Sabtu, 05 Juni 2010

Lumpur Lapindo dan Hukum Usang


Tanggal 29 Mei 2010 merupakan ulang tahun keempat bubur lumpur Lapindo di Sidoarjo. Data penghancuran ekologi (termasuk manusia di dalamnya) di Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo, itu mudah didapatkan di internet. Hingga akhir 2009 sekitar Rp 4 triliun uang negara (APBN) tersedot di situ.

Kasus lumpur itu menjadi salah satu bukti kedigdayaan Grup Bakrie, yang membuat hukum negara ini lumpuh tak berdaya, menjadi barang usang.

Walhi pernah mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo Brantas Inc, korporasi terkait, serta pemerintah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo terjadi karena bencana alam.

Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan pihak Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian menurut Pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 164 Herzienne Inlandsche Reglement (HIR).

Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 29 Mei 2007, yang mengandung hasil audit kinerja operator Blok Brantas itu, sama sekali tidak digubris. Padahal, audit BPK merupakan alat bukti akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum sempurna, dalam hukum acara perdata.

Gugatan YLBHI juga kandas. Mulanya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa Lapindo telah lalai (salah) dalam melakukan pengeboran. Namun, putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA).

Setelah itu, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim), pada masa Kapolda Anton Bahrul Alam, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara pidana Lapindo. Padahal, Kapolda Jatim sebelumnya, Herman S Sumawiredja, amat yakin bahwa Lapindo bersalah sehingga sudah menetapkan 13 tersangka.

Menurut buku hukum acara pidana (KUHAP), tersangka boleh ditetapkan jika alat buktinya cukup. Lalu, mengapa alat bukti yang cukup itu berubah menjadi tidak cukup?

Kejaksaan sukses menjadi penjaga gawang agar perkara pidana Lapindo tidak masuk ke pengadilan. Caranya, Kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polda Jatim secara berulang-ulang, dengan petunjuk (P 19) yang berubah-ubah, beranak-pinak. Apakah semua itu atas kehendak penguasa kapital? Sudah bukan rahasia lagi hukum Indonesia memang gampang dibeli.

Kini, bola hukum perkara Lapindo tinggal di tangan Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM yang Berat dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo masih bekerja untuk menemukan alat bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur itu, termasuk adanya unsur ”kesengajaan”.

Dalam perkara Lapindo, Lapindo dan pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur pengeboran itu dengan permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar lima meter).

Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002 tentang Operasi Pengeboran Darat dan Lepas Pantai di Indonesia, sumur-sumur pengeboran harus berjarak sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, perumahan, atau tempat-tempat lain di mana sumber nyala dapat timbul.

Pengeboran sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). Peruntukan lokasi tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan, bukan untuk pertambangan.

Ketika hal itu ditanyakan kepada Imam Utomo, Gubernur Jatim waktu itu, apakah itu terkait perubahan RTRW Provinsi Jatim, dia melemparkan pertanyaan kepada Bupati Sidoarjo. Lalu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso melemparkan tanggung jawab ke pemerintah pusat (BP Migas) yang memberikan rekomendasi izin tersebut.

Pihak Lapindo dan pejabat yang memberikan izin secara hukum dianggap sengaja melakukan pengusiran penduduk sipil karena pengeboran di sumur BJP-1 yang berdekatan dengan permukiman penduduk, akibatnya sudah bisa dipikirkan sejak semula jika terjadi kecelakaan pengeboran.

Penjajahan modern dilakukan korporasi. Senjata nasionalisme jadi tidak mempan, apalagi jika penjajahnya bangsa sendiri, yang menggunakan otak para ahli putra-putri negeri sendiri. Apa kita akan menyerah begitu saja?

(Dimuat Kompas, 31 Mei 2010)

Sabtu, 10 April 2010

SBY dan Wisata Lumpur


Beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi lokasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY mengusulkan agar danau lumpur itu dijadikan lokasi wisata geologi.

Namun, SBY hanya bisa mengimbau agar pihak yang berkewajiban (Lapindo Brantas Inc) segera menyelesaikan pembayaran kepada korban tepat waktu.

Sebagian aktivis dan relawan pendamping korban lumpur Lapindo menilai, wisata lumpur adalah gagasan tidak bermutu. Warga korban lebih berharap Lapindo Brantas Inc dan pemerintah segera menyelesaikan masalah sosial yang mereka derita.

Meski sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), pelunasan ganti rugi tanah dan rumah yang terendam lumpur pada sebagian besar korban Lapindo belum beres.

Dalam debat calon presiden 2009 yang ditayangkan di televisi, SBY berjanji mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanganan lumpur Lapindo. Ternyata, setelah jadi presiden, SBY hanya mengamandemen Perpres No 14 Tahun 2007 jo Perpres No 48 Tahun 2008 dengan Perpres No 40 Tahun 2009 yang justru memperingan kewajiban Lapindo dan lebih membebani APBN.

Saya tidak tahu apakah SBY pernah membaca hasil penelitian Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Hasil penelitian itu menunjukkan, wilayah sebelah barat danau lumpur Lapindo sangat tidak layak huni sebab kandungan gas hidrokarbonnya (HS) 55.000 ppm. Ambang batas untuk kesehatan maksimum 0,24 ppm.

Sudah ada korban Lapindo asal Kelurahan Siring yang meninggal pada 2008 akibat gas beracun itu, yaitu Soetrisno, Yakup, dan Luluk.

Setahu saya, belum ada satu pun pihak atau lembaga yang meneliti dampak gas beracun lumpur Lapindo, misalnya, berapa jumlah korban yang sakit dan meninggal, sehingga belum ada data untuk acuan. Ini menunjukkan, pemerintah terlalu cuek, tidak bertanggung jawab.

PBB—dalam hal ini United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC)—pada Juni-Juli 2006 pernah memantau lumpur Lapindo. Dalam laporannya, UNDAC menulis, meski tak ada informasi lebih lanjut tentang ukurannya, konsentrasi 700 ppm bisa berdampak langsung dan akut pada kesehatan manusia dan berakibat kematian. Gagasan wisata lumpur yang diusulkan SBY belum didasari data yang benar dan akurat. Memang, jika kita datang ke tanggul lumpur Lapindo, ada ”kreativitas” para korban Lapindo yang jadi pemandu ”wisata lumpur”. Mereka ini sudah lama kehilangan pekerjaan begitu lumpur menghabisi nasib mereka.

Gagasan wisata lumpur harus diteliti dan dikaji lebih jauh, menyangkut keselamatan (kesehatan) rakyat. Gas HS dan lain-lainnya yang merupakan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) sangat berbahaya bagi kesehatan, dan dalam kadar tertentu akan berdampak jangka panjang, berupa kanker.

Negara kalah?

Saat ini yang dibutuhkan para korban Lapindo adalah ketegasan Presiden SBY yang sudah mengambil alih penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Namun, bukan dengan gagasan-gagasan muluk yang tidak karuan, apalagi jika malah membahayakan.

Nasib rakyat korban tidak boleh lagi digantung dengan alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat krisis ekonomi global dan susur tembakau itu. Lapindo Brantas Inc adalah anak korporasi Grup Bakrie yang terkenal kebesarannya dan merambah berbagai sektor energi negara ini. Jika nasib korban Lapindo terus digantung dengan alasan-alasan privat seperti itu, ini tanda negara telah kalah dan dikalahkan kehendak korporasi.

Mengapa Presiden tampak lemah, tidak mampu menegakkan Perpres No 14 Tahun 2007 yang dibuatnya sendiri, dengan membiarkan Lapindo mencicil dan mempersulit pembayaran kepada warga korban? Mengapa Presiden tidak menggunakan otoritas yang dibenarkan secara hukum? Misalnya, dengan mencabut izin Lapindo Brantas Inc serta mengambil alih sumur-sumur gas produktif di Blok Brantas.

Jika Grup Bakrie melawan, Presiden harus bertindak selaku pemerintahan, misal dengan memailitkan demi kepentingan umum. Bersamaan dengan itu, pembayaran kepada korban Lapindo diselesaikan dengan uang negara lebih dulu, mengacu pada saran Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan audit 29 Mei 2007.

Akhirnya, apakah kita akan menjadi turis wisata ketidakberdayaan negara melawan korporasi dan derita rakyat korban? Negara ini sudah dilahap kompeni asing, masa juga disantap kompeni domestik. Capek deh!

Dimuat di Kompas, 09 April 2010

Senin, 15 Februari 2010

Tawon Boy dan Hukum Cebol


Kisah bocah sembilan tahun dengan nama samaran Boy dari Surabaya yang diadili gara-gara menyengatkan tawon kepada teman sekolahnya, menambah bukti betapa hukum Indonesia hanyalah hukum cebol. Ia hanya berani menginjak kaum papa.

Hukum yang cebol tak sanggup menggapai yang tinggi-tinggi. Ia hanya berani melawan nyamuk dan mrutu, tapi akan lari tunggang-langgang ketika berhadapan dengan sapi, apalagi gajah. Dalam kasus entup tawon Boy itu, hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Sutriadi Yahya, merasa heran kasus sepele itu masuk ke meja hijau. Hal itu juga berkaitan dengan pendirian orangtua korban yang tidak mau berdamai. Orangtua korban berpangkat komisaris polisi (Kompol) di Polda Jatim, (Surya, 2/2/2010).

Kisah entup tawon Boy itu hanya salah satu representasi praktik hukum di negara ini. Masih ada banyak kasus lain yang tidak terliput media. Orang-orang kecil diadili atas dasar kecurigaan, lalu dipaksa mengakui perbuatan yang tak mereka lakukan. Bicara kasus entup tawon Boy ini, saya jadi ingat artikel tentang pengobatan apitherapy dengan menggunakan entup tawon yang konon bisa menyembuhkan penyakit stroke, tumor, jantung koroner, diabetes mellitus, asam urat, ketidaksuburan, dan lain-lain (Kompas, 18/11/2003).

Tetapi saya belum pernah mendengar ada terapi atau pengobatan raga atau jiwa dengan cara menenggelamkan tempat hidup ribuan orang seperti yang terjadi di Porong, Tanggulangin dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Ada empat desa yang tenggelam, dan setidaknya sembilan desa rusak. Kasus itu malah menimbulkan kerusakan kesehatan jiwa-raga sosial. Hampir empat tahun ini malah belum tuntas.

Semula, penyidik Polda Jatim dalam perkara pidana kasus semburan lumpur Lapindo itu menetapkan 13 tersangka dan sangat yakin dengan alat bukti dan barang bukti yang ditemukannya. Penyidik menyita barang bukti berupa dokumen dan surat-surat berupa Production Sharing Contract, Work Program & Budget, Drilling Program, Daily Drilling Report, model prediktif pengeboran infill (IDPM), instruksi kerja, Real Time Chart, Survey Seismic dan perizinan Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL–UPL).

Selain itu juga Standard Operating Procedure (SOP), Surat Izin Layak Operasi (SILO), satu unit Rig serta seluruh komponennya, perjanjian kontrak kerja antara PT Lapindo Brantas Inc dengan PT Medici Citra Nusa beserta sub kontraktornya. Data Paparan Publik oleh Ditreskrim Polda Jatim (8/3/2007) menyebutkan, 13 tersangka perkara Lapindo dijadikan tujuh berkas perkara.

Berkas Perkara I atas nama tersangka Ir Edi Sutriono (Drilling Manager) dan Ir Nur Rochmat Sawolo, MESc (Vice President Share Services PT Energy Mega Persada Tbk). Berkas Perkara II atas nama tersangka Willem Hunilla (Company Man Lapindo Brantas Inc). Berkas Perkara III atas nama tersangka Ir Rahenod, Slamet BK dan Subie (Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa). Berkas Perkara IV atas nama tersangka Slamet Riyanto (Project Manager PT Medici Citra Nusa) dan Yenny Nawawi SE (Dirut PT Medici Citra Nusa). Berkas Perkara V atas nama tersangka Sulaiman Bin HM Ali (Rig Superintendent), Sardianto (Tool Pusher) dan Lilik Marsudi (Driller) PT Tiga Musim Mas Jaya.

Berkas Perkara VI atas nama tersangka Ir H Imam Pria Agustino (General Manager Lapindo Brantas Inc). Berkas Perkara VII atas nama Ir Aswan Pinayungan Siregar (mantan General Manager Lapindo Brantas Inc). Ketika Tim Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta keterangan Polda Jatim mengenai kendala perkara tersebut, penyidik mengarahkan telunjuknya ke kejaksaan yang berkali-kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan petunjuk (P-19) yang berubah-ubah dan irasional.

Selanjutnya, setelah Kapolda Jatim, Herman S Sumawireja digantikan Anton Bahrul Alam, Polda Jatim mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan konklusi bahwa perkara lumpur Lapindo tersebut bukan merupakan tindak pidana. SP3 itu termasuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) No. 2710 K/Pdt/2008 yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 136/PDT/2008/PT DKI tanggal 13 Juni 2008, yang menyatakan semburan lumpur Lapindo tidak berkaitan dengan pemboran yang dilakukan Lapindo.

Putusan MA yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tersebut menggunakan keterangan ahli Dr Ir Agus Guntoro (Universitas Trisakti), Dr Dodi Nawang Sidi (ITB), Ir M Sofian Hadi (pekerja ahli di BPLS), Prof Dr Sukendar Asikin (ITB), sebagai alat bukti. Padahal berdasarkan pasal 1886 KUHPerdata jo Pasal 164 HIR, keterangan ahli bukanlah alat bukti dalan hukum acara perdata umum. Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No 384/PDT.G/2006/PN.Jkt.Pst. menilai dalam pertimbangan hukumnya bahwa semburan Lumpur Lapindo dipicu kekuranghati-hatian Lapindo dalam melakukan pemboran.

Hal ini dibuktikan oleh adanya laporan Audit BPK 29 Mei 2007 tentang kinerja Lapindo dan pemerintah di Blok Brantas. Dokumen BPK sudah jelas merupakan alat bukti akta otentik menurut standar pembuktian hukum acara perdata, yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata). Dalam perkara lumpur Lapindo ini, hukum bukan dientup tawon yang bisa menyehatkan, tapi menjadi hukum cebol diinjak gajah besar sehingga ringsek tak berdaya. Teori, postulat dan asas-asas hukum yang diajarkan di kampus-kampus telah menjadi barang rongsokan di hadapan kapital besar. Omong kosong.

Perkara lumpur Lapindo seharusnya dilanjutkan, SP3 itu harus dicabut. Bukti baru semakin banyak, selain bocoran dokumen Medco dari TriTech Petroleum Consultants Limited dan Neal Adams Services, juga ada konklusi para ahli pemboran internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 28 Oktober 2008. Ini cuma soal kemauan dan keberanian saja!
(dimuat koran Surya, 4 Pebruari 2010)

Kamis, 31 Desember 2009

Tahun 2010 dan Masa Depan


Awal tahun 2010 di Surabaya disertai rintik hujan, lama tak kunjung berhenti, sesekali suatu guntur membelah langit.

Waktu terus berjalan, dia hanyalah utusan Tuhan, yg mana Tuhan telah bersumpah demi waktu: bahwa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang mempunyai keyakinan dan melaksanakan kebajikan di muka bumi.

Bagi warga dunia, masa depan adalah harapan. Tapi kenyataan terhampar di pelataran kehidupan, bahwa masa depan telah dirusak oleh keserakahan generasi abad XX dan XXI ini. Langit mulai retak, bumi mulai menggeliat.

Perut bumi diaduk-aduk, isinya diambil tanpa batas, hutan dirusak, tanah air dan udara dicemari, dengan menggunakan istrumen legal, politik dan atas nama ilmu ekonomi. Padahal semua itu hanya dalam rangka menumpuk kekayaan bagi segelintir orang, yang dengan bangga diberikan stempel sebagai pahlawan bagi para pengangguran.

Wajah peradaban manusia, wajah pembangunan akan tampak pada orisinalitasnya ketika hujan datang atau kemarau tiba. Ribuan nyawa tiap tahun direnggut bencana, dan kekeringan kian merata di mana-mana. Berbagai penyakit baru datang menyibukkan manusia.

Atas kehancuran demi kehancuran itu siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan? Jika mereka menggunakan kalkulasi ekonomi maka itu adalah pertanyaan yang layak.

Mereka yang diuntungkan adalah yang menggunakan kapital ekonominya untuk memenuhi nafsu serakahnya. Sedangkan yang dirugikan adalah yang diberikan sedikit upah bagi yang bekerja pada tuan-tuan serakah, apalagi bagi yang sama sekali tidak menikmati apa-apa dari pemenuhan hajat para majikan serakah yang menguasai tiap kepala penentu kebijakan negara.

Jangan lupa, keserakahan para tuan majikan serakah yang menguasai negara itu telah menjadikan anak-anak kita makin banyak yang menderita keterbelakangan mental, serta mendesain gaya hidup yang jauh liberal dibandingkan para remaja Barat.

Dengan kapital raksasa, mereka berhasil menyedot kembali banyak uang upah yang telah diterima dari mereka, untuk membeli produk-produk mereka.

Seorang Guru Besar Etika, Prof. Daniel C Maguire melihat kenyataan pahit praktik ilmu ekonomi, sehingga dia mengatakan bahwa ilmu ekonomi itu menjijikkan.

Resolusi masa depan adalah: membangun masyarakat yang mandiri, tidak bergantung kepada negara, menciptakan alat-alat produksi sendiri, membangun pasar sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, sambil membantu dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya, membangun jaringan sosial yang tidak menciptakan eksploitasi terhadap sesama dan tidak merusak lingkungan hidup kita.


Jika bukan kita yang bergerak untuk menghentikan pertambangan minyak dan gas bumi serta batubara yang bersifat destruktif, perluasan kebun kelapa sawit yang menghabiskan hutan, pembangunan pemukiman megah yang merusak lahan-lahan konservasi, lalu apakah semua itu akan dibiarkan terus? Apakah kita akan membiarkan sejarah manusia masa depan mencatat kita sebagai generasi panitia percepatan kiamat?

Senin, 14 Desember 2009

RAMAI DI CENTURY, SEPI DI LAPINDO


Suntikan dana penyertaan modal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliun (T) menjadi amat ramai. Seluruh media nasional menyorot. Para aktivis demo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit, DPR mengusung wewenang angket (perbaikan istilah hak angket). Pemerintahan SBY kalang-kabut diterpa isu negatif.

Tak lupa Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar yang baru, dengan lantang menyatakan dukungan partainya atas penggunaan wewenang angket DPR dalam kasus Bank Century.

Nasib korban

Saya hendak membandingkan reaksi sosial serta perlakuan negara dalam menyikapi kasus Century dengan kasus lumpur Lapindo, yang tampaknya menganaktirikan penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Salah satu contoh adalah: begitu cepatnya tindakan atau upaya penggantian uang nasabah Century yang dirugikan dan upaya penyelamatan Bank Century dengan menyuntikkan dana Rp. 6,7 triliun.

Menurut Ahmad Fajar, Direktur Bank Mutiara (penerus Bank Century), sebanyak Rp 4,02 triliun atau 59 persen dari total Rp 6,76 triliun untuk membayar penarikan dana nasabah yang menolak memperpanjang depositonya. Dana tersebut untuk pemilik 8.577 rekening Century yang terdiri atas 7.770 nasabah perorangan dengan total dana Rp 3,2 triliun, 787 nasabah dengan Rp 480 miliar dan 20 nasabah BUMN/dana pensiun sebanyak Rp 273 miliar (Tempo Interaktif, 1/12).

Dengan dana Rp. 4,02 T tersebut setidaknya bisa menjamin atau mengganti simpanan 8.577 orang nasabah, yang rumah dan tanahnya masih bisa ditempati, tidak tenggelam menjadi bubur lumpur. Dalam kasus Lapindo, ada sekitar 13.000 kepala keluarga atau sekitar 70.000-100.000 orang korban (termasuk anak-anak) masih harus berjuang untuk memperoleh tempat tinggal dan pekerjaan yang hilang selama lebih dari tiga tahun ini.

Pembagian beban tanggung jawab pemerintah dengan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 dan Nomor 40 Tahun 2009 (Perpres BPLS) telah mengakibatkan penyelesaian masalah korban yang berbelit-belit.

Bahkan sekarang ini masih ada sekitar 3.000 jiwa korban yang hidup di pengungsian di pinggir tanggul lumpur Lapindo di sisi Timur (Desa Besuki) dan di pengungsian Kedungkampil Porong, sebab uang jual-beli tanah dan rumah mereka yang menjadi danau lumpur dicicil-cicil dengan batas waktu yang tidak pasti. Lapindo pun tidak taat dengan batas waktu yang ditentukan Perpres BPLS, tapi presiden SBY tidak mau dan tak mampu memberikan tindakan pemerintahan yang tegas.

Mana ada hidup di negara merdeka tanpa perang, dengan cara mengungsi selama lebih dari tiga tahun? Ada, yaitu korban Lapindo yang hidup di Indonesia.

Absurd

Absurditas dalam komparasi antara kasus Century dengan Lapindo juga dapat dilihat dari cara menyikapi hasil audit BPK. Laporan audit BPK dalam kasus Century dijadikan bahan atau bukti penting yang dijadikan acuan oleh DPR dan pemerintah.. Namun, laporan audit BPK dalam kasus lumpur Lapindo hanya dianggap kentut buaya.

Laporan audit BPK 2007 dalam kasus Lapindo jelas memuat rincian kesalahan Lapindo, pemerintah pusat (termasuk BP Migas serta Menteri ESDM) dan pemerintah daerah dalam pemberian izin eksplorasi dan izin lokasi di wilayah pemukiman penduduk dan terlalu dekat dengan obyek-obyek prasarana vital seperti jalan raya, jalan tol, pipa gas.
Audit BPK itu juga memuat fakta-fakta kesalahan-kesalahan teknis pemboran, serta upaya penghentian semburan lumpur Lapindo yang dihentikan karena faktor nonteknis (di antaranya: peralatan yang dibutuhkan tidak disediakan).Hal itu sesuai dengan dokumen -dokumen riwayat pemboran yang dibuat Lapindo dan BP Migas.

Tetapi DPR, Mahkamah Agung, Kepolisian dan Kejaksaan kompak menyalahkan gempa Jogja yang terjadi dalam radius sekitar 270 kilometer dari Porong dalam jarak dua hari sebelum semburan lumpur Lapindo. DPR dan lembaga-lembaga penegak hukum itu lebih memilih pendapat ahli yang diajukan Lapindo dibandingkan dengan hasil audit BPK yang telah menjadi dokumen negara otentik itu, serta menolak pendapat ahli pemboran pada umumnya.

Saat itu, Aburizal Bakrie yang menjabat menteri (Menkokesra) juga angkat bicara, katanya satu pendapat ahli (yang menyalahkan Lapindo) masih kalah suara dengan 100 pendapat ahli yang tidak menyalahkan Lapindo. Ternyata pernyataan Bakrie itu tumbang di Cape Town Afrika Selatan di mana mayoritas ahli pemboran dunia berkonklusi bahwa semburan lumpur Lapindo juga dipicu oleh kesalahan dalam proses pemboran.

Kini kita boleh berhitung. Di antara Rp. 6,7 triliun kekayaan negara (yang dipisahkan) oleh LPS itu, yang Rp. 4,02 T diberikan kepada nasabah Century, sebab uang mereka dikemplang oleh pemilik Century. Sedangkan dana negara (dari APBN) yang keluar untuk penanggulangan kasus lumpur Lapindo masih akan mengalir terus selama sekitar 30 hingga 50 tahun sampai semburan lumpur lapindo berhenti (sesuai perkiraan para ahli geologi).

Pada 2006 Greenomics menghitung, dalam jangka menengah dan panjang kerugian akibat semburan lumpur Lapindo sekitar Rp. 33,2 triliun (Suara Karya, 8/8/2006). Para nasabah bank dijamin dengan kekayaan negara secara cepat, tapi korban Lapindo dijamin masih terus berlanjut kesengsaraannya, meskipun lembaga jaminan hidup warga negara bukan hanya undang-undang, tetapi UUD 1945.

Dalam kasus Century semua orang ramai mengeroyok para penjahat Century yang sudah lari dan “memukuli” pemerintah bertubi-tubi. Tapi kasus Lapindo suaranya makin lama makin sepi, perlahan-lahan menjadi sunyi. Janji Presiden SBY yang akan meninjau ulang ketidakberesan penanganan sosial kasus lumpur Lapindo saat kampanye pilpres 2009 ternyata cuma omongan bakul akik.

Kini tinggal Komnas HAM satu-satunya lembaga negara bidang hukum yang masih yakin dengan alat-alat bukti yang diperolehnya bahwa Lapindo bersalah. Komnas HAM sedang bekerja mengusut dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus Lapindo. Jika forum hukum HAM nasional impoten maka kasus kejahatan kemanusiaannya bisa dibawa ke PBB yang mempunyai Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court).

(Dimuat koran Surya, 8 Desember 2009)

LUMPUR LAPINDO SELESAI?


Kasus lumpur Lapindo sudah tidak dapat lagi diselesaikan dengan hukum normal. Sejak keluarnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), kekacauan hukum mulai terjadi. Pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 menyempal dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).Pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 menentukan cara penyelesaian sosial kemasyarakatan korban Lapindo dengan ‘jual-beli’ tanah (dan rumah) korban yang berada di wilayah peta terdampak 22 Maret 2007.

Padahal tanah korban Lapindo pada umumnya adalah tanah Hak Milik sedangkan Lapindo Brantas Inc adalah korporasi yang bukan subyek hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Milik atas tanah menurut pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960.
Pasal 15 ayat (3), (4), (5) dan (6) Perpres No. 14 Tahun 2007 menentukan bahwa seluruh biaya penyelesaian di luar peta terdampak 22 Maret 2007 ditanggung APBN dan sumber lain yang sah.
Ketentuan ini menabrak prinsip pertanggungjawaban mutlak pengusaha hulu migas menurut pasal 6 ayat (2) c UU No. 22 Tahun 2001 yang seharusnya menanggung seluruh modal dan risiko.

Kekacauan hukum itu kemudian dilegalkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 24 P/HUM/2007 yang menganggap pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 sebagai beleid pemerintah yang tak dapat diuji. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai diskresi hukum yang melahirkan dispensasi. Diskresi hukum memaklumi adanya pelanggaran hukum karena situasi yang darurat.

Dispensasi

Diskresi hukum berdasarkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu melahirkan dispensasi terbesar bagi Lapindo. Tetapi itu tidak cukup bagi Lapindo, sehingga menabraki aturan. Lapindo menunjuk PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai pihak pembeli tanah dan rumah korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007. Ini yang namanya ‘peralihan’ kewajiban. Hukum mana yang membolehkan peralihan kewajiban tanpa persetujuan kreditor (pemegang hak bayar)?

Untungnya korban Lapindo bukan orang yang paham hukum. Dengan menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB) dengan MLJ maka anggap saja korban Lapindo menyetujui peralihan kewajiban Lapindo Brantas Inc ke MLJ tersebut. ‘Anarki’ Lapindo tak berhenti di situ.

Dengan dalih melaksanakan Perpres No. 14 Tahun 2007 dan Hukum Agraria maka Lapindo bersikukuh tidak mau membayar tunai tanah korban yang belum bersertifikat dengan alasan tak dapat diaktajualbelikan (di-AJB-kan). Itu menabrak prinsip pasal 24 jo. pasal 39 ayat (1) b PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengakui surat bukti tanah-tanah belum bersertifikat.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun memberikan surat petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008 yang menjelaskan mekanisme jual-beli tanah bersertifikat dan nonsertifikat (gogol, petok D dan letter C). Tapi Lapindo ngotot hanya mau dengan tukar tanah (resettlement) terhadap tanah nonsertifikat. Celakanya, cara ini juga tidak ada payung hukumnya dalam konteks pelaksanaan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Meski putusan MA No. 24 P/HUM/2007 melegalkan penyelesaian sosial korban Lapindo dengan cara ‘jual-beli’ berdasarkan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007, tapi malah diterobos Lapindo dengan cara ‘tukar menukar’ tanah.

Apalagi tanah yang ditukar adalah tanah developer perseroan terbatas (PT) berjenis Hak Guna Bangunan (HGB), ditukar tanah Hak Milik korban. Akhirnya tanah Hak Milik korban yang berpindah hak ke Lapindo harus jatuh menjadi tanah negara lebih dulu. Sedangkan tanah HGB developer yang ditunjuk Lapindo beralih menjadi hak korban Lapindo tetap berstatus tanah HGB. Jika kelak akan diubah menjadi Hak Milik
harus melalui permohonan (peningkatan status).

Tetapi masalahnya bagaimana perlindungan hukum bagi korban Lapindo jika seumpama Lapindo kelak ingkar janji dalam hal realisasi tukar menukar tanah yang telah menabrak tata cara menurut pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 itu jo. putusan MA No. 24 P/HUM/2007 itu? Tanpa diskresi hukum baru, terpaksa harus diuji di pengadilan. Tapi siapa penguasa keadilan di negara mafia ini?

Nasib Korban di Luar Peta 22 Maret 2007

Perpres No. 14 Tahun 2007 direvisi dengan Perpres No. 48 Tahun 2008. Desa Besuki (barat jalan tol), Pejarakan dan Kedungcangkring Kecamatan Jabon Sidoarjo dimasukkan peta terdampak, akan diberikan ganti rugi dengan dana APBN.

Besaran dana bantuan sosial serta pembelian tanah dan bangunannya mengikuti besaran harga jual-beli tanah dan rumah korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007 (pasal 15 B ayat 6). Berarti harga tanah sawah tetap Rp 120.000/m , tanah pekarangan Rp. 1 juta / meter, dan bangunan Rp. 1,5 juta / meter serta dana bantuan jatah hidup dan kontrak rumah dua tahun.

Tetapi ada potensi masalah, yaitu penyelesaian pembayaran 80 persen untuk korban peta terdampak menurut Perpres No. 48 Tahun 2008 digantungkan dengan pelunasan pembayaran 80 persen bagi korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007 yang diurus Lapindo (pasal 15 B ayat 5). Ini menjadi tugas BPLS untuk secara tegas melakukan tindakan kepada Lapindo agar penyelesaian masalah sosial itu tepat waktu, agar tidak berimbas pada terkatung-katungnya korban dalam peta Perpres No. 48 Tahun 2008 itu.

Desa-desa lain terdampak lumpur Lapindo yang belum terurus selama dua tahun lebih ini adalah Siring (bagian Barat), Jatirejo (bagian Barat), Gedang, Mindi, Besuki bagian Timur, Glagah Arum, Sentul, Keboguyang, Permisan, Plumbon, Gempolsari, Kalitengah, Ketapang, dan Pamotan. Menurut temuan Posko Bersama Korban Lapindo sudah ada empat orang meninggal akibat gas beracun (Yakup dan Qoriatul dari Siring,
Sutrisno dan Luluk dari Jatirejo), dan puluhan masuk rumah sakit.

Jika memang pemerintah tidak mampu, bisa saja meminta bantuan kemanusiaan internasional. Sudah waktunya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diterapkan agar standar penanggulangan bencana segera diterapkan dalam kasus lumpur Lapindo.

Definisi bencana menurut hukum bukan hanya bencana alam, tapi juga bencana akibat faktor kesalahan manusia (pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007). Selain itu, seharusnya janganlah ada keputus-asaan dalam upaya penghentian semburan lumpur Lapindo. Para ahli pemboran permigasan terkemuka di Indonesia (Rudi Rubiandini, Robin Lubron, Kersam Sumantha, Andang Bachtiar, dan lain-lain) yang berjaring secara internasional membentuk Drilling Engineer Club, optimistis dapat menghentikan semburan lumpur Lapindo. Sayangnya pemerintah dan Lapindo telah putus asa. Kapan masalah sosial lumpur Lapindo akan selesai jika pedoman yang telah disusun selalu disimpangi?

(Dimuat Koran Surya, 8 September 2008).

Senin, 09 November 2009

PEMERINTAHAN UCLUK-UCLUK


Entah lalai atau tidak, selama 11 tahun reformasi berjalan, kita malah terjerembab ke dalam budaya korupsi yang semakin liar. Ada sindiran yang tidak enak kepada kita. Konon, di India suap dilakukan di bawah meja, di Cina dilakukan di atas meja. Tapi, di Indonesia lebih parah, sebab meja tempat suap pun diembat.

Pemutaran rekaman pembicaraan mafioso korupsi (suap kepada penegak hukum) yang dilakukan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu sebenarnya hanyalah salah satu fakta buruk itu. Di luar itu, transaksi jual-beli hukum setiap hari terjadi.

Sekitar 10 tahun saya bekerja di dunia hukum, hampir setiap hari mendengarkan pembicaraan para advokat, polisi, dan jaksa tentang tatacara dan harga-harga perdagangan hukum dan keadilan, yang pembayarannya juga dilakukan terang-terangan di meja kantor penegak hukum negara termasuk pengadilan. Gedung-gedung lembaga penegak hukum adalah tempat-tempat pelelangan hukum dan keadilan. Siapa yang menawarkan harga lebih tinggi maka itulah yang punya kans besar memenangkan lelang hukum dan keadilan.

Celakanya, para guru besar dan ahli juga terlibat dalam pelacuran intelektual, turut meracuni keadilan, dengan bayaran mahal akan mau menjadi pesuruh pemilik kapital untuk memberi keterangan yang menguntungkan pembayarnya.

Tampaklah reformasi hukum selama ini hanya terjadi pada soal kuantitas peraturan dan lembaga. Sedangkan kedigdayaan hukum sebagai panglima tetap tunduk menyembah kepada sang juragan yang bernama kapital. Investasi yang ditanamkan para makelar hukum (markum) bahkan masih bisa dipanen dengan makin lancar dan prospektif.

Bagaimana investasi itu ditanam? Ada orang-orang yang mengorbankan uangnya untuk merawat dan memelihara investasinya berupa uang saku dan uang makan kepada para calon penegak hukum yang sedang menempuh pendidikan. Begitu pula para advokat hitam biasa memberikan fasilitas uang saku, antar-jemput dan uang mobil serta keinginan-keinginan para penegak hukum negara.

Dengan jalinan kedekatan seperti itu maka jangan heran jika terdapat fenomena munculnya orang-orang yang mestinya pekerjaannya tidak terkait dengan lembaga-lembaga penegakan hukum, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang sangat dekat dan spesial kepada polisi, jaksa dan hakim. Mereka inilah yang biasa disebut makelar kasus (markus) atau makelar hukum (markum), para investor hukum itu.

Jangan heran jika ada kantor-kantor jasa hukum yang mempunyai spesialisasi pelobi, yang jago melakukan lobi-lobi kepada para penegak hukum. Bahkan para advokat selain ada yang jago sebagai markus atau markum, ada juga yang secara khusus berlangganan dengan para investor perdagangan hukum tersebut, yang juga sebagai mbahe markum. Mereka ini bisa amat cepat memperoleh kekayaan berlimpah.

Dalam keadaan seperti itu, sayangnya kita mempunyai presiden yang tidak progresif dalam menata lembaga-lembaga pemerintah bidang penegakan hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, yang secara struktural di bawah presiden.

Kejaksaan masih merupakan lembaga terkorup nomor ranking dua (Barometer Korupsi Global 2009 oleh TII). Pada tahun 2008 pun Kepolisian merupakan lembaga terkorup juara satu di Indonesia, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2008 oleh TII). Pada tahun 2009 ini Amnesti Internasional merilis dokumen setebal 89 halaman berjudul “Urusan Yang Tak Selesai: Pertanggungjawaban Kepolisian di Indonesia” dengan inti laporan adalah kepolisian Indonesia melakukan penyiksaan, pemerasan, dan kekerasan seksual terhadap tersangka yang mana perilaku ini sebagai budaya melanggar hukum.

Presiden SBY dalam konferensi persnya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa presiden tidak mengintervensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Menurut SBY, jika presiden mengintervensi Kepolisian dan Kejaksaan maka hal itu merupakan kesalahan.

Pernyataan presiden SBY seperti itu menunjukkan ketidakpahamannya dalam menjalankan tugas dan wewenang serta fungsi pemerintahannya sebagai presiden. Sebagai pimpinan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian, tentu saja presiden berwenang untuk memerintah Kejaksaan dan Kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam rangka penegakan hukum.

Lebih luas dari itu, presiden diberikan wewenang konstitusional untuk melakukan intervensi proses penegakan hukum dengan wewenang pemberian grasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) (pasal 14 ayat 1 UUD 1945), dan pemberian amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR (pasal 14 ayat 2 UUD 1945).

Selain itu, presiden salah dalam memahami pengertian independensi penuntutan oleh Kejaksaan dan penyidikan oleh Kepolisian. Independensi yang dimaksudkan terkait dengan kebebasan profetik dalam menjalankan penegakan hukum. Hal itu tentu tidak dapat mengeliminasi wewenang presiden untuk mengendalikan Kejaksaan dan Kepolisian, apalagi dalam perkara-perkara yang menyangkut keadilan sosial.

Intervensi presiden kepada Kejaksaan dan Kepolisian dalam rangka penegakan hukum dibutuhkan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif. Dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan kepentingan negara tentu saja presiden berwenang menjadi pengendali untuk tujuan penyelamatan negara, agar Kepolisian dan Kejaksaan tidak menjadi lembaga yang liar tanpa kontrol.

Sebenarnya negara ini tidak membutuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Umum mampu dan tangkas dalam menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia. Tetapi justru kenyataannya Kepolisian dan Kejaksaan serta Pengadilan Umum menjadi sarang korupsi dengan maraknya suap-menyuap di dalamnya.

Sekarang, jika presiden mau tegas dan revolusioner dalam membersihkan negara dari kaum parasit, mestinya kita tidak mengalami kekecewaan selama 11 tahun reformasi ini. Mestinya KPK dan Pengadilan Tipikor sudah mulai dibubarkan sebab Kepolisian dan Kejaksaan serta Pengadilan Umum sudah bisa memberantas korupsi dengan baik.

Tapi yang terjadi sekarang justru permusuhan tajam antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Saya tak lagi menyebutnya sebagai oknum sebab pertikaian itu sudah melembaga. Artinya, pemerintahan negara ini masih terus-menerus gagal dalam mengemban amanat reformasi yang telah mengorbankan darah dan jiwa itu.

Pemerintahan masih dijalankan secara tidak serius oleh orang-orang yang tidak terlalu memahami wewenang dan tugas jabatannya, yang lebih banyak menuntut hak. Pemerintahan yang masih hanya mengonani pikiran rakyat kecil dengan bantuan langsung tunai (BLT), jaminan kesehatan masyarakat yang tidak merata, serta kenaikan gaji para pegawai pemerintah yang dipandang sebagai jasa rezim dan bukan dengan logika pemenuhan kewajiban negara. Ini yang saya sebut sebagai pemerintahan ucluk-ucluk.

Jika keadaannya begitu terus, tanpa perbaikan yang progresif, solusinya adalah revolusi, dengan membuang dan mengamputasi habis seluruh organ Orde Baru serta membasmi virusnya. Sebab, hingga hari ini negara ini masih didominasi oleh anak-anak emas Orde Baru dan kelompok politik yang mau bersekutu dengannya. Jika tidak, selamat menikmati karya rezim ucluk-ucluk! Derita rakyat tiada akhir.

Sabtu, 11 Juli 2009

Yang Dilupakan

Sabtu, 11 Juli 2009, pagi yang baik, aku tiba di stasiun Gubeng Surabaya. Membeli karcis hanya Rp. 5.500,-, harga tiket kerta api (KA) rakyat jelata dari Surabaya ke Tulungagung. Aku mau jemput anakku, Ima (5 tahun) yang sudah hampir seminggu di rumah neneknya di Tulungagung, berlibur di sana.


Perjalanan dengan KA ekonomi itu adalah perjalanan yang amat indah. Di dalam KA ekonomi para penumpang jelata berbincang satu sama lain, tentang kesulitan keluarga mereka masing-masing. Ada juga yang meletup-letupkan harapan kepada presiden baru yang terpilih, bagai letupan mesin KA rombeng yang kami tumpangi.


Di tempat duduk lain dekatku terjadi pertengkaran antara sesama penumpang. Seorang ibu setengah baya merasa tidak nyaman dengan anak kecil penumpang lainnya yang agak nakal. Cuma soal kurangnya solidaritas dan pemahaman hidup bersama.


Di depan tempat dudukku, ada seorang ibu seusia kakak perempuanku bersama dengan dua anaknya. Ia mau pulang ke kampung halamannya di Desa Prayungan, Nganjuk. Katanya, sudah sekitar sembilan tahun ia tinggal dan bekerja di Surabaya sebagai pedagang kecil di pinggir jalan, jualan nasi soto bersama suaminya yang orang Surabaya.


Ibu itu sambil sedikit tertawa menceritakan anak pertamanya yang hampir saja berhasil masuk ke SLTA negeri, tapi gagal gara-gara nilai ujian nasionalnya tak terlalu bagus. Tapi herannya, kata dia, ada sesama calon siswa yang nilai ujian nasionalnya sama, bisa masuk ke SLTA negeri tempat anakknya mendaftar itu.


Tentu ada yang aneh. Tetapi menjadi tidak aneh jika kita tahu bahwa korupsi dan kecurangan di dunia pendidikan negara ini sudah menjadi hal yang lumrah. Justru menjadi terasa aneh jika semuanya berjalan jujur dan adil. Di soal pendidikan ini, rakyat kecil menjadi korban. Mereka yang kemampuan ekonominya pas-pasan, dihantam oleh mental korup para pemegang kekuasaan di atasnya. Lalu tak berkutik. Menyerah. Menyingkir. Mencari tempat lain.


Meski diperlakukan tidak adil, rakyat jelata tetap mencurahkan isi hati sambil sesekali tertawa. Ketidakadilan itu berjalan sistemik, biasa dialami, tampak wajar, maka dianggaplah biasa, lumrah. “Sesuatu hal yang biasa dialami, tak akan menggetarkan jiwa,” kata seorang pelaku cerita dalam sebuah novel yang pernah kubaca.


Di luar KA, di banyak lingkungan di sekitar rel KA sepanjang perjalanan, banyak pemandangan spektakuler tentang kemiskinan rakyat jelata. Tampak dari rumah-rumah kumuh yang saling berdempetan. Banyak diantara mereka ini tinggal di tanah yang diklaim PT. KA sebagai tanah hak pengelolaannya.


Tanah tumpah darah siapa, atas tertumpahnya darah siapa, sehingga berjibun rakyat tinggal di negara sendiri tak punya tanah? Tanah air Indonesia. Tanah adalah tanah milik mereka yang punya uang, yang bisa membelinya. Air adalah yang secara perlahan dan pasti juga mulai dikuasai oleh para pemilik kapital raksasa. Lalu kenapa sampai ada rakyat yang tak punya tanah dan dituduh tinggal ilegal di tanah negara? Apakah negara ini pemilik tanah?


Lalu bagaimana negara tanpa rakyat? Bahkan para majikan besar-besar pasti butuh rakyat jelatan yang bodoh agar mau diupah murah untuk keuntungan para bos itu. Jika suatu saat tenaga rakyat jelata yang bodoh dan murah digantikan mesin-mesin yang efesien, maka negara yang disetir para pemilik kapital tak membutuhkan rakyat jelata yang bodoh. “Singkirkan mereka! Gusur mereka! Sampai mereka dapat “dijual” menjadi komiditas dengan diberi gelar Pahlawan Devisa di negara rezim devisa ini!”


Ini ciri hidup dalam negara liberal, dimana sistem politik, ekonomi, hukum dan kebudayaannya menjadi liberal. Agama pun ditafsir untuk menghamba kepada kapital. Ideologi Pancasila tersingkir. Sudah waktunya kita memperingati Hari Kematian Pancasila, sebab Keadian Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia makin terbukti hanya utopia: tahayul!


Roda kekuasaan negara ini bukan dijalankan dengan mesin pendorong liberalisme yang disokong dengan bahan bakar kapitalisme, hasil rampokan atas kekayaan negara-negara lemah dan terjajah, seperti juga Indonesia ini.


Kita mestinya 230 juta orang tertawa terbahak-bahak membahana memenuhi langit, sebab menyadari kebodohan diri sendiri, hidup di atas karpet minyak bumi, gas alam, emas dan tembaga nomor satu di dunia, serta batubara yang semuanya itu menggerakkan mesin ekonomi dan menerangi Asia, Amerika (Serikat) dan Eropa. Tapi kita hidup dengan penerangan lilin ekonomi sosial yang remang-remang.


Tapi ada daya, kebodohan itulah yang membuat kita merasa mapan. Para ulama mengajari kita untuk bersyukur dengan apa yang telah kita peroleh dari Alloh SWT, agar bisa hidup tentram dan tenang. Meski bangsa kita dirampok habis-habisan oleh para penguasa kapital, bukankah kita sudah diajari: jika pipi kananmu ditampar, berikan pipi kirimu! Kita juga diajari menjadi pemaaf: “Dengan memaafkan kejahatan kepada diri kita maka Tuhan akan memberikan pahala khusus dan surga.”


Hahahahahaha..... Tuhan kok bodoh? Pantas Karl Marx bilang bahwa agama itu candu sosial. Pantas jika Nietzche bilang bahwa Tuhan telah mati! Jika manusia menjadi bodoh, menyerahkan kekayaannya dirampok orang lain, membiarkan dirinya diperbudak, kepalanya diinjak-injak, rela ditipu mentah-mentah dengan dan atas nama rasa syukur dan menjalankan kesabaran - yang katanya itu ajaran agama - maka buang saja agama itu ke Kali Surabaya yang sudah lama diracuni total oleh para kapitalis perampok dan penipu raksasa itu!


Buang agama! Agama hanya menjadikan rakyat jelata semakin lemah, terus-menerus ditikam derita panjang yang mereka rasakan sebagai nikmat Tuhan! Hanya karena mengharap pahala dan surga maka manusia beragama diam membisu melihat perampokan massal di depan mata mereka, membiarkan kepalanya sendiri dan saudara-saudaranya diinjak-injak, anak-anaknya didlolimi, dipotong akses hak atas pendidikan mereka, lalu di sekolahan otaknya diracuni dengan doktrin: “kekayaan negaramu harus diurus oleh para pemilik modal partikelir!”


Jika agama membiarkan itu, maka aku akan menjadi murtad dan kafir. Aku akan mencari Tuhan lain yang mau mendidikku untuk berani menghancurkan para penindas dan pengobar kemunkaran di muka bumi. Tuhan yang mengajariku untuk ikhlas hidup tak perlu berpamrih pahala dan surga. Tuhan yang mampu mengobarkan semangatku untuk melenyapkan orang-orang yang telah meracuni otak sosial.


Atau, jangan-jangan umat beragama di negara ini telah menjadi kaum musyrik dan dlolim yang sudah lama menyimpang dari ajaran agama yang sejati? Hanya karena pamrih pahala dan surga itu maka mereka diam membisu melihat kemunkaran di depan mata mereka?


Pantaslah jika Robiah Al-Adawiyah, sufi wanita yang terhormat, hendak pergi membakar surga dan memadamkan api neraka. Mungkin karena dia melihat kaum Islam yang apatis dan egois, mau selamat sendiri. Sebab, sikap apatis dan egois demikian jelas meracuni agama yang benar. Dalam sebuah hadits qudsi dikisahkan Allah memerintahkan agar muslim yang apatis (tidak peduli dengan kaum susah di sekitarnya) dilemparkan ke dalam neraka.


***


KA yang aku tumpangi mogok di Papar Kediri. Tak ada penjelasan apapun, tak ada permintaan maaf. Satu persatu penumpang yang mulai lama didera ketidakpastian itu mengubah nasib mereka sendiri dengan meninggalkan KA rongsokan itu, mau pindah naik bis, termasuk aku. Apakah jika negara ini telah menjadi barang rongsokan yang pengurusnya tak bertanggung jawab pasti tak akan ditinggalkan? Atau, tak bolehkah kita merebut kendalinya untuk menyelamatkannya?


Aku bergurau dengan gaya bahasa kapitalis, “Bayar Rp. 5.500,- kok mau selamat!” Mungkin, hanya karena kami dianggap rakyat jelata yang recehan, maka penguasa KA merasa tak perlu minta maaf atau memberi penjelasan. Berbeda sekali dengan ketika mereka sedikit saja lalai dalam melayani para penumpang eksekutif. Hukum Perlindungan Konsumen ternyata juga tak diberlakukan kepada para konsumen jelata.


Inilah ciri khas negara budak dan penghamba kapitalisme yang berciri liberal, yang secara substansial tidak jauh beda dengan negara tirani monarkhi.


Dalam negara tirani monarkhi yang menjadi tiran adalah sang raja dan para punggawanya. Dalam negara kapitalisme yang menjadi tiran adalah para penguasa kapital yang didukung para anteknya.


Dalam berbagai perjalanan, kita bisa melihat, ada banyak yang dilupakan dari tujuan didirikannya negara ini.


Tanpa eksploitasi kekayaan alam yang melimpah dan mahal, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bisa melenyapkan kemiskinan di negaranya hanya dalam waktu dua tahun, dengan alat ekonomi berupa zakat (ditarik dari penduduk kaya muslim) dan pajak (ditarik dari penduduk kaya nonmuslim). Dalam waktu dua tahun itu ditandai dengan kembalinya zakat kepada pemilik atau pembayarnya.


Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, Raja Jalaluddin Muhammad Akbar (di Hindustan) biasa menyamar menjadi rakyat jelata, berkeliling melihat keadaan rakyatnya, tanpa pasukan pengawal khusus, tak mau ada satupun rakyatnya yang menderita tak bisa makan, tak pernah percaya hanya menerima laporan dari para gubernur maupun para birokrat saja.


Tapi, Indonesia yang terus mengeksploitasi kekayaan alamnya yang mahal-mahal dan melimpah, justru didera oleh masalah ekonomi dan sekitar separoh penduduknya tetap miskin dalam kurun waktu hampir 64 tahun merdeka. Kekayaan alam yang melimpah itu malah menjadi kutukan bagi kita (meminjam Joseph E. Stiglizt dalam Escaping The Resource Curse), karena hanya dilahap para penguasa kapital dan bersekongkol dengan para penguasa negeri ini.

****


Setelah sekitar setengah jam, aku baru bisa naik ke sebuah bis yang sudah penuh. Terpaksa berdiri dalam bis dari Papar Kediri hingga di Tulungagung. Sampai di Tulungagung sudah jam satu siang.


Hanya sekitar setengah jam aku di rumah Tulunagagung. Aku segera Pulang ke Surabaya bersama Ima, naik bis patas. Di dalam bis Ima sedikit rewel, minta diputarkan lagu. Aku putarkan lagu dari telepon selulerku, yang kebetulan muncul lagu “PadaMu Kubersujud.”


Lagu itumengalun, mengalir, menghibur waktu yang penat dan makin melelahkan. Aku tengok Ima....., aku kaget, .... tampak air matanya meleleh di pipinya yang bening. Aku tanya dia, kenapa menangis. Dia tak menjawab, hanya nampak isak tangisnya sesenggukan kian tak terbendung. Matanya yang basah menatapku, tanpa kata, lalu tertunduk.


Aku baru sadar, Ima rupanya sedang menghayati lagu “PadaMu Kubersujud”. Aku peluk anakku itu. Aku matikan saja lagu di HP-ku. Sejenak kemudian dia tertidur lelap di pangkuanku.


Ya Tuhanku, jalan masih akan panjang......

Jumat, 22 Mei 2009

PEMILU DAN KEMERDEKAAN NEGARA

Sejarah yang benderang memberi lampu pengetahuan bahwa penjajahan bangsa Belanda kepada Indonesia diawali oleh VOC, sebuah perusahaan dagang Belanda, yang oleh orang Indonesia dikenal dengan sebutan “kompeni” (company).

Guna meneguhkan kekuasannya di Nusantara maka kompeni menggunakan tentara yang ditempatkan sebagai anjing penjaga modal dan kepentingan kompeni di sini. Maka ada istilah “tentara kompeni.” Hingga selanjutnya kendali penjajahan diambil-alih oleh pemerintah Belanda.
Perjuangan bangsa-bangsa terjajah di seluruh dunia mendapatkan dukungan politik negara-negara penjajah baru semacam Amerika Serikat. Keprihatinan penindasan global setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-dua membuahkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948. Sejak itu, bangsa-bangsa terjajah di dunia satu persatu mulai dapat merdeka secara politik.

Tapi apakah setelah itu dunia bebas dari penjajahan?

David Korten, ekonom Amerika Serikat (AS) melihat gejala baru, bahwa dunia moderen sedang dicengkeram oleh tirani korporasi. Berdirinya lembaga semacam World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF) dan Word Trade Organisation (WTO) dengan ideologi kapitalisme, ternyata berbuah pada penjajahan baru.

John Perkins mengatakan bahwa AS adalah korporatokrasi. Dia bersaksi bahwa ia termasuk ekonom yang dibayar mahal untuk membuat skenario penguasaan ekonomi kepada negara-negara dunia ketiga yang kaya sumber daya alam.

Johan Galtung menyatakan bahwa apabila rencana penguasaan ekonomi negara lain oleh AS secara lembut gagal maka aksi kekerasan militer AS akan dilakukan dengan alasan keamanan nasional (AS) dan internasional. Terbukti dalam kasus Panama dan Irak. Mungkin, itu juga bukan satu-satunya cara.

Statemen Bung Karno terbukti, bahwa kapitalisme kuno membuahkan imperialisme kuno, kapitalisme moderen membuahkan imperialisme moderen. Bung Hatta juga menyatakan, bahwa meskipun kita merdeka secara politik, namun jika secara ekonomi tidak merdeka maka tetap saja terjajah. Maka, kemerdekaan bukan hanya persoalan kebebasan secara politik, tapi juga secara ekonomi dan budaya.

Ada kecenderungan umum, bahwa kekuasaan politik disetir oleh kekuasaan ekonomi. Para penguasa modal menjadi donor para calon penguasa pemerintahan dengan kesepakatan gelap: apabila calon penguasa berhasil menjadi penguasa maka pemerintahan harus membalas budi, memenuhi kehendak sang donor.

Indonesia jelas, hingga hari ini tetap berkiblat pada poros kapitalisme dalam pembangunan ekonominya. Jeratan utang luar negeri selain membayar bunga dan jasa para ahli dari kreditor asing, juga dengan kesediaan membuka modal asing untuk menguasai kekayaan alam vital Indonesia, terutama energi fosil, yang dalam kenyataanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan negara-negara lain di saat Indonesia sendiri mengalami krisis energi. Belum lagi menanggung akibatnya berupa bencana lingkungan hidup di mana-mana.

Imperium ekonomi asing tak hanya dengan bentuk tangan asing, tapi juga dengan persekutuan modal dengan konglomerat dalam negeri Indonesia sendiri, yang juga memperalat kekuatan keamanan dan pertahanan negara dalam negeri.

Putusan Mahkamah Agung AS 2008 menyatakan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Exxon kepada penduduk Aceh yang melibatkan tentara, serta laporan Global White tentang masuknya dana Freeport untuk para pejabat militer di Indonesia, menunjukkan bahwa di era moderen “tentara kompeni” bukan lagi berasal dari asing, tapi dari dalam negeri sendiri.

Hancurnya nasib rakyat korban Lapindo dan pembebanan kepada negara atas risiko usaha Grup Bakrie (Energi Mega Persada qq. Lapindo Brantas Inc) di Blok Brantas adalah salah satu bukti penguasa politik tidak berdaya (tidak merdeka) menghadapi dominasi penguasa kapital (ekonomi) domestik dan asing.

Sungguh tidak masuk akal dalam sebuah negara merdeka sampai ada penelantaran puluhan ribu korban kecelakaan kegiatan usaha migas di Sumur Banjar Panji 1 Sidoarjo selama tiga tahun. Semburan lumpur dibiarkan terus menyembur hanya atas dasar pendapat Lapindo.

Referensi para ahli pemboran permigasan internasional, laporan hasil audit kinerja yang dilakukan negara sendiri (BPK) serta kesimpulan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi Independen yang dibentuk pemerintah sendiri (diketuai DR. Ir. Rudi Rubiandini), dianggap angin kentut.

Semua itu terjadi karena presiden dan struktur pemerintahan yang terlalu lemah, berada dalam penguasaan pemilik kapital. Penguasa kapital ini menjajah tak hanya dari dalam kekuasaan politik, tapi juga masuk secara lembut mengintervensi independensi kekuasaan akademik, hukum, budaya, seni, serta lembaga atau organisasi sosial maupun keagamaan.

Rekomendasi Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR RI yang berada di luar kompetensinya, yaitu menyatakan semburan lumpur Lapindo disebabkan gempa Jogja, adalah fakta abnormal, termasuk indikasi kuat telah dikuasainya kekuasaan politik oleh penguasa kapital. Sepinya suara intelektual dalam menanggapi kasus lumpur Lapindo yang merugikan negara, dan bahkan terlibatnya para intelektual - kampus dan luar kampus - yang menjadi “tim sukses” Lapindo Brantas Inc, menunjukkan pula fakta keterjajahan intelektual di negara ini.

Lalu, manfaat apa yang akan diperoleh rakyat dalam pemilu, termasuk Pemilihan Presiden dan wakilnya (Pilpres) Juli 2009 nanti?

Dengan calon-calon yang itu-itu saja maka rakyat masih hanya akan mengikuti undian politik yang kemungkinan besar masih akan menjadikan negara ini berada dalam ketiak penjajah asing dan domestik.

Partisipasi rakyat dalam pemilu belum akan membawa perubahan, kecuali hanya untuk melanjutkan tradisi demokrasi bohong-bohongan, sebab rakyat hanya dijadikan alat formal suksesi kekuasaan negara. Sedangkan kekuasaan negara de facto ada di tangan para pemilik kapital yang menjadi donor kekuasaan. Di tangan mereka inilah hitam putih negara ditentukan, terutama terkait pembangunan ekonomi.

Kecuali jika terjadi “pengkhianatan positif”, di mana presiden, gubernur, walikota/bupati dan para wakil rakyat terpilih meninggalkan kesepakatan gelap dengan para donornya, untuk benar-benar memihak rakyat, memerdekakan negara. Tapi mereka apa mau rela berkorban menjadi pejuang kemerdekaan negara Indonesia?

Mohon diingat-ingat, tampaknya itu kelak akan terjadi jika telah ada seorang perempuan yang mengeluarkan bau wangi kentut yang keluar dari lubang di punggungnya dan seorang lelaki yang kemaluannya tumbuh di kepalanya.

Minggu, 22 Maret 2009

Penyelesaian Unik Kasus Lapindo


“Kami sadar, bahwa kerugian yang dialami penduduk merupakan hal yang tak terhindari. Ganti rugi yang adil dan berkemanusiaan merupakan langkah utama yang akan kami tempuh, agar masyarakat tidak harus terus-menerus berada dalam keadaan darurat dan hidup dalam kondisi yang tidak normal di pengungsian. Harapan kami, segera tercipta solusi yang baik dan tepat bagi masyarakat.”

Kalimat di atas adalah sebuah paragraf iklan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sehalaman penuh koran harian nasional pada 9 Agustus 2006. Saya menyimpan iklan itu. Pada kalimat terakhir iklan tersebut Lapindo menyatakan: “Dengan tulus dan rendah hati kami sampaikan maaf yang sebesar-besarnya atas musibah yang tidak terduga dan tidak kita inginkan ini, sekaligus memohon doa restu agar dalam waktu secepat-cepatnya kita bisa memberikan solusi yang terbaik bagi masyarakat yang terkena musibah.”

Kalimat iklan tersebut tampaknya seperti iklan para politisi dan partai politik (parpol) yang terbaca indah, membuat kita terharu karenanya. Tapi apakah dalam kenyataannya seindah yang diiklankan itu? Benarkah korban semburan lumpur Lapindo telah mendapatkan ganti rugi yang adil dan berperikemanusiaan seperti yang dijanjikan Lapindo dalam iklannya tersebut?

Hampir tiga tahun kemudian setelah iklan besar itu dipublikasi, ternyata masalah ganti rugi kepada korban Lapindo masih jauh dari tuntas. Bahkan Lapindo sudah mengubah bahasa “ganti rugi” itu dengan bahasa “santunan dan jual-beli”. Lapindo yang tadinya meminta maaf dengan iklan besar itu kini dengan tegas menyatakan: “Lapindo tidak bersalah!”

Dasarnya adalah asumsi beberapa ahli geologi yang menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogja. Meski asumsi itu telah patah dalam forum geologi internasional di Cape Town Afrika Selatan beberapa waktu lalu, tetap saja Lapindo merasa tidak bersalah. Apa Lapindo juga sudah lupa dengan iklan besarnya 9 Agustus 2006 itu?

Baiklah. Bagi korban Lapindo, apakah Lapindo bersalah atau tidak, harapan para korban sekitar 70 ribu orang itu adalah pemenuhan janji Lapindo yang akan memberikan ganti rugi yang adil dan berperikemanusiaan serta tanggung jawab pemerintah untuk mengurusi mereka.

Sebab, korban Lapindo bukanlah kelompok liar dan ilegal dalam negara Indonesia. Korban Lapindo adalah warga negara Indonesia. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Jika Lapindo sulit diharapkan untuk segera mengentaskan para korban dari situasi hidup dengan lingkungan yang tidak sehat maka pemerintah harus tegas mengambil langkah-langkah penyelesaian untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya.

Namun, mengapa justru kenyataannya menjadi sebaliknya, korban Lapindo sebagian besar masih tak jelas nasibnya? Bahkan ada yang masih tinggal di pengungsian. Seolah-olah para korban itu adalah para warga negara asing yang diusir dari negara mereka dan terdampar mengungsi di Porong Sidoarjo. Apakah itu disebabkan ketidakcakapan para pimpinan negara ini dalam menjalankan kewajiban mereka?

Pada mulanya, guna penyelesaian kasus lumpur Lapindo itu Presiden SBY mengeluarkan Keppres No. 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam diktum ke-lima Keppres tersebut dinyatakan: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”

Keppres No. 13 Tahun 2006 itu membebani tanggung jawab penuh kepada Lapindo. Tapi entah, apakah ada angin yang berbisik sesuatu, sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 digantikan dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membatasi tanggung jawab Lapindo, sebagaimana ditentukan pada pasal 15 Perpres itu. Dalam penyelesaian masalah sosialnya pun Lapindo diberikan kotak tanggung jawab terbatas menurut peta wilayah terdampak tanggal 22 Maret 2007. Di luar itu (biayanya) menjadi tanggung jawab pemerintah.

Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan cara pelaksanaan ganti rugi kepada korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007 dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban. Mulanya, kelompok warga korban di pengungsian Pasar Porong baru yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak) menolak pasal 15 Perpres tersebut, didampingi YLBHI mengajukan permohonan uji meteriil ke Mahkamah Agung (MA).

Salah satu alasan permohonan uji materiil tersebut adalah: cara “jual-beli” tanah korban Lapindo yang rata-rata berjenis “hak milik” bertentangan dengan pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Korporasi seperti Lapindo bukan termasuk subyek hukum pemilik hak milik atas tanah, sehingga “jual-beli” tanah hak milik korban dengan Lapindo akan melanggar UUPA.

Dalam putusannya No. 24/P/HUM/2007, MA menolak permohonan uji materiil atas Perpres No. 14 Tahun 2007. MA berpendapat bahwa Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah kebijakan pemerintah yang tidak dapat diuji. Dalam salah satu pertimbangan hukumnya MA juga menyatakan bahwa cara pembayaran “ganti rugi” kepada korban Lapindo dengan cara “jual-beli” tanah dan bangunan milik korban adalah hal yang sifatnya tidak memaksa korban. Artinya, korban boleh saja tidak menjual tanah mereka kepada Lapindo. Tapi Lapindo tetap wajib membeli jika korban menjual kepada Lapindo.

Putusan MA itu memang contra legem, mensyahkan pelanggaran kaidah UUPA. Tetapi apa mau dikata, putusan itu sifatnya final. Maka warga korban Lapindo 100 persen tunduk pada putusan itu. Kalaupun ada beberapa orang korban yang tidak bersedia menjual tanah mereka, maka itu sesuai dengan pertimbangan putusan MA tersebut yang menyatakan bahwa cara jual beli tanah itu tidak memaksa korban Lapindo.

Berbarengan dengan proses sengketa melalui MA itu, kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang merupakan sekitar 90 persen korban Lapindo telah menandatangani perjanjian ikatan jual beli (PIJB) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) yang ditunjuk oleh Lapindo untuk melaksanakan pembelian tanah dan rumah korban.

Dalam proses itu timbul masalah sebab ada banyak korban Lapindo yang kehilangan surat-surat bukti tanah, sehingga Lapindo tidak mau memroses PIJB. Ini tentu aneh, sebab mestinya seluruh tanah yang belum bersertifikat pun terdaftar di Buku Register C Desa / Kelurahan, yang kutipannya bisa dijadikan sebagai alat bukti surat. Aparat pemerintahan yang tidak cakap ternyata mempersulit hajat rakyat.

Masalah itu ditengahi oleh budayawan Emha Ainun Najib dengan cara pengambilan sumpah warga korban Lapindo yang surat tanahnya hilang. Cara ini bisa diterima oleh MLJ dan Lapindo.

Sebenarnya juga ada jalan keluarnya menurut hukum pertanahan berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembuktian hak-hak lama yang alat bukti suratnya tidak ada (misalnya karena hilang) dapat dilakukan dengan surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan, sesuai pasal 39 ayat (1) huruf b jo. pasal 24 ayat (2). Lagi-lagi, aparatur pemerintahan yang tidak cakap, tidak tahu cara memenuhi kewajiban hukumnya untuk melayani rakyat.

Lapindo sebagai anak korporasi Grup Bakrie yang besar itu agaknya juga muskil tak mempunyai ahli hukum pertanahan. Sebab, pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakan adalah para notaris – PPAT yang ditunjuk oleh Lapindo dan MLJ sendiri, bukan oleh pemerintah.

Pernah suatu saat sebelum penandatanganan PIJB warga korban Lapindo berusaha bernegosiasi soal draft PIJB yang dirasa “merugikan” korban Lapindo, terutama berkaitan dengan cara penyelesaian jatuh tempo apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan klausul perjanjian. Tapi usulan warga ditolak Lapindo. Jadi, draft PIJB tersebut murni merupakan perjanjian baku yang disusun para ahli hukum pihak Lapindo atau MLJ.

Perjalanan selanjutnya MLJ mulai rewel. Di tengah jalan MLJ dan Lapindo tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen untuk korban Lapindo yang tanahnya tidak bersertifikat. Bagi tanahnya yang bersertifikat dibayar tapi dengan cara dicicil, dari semula dijanjikan Rp. 30 juta perbulan, diingkari turun menjadi Rp. 15 juta perbulan, diingkari lagi ada yang hanya ditransfer Rp. 3 juta per bulan dan ada yang belum dibayar sama sekali. Tanpa ada kompensasi kerugian keterlambatan pembayaran.

Bagi korban yang tanahnya tidak bersertifikat, MLJ dan Lapindo menawarkankan paksa (harga mati) pola cash and resettlement. Bangunannya dibayar tunai, tapi tanahnya diganti tanah kavling, dengan menghibahkan pembayaran uang muka 20 persen kepada korban. Cara ini tampaknya bagus, tapi ternyata hanya sebagai cara agar Lapindo bisa lebih berhemat.

Tanah pekarangan korban yang semula dalam PIJB dihargai Rp. 1 juta per meter persegi, digantikan dengan tanah kavling bekas sawah yang sudah menangguk untung jika dihargai Rp. 200 ribu per meter persegi. Meski Lapindo menghibahkan pembayaran uang muka 20 persen, tapi akan jauh lebih berhemat dengan cara mengganti tanah (resettlement).

Warga korban yang rata-rata orang kampung itu akan kesulitan hidup di perumahan yang kelas biayanya tentu lebih mahal, apalagi memikirkan soal ketidaktersediaan lapangan kerja. Jika saja sisa uang 80 persen sudah dibayar Lapindo maka warga akan bisa membeli rumah dan sawah, atau membuat usaha kecil kembali, setelah lapangan kerja mereka tenggelam ke dalam danau lumpur itu.

Lapindo menyatakan bahwa tanah-tanah tidak bersertifikat itu tidak dapat dibuatkan akte jual beli (AJB). Sikap Lapindo ini meledak lagi menjadi sengketa. Setelah melalui jalan panjang akhirnya Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008, yang memberikan petunjuk cara jual-beli tanah korban yang bersertifikat dan tidak bersertifikat.

Bahkan sebelumnya sudah ada kesepakatan antara BPLS, BPN, Ketua DPRD Sidoarjo, Perwakilan Korban Lapindo dan pihak Lapindo tanggal 2 Mei 2007 yang isinya juga menyepakati bahwa tanah-tanah korban Lapindo yang belum bersertfikat (petok D, letter C, SK Gogol) diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat.

Dengan adanya pemaksaan skema baru berupa bayar tunai bangunan dan ganti tanah (cash & resettlement) maka warga korban GKLL pecah, terbentuk Gerakan Pendukung Perpres No. 14 Tahun 2007 (GEPPRES) yang tetap menghendaki dilaksanakannya klausul PIJB atas dasar pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Sementara warga korban yang tetap bernama GKLL menyetujui pola cash & resettlement yang sebenarnya juga tidak ada dasar hukumnya.

Tapi seluruh jalan hukum formal berupa Perpres No. 14 tahun 2007 jo. Putusan MA No. 24/P/HUM/2007, Petunjuk Pelaksanaan BPN, Risalah Kesepakatan, bahkan PIJB yang draftnya disusun Lapindo sendiri, semuanya sangat mudah dilanggar dan tidak dipatuhi Lapindo dan MLJ. Warga korban yang tanahnya tidak bersertifikat hanya diberi satu jalan: “Bayar bangunan dan ganti tanah!” Bagi korban yang bersedia ternyata banyak pula yang kecewa karena diingkari atau realisasinya yang tidak seindah konsep yang dijelaskan.

Betapa uniknya gaya penyelesaian masalah sosial kasus Lumpur Lapindo itu, di mana negara bahkan tidak berdaya untuk memaksakan hukumnnya agar dipatuhi. Ada korporasi yang begitu perkasa memaksakan kehendaknya, dengan semaunya sendiri bertingkah mengingkari jalan penyelesaian yang diusulkannya sendiri, dengan dalih mulai dari soal hukum menurut persepsinya sendiri maupun kaitannya dengan alasan kemampuan finansial.

Dalih ekonomi itu pun dilandasi kebohongan pula, dengan mengklaim bahwa Grup Bakrie menanggung sendiri biaya penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawabnya. Padahal dalam Annual Reportnya tahun 2007, Santos melaporkan pula telah mengeluarkan dana untuk kasus lumpur Lapindo itu, sebab Santos Brantas dahulu pemegang 18 persen participating interest (PI) di Blok Brantas yang dikontraktori Lapindo itu.

Medco yang dahulu selaku pemegang 32 persen juga telah mengeluarkan dana untuk itu. Maka, logika hukumnya, sesuai kontrak PI tersebut, Lapindo hanya membayar 50 persen atas biaya pemenuhan tanggung jawab yang dibatasi dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu.

Jika ada skenario di luar itu, misalnya Lapindo harus menanggung beban kewajiban lebih besar dari Santos dan Medco maka tentu ada alasan yang mendasarinya, terutama terkait gugatan Medco kepada Lapindo melalui arbitrase internasional di Amerika Serikat yang membuahkan kesepakatan damai. Gugatan itu terkait dengan kesengajaan Lapindo tidak memasang casing di kedalaman akhir dalam eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo yang menjadi sebab ketidakamanan proses pemboran sehingga menimbulkan masalah semburan lumpur Lapindo tersebut.

Di luar itu ada masalah yang besar tapi tak diangkat ke permukaan. Pada 5 Mei 2008 Gubernur Jawa Timur Imam Utomo mengirim surat kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Dewan Pengarah BPLS dengan tembusan Menkokesra, Wakil Ketua BPLS dan para anggota Dewan Pengarah BPLS. Surat bernomor 545/8736/022/2008 itu bersifat amat penting dan rahasia menyakut hasil Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP) yang bekerja sampai dengan tanggal 24 April 2008.

Hasil kajian TKKP itu menunjukkan keadaan berbahaya, dengan contoh kandungan gas hidrokarbon di wilayah Desa Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi telah mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batasnya hanya 0,24 ppm. Artinya, kondisi demikian tak layak dihuni manusia jika tak ingin penyakitan dan lama-lama mati. TKK melaporkan bahwa kelayakan hunian rumah penduduk di wilayah itu telah mencapai derajat tidak layak huni yang sangat parah. TKKP juga menyatakan akan melakukan kajian ke enam desa lainnya.

Tapi surat Gubernur Jawa Timur itu tidak direspon oleh pemerintah pusat, hingga sekarang. Maka pantas jika kemudian Komnas HAM mengarahkan penyelidikan kasus lumpur Lapindo itu pada pelanggaran HAM berat sebab dampak yang ditimbulkan sudah sangat luas, dengan bentuk pelanggaran HAM secara pembiaran secara sengaja (omission).

Ada hak-hak yang diabaikan lainnya menyangkut kerugian imateriil sosial berupa kerusakan ekologis, penderitaan psikologis berkepanjangan, anak-anak menjadi terlantar terganggu sekolahnya dengan tenggelamnya 33 sekolah, dengan belum tuntasnya penyelesaian masalah sosial.

Kita tidak bisa menyalahkan para korban selaku rakyat kecil yang rentan dengan masalah sosial, sebab mereka tidak menduga bakal tertimpa musibah besar itu. Menyalahkan korban adalah sikap tidak bijaksana, sebab apa yang mereka alami adalah akibat dari konspirasi pelanggaran hak atas keselamatan hidup mereka, di mana pemerintah pusat dan daerah, yang telah mengizinkan pertambangan migas di wilayah padat penduduk dengan melanggar berbagai aturan tentang tata ruang dan jarak pemboran migas dengan infrastruktur.

Hanya aparatur pemerintah yang pintar yang menjadikan pengalaman dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu sebagai bahan melakukan penghentian dan pencegahan kegiatan pertambangan migas di wilayah padat penduduk.

Rakyat kecil korban butuh dukungan semua pihak. Mereka bisa kembali meraih kebahagiaan dan selamat di masa depan dengan dukungan itu. Selama ini justru warga korban dituduh macam-macam: Mereka dituduh sengaja menjebol tanggul, dikatakan sudah makmur dengan menerima pembayaran 20 persen, terlalu rewel menuntut, suka hura-hura dengan uang dari Lapindo dan sebagainya.

Tuduhan-tuduhan itu muncul dari hembus angin yang sumbernya tidak jelas bergentayangan di mana-mana, termasuk di milis-milis internet, oleh orang-orang yang tidak secara langsung melihat kondisi di tempat kejadian masalah. Para penuduh yang menyalahkan korban itu tak mampu mengurai di mana akar persoalannya dan bagaimana cara menyelesaikan masalah.

Memang ada juga beberapa gelintir warga korban yang sejak semula adalah tuan tanah yang tetap kaya. Ada pula beberapa yang biasa hidup foya-foya. Tapi mereka ini tidak dapat menjadi representasi untuk menggambarkan kondisi umumnya warga korban lumpur Lapindo.

Orang mungkin tidak tahu bahwa satu berkas tanah yang diperjual-belikan Lapindo adalah tanah pusaka peninggalan nenek moyang yang diwarisi oleh tiga hingga belasan keluarga. Dari sekitar 70 ribu korban Lapindo hanya ada sekitar 25 ribu yang mempunyai aset.

Warga korban Lapindo pada umumnya adalah masyarakat desa dan kampung (kelurahan) yang hidup sederhana dan tidak kaya. Kini mereka bukan hanya kehilangan tanah dan rumah tempat mereka hidup menjalani hidup. Mereka telah terusir, kehilangan pekerjaan, tercerai-berai dari keluarga.

Ketika masyarakat di luar korban Lapindo sudah patah dukungan, hampir-hampir melupakan mereka, maka seharusnya pemerintah selaku pengurus negara wajib bertindak lugas dan tidak ragu-ragu. Dibutuhkan keberpihakan dalam konsep keadilan sosial, yaitu berpihak kepada korban yang sudah lemah. Pernyataan berupa saran politis para poltisi agar korban memahami kondisi Lapindo adalah basa-basi politik oportunis yang menjadi penyakit dalam upaya membenahi kondisi sosial yang rusak berat.

Hukum mengenal sebuah kondisi yang disebut sebagai misbruik van omstandigheden, di mana ada kecenderungan yang kuat menyalahgunakan keadaan pihak yang posisi sosialnya lebih lemah. Pelaku penggembosan uang negara (dana BLBI) Rp. 625 Triliun bukanlah para petani miskin, buruh, dan rakyat kecil lainnya, tapi para pengusaha besar. Para perusak lingkungan yang berat yang menghancurkan nasib sosial bukanlah rakyat kecil, tapi para pengusaha pertambangan dan pengelolaan hutan serta korporasi perumahan yang produknya dibeli oleh kaum berduit.

Dalam konteks sosial seperti itu mestinya justru yang kuat harus ditekan untuk memenuhi kewajibannya kepada yang lemah, bukan malah menyuruh yang lemah memahami keadaan yang kuat. Maka muncullah Hukum Perlindungan Konsumen, bukan Hukum Perlindungan Produsen, muncul Hukum Ketenagakerjaan dan bukan Hukum Kepengusahaan. Mucul pula Hukum Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat guna melindungi yang lebih lemah.

Para politisi negara ini tidak mampu berpikir filosofis sehingga tak mampu menjadi negarawan. Levelnya baru politisi. Menyuruh korban Lapindo untuk mau memahami kondisi keuangan Grup Bakrie yang kaya raya adalah cara berpikir bodoh dan hanya dilakukan oleh para penjilat kekayaan para penindas. Otak yang demikian sudah waktunya ditaruh di dalam bak untuk kemudian dicuci bersih dari kotoran.

Penyelesaian masalah-masalah lumpur Lapindo yang seharusnya dilakukan adalah:

1.Pemerintah mengambil-alih penyelesaian menyeluruh masalah itu (sosial, lingkungan hidup, rehabilitasi atau pengalihan infrastruktur dan lain-lain) dengan beban tanggung jawab Grup Bakrie berdasarkan doktrin hukum The Piercing Corporate veil, di mana induk korporasi bertanggung jawab atas anak-anak korprasi di bawahnya. Jika Grup Bakrie menolak maka dipailitkan demi kepentingan umum.

2.Pemerintah mengorganisasi kembali para ahli untuk berupaya kembali menghentikan semburan Lumpur Lapindo sebagaimana pernah direkomendasikan para ahli permigasan terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Drilling Engineer Club (DEC) yang telah berpengalaman dalam upaya penghentian semburan Lumpur akibat pemboran di seluruh Indonesia dan luar negeri. Hal ini juga terkait laporan audit kinerja penanganan semburan lumpur Lapindo yang dilaporkan BPK tanggal 29 Mei 2007 menjelaskan bahwa gagalnya upaya semburan lumpur Lapindo (untuk snubbing unit dan relief well) karena faktor nonteknis, yaitu keterlambatan dan ketidaktersediaan peralatan yang berpacu dengan volume luapan lumpur Lapindo. Artinya, upaya penghentian semburan dengan snubbing dan relief well masih belum sungguh-sungguh, tidak merupakan kegagalan teknis.

Surabaya, 22 Maret 2009