Kalau saya membandingkan Khidir dengan Adelin Lis yang didakwa merusak hutan Mandailing Natal Sumatera Utara, tentu terlalu jauh derajatnya. Khidir dipilih Allah sebagai tokoh protagonis dalam Alquran di mana tindakan pembunuhan dan perusakan perahu yang dilakukannya disahkan Tuhan dengan tujuan tertentu. Sedangkan Adelin Lis tak mungkin tercatat dalam Kitab Suci agama, melainkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian, surat dakwaan jaksa dan putusan hakim, serta tak lupa direkam sebagai berita besar oleh media massa. Di masanya Khidir adalah the mysterious man, dan kini diyakini banyak Muslim bahwa ia belum mati. Kalau saja para polisi Firaun dahulu mengetahui Khidir membunuh dan merusak, ia mungkin juga akan ditangkap dan dihukum, meski Allah seringkali ‘menyelamatkan’ orang-orang pilihanNya dengan caraNya sendiri.
Jika Khidir dapat menjelaskan apa yang akan terjadi di masa depan maka itu bukan seperti futurolog, sebab pengetahuannya akan masa depan itu adalah bukan daya upayanya sebagai manusia, tapi menyangkut keputusan Allah untuk memilih. Muhammad SAW menjadi rasul juga pilihan Allah yang telah dikonstruksikan sebelum Adam diciptakan.
Jika Adelin Lis ditanya, “Mengapa hutan kamu rusak?” tentu ia tak dapat menjelaskan bahwa itu akan lebih baik daripada tidak dirusak. Ia tak akan menjawab bahwa di masa depan banjir bandang dan longsor akan mengurangi jumlah manusia yang kafir. Allah tak pernah membisiki ilham seperti itu kepada Adelin Lis. Khidir adalah satu, tapi Adelin Lis – Adelin Lis bertebaran di muka bumi, dan yang saat ini yang menguasai dunia. Khidir tak mungkin menjadi kapitalis sedangkan Adelin Lis adalah investor berkapital yang biasa dipeluk mesra penguasa. Khidir juga tahu diri sehingga ia tidak mengintervensi
Terkadang manusia ini serba salah. Belum-belum Allah sudah berdebat dengan malaikat ketika Beliau hendak mencipta manusia. Malaikat ‘mengingatkan’ Allah bahwa makhluk manusia itu tabiatnya menumpahkan darah, berbuat kerusakan di muka bumi. Allah pun tidak mau berterus terang. JawabanNya, “Aku lebih tahu dari yang kalian tahu.” Misterius. Allah kadang tidak transparan. Saya sebenarnya tidak berani mengeluhkan itu, sebab terlalu takut untuk lancang seperti malaikat yang lebih tak berakal dibanding manusia itu.
Tapi Allah bagaimanapun juga membekali manusia dengan hukumNya. Tapi pun manusia selalu tidak puas dengan hukum Allah sehingga membuat formula sendiri-sendiri. Hukum Kitab Suci pun dianggap kuno, usang, outdated laws, sampai-sampai Allah dalam QS Al-Maidah memfatwa fasik, kafir dan dzalim kepada manusia yang tidak menggunakan hukum Allah. Tapi fatwa itu juga dianggap usang. Manusia moderen menderita religionlawphobia sebab ajaran agama sering diselewengkan para penguasa seperti di Eropa abad kegelapan. Nggak hukum Tuhan, nggak hukum manusia, selalu ditafsir secara tiran. Bahkan di Indonesia masa kini ada ilmu tafsir hukum yang baru, yaitu: interpretation of law by dollar. Mau bagaimana lagi, memang itulah manusia?
Siapa bilang kejahatan manusia itu selalu disebabkan pengaruh setan atau Iblis makhluk lelembut, wong manusia sendiri bisa menjadi setan? Alladziyuwaswisu fissuduurinnaas, minnal-jinnati wannaas. Hegemoni kejahatan yang disusupkan ke dalam dada manusia itu bisa dari golongan jin, bisa dari manusia. Bahkan mungkin setan dan Iblis sungguhan juga menjadi korban globalisasi, model pembangunan global yang dirancang dewa-dewa eknomi dari kahyangan puser bumi yang dijadikan kiblat manusia moderen? Sampai-sampai bisnis bermerek syariah pun harus tersipu-sipu meminjam fasilitas perbankan konvensional yang telah difatwa ‘haram’ oleh para pemrakarsa ekonomi syariah. Padahal Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umatnya tidak mencampuraduk yang haq dengan yang bathil? Manusia telah menyediakan sistem, fasilitas, hardware dan software, dengan program dan agenda ‘kebenaran global’ yang bersumber dari nonlangit dengan alasan bahwa manusia hidup di bumi – bukan di langit - dengan kecerdasan otaknya. Tapi manusia lupa bahwa bumi ini kalau dilihat dari galaksi tetangga juga bagian langit. Satu persatu kita masuk ke dalam ‘kebenaran global’ ciptaan para dewa Barat. Tepat apa yang diprognosis Rasulullah SAW bahwa kelak umat muslim tak satupun yang terbebas dari debu riba. Manusia semakin kalah dengan musuh terbesarnya: nafsu.
Jika menteri, polisi, jaksa, hakim, akademisi, pengacara, aktivis, mahasiswa dan lain-lain yang pintar-pintar berdebat dalam kasus Adelin itu, bertikai, hantam-hantaman opini tentang kebenaran hukumnya, tetapi yang jelas kita belum pernah membaca ayat Kitab Suci tentang perdebatan antara Khidir dengan setan. Khidir bahkan tak mau didebat oleh
Mereka yang berdebat dalam kasus Adelin berada di konteks hukum negara, hukum manusia, sedangkan Khidir melakukan ini dan itu berada di luar konteks hukum buatan manusia. Khidir hanya patuh kepada hukum Allah yang tidak dipakai pemerintahan Firaun. Hukum Allah bukan hukum negara, tapi hukum manusia, yang percaya atau tidak percaya. Tapi kalau sampai hukum Allah dijadikan hukum negara maka Allah juga berpesan, “Laaikrahafiddin,” tak ada paksaan dalam agama. Kalau yang tak mau tunduk kepada hukum Allah tidak boleh dipaksa wong Allah sendiri tidak memaksa. Yang tak mau tunduk ada urusannya sendiri nanti di akhirat.
Tapi yang jelas Allah dalam QS Ar-Rum ayat 41 memperingatkan manusialah biangkerok kerusakan di darat dan laut sehingga azab akan ditimpakan agar manusia kembali ke jalan benar. Perusak alam secara implisit difatwa sesat oleh Allah. Maka kalau ada polisi, jaksa, hakim, pengacara, ulama, aktivis, mahasiswa atau siapapun yang membantu para perusak lingkungan hidup, mereka masuk dalam golongan yang menyimpang dari rel kebenaran itu. Itu tentu berada di luar konteks khidirisme sebab bahkan hukum pidana Zabur, Taurat ataupun Quran tak berlaku atas diri Khidir yang telah melakukan perusakan perahu dan pembunuhan dengan motif penyelamatan masa depan manusia. Perbuatan Khidir itu tidak dalam konteks negara, tapi berada di wilayah yang lebih luas daripada itu, sebab memang agama tidak mengajarkan kewajiban mendirikan negara. Agama tak dibatasi oleh ruang geografis.
Khidirisme dapatlah digunakan spirit ‘menyelamatkan masa depan’. Namun cara-caranya tentu dengan ilmu dan hukum Allah yang berlaku umum, bukan dengan ilmu Allah yang khusus berlaku bagi Khidir, sebab Khidir barangkali adalah alat Allah untuk menjelaskan caraNya menyelamatkan masa depan. Mengapa Allah memberikan kesuburan tanah-tanah pertanian dengan menyemburkan magma gunung Kelud, menjadi lahar dan hujan debu yang menimbulkan derita banyak manusia? Itu tak akan dapat dijelaskan dengan hukum negara. Tapi kalau saja banjir bandang dan longsor di musim hujan menimbulkan jerit kematian manusia dan kekeringan di musim kemarau menimbulkan lenguh kehausan karena lenyapnya sumber air, gara-gara hutan habis digunduli, dan bahkan gunung-gunung es mulai bergeser menimbulkan kekacauan iklim, maka takdir buruk itu juga diakibatkan lembaga manusia yang bernama organisasi negara itu yang tak mampu mengendalikan ulah kaum perusak yang berada di dalam yurisdiksinya. Lalu apa gunanya negara yang dibiayai dengan uang urunan rakyat dan harta kekayaan publik itu? Khidir tak akan menjawab pertanyaan itu. Adelis Lin tak akan peduli dengan pertanyaan itu lha wong Menteri Kehutanan saja menaruh hukum administrasinya di atas kerusakan hutan kok!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar