Minggu, 22 Maret 2009

Penyelesaian Unik Kasus Lapindo


“Kami sadar, bahwa kerugian yang dialami penduduk merupakan hal yang tak terhindari. Ganti rugi yang adil dan berkemanusiaan merupakan langkah utama yang akan kami tempuh, agar masyarakat tidak harus terus-menerus berada dalam keadaan darurat dan hidup dalam kondisi yang tidak normal di pengungsian. Harapan kami, segera tercipta solusi yang baik dan tepat bagi masyarakat.”

Kalimat di atas adalah sebuah paragraf iklan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sehalaman penuh koran harian nasional pada 9 Agustus 2006. Saya menyimpan iklan itu. Pada kalimat terakhir iklan tersebut Lapindo menyatakan: “Dengan tulus dan rendah hati kami sampaikan maaf yang sebesar-besarnya atas musibah yang tidak terduga dan tidak kita inginkan ini, sekaligus memohon doa restu agar dalam waktu secepat-cepatnya kita bisa memberikan solusi yang terbaik bagi masyarakat yang terkena musibah.”

Kalimat iklan tersebut tampaknya seperti iklan para politisi dan partai politik (parpol) yang terbaca indah, membuat kita terharu karenanya. Tapi apakah dalam kenyataannya seindah yang diiklankan itu? Benarkah korban semburan lumpur Lapindo telah mendapatkan ganti rugi yang adil dan berperikemanusiaan seperti yang dijanjikan Lapindo dalam iklannya tersebut?

Hampir tiga tahun kemudian setelah iklan besar itu dipublikasi, ternyata masalah ganti rugi kepada korban Lapindo masih jauh dari tuntas. Bahkan Lapindo sudah mengubah bahasa “ganti rugi” itu dengan bahasa “santunan dan jual-beli”. Lapindo yang tadinya meminta maaf dengan iklan besar itu kini dengan tegas menyatakan: “Lapindo tidak bersalah!”

Dasarnya adalah asumsi beberapa ahli geologi yang menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogja. Meski asumsi itu telah patah dalam forum geologi internasional di Cape Town Afrika Selatan beberapa waktu lalu, tetap saja Lapindo merasa tidak bersalah. Apa Lapindo juga sudah lupa dengan iklan besarnya 9 Agustus 2006 itu?

Baiklah. Bagi korban Lapindo, apakah Lapindo bersalah atau tidak, harapan para korban sekitar 70 ribu orang itu adalah pemenuhan janji Lapindo yang akan memberikan ganti rugi yang adil dan berperikemanusiaan serta tanggung jawab pemerintah untuk mengurusi mereka.

Sebab, korban Lapindo bukanlah kelompok liar dan ilegal dalam negara Indonesia. Korban Lapindo adalah warga negara Indonesia. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Jika Lapindo sulit diharapkan untuk segera mengentaskan para korban dari situasi hidup dengan lingkungan yang tidak sehat maka pemerintah harus tegas mengambil langkah-langkah penyelesaian untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya.

Namun, mengapa justru kenyataannya menjadi sebaliknya, korban Lapindo sebagian besar masih tak jelas nasibnya? Bahkan ada yang masih tinggal di pengungsian. Seolah-olah para korban itu adalah para warga negara asing yang diusir dari negara mereka dan terdampar mengungsi di Porong Sidoarjo. Apakah itu disebabkan ketidakcakapan para pimpinan negara ini dalam menjalankan kewajiban mereka?

Pada mulanya, guna penyelesaian kasus lumpur Lapindo itu Presiden SBY mengeluarkan Keppres No. 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam diktum ke-lima Keppres tersebut dinyatakan: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”

Keppres No. 13 Tahun 2006 itu membebani tanggung jawab penuh kepada Lapindo. Tapi entah, apakah ada angin yang berbisik sesuatu, sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 digantikan dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membatasi tanggung jawab Lapindo, sebagaimana ditentukan pada pasal 15 Perpres itu. Dalam penyelesaian masalah sosialnya pun Lapindo diberikan kotak tanggung jawab terbatas menurut peta wilayah terdampak tanggal 22 Maret 2007. Di luar itu (biayanya) menjadi tanggung jawab pemerintah.

Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan cara pelaksanaan ganti rugi kepada korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007 dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban. Mulanya, kelompok warga korban di pengungsian Pasar Porong baru yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak) menolak pasal 15 Perpres tersebut, didampingi YLBHI mengajukan permohonan uji meteriil ke Mahkamah Agung (MA).

Salah satu alasan permohonan uji materiil tersebut adalah: cara “jual-beli” tanah korban Lapindo yang rata-rata berjenis “hak milik” bertentangan dengan pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Korporasi seperti Lapindo bukan termasuk subyek hukum pemilik hak milik atas tanah, sehingga “jual-beli” tanah hak milik korban dengan Lapindo akan melanggar UUPA.

Dalam putusannya No. 24/P/HUM/2007, MA menolak permohonan uji materiil atas Perpres No. 14 Tahun 2007. MA berpendapat bahwa Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah kebijakan pemerintah yang tidak dapat diuji. Dalam salah satu pertimbangan hukumnya MA juga menyatakan bahwa cara pembayaran “ganti rugi” kepada korban Lapindo dengan cara “jual-beli” tanah dan bangunan milik korban adalah hal yang sifatnya tidak memaksa korban. Artinya, korban boleh saja tidak menjual tanah mereka kepada Lapindo. Tapi Lapindo tetap wajib membeli jika korban menjual kepada Lapindo.

Putusan MA itu memang contra legem, mensyahkan pelanggaran kaidah UUPA. Tetapi apa mau dikata, putusan itu sifatnya final. Maka warga korban Lapindo 100 persen tunduk pada putusan itu. Kalaupun ada beberapa orang korban yang tidak bersedia menjual tanah mereka, maka itu sesuai dengan pertimbangan putusan MA tersebut yang menyatakan bahwa cara jual beli tanah itu tidak memaksa korban Lapindo.

Berbarengan dengan proses sengketa melalui MA itu, kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang merupakan sekitar 90 persen korban Lapindo telah menandatangani perjanjian ikatan jual beli (PIJB) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) yang ditunjuk oleh Lapindo untuk melaksanakan pembelian tanah dan rumah korban.

Dalam proses itu timbul masalah sebab ada banyak korban Lapindo yang kehilangan surat-surat bukti tanah, sehingga Lapindo tidak mau memroses PIJB. Ini tentu aneh, sebab mestinya seluruh tanah yang belum bersertifikat pun terdaftar di Buku Register C Desa / Kelurahan, yang kutipannya bisa dijadikan sebagai alat bukti surat. Aparat pemerintahan yang tidak cakap ternyata mempersulit hajat rakyat.

Masalah itu ditengahi oleh budayawan Emha Ainun Najib dengan cara pengambilan sumpah warga korban Lapindo yang surat tanahnya hilang. Cara ini bisa diterima oleh MLJ dan Lapindo.

Sebenarnya juga ada jalan keluarnya menurut hukum pertanahan berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembuktian hak-hak lama yang alat bukti suratnya tidak ada (misalnya karena hilang) dapat dilakukan dengan surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan, sesuai pasal 39 ayat (1) huruf b jo. pasal 24 ayat (2). Lagi-lagi, aparatur pemerintahan yang tidak cakap, tidak tahu cara memenuhi kewajiban hukumnya untuk melayani rakyat.

Lapindo sebagai anak korporasi Grup Bakrie yang besar itu agaknya juga muskil tak mempunyai ahli hukum pertanahan. Sebab, pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakan adalah para notaris – PPAT yang ditunjuk oleh Lapindo dan MLJ sendiri, bukan oleh pemerintah.

Pernah suatu saat sebelum penandatanganan PIJB warga korban Lapindo berusaha bernegosiasi soal draft PIJB yang dirasa “merugikan” korban Lapindo, terutama berkaitan dengan cara penyelesaian jatuh tempo apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan klausul perjanjian. Tapi usulan warga ditolak Lapindo. Jadi, draft PIJB tersebut murni merupakan perjanjian baku yang disusun para ahli hukum pihak Lapindo atau MLJ.

Perjalanan selanjutnya MLJ mulai rewel. Di tengah jalan MLJ dan Lapindo tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen untuk korban Lapindo yang tanahnya tidak bersertifikat. Bagi tanahnya yang bersertifikat dibayar tapi dengan cara dicicil, dari semula dijanjikan Rp. 30 juta perbulan, diingkari turun menjadi Rp. 15 juta perbulan, diingkari lagi ada yang hanya ditransfer Rp. 3 juta per bulan dan ada yang belum dibayar sama sekali. Tanpa ada kompensasi kerugian keterlambatan pembayaran.

Bagi korban yang tanahnya tidak bersertifikat, MLJ dan Lapindo menawarkankan paksa (harga mati) pola cash and resettlement. Bangunannya dibayar tunai, tapi tanahnya diganti tanah kavling, dengan menghibahkan pembayaran uang muka 20 persen kepada korban. Cara ini tampaknya bagus, tapi ternyata hanya sebagai cara agar Lapindo bisa lebih berhemat.

Tanah pekarangan korban yang semula dalam PIJB dihargai Rp. 1 juta per meter persegi, digantikan dengan tanah kavling bekas sawah yang sudah menangguk untung jika dihargai Rp. 200 ribu per meter persegi. Meski Lapindo menghibahkan pembayaran uang muka 20 persen, tapi akan jauh lebih berhemat dengan cara mengganti tanah (resettlement).

Warga korban yang rata-rata orang kampung itu akan kesulitan hidup di perumahan yang kelas biayanya tentu lebih mahal, apalagi memikirkan soal ketidaktersediaan lapangan kerja. Jika saja sisa uang 80 persen sudah dibayar Lapindo maka warga akan bisa membeli rumah dan sawah, atau membuat usaha kecil kembali, setelah lapangan kerja mereka tenggelam ke dalam danau lumpur itu.

Lapindo menyatakan bahwa tanah-tanah tidak bersertifikat itu tidak dapat dibuatkan akte jual beli (AJB). Sikap Lapindo ini meledak lagi menjadi sengketa. Setelah melalui jalan panjang akhirnya Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008, yang memberikan petunjuk cara jual-beli tanah korban yang bersertifikat dan tidak bersertifikat.

Bahkan sebelumnya sudah ada kesepakatan antara BPLS, BPN, Ketua DPRD Sidoarjo, Perwakilan Korban Lapindo dan pihak Lapindo tanggal 2 Mei 2007 yang isinya juga menyepakati bahwa tanah-tanah korban Lapindo yang belum bersertfikat (petok D, letter C, SK Gogol) diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat.

Dengan adanya pemaksaan skema baru berupa bayar tunai bangunan dan ganti tanah (cash & resettlement) maka warga korban GKLL pecah, terbentuk Gerakan Pendukung Perpres No. 14 Tahun 2007 (GEPPRES) yang tetap menghendaki dilaksanakannya klausul PIJB atas dasar pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Sementara warga korban yang tetap bernama GKLL menyetujui pola cash & resettlement yang sebenarnya juga tidak ada dasar hukumnya.

Tapi seluruh jalan hukum formal berupa Perpres No. 14 tahun 2007 jo. Putusan MA No. 24/P/HUM/2007, Petunjuk Pelaksanaan BPN, Risalah Kesepakatan, bahkan PIJB yang draftnya disusun Lapindo sendiri, semuanya sangat mudah dilanggar dan tidak dipatuhi Lapindo dan MLJ. Warga korban yang tanahnya tidak bersertifikat hanya diberi satu jalan: “Bayar bangunan dan ganti tanah!” Bagi korban yang bersedia ternyata banyak pula yang kecewa karena diingkari atau realisasinya yang tidak seindah konsep yang dijelaskan.

Betapa uniknya gaya penyelesaian masalah sosial kasus Lumpur Lapindo itu, di mana negara bahkan tidak berdaya untuk memaksakan hukumnnya agar dipatuhi. Ada korporasi yang begitu perkasa memaksakan kehendaknya, dengan semaunya sendiri bertingkah mengingkari jalan penyelesaian yang diusulkannya sendiri, dengan dalih mulai dari soal hukum menurut persepsinya sendiri maupun kaitannya dengan alasan kemampuan finansial.

Dalih ekonomi itu pun dilandasi kebohongan pula, dengan mengklaim bahwa Grup Bakrie menanggung sendiri biaya penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawabnya. Padahal dalam Annual Reportnya tahun 2007, Santos melaporkan pula telah mengeluarkan dana untuk kasus lumpur Lapindo itu, sebab Santos Brantas dahulu pemegang 18 persen participating interest (PI) di Blok Brantas yang dikontraktori Lapindo itu.

Medco yang dahulu selaku pemegang 32 persen juga telah mengeluarkan dana untuk itu. Maka, logika hukumnya, sesuai kontrak PI tersebut, Lapindo hanya membayar 50 persen atas biaya pemenuhan tanggung jawab yang dibatasi dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu.

Jika ada skenario di luar itu, misalnya Lapindo harus menanggung beban kewajiban lebih besar dari Santos dan Medco maka tentu ada alasan yang mendasarinya, terutama terkait gugatan Medco kepada Lapindo melalui arbitrase internasional di Amerika Serikat yang membuahkan kesepakatan damai. Gugatan itu terkait dengan kesengajaan Lapindo tidak memasang casing di kedalaman akhir dalam eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo yang menjadi sebab ketidakamanan proses pemboran sehingga menimbulkan masalah semburan lumpur Lapindo tersebut.

Di luar itu ada masalah yang besar tapi tak diangkat ke permukaan. Pada 5 Mei 2008 Gubernur Jawa Timur Imam Utomo mengirim surat kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Dewan Pengarah BPLS dengan tembusan Menkokesra, Wakil Ketua BPLS dan para anggota Dewan Pengarah BPLS. Surat bernomor 545/8736/022/2008 itu bersifat amat penting dan rahasia menyakut hasil Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP) yang bekerja sampai dengan tanggal 24 April 2008.

Hasil kajian TKKP itu menunjukkan keadaan berbahaya, dengan contoh kandungan gas hidrokarbon di wilayah Desa Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi telah mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batasnya hanya 0,24 ppm. Artinya, kondisi demikian tak layak dihuni manusia jika tak ingin penyakitan dan lama-lama mati. TKK melaporkan bahwa kelayakan hunian rumah penduduk di wilayah itu telah mencapai derajat tidak layak huni yang sangat parah. TKKP juga menyatakan akan melakukan kajian ke enam desa lainnya.

Tapi surat Gubernur Jawa Timur itu tidak direspon oleh pemerintah pusat, hingga sekarang. Maka pantas jika kemudian Komnas HAM mengarahkan penyelidikan kasus lumpur Lapindo itu pada pelanggaran HAM berat sebab dampak yang ditimbulkan sudah sangat luas, dengan bentuk pelanggaran HAM secara pembiaran secara sengaja (omission).

Ada hak-hak yang diabaikan lainnya menyangkut kerugian imateriil sosial berupa kerusakan ekologis, penderitaan psikologis berkepanjangan, anak-anak menjadi terlantar terganggu sekolahnya dengan tenggelamnya 33 sekolah, dengan belum tuntasnya penyelesaian masalah sosial.

Kita tidak bisa menyalahkan para korban selaku rakyat kecil yang rentan dengan masalah sosial, sebab mereka tidak menduga bakal tertimpa musibah besar itu. Menyalahkan korban adalah sikap tidak bijaksana, sebab apa yang mereka alami adalah akibat dari konspirasi pelanggaran hak atas keselamatan hidup mereka, di mana pemerintah pusat dan daerah, yang telah mengizinkan pertambangan migas di wilayah padat penduduk dengan melanggar berbagai aturan tentang tata ruang dan jarak pemboran migas dengan infrastruktur.

Hanya aparatur pemerintah yang pintar yang menjadikan pengalaman dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu sebagai bahan melakukan penghentian dan pencegahan kegiatan pertambangan migas di wilayah padat penduduk.

Rakyat kecil korban butuh dukungan semua pihak. Mereka bisa kembali meraih kebahagiaan dan selamat di masa depan dengan dukungan itu. Selama ini justru warga korban dituduh macam-macam: Mereka dituduh sengaja menjebol tanggul, dikatakan sudah makmur dengan menerima pembayaran 20 persen, terlalu rewel menuntut, suka hura-hura dengan uang dari Lapindo dan sebagainya.

Tuduhan-tuduhan itu muncul dari hembus angin yang sumbernya tidak jelas bergentayangan di mana-mana, termasuk di milis-milis internet, oleh orang-orang yang tidak secara langsung melihat kondisi di tempat kejadian masalah. Para penuduh yang menyalahkan korban itu tak mampu mengurai di mana akar persoalannya dan bagaimana cara menyelesaikan masalah.

Memang ada juga beberapa gelintir warga korban yang sejak semula adalah tuan tanah yang tetap kaya. Ada pula beberapa yang biasa hidup foya-foya. Tapi mereka ini tidak dapat menjadi representasi untuk menggambarkan kondisi umumnya warga korban lumpur Lapindo.

Orang mungkin tidak tahu bahwa satu berkas tanah yang diperjual-belikan Lapindo adalah tanah pusaka peninggalan nenek moyang yang diwarisi oleh tiga hingga belasan keluarga. Dari sekitar 70 ribu korban Lapindo hanya ada sekitar 25 ribu yang mempunyai aset.

Warga korban Lapindo pada umumnya adalah masyarakat desa dan kampung (kelurahan) yang hidup sederhana dan tidak kaya. Kini mereka bukan hanya kehilangan tanah dan rumah tempat mereka hidup menjalani hidup. Mereka telah terusir, kehilangan pekerjaan, tercerai-berai dari keluarga.

Ketika masyarakat di luar korban Lapindo sudah patah dukungan, hampir-hampir melupakan mereka, maka seharusnya pemerintah selaku pengurus negara wajib bertindak lugas dan tidak ragu-ragu. Dibutuhkan keberpihakan dalam konsep keadilan sosial, yaitu berpihak kepada korban yang sudah lemah. Pernyataan berupa saran politis para poltisi agar korban memahami kondisi Lapindo adalah basa-basi politik oportunis yang menjadi penyakit dalam upaya membenahi kondisi sosial yang rusak berat.

Hukum mengenal sebuah kondisi yang disebut sebagai misbruik van omstandigheden, di mana ada kecenderungan yang kuat menyalahgunakan keadaan pihak yang posisi sosialnya lebih lemah. Pelaku penggembosan uang negara (dana BLBI) Rp. 625 Triliun bukanlah para petani miskin, buruh, dan rakyat kecil lainnya, tapi para pengusaha besar. Para perusak lingkungan yang berat yang menghancurkan nasib sosial bukanlah rakyat kecil, tapi para pengusaha pertambangan dan pengelolaan hutan serta korporasi perumahan yang produknya dibeli oleh kaum berduit.

Dalam konteks sosial seperti itu mestinya justru yang kuat harus ditekan untuk memenuhi kewajibannya kepada yang lemah, bukan malah menyuruh yang lemah memahami keadaan yang kuat. Maka muncullah Hukum Perlindungan Konsumen, bukan Hukum Perlindungan Produsen, muncul Hukum Ketenagakerjaan dan bukan Hukum Kepengusahaan. Mucul pula Hukum Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat guna melindungi yang lebih lemah.

Para politisi negara ini tidak mampu berpikir filosofis sehingga tak mampu menjadi negarawan. Levelnya baru politisi. Menyuruh korban Lapindo untuk mau memahami kondisi keuangan Grup Bakrie yang kaya raya adalah cara berpikir bodoh dan hanya dilakukan oleh para penjilat kekayaan para penindas. Otak yang demikian sudah waktunya ditaruh di dalam bak untuk kemudian dicuci bersih dari kotoran.

Penyelesaian masalah-masalah lumpur Lapindo yang seharusnya dilakukan adalah:

1.Pemerintah mengambil-alih penyelesaian menyeluruh masalah itu (sosial, lingkungan hidup, rehabilitasi atau pengalihan infrastruktur dan lain-lain) dengan beban tanggung jawab Grup Bakrie berdasarkan doktrin hukum The Piercing Corporate veil, di mana induk korporasi bertanggung jawab atas anak-anak korprasi di bawahnya. Jika Grup Bakrie menolak maka dipailitkan demi kepentingan umum.

2.Pemerintah mengorganisasi kembali para ahli untuk berupaya kembali menghentikan semburan Lumpur Lapindo sebagaimana pernah direkomendasikan para ahli permigasan terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Drilling Engineer Club (DEC) yang telah berpengalaman dalam upaya penghentian semburan Lumpur akibat pemboran di seluruh Indonesia dan luar negeri. Hal ini juga terkait laporan audit kinerja penanganan semburan lumpur Lapindo yang dilaporkan BPK tanggal 29 Mei 2007 menjelaskan bahwa gagalnya upaya semburan lumpur Lapindo (untuk snubbing unit dan relief well) karena faktor nonteknis, yaitu keterlambatan dan ketidaktersediaan peralatan yang berpacu dengan volume luapan lumpur Lapindo. Artinya, upaya penghentian semburan dengan snubbing dan relief well masih belum sungguh-sungguh, tidak merupakan kegagalan teknis.

Surabaya, 22 Maret 2009

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap. Sayangnya moral sebagian hakim negara ini terlampau jauh terpuruk sesat dalam kebejatan.
Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675