Sumber foto: Kompas
Pengalaman
mengikuti riwayat politik di negara ini, sejak dilaksanakannya pemilihan
presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat tahun 2004
hingga sekarang ini. Kali ini keadaannya paling memuakkan. Paling jorok. Banyak tukang fitnah teriak fitnah.
Coba
lihat sikap rezim ini kepada kaum golput (orang yang tidak mempergunakan hak
pilihnya). Kaum golput inilah termasuk yang menjadi sasaran propaganda-propaganda
yang berupa informasi dan opini palsu itu.
Presiden
Jokowi mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela
Negara 2018 – 2019. Lucunya, Inpres ini baru dikeluarkan tanggal 18 September
2018. Padahal judulnya “Rencana Aksi Bela Negara 2018 – 2019.” Tahun 2018 sudah
mau habis saat Inpres itu dikeluarkan. Saya menduga itu ada kaitannya dengan
kepentingan Pilpres 2019. Tapi alangkah brengseknya seandainya instrumen
kekuasaan negara dipakai untuk kepentingan politik golongan. Harusnya golongan
itu mengabdi kepada kepentingan negara, bukan instrumen politik negara dipakai untuk
kepentingan golongan. Mau bilang itu Pancasilais?
Saya
tidak tahu apa pertimbangan rezim ini, saat Presiden mengeluarkan Inpres No. 7
Tahun 2018 ketika Inpres tersebut menganggap golput itu sebagai “ancaman faktual.”
Rezim Jokowi mengambil langkah bahwa pemerintahannya harus melakukan
usaha-usaha agar partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih meningkat. Tapi
nadanya “antigolput.” Seolah tidak paham bahwa golput itu hak politik, bukan
aib bukan cela.
Sosialisasi
gerakan anti golput dilakukan melalui media sosial, seminar, iklan layanan
masyarakat, ceramah, dialog interaktif/diskusi. Penanggung jawab upaya-upaya
itu adalah Sekjen Dewan Ketahanan Nasional dan Menkopolhukam. Instansi yang
terkait adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Kominfo, Kementerian Agama, Kemenristekdikti dan Pemerintah Daerah. Demikian
yang tertulis dalam Inpres tersebut.
Di
media sosial facebook, saya mengamati memang para pendukung Jokowi gigih dalam
mengolok-olok umat golput. Dituduhnya umat golput itu sebagai kaum putus asa
yang tidak peduli dengan masa depan negara. Sekali waktu kaum golput itu
dituduh sebagai “orang bayaran” yang sebenarnya pendukung Prabowo. Alamak….sampai
segitunya?
Entah
kebetulan atau tidak, muncul pula tulisan opini Romo Franz Magnis Suseno di Koran
Kompas yang mengolok orang golput sebagai orang bodoh, jiwanya tidak stabil,
benalu. Kok nyambung dengan Inpres No. 7 Tahun 2018 tersebut? Memang ada
konektornya, ataukah memang Sang Profesor Filsafat itu sejiwa dengan Inpres
tersebut? Biarlah hanya kipas angin yang tahu.
Kaum
golput ini memang menjadi sasaran propaganda. Ada banyak pendukung Jokowi yang
membuat hayalan, termasuk ada kyai serta doktor. Katanya, Pilpres 2019 adalah
pertarungan antara kelompok kebenaran / Pancasila melawan kelompok radikal.
Jika Jokowi tidak memang maka Indonesia berada di dalam bahaya. Indonesia akan
menjadi Suriah.
Propaganda
murahan dan palsu itu pernah dipakai oleh para pendukung Ahok dalam pemilihan
gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) Jakarta di waktu yang lalu itu. Katanya,
jika Ahok kalah maka Indonesia akan menjadi Suriah. Ahok juga pernah kalah
dalam Pilgub Bangka-Belitung 2007, dan Bangka Belitung tidak menjadi Suriah
gara-gara Gus Dur yang kampanye untuk Ahok pada waktu itu tidak berhasil
membuat Ahok menang. Jakarta sebagai ibukota negara dan Indonesia sebagai
negara, sekarang juga tidak menjadi Suriah. Malah banyak orang korupsi dan gendakan
secara bebas di Jakarta, sama seperti dulu-dulu.
Orang-orang
yang membuat propaganda palsu dan murahan itu sebenarnya patut dikasihani.
Mereka tidak akan pernah membuat kaum golput menjadi percaya dan bodoh dengan
membaca propaganda-propaganda palsu itu. Kasihan mereka buang-buang emosi dan
karangan. Kecuali bagi yang diberikan honor untuk tugas itu ya jadilah itu
matapencaharian insidentil. Kan, The Guardian sudah pernah memberitakan hasil
investigasinya tentang berapa-berapa duit penghasilan para buzzer politik itu.
Itu pekerjaan apa? Kalau cari duit dengan menyebar propaganda dan informasi
palsu-palsu ya itu duit nista. Lebih buruk dibandingkan duit germo gigolo yang
tidak membuat usaha-usaha agar masyarakat
menjadi bodoh dan tersesat. Maha jorok para buzzer dengan segala kebohongannya itulah
yang merupakan bahaya bagi negara, memecah-belah emosi persatuan rakyat. Segera
tobatlah kalian! Jauh lebih terhormat para buruh pekerja bangunan jalan tol
yang hasil kerja kerasnya diklaim sebagai “prestasi Jokowi!”
Bahwa
Pilpres ini tak lain dan tak bukan hanyalah persaingan untuk memperoleh
kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ideologi dan karakternya sama:
yakni para pemburu kekuasaan, yang dahulu kawan, sekarang jadi lawan dan
kapan-kapan akan menjadi kawan lagi.
Jika
kubu Jokowi menuduh bahwa kubu Prabowo merupakan kubu kaum radikal atau
ekstrimis yang harus dilawan, mengapa Jokowi tidak mengeluarkan Perppu untuk
membubarkan Partai Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat yang mengusung Prabowo –
Sandi? Kan mereka ini dianggap ancaman Pancasila?
Padahal
di kubu Prabowo juga ada orang-orang NU dan Muhammadiyah. Juga ada orang-orang
Islam, banyak pula orang Kristen dan lain-lain. Lha masak orang-orang NU,
termasuk para kyai NU dan orang-orang Muhammadiyah, serta orang-orang Kristen
di kubu Prabowo itu merupakan kaum radikal yang membahayakan Pancasila?
Mari
gunakan nalar yang benar. Jika kubu Prabowo adalah kubu kaum yang berbahaya
bagi negara, ancaman bagi Pancasila, lha ke mana saja selama ini Prabowo dan
para pendukungnya yang kalah beberapa persen dari Jokowi – Kalla dalam Pilpres
2014 lalu? Mengapa kok diam tidak bikin onar di negara ini? Apakah faktor
Partai Golkar, partai juara politik Orde Baru itu, pindah ke kubu Jokowi?
Apakah
karena HTI? Kalau karena faktor HTI, ke mana pilihan politik orang-orang HTI
tahun 2014? Kalau misalnya HTI memilih Prabowo? Mengapa sampai kemudian HTI itu
dibubarkan oleh pemerintah Presiden Jokowi kok HTI tidak melakukan perlawanan
dengan senjata kepada rezim Jokowi? Katanya mencontoh yang terjadi di Suriah.
Apakah
kubu Prabowo yang dinilai sebagai kubu radikal itu karena ada HTI yang sudah
dibubarkan rezim Jokowi sehingga HTI akan mendorong Prabowo untuk melegalkan
kembali HTI jika Prabowo terpilih menjadi presiden? Itu juga masih hayalan. Angan-angan.
HTI
yang sudah ada sejak zaman Suharto itu sebenarnya juga bukanlah ancaman bagi
NKRI. Tapi sekarang HTI dan khilafah dipakai alat untuk menakut-nakuti orang, seperti
halnya PKI dan komunisme juga dipakai sebagai hantu.
Sebenarnya
itu hal yang sangat jauh, hanya menjadi angan-angan bahwa ide khilafah itu akan
menjadi kenyataan di Indonesia. Jika hendak dipersamakan dengan Suriah, HTI
bukanlah kelompok oposisi bersenjata seperti kelompok oposisi di Suriah yang
didanai oleh Amerika Serikat dengan target menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad.
Di Indonesia tidak ada pemimpin muslim seperti Bashar Al Assad yang dibenci
oleh Amerika Serikat dan Israel. Di Indonesia juga tidak ada milisi bersenjata
yang menjadi opisisi yang didanai oleh Barat, seperti yang terjadi di Suriah.
Kalaupun
ada teroris, itu adalah teroris yang merupakan jaringan global dari sisa-sisa
Alqaedah dan ISIS yang sudah mau bankrut dan game over itu. Tapi di
sepanjang zaman, dari zaman prasejarah hingga akhir zaman ya teroris akan
selalu ada. Kalau sekarang ada teror di Selandia Baru yang dilakukan oleh orang
bule, bukan berarti di sana akan menjadi seperti Suriah.
Kalau
soal bom teror, di Eropa juga sering terjadi. Di Amerika banyak orang stress
yang membunuhi orang dengan senjata api. Ada golongan supremasi kulit putih. Teroris
itu dari berbagai macam golongan, ada orang Islam dan Kristen. Di Myanmar
terorisnya ya orang Budha. Amerika Serikat itu teroris yang menghancurkan Timur
tengah. Amerika Serikat juga teroris yang membantu pemberontakan Permesta di
zaman Sukarno itu. Amerika Serikat juga termasuk menyokong terjadinya peristiwa
pembantaian dalam G 30 S / PKI agar Sukarno jatuh.
Kalau
mau mengukur berapa sih orang Islam Indonesia yang bener-benar Islam, itu
sebenarnya juga kecil. Pemeluk Islam yang benar-benar Islam itu kebanyakan adanya
di lingkungan pesantren-pesantren. Di desa kelahiranku dan sekitarnya di
Nganjuk sana, sebuah desa yang warga muslimnya 100 persen, paling hanya sekitar
25 – 30 persen yang paham apa itu agama Islam. Kebanyakan ya Islam KTP. Jadi, kekhawatiran
atau ketakutan bahwa HTI atau siapapun kelompok Islam yang mau menjadikan
Indonesia menjadi negara Islam itu adalah mimpi, hayalan. Itu cuma dipakai
sebagai alat propaganda untuk meneguhkan dan mempertahankan kekuasaan. Jangankan
HTI, partai-partai Islam seperti PPP dan PKS saja selalu di urutan bawah.
Kalau
HTI dakwah tentang khilafah, coba baca buku Fiqih Islam karangan Sulaiman
Rasjid yang sudah ada sejak Orde Lama hingga sekarang. Buku itu juga membahas
fiqih siyasah tentang Khilafah. Padahal Sulaiman Rasjid itu juga jadi pegawai
negeri di zaman Sukarno. Sulaiman Rasjid di zaman Belanda dijadikan Ketua
Panitia Penyelidik Hukum Agama di Lampung. Di zaman Sukarno dia menjadi Kepala
Jawatan Agama Jakarta, staf ahli Kementerian Agama serta Guru Besar Ilmu Fiqih.
Seumpama H. Sulaiman Rasjid hidup zaman sekarang dan menjadi pegawai pemerintah,
mungkin dia akan dipecat karena buku fiqihnya yang memuat Bab Khilafah dianggap
ancaman terhadap Pancasila. Mengapa zaman makin maju tetapi cara pikir kok
makin mundur? Mengapa ide tidak didialektikan dengan ide lainnya, tapi
dipersekusi dengan hukum? Menghukum pemikiran atau ide dengan hukum kekuasaan adalah
ciri kemunduran peradaban.
Maksud
saya begini. Silahkan bertarung dalam Pilpres ini, tapi jangan menyebarkan
informasi dan propaganda hoax. “Jika Jokowi – Ma’ruf Amin kalah, maka berarti
Pancasila berada dalam bahaya, NKRI terancam bahaya, Pancasila kalah, Indonesia
akan menjadi Suriah.” Itu hoax. Sama nistanya dengan hoax yang menyatakan “Jokowi
PKI, sehingga kalau Jokowi terpilih maka komunis akan berkuasa.” Itu pembodohan
terhadap publik. Dikiranya publik itu bodoh.
Jadi,
kalian tidak bisa membohongi kaum golput dengan propaganda palsu murahan itu.
Jadilah orang yang baik-baik. Negara tidak akan bisa tentram dan rakyatnya
tidak bisa bersatu jika dipimpin oleh manusia-manusia produsen, distributor dan
pemasar hoax alias para tukang bohong.
Apalagi yang sudah tua-tua, saya sarankan segera bertobat. Daripada ikut ikutan politik yang tidak sehat penuh dusta dan hayalan-hayalan buruk itu, mending tenang di rumah momong cucu, ngajari anak-anak kecil mengaji. Jangan menambah-nambahi dosa. Piye Mbah?