Jumat, 22 Maret 2019

Propaganda Palsu dan Murahan Jelang Pilpres 2019


Sumber foto: Kompas

Pengalaman mengikuti riwayat politik di negara ini, sejak dilaksanakannya pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat tahun 2004 hingga sekarang ini. Kali ini keadaannya paling memuakkan. Paling jorok.  Banyak tukang fitnah teriak fitnah.

Coba lihat sikap rezim ini kepada kaum golput (orang yang tidak mempergunakan hak pilihnya). Kaum golput inilah termasuk yang menjadi sasaran propaganda-propaganda yang berupa informasi dan opini palsu itu.

Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara 2018 – 2019. Lucunya, Inpres ini baru dikeluarkan tanggal 18 September 2018. Padahal judulnya “Rencana Aksi Bela Negara 2018 – 2019.” Tahun 2018 sudah mau habis saat Inpres itu dikeluarkan. Saya menduga itu ada kaitannya dengan kepentingan Pilpres 2019. Tapi alangkah brengseknya seandainya instrumen kekuasaan negara dipakai untuk kepentingan politik golongan. Harusnya golongan itu mengabdi kepada kepentingan negara, bukan instrumen politik negara dipakai untuk kepentingan golongan. Mau bilang itu Pancasilais?

Saya tidak tahu apa pertimbangan rezim ini, saat Presiden mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2018 ketika Inpres tersebut menganggap golput itu sebagai “ancaman faktual.” Rezim Jokowi mengambil langkah bahwa pemerintahannya harus melakukan usaha-usaha agar partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih meningkat. Tapi nadanya “antigolput.” Seolah tidak paham bahwa golput itu hak politik, bukan aib bukan cela.

Sosialisasi gerakan anti golput dilakukan melalui media sosial, seminar, iklan layanan masyarakat, ceramah, dialog interaktif/diskusi. Penanggung jawab upaya-upaya itu adalah Sekjen Dewan Ketahanan Nasional dan Menkopolhukam. Instansi yang terkait adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kominfo, Kementerian Agama, Kemenristekdikti dan Pemerintah Daerah. Demikian yang tertulis dalam Inpres tersebut.

Di media sosial facebook, saya mengamati memang para pendukung Jokowi gigih dalam mengolok-olok umat golput. Dituduhnya umat golput itu sebagai kaum putus asa yang tidak peduli dengan masa depan negara. Sekali waktu kaum golput itu dituduh sebagai “orang bayaran” yang sebenarnya pendukung Prabowo. Alamak….sampai segitunya?

Entah kebetulan atau tidak, muncul pula tulisan opini Romo Franz Magnis Suseno di Koran Kompas yang mengolok orang golput sebagai orang bodoh, jiwanya tidak stabil, benalu. Kok nyambung dengan Inpres No. 7 Tahun 2018 tersebut? Memang ada konektornya, ataukah memang Sang Profesor Filsafat itu sejiwa dengan Inpres tersebut? Biarlah hanya kipas angin yang tahu.

Kaum golput ini memang menjadi sasaran propaganda. Ada banyak pendukung Jokowi yang membuat hayalan, termasuk ada kyai serta doktor. Katanya, Pilpres 2019 adalah pertarungan antara kelompok kebenaran / Pancasila melawan kelompok radikal. Jika Jokowi tidak memang maka Indonesia berada di dalam bahaya. Indonesia akan menjadi Suriah.

Propaganda murahan dan palsu itu pernah dipakai oleh para pendukung Ahok dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) Jakarta di waktu yang lalu itu. Katanya, jika Ahok kalah maka Indonesia akan menjadi Suriah. Ahok juga pernah kalah dalam Pilgub Bangka-Belitung 2007, dan Bangka Belitung tidak menjadi Suriah gara-gara Gus Dur yang kampanye untuk Ahok pada waktu itu tidak berhasil membuat Ahok menang. Jakarta sebagai ibukota negara dan Indonesia sebagai negara, sekarang juga tidak menjadi Suriah. Malah banyak orang korupsi dan gendakan secara bebas di Jakarta, sama seperti dulu-dulu.

Orang-orang yang membuat propaganda palsu dan murahan itu sebenarnya patut dikasihani. Mereka tidak akan pernah membuat kaum golput menjadi percaya dan bodoh dengan membaca propaganda-propaganda palsu itu. Kasihan mereka buang-buang emosi dan karangan. Kecuali bagi yang diberikan honor untuk tugas itu ya jadilah itu matapencaharian insidentil. Kan, The Guardian sudah pernah memberitakan hasil investigasinya tentang berapa-berapa duit penghasilan para buzzer politik itu. Itu pekerjaan apa? Kalau cari duit dengan menyebar propaganda dan informasi palsu-palsu ya itu duit nista. Lebih buruk dibandingkan duit germo gigolo yang tidak membuat usaha-usaha  agar masyarakat menjadi bodoh dan tersesat. Maha jorok para buzzer dengan segala kebohongannya itulah yang merupakan bahaya bagi negara, memecah-belah emosi persatuan rakyat. Segera tobatlah kalian! Jauh lebih terhormat para buruh pekerja bangunan jalan tol yang hasil kerja kerasnya diklaim sebagai “prestasi Jokowi!”

Bahwa Pilpres ini tak lain dan tak bukan hanyalah persaingan untuk memperoleh kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ideologi dan karakternya sama: yakni para pemburu kekuasaan, yang dahulu kawan, sekarang jadi lawan dan kapan-kapan akan menjadi kawan lagi.

Jika kubu Jokowi menuduh bahwa kubu Prabowo merupakan kubu kaum radikal atau ekstrimis yang harus dilawan, mengapa Jokowi tidak mengeluarkan Perppu untuk membubarkan Partai Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat yang mengusung Prabowo – Sandi? Kan mereka ini dianggap ancaman Pancasila?

Padahal di kubu Prabowo juga ada orang-orang NU dan Muhammadiyah. Juga ada orang-orang Islam, banyak pula orang Kristen dan lain-lain. Lha masak orang-orang NU, termasuk para kyai NU dan orang-orang Muhammadiyah, serta orang-orang Kristen di kubu Prabowo itu merupakan kaum radikal yang membahayakan Pancasila?

Mari gunakan nalar yang benar. Jika kubu Prabowo adalah kubu kaum yang berbahaya bagi negara, ancaman bagi Pancasila, lha ke mana saja selama ini Prabowo dan para pendukungnya yang kalah beberapa persen dari Jokowi – Kalla dalam Pilpres 2014 lalu? Mengapa kok diam tidak bikin onar di negara ini? Apakah faktor Partai Golkar, partai juara politik Orde Baru itu, pindah ke kubu Jokowi?

Apakah karena HTI? Kalau karena faktor HTI, ke mana pilihan politik orang-orang HTI tahun 2014? Kalau misalnya HTI memilih Prabowo? Mengapa sampai kemudian HTI itu dibubarkan oleh pemerintah Presiden Jokowi kok HTI tidak melakukan perlawanan dengan senjata kepada rezim Jokowi? Katanya mencontoh yang terjadi di Suriah.

Apakah kubu Prabowo yang dinilai sebagai kubu radikal itu karena ada HTI yang sudah dibubarkan rezim Jokowi sehingga HTI akan mendorong Prabowo untuk melegalkan kembali HTI jika Prabowo terpilih menjadi presiden? Itu juga masih hayalan. Angan-angan.

HTI yang sudah ada sejak zaman Suharto itu sebenarnya juga bukanlah ancaman bagi NKRI. Tapi sekarang HTI dan khilafah dipakai alat untuk menakut-nakuti orang, seperti halnya PKI dan komunisme juga dipakai sebagai hantu.

Sebenarnya itu hal yang sangat jauh, hanya menjadi angan-angan bahwa ide khilafah itu akan menjadi kenyataan di Indonesia. Jika hendak dipersamakan dengan Suriah, HTI bukanlah kelompok oposisi bersenjata seperti kelompok oposisi di Suriah yang didanai oleh Amerika Serikat dengan target menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad. Di Indonesia tidak ada pemimpin muslim seperti Bashar Al Assad yang dibenci oleh Amerika Serikat dan Israel. Di Indonesia juga tidak ada milisi bersenjata yang menjadi opisisi yang didanai oleh Barat, seperti yang terjadi di Suriah.

Kalaupun ada teroris, itu adalah teroris yang merupakan jaringan global dari sisa-sisa Alqaedah dan ISIS yang sudah mau bankrut dan game over itu. Tapi di sepanjang zaman, dari zaman prasejarah hingga akhir zaman ya teroris akan selalu ada. Kalau sekarang ada teror di Selandia Baru yang dilakukan oleh orang bule, bukan berarti di sana akan menjadi seperti Suriah.

Kalau soal bom teror, di Eropa juga sering terjadi. Di Amerika banyak orang stress yang membunuhi orang dengan senjata api. Ada golongan supremasi kulit putih. Teroris itu dari berbagai macam golongan, ada orang Islam dan Kristen. Di Myanmar terorisnya ya orang Budha. Amerika Serikat itu teroris yang menghancurkan Timur tengah. Amerika Serikat juga teroris yang membantu pemberontakan Permesta di zaman Sukarno itu. Amerika Serikat juga termasuk menyokong terjadinya peristiwa pembantaian dalam G 30 S / PKI agar Sukarno jatuh.

Kalau mau mengukur berapa sih orang Islam Indonesia yang bener-benar Islam, itu sebenarnya juga kecil. Pemeluk Islam yang benar-benar Islam itu kebanyakan adanya di lingkungan pesantren-pesantren. Di desa kelahiranku dan sekitarnya di Nganjuk sana, sebuah desa yang warga muslimnya 100 persen, paling hanya sekitar 25 – 30 persen yang paham apa itu agama Islam. Kebanyakan ya Islam KTP. Jadi, kekhawatiran atau ketakutan bahwa HTI atau siapapun kelompok Islam yang mau menjadikan Indonesia menjadi negara Islam itu adalah mimpi, hayalan. Itu cuma dipakai sebagai alat propaganda untuk meneguhkan dan mempertahankan kekuasaan. Jangankan HTI, partai-partai Islam seperti PPP dan PKS saja selalu di urutan bawah.

Kalau HTI dakwah tentang khilafah, coba baca buku Fiqih Islam karangan Sulaiman Rasjid yang sudah ada sejak Orde Lama hingga sekarang. Buku itu juga membahas fiqih siyasah tentang Khilafah. Padahal Sulaiman Rasjid itu juga jadi pegawai negeri di zaman Sukarno. Sulaiman Rasjid di zaman Belanda dijadikan Ketua Panitia Penyelidik Hukum Agama di Lampung. Di zaman Sukarno dia menjadi Kepala Jawatan Agama Jakarta, staf ahli Kementerian Agama serta Guru Besar Ilmu Fiqih. Seumpama H. Sulaiman Rasjid hidup zaman sekarang dan menjadi pegawai pemerintah, mungkin dia akan dipecat karena buku fiqihnya yang memuat Bab Khilafah dianggap ancaman terhadap Pancasila. Mengapa zaman makin maju tetapi cara pikir kok makin mundur? Mengapa ide tidak didialektikan dengan ide lainnya, tapi dipersekusi dengan hukum? Menghukum pemikiran atau ide dengan hukum kekuasaan adalah ciri kemunduran peradaban.

Maksud saya begini. Silahkan bertarung dalam Pilpres ini, tapi jangan menyebarkan informasi dan propaganda hoax. “Jika Jokowi – Ma’ruf Amin kalah, maka berarti Pancasila berada dalam bahaya, NKRI terancam bahaya, Pancasila kalah, Indonesia akan menjadi Suriah.” Itu hoax. Sama nistanya dengan hoax yang menyatakan “Jokowi PKI, sehingga kalau Jokowi terpilih maka komunis akan berkuasa.” Itu pembodohan terhadap publik. Dikiranya publik itu bodoh.

Jadi, kalian tidak bisa membohongi kaum golput dengan propaganda palsu murahan itu. Jadilah orang yang baik-baik. Negara tidak akan bisa tentram dan rakyatnya tidak bisa bersatu jika dipimpin oleh manusia-manusia produsen, distributor dan pemasar hoax alias para tukang bohong.

Apalagi yang sudah tua-tua, saya sarankan segera bertobat. Daripada ikut ikutan politik yang tidak sehat penuh dusta dan hayalan-hayalan buruk itu, mending tenang di rumah momong cucu, ngajari anak-anak kecil mengaji. Jangan menambah-nambahi dosa. Piye Mbah?

Tidak ada komentar: