilayah penegakan hukum, dan advokat sering berperan sebagai pialang atau makelar kodok.
Dunia hukum di negara ini dalam catatan Daniel S Lev – sebagaimana yang kita lihat sekarang – berada dalam keadaan paling buruk di dunia. Hukum kita menjadi dunia hitam. Karena wilayah hukum gelap, orang mencari keadilan dengan cara meraba-raba. Uang menjadi obor hukum. Jarang orang tak berduit bisa menang di pengadilan, apalagi untuk melawan para pembeli hukum.
Orang miskin minggir. Yang tak kalah mengerikan, orang miskin biasa dijadikan alat para advokat untuk mencari popularitas. Setelah advokat itu populer, selamat tinggal kaum miskin. Bahkan advokat yang dahulunya getol membela kaum miskin, kini berbalik menjadi ’musuh’ masyarakat tertindas. Para advokat kini kehilangan prinsip yang pernah dipegang teguh para pendahulu mereka.
Kita sulit berharap adanya gerakan persatuan advokat di Indonesia untuk melawan mafia peradilan. Tampaknya advokat merasa nyaman dan diuntungkan dengan mafia peradilan. Advokat Indonesia juga terpecah-pecah ke dalam puluhan organisasi advokat. Meski UU No. 18/2003 mewajibkan advokat hanya punya satu wadah organisasi tapi itu tidak dipatuhi. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang baru lahir tak mampu menyatukan advokat. Tampaknya semua advokat bernafsu menjadi ’pimpinan’ advokat.
Dunia advokat Indonesia mengalami krisis spiritual. Spirit yang dibangun bukan lagi penegakan hukum dan keadilan tapi penegakan nafsu birahi kekayaan. Advokat menjadi saudagar hukum. Jika ada orang yang terkagum-kagum dengan gaya hidup advokat, sebenarnya memuakkan.
Persembunyian kejahatan
Sejarah kewibawaan advokat Indonesia terus menurun seiring perubahan jaman. Dunia advokat menjadi korporasi, seringkali bekerjasama dengan kaum akademik (sebagai ahli bersaksi) untuk melakukan ’muhibah bisnis keadilan’ dari pengadilan ke pengadilan, termasuk untuk meringankan atau bahkan membebaskan para koruptor dan kejahatan korporasi.
Dahulu ketika melawan tirani kekuasaan Orde Baru, yang bergerak untuk menumbangkan rezim Orde Baru adalah para mahasiswa. Kaum ulama hanya menjadi makmum, berbeda dengan para biksu Burma yang tak hanya berkhotbah, tapi juga bekerja. Apalagi kaum advokat, banyak yang tertidur pulas. Memasuki Orde Reformasi, para advokat menikmati merebaknya korupsi sebagai ’ladang baru’.
Makanya, advokat Indonesia tampaknya malas melakukan gerakan perubahan seperti para advokat Malaysia dan Pakistan, sebab merasa sudah mapan. Advokat Indonesia takut kehilangan akses kolusi. Kecil nyali. Beraninya menindas yang kecil. Hubungan baik dengan para hakim menjadi modal penting, sampai harus menunduk-nunduk. Mereka memilih menjadi prostitusi hukum. Kehilangan harga diri.
Advokat Indonesia, tengoklah para pendahulu kita, juga belajarlah kepada advokat Malaysia dan Pakistan, bagaimana mereka melakukan hal yang berarti bagi masyarakat dan negara! Merebaknya korupsi dan kejahatan korporasi di negara ini tak mampu terminimalisasi oleh hukum sebab hukum dijadikan ajang bisnis dan tempat persembunyian kejahatan kaum elit. Advokat kehilangan prinsip dan justru menjadi dalang-dalang penyembunyian kejahatan kaum berduit.
Kerasnya khotbah di negara ini dibarengi dengan sunyinya langkah kebaikan. Hiruk-pikuknya upacara ibadah dibarengi dengan senyapnya langkah kebenaran. Yang ada tubuh-tubuh bersimbah peluh dalam persetubuhan dengan waktu dan pengkhianatan. Perselingkuhan itu bukan hanya kepada Tuhan, amanat kehidupan, tapi juga dengan nurani sendiri. Kapal bangunan negara ini telah bocor, akan membawa kita tenggelam. Kita hanya diam. Kapal terus tenggelam, jauh meninggalkan peradaban, dan akhirnya menghilang ke dalam samudera yang tak terukur dalamnya. Lenyap. Sunyi.
Bagaimana dengan advokat Indonesia? Dalam sejarahnya, Daniel S Lev (2002) mencatat para advokat Indonesia generasi pertama juga menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923. Mereka diantaranya Mr. Besar Martokoesoemo, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Muh. Roem, Ko Tjay Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain, aktif sebelum dan sesudah kemerdekaaan sampai 1960-an dan beberapa di antaranya sampai 1980-an.
Dari generasi tertua advokat Indonesia ada banyak yang turut aktif dalam gerakan kemerdekaan, memperjuangkan negara hukum dan hak asasi manusia, serta sering mengorbankan diri untuk membela prinsip. Pada zaman itu, walau ada kesulitan yang luar biasa sesudah revolusi, kemampuan dan integritas peradilan (termasuk kejaksaan dan polisi) cukup baik dan dapat dipercaya. Proses hukum terjamin efektif, antara lain karena ada pemimpin dalam hampir semua partai besar yang berasal dari kalangan advokat dan merasa terikat pada prinsip-prinsip hukum.
Menurut Daniel S Lev, era Demokrasi Parlementer masih lebih unggul dibandingkan era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dari sudut pertanggungjawaban pimpinan politik, efektivitas lembaga-lembaga hukum, dan keamanan masyarakat. Sumbangan para advokat, walaupun sedikit sekali jumlahnya pada waktu itu, perlu dihormati.
Tetapi, Yap Thiam Hien - sebagai advokat generasi pertama yang bertahan hidup termasuk paling lama - merasakan kepahitan di usia senjanya tahun 1980-an ketika melihat fenomena bernama mafia peradilan. Mungkin Yap Thiam Hien akan merasa lebih jijik seandainya melihat sistuasi sekarang di mana advokat Indonesia justru menjadi bagian dari kegelapan hukum negara ini. Keadilan diperdagangkan dalam bursa di wilayah penegakan hukum, dan advokat sering berperan sebagai pialang atau makelar kodok.
Dunia hukum di negara ini dalam catatan Daniel S Lev – sebagaimana yang kita lihat sekarang – berada dalam keadaan paling buruk di dunia. Hukum kita menjadi dunia hitam. Karena wilayah hukum gelap, orang mencari keadilan dengan cara meraba-raba. Uang menjadi obor hukum. Jarang orang tak berduit bisa menang di pengadilan, apalagi untuk melawan para pembeli hukum.
Orang miskin minggir. Yang tak kalah mengerikan, orang miskin biasa dijadikan alat para advokat untuk mencari popularitas. Setelah advokat itu populer, selamat tinggal kaum miskin. Bahkan advokat yang dahulunya getol membela kaum miskin, kini berbalik menjadi ’musuh’ masyarakat tertindas. Para advokat kini kehilangan prinsip yang pernah dipegang teguh para pendahulu mereka.
Kita sulit berharap adanya gerakan persatuan advokat di Indonesia untuk melawan mafia peradilan. Tampaknya advokat merasa nyaman dan diuntungkan dengan mafia peradilan. Advokat Indonesia juga terpecah-pecah ke dalam puluhan organisasi advokat. Meski UU No. 18/2003 mewajibkan advokat hanya punya satu wadah organisasi tapi itu tidak dipatuhi. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang baru lahir tak mampu menyatukan advokat. Tampaknya semua advokat bernafsu menjadi ’pimpinan’ advokat.
Dunia advokat Indonesia mengalami krisis spiritual. Spirit yang dibangun bukan lagi penegakan hukum dan keadilan tapi penegakan nafsu birahi kekayaan. Advokat menjadi saudagar hukum. Jika ada orang yang terkagum-kagum dengan gaya hidup advokat, sebenarnya memuakkan.
Persembunyian kejahatan
Sejarah kewibawaan advokat Indonesia terus menurun seiring perubahan jaman. Dunia advokat menjadi korporasi, seringkali bekerjasama dengan kaum akademik (sebagai ahli bersaksi) untuk melakukan ’muhibah bisnis keadilan’ dari pengadilan ke pengadilan, termasuk untuk meringankan atau bahkan membebaskan para koruptor dan kejahatan korporasi.
Dahulu ketika melawan tirani kekuasaan Orde Baru, yang bergerak untuk menumbangkan rezim Orde Baru adalah para mahasiswa. Kaum ulama hanya menjadi makmum, berbeda dengan para biksu Burma yang tak hanya berkhotbah, tapi juga bekerja. Apalagi kaum advokat, banyak yang tertidur pulas. Memasuki Orde Reformasi, para advokat menikmati merebaknya korupsi sebagai ’ladang baru’.
Makanya, advokat Indonesia tampaknya malas melakukan gerakan perubahan seperti para advokat Malaysia dan Pakistan, sebab merasa sudah mapan. Advokat Indonesia takut kehilangan akses kolusi. Kecil nyali. Beraninya menindas yang kecil. Hubungan baik dengan para hakim menjadi modal penting, sampai harus menunduk-nunduk. Mereka memilih menjadi prostitusi hukum. Kehilangan harga diri.
Advokat Indonesia, tengoklah para pendahulu kita, juga belajarlah kepada advokat Malaysia dan Pakistan, bagaimana mereka melakukan hal yang berarti bagi masyarakat dan negara! Merebaknya korupsi dan kejahatan korporasi di negara ini tak mampu terminimalisasi oleh hukum sebab hukum dijadikan ajang bisnis dan tempat persembunyian kejahatan kaum elit. Advokat kehilangan prinsip dan justru menjadi dalang-dalang penyembunyian kejahatan kaum berduit.
Kerasnya khotbah di negara ini dibarengi dengan sunyinya langkah kebaikan. Hiruk-pikuknya upacara ibadah dibarengi dengan senyapnya langkah kebenaran. Yang ada tubuh-tubuh bersimbah peluh dalam persetubuhan dengan waktu dan pengkhianatan. Perselingkuhan itu bukan hanya kepada Tuhan, amanat kehidupan, tapi juga dengan nurani sendiri. Kapal bangunan negara ini telah bocor, akan membawa kita tenggelam. Kita hanya diam. Kapal terus tenggelam, jauh meninggalkan peradaban, dan akhirnya menghilang ke dalam samudera yang tak terukur dalamnya. Lenyap. Sunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar