Jumat, 16 November 2007

BANGSA SESAT

Kita mestinya tidak pantas untuk menghentikan keheranan, sampai terjawab tuntas pertanyaan: “Mengapa negara dengan dasar Pancasila yang menganggap tabu atheisme (faham tanpa Tuhan) ini kok dipenuhi perilaku negatif berkepanjangan, seolah-olah – kata Nitszche - Tuhan yang diyakini itu sudah lama mati?”

Seorang kawan karib saya pernah berkata, “Suatu saat ada pertemuan para habib dan ulama-ulama di Jakarta, kebetulan saya melihat. Waduh! Ternyata banyak tetangga saya yang kenthir (bodoh, pen) yang memakai jubah dan surban, seolah-olah menjadi habib. Ah, ternyata tahi kucing!” Teman karib saya itu mungkin jengkel, sebab agama ternyata dipermainkan dengan penampilan. Ada lagi, teman saya, puteri Madura asli, seorang mahasiswi dari Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura yang berkata, “Aduh Mas! Jangan tanya deh! Di Madura itu, ada saja kyai yang kaya-raya, rumahnya megah, mobilnya berjejer, dikelilingi para penjaga yang preman juga, tapi di sekitarnya bertebaran penderitaan dan kemiskinan.” Kalau apa yang dikatakan teman saya dari Madura itu sih bukan hal baru, sebab saya sendiri melihat hal serupa yang banyak di mana-mana.

Agama yang kita lihat di negara ini adalah dalam bentuk: masjid, gereja, kelenteng, candi, vihara, punden, atau apa lagi, yaitu bertebarannya tempat ibadah di setiap jengkal tanah di negara ini. Agama yang kita saksikan juga orang berbondong-bondong untuk mengerjakan shalat, kebaktian, pemujaan dan sebagainya. Bahkan sehari lima kali kita harus dikagetkan oleh bunyi adzan yang keras dari corong pengeras suara, ditambah lagi khotbah-khotbah, dibaan, yasinan, shalawatan, istighosah, dan macam-macam. Sampai-sampai, untuk mempertahankan monopoli kebenaran agama, maka terjadi pertumpahan darah yang hingga kini sambung-menyambung tak berujung, di negara ini.

Tapi, suatu saat ada orang yang setiap hari rajin shalat di Masjid Ampel Surabaya, ketahuan oleh seorang ketika ia mencuri sandal. “Loh, kamu rajin shalat kok mencuri?” Tapi apa jawab si rajin shalat pencuri sandal itu? “Waktunya shalat ya shalat, soal mencuri urusan lain!” Lebih tragis lagi, ada seorang sarjana hukum dari universitas negeri terkemuka di Surabaya yang dikeroyok sampai mati, gara-gara dituduh mencuri sandal di Masjid Ampel, setelah si sarjana ini selesai shalat. Waduh! Bukan soal tuduhan pencurian sandal itu, tapi kok tega-teganya jamaah masjid membunuh seseorang dengan alasan “ia mencuri sandal?”

Waktu saya masih SD, saya sering belajar mengaji di masjid kecil di desaku. Saya juga melihat, bahwa orang-oraang yang setiap hari shalat di masjid bersamaku, ternyata juga biasa berjudi dadu, dan sesekali berselisih dengan tetangganya karena menyelingkuhi isteri orang.

Itu sedikit gambaran bahwa agama yang berjalan di negara ini tidak cukup untuk membangun moral rakyat di level bawah. Tetapi nasib orang juga berubah. Ada di antara mereka yang kemudian menjadi orang kaya, menjadi anggota DPRD dan lain-lain dengan membawa sifat amoralnya itu ke mana-mana.

Kalau di level atas dalam stratifikasi sosial, jangan khawatir! Sebab setiap hari kita disuguhi informasi tentang pencurian uang negara yang dilakukan para koruptor yang tak henti-hentinya menjadi tikus gudang negara dan malamnya menjadi vampir rakyat.

Konyolnya, miliaran uang haram itu dicuci dengan cara untuk membangun masjid, gereja, kelenteng, menyumbang panti asuhan, dan tak lupa juga untuk naik haji dan umroh berkali-kali, dan yang paling tak dapat dilupakan adalah untuk biaya pemeliharaan para isteri simpanan, atau bersenang-senang dengan perempuan siapa saja yang mau bagi kaum bapak-bapak yang beragama itu. (Maaf kaum perempuan, saya ini menceritakan fakta, tetaplah saya juga harus menghormati kaum perempuan yang menjadi ibu manusia!)

Jadi, tampaknya Pancasila itu hanya raga tak berjiwa sebab sebatas dijadikan pajangan, alat kebanggaan negara, tata lahirnya dihormati, tapi secara batin telah lama ditinggalkan. Agama juga begitu; hanya dilaksanakan dalam penampilan, tetapi sesungguhnya telah lama pula ditinggalkan rohnya, sehingga seolah-olah benar memang bahwa Tuhan itu telah mati (meminjam istilah Nitzsche lagi ya?).

Pantaslah jika Nabi Muhammad pernah menceritakan kejadian di masa depan, ketika tiba di Hari Pengadilan Akhirat (Yaumul Hisab), maka Allah menolak orang muslim masuk surga, meskipun orang itu ibadah ritualnya tertib dan rajin, tapi sesungguhnya menurut Allah orang itu telah melupakanNya.

“Malaikat! Lemparkan saja orang itu ke neraka!” perintah Allah.

“Protes Yang Mulia! Saya ini setiap hari shalat, juga berpuasa di bulan ramadlan, membayar zakat fitrah, juga berhaji, dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya sebagai seorang muslim, tapi mengapa saya harus masuk ke neraka?” protes si muslim itu.

“Sebab kamu sesungguhnya telah melupakan Aku. Ketika Aku lapar, kamu tidak memberiku makan. Ketika Aku kedinginan, kamu tidak memberikan Aku pakaian. Ketika Aku sakit, kamu tak pernah menjengukKu!” kata Allah.

“Mustahil ya Allah Engkau itu Tuhan yang tak akan kelaparan, kedinginan dan sakit!” kata si muslim ahli neraka itu.

“Aku adalah orang-orang miskin itu, yang tak punya makanan, tak punya pakaian dan sakit. Kamu telah melupakan Aku!” kata Allah.

Akhirnya si muslim itu pun harus dibakar di api neraka sebab telah melupakan Tuhan yang telah mengidentikkan diriNya dengan masyarakat yang miskin itu.

Pesan moral agama yang penting ini yang tak mampu ditangkap secara baik, sehingga banyak orang beragama tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai roh agama sebab misi Tuhan di muka bumi tak pernah mereka lakukan. Misi itu adalah solidaritas sosial, tak peduli apapun warna kulitnya, keyakinan atau agamanya, jenis kelaminnya. Sehingga agama yang berkembang di negara ini tetap menciptakan penderitaan sosial karena penipuan, korupsi, perselingkuhan, pertikaian, pertarungan politik, agama, etnik, penelantaran rakyat, pembiaran kemiskinan dan segala macam masalah sosial terabaikan, sebab para pemeluk agama disibukkan dengan rutinitas ritual, penggalangan dana untuk membangun tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah agama, tapi ternyata apa yang dilakukan dan dibangun itu masih tak dapat menumbuhkan pembangunan moral sosial.

Katanya, pembangunan adalah untuk mengadakan yang belum ada, mengubah dari yang kurang menjadi lebih baik. Benar bahwa bangunan fisik agama seperti tempat ibadah dan sekolah semakin banyak dan baik serta megah, tapi tidak menjadikan moral negara lebih baik. Bahkan agama pun hanya dijadikan alat politik, kekuasaan, dalil-dalil untuk memperoleh fasilitas pribadi seperti keinginan poligami contohnya.

Kalau orientasi pemikiran maupun paradigma dalam bergama tidak diubah, maka agama sampai kapanpun hanya akan menjadi bentuk fisik, penampilan atau performance, sehingga tak ada bedanya antara bangsa yang agamis dengan bangsa secara jantan mengaku atheis, kecuali hanya pada satu hal, yaitu: Kalau bangsa mengaku atheis tidak membuang-bunag waktu dan biaya untuk membangun fisik agama dan melakukan ritual agama, sedangkan kita hanya menghambur-hamburkan uang, tenaga dan pikiran, padahal hasilnya bagi masyarakat tidak lebih baik. Meskipun kegiatan pembangunan keagamaan terus meningkat, tapi untuk apa kalau ternyata Tuhan merasa tak pernah diperhatikan?

Sebenarnya bukan Tuhan yang mati, tapi kita yang telah membunuh agama kita sendiri dan kita ganti dengan penyembahan terhadap berhala yang berupa kekayaan, kemewahan, kekuasaan, kesenangan, nafsu serakah, kebanggaan diri, harga diri yang terlalu tinggi, sampai-sampai harus menutupinya dengan segala kecurangan, penipuan, penindasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembasmian.

Bangsa ini terlalu gampang mengutuk atheisme, dan bahkan terlalu sensitif dengan bahasa sindiran. Kalau ada sempalan praktik orang beragama yang keluar dari pakem yang ada, lantas begitu mudah dianggap sesat, lalu diadili sendiri beramai-ramai dan dituntut melalui Pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.

Tapi kita sudah lama pingsan dalam kesadaran semu. Kita sebenarnya telah larut dalam kesesatan itu sendiri. Agama murni adalah yang menciptakan kasih sayang bersama, menciptakan moral sosial, tetapi kita berlaku egois, hedonis, dan apatis. Maka sebagai umat beragama, kita telah jauh tersesat dari misi agama itu sendiri, sehingga layaklah kita disebut sebagai masyarakat beraliran sesat yang bisa dihukum dengan alasan PENODAAN AGAMA.

Tidak ada komentar: