Sumber foto: sesawi.net, dari Kompas
Romo
Franz Magnis – Suseno, dalam tulisannya di Koran Kompas tanggal 12 Maret 2019 mengemukakan
pendapatnya bahwa harus ada alasan sah untuk tidak memilih (golput), misalnya
karena TPS terlalu jauh maka biaya untuk ikut memilih menjadi mahal, atau
karena harus merawat seseorang yang tidak dapat ditinggalkan. Jika Anda tidak
mempunyai alasan yang sah untuk golput, maka Anda mungkin bodoh, atau berwatak
benalu, kurang sedap, atau secara mental tidak stabil, Anda seorang
psyco-freak.
Saya
heran, mengapa tulisan “uring-uringan” semacam itu kok dimuat oleh media
sebesar Kompas? Pendapat dan tuduhan Romo Magniz kepada umat golput itu setara
dengan ujaran kebencian kepada golongan warga yang tidak mempergunakan hak
pilihnya. Tapi tentu saya tidak setuju jika pendapat, yang meskipun mengandung
tuduhan yang kasar, dilaporkan polisi. Akan jadi apa negara ini jika
sedikit-sedikit lapor polisi terhadap pendapat atau opini seseorang? Ya jadi
bangsa sensi, pemarah, tidak bermental bagus.
Tidak
biasa ada seorang Romo dan Guru Besar yang bahasanya kasar dengan menggunakan
kata “bodoh”, “berwatak benalu”, “mental tidak stabil.” Lagian tanpa
menjelaskan secara ilmiah tuduhan semacam itu. Kalau orang ndeso seperti
saya yang lahir di dusun di tengah hutan ini mungkin masih bisa dimaklumi jika
misalnya menggunakan kata-kata kasar seperti “jancuk”, “bangsat”, “bodoh”, dan
lain-lain meskipun itu juga tidak etis.
Menurut
Romo Magniz, menggunakan hak pilih dalam situasi sekarang ini adalah wajib
secara moral, bukan wajib secara hukum. Alasannya ialah untuk mencegah agar
yang buruk jangan berkuasa. Kita tak memilih yang terbaik. Tetapi mencegah yang
terburuk berkuasa.
Tetapi
sayangnya Romo Magniz juga tidak berani mengungkap, siapa yang dia maksudkan “yang
terburuk” dari kedua calon presiden itu, apakah Jokowi atau Prabowo. Karena di
dalam tulisan opininya itu Romo Magniz menyatakan, “Kalau Anda menolak Prabowo,
pilih Jokowi! meski Anda kecewa dengan Jokowi. Kalau Anda tak mau Jokowi jadi
presiden lagi lima tahun ke depan, pilih Prabowo, meski ia jauh dari haparan
Anda!”
Kepakaran filsafatnya
Terus
terang, saya bukan pakar filsafat. Tapi saya boleh dong menilai dengan ragu
terhadap kepakaran filsafat seseorang pakar dan guru besar filsafat, termasuk
Romo Magniz. Andai saja saya disuruh berdebat tentang filsafat dengan
mahasiswanya Romo Magniz, sudah pasti saya akan nggleput, modar, tak
berdaya, kalah telak, kejang-kejang kemampuan. Apalagi debat dengan Romo
Magniz, baru melihat orangnya saja saya pasti sudah tak mampu berkata-kata
terkena auranya.
Oleh
sebab itu saya beraninya hanya membantah Romo Magniz melalui tulisan ini. Tapi
jika ada yang memaksa saya untuk berdebat dengan Romo Magniz, maka terpaksa
saya mau dengan membawa tongkat untuk pegangan kepercayaan diri.
Pertama, jika Romo Magniz menyatakan bahwa cegahlah yang
terburuk untuk berkuasa tetapi dia tidak menunjukkan siapa calon presiden yang
terburuk itu dan dengan alasan apa dan bagaimana, tetapi malah menyarankan
pilih Jokowi atau Prabowo sesuai dengan penilaian masing-masing, lalu bukankah
memang orang bisa berbeda-beda penilaian?
Lalu
dalam memberi nilai “buruk” dan “terburuk” kepada dua calon presiden itu akan
menjadi nilai yang relatif, sehingga kebenarannya juga menjadi tidak pasti. Ketika
Romo Magniz “mewajibkan” kami untuk memilih dengan memberikan ukuran nilai “buruk”
dan “terburuk” kepada dua calon presiden yang ada itu, yang hal itu merupakan
penilaian “etis”, maka Romo Magniz sama saja dengan mewajibkan seluruh warga
negara Indonesia yang mempunyai hak pilih untuk menjadi juri, dan bukan lagi
orang-orang yang mempergunakan hak politiknya untuk memilih. Padahal seharusnya
Romo Magniz bisa menilai sendiri, apakah Jokowi lebih buruk dibandingkan dengan
Prabowo, atau sebaliknya, dengan mengemukakannya di dalam tulisannya itu,
dengan alasan-alasan tertentu.
Ketika
seluruh pemilih tidak mempunyai penilaian yang seragam tentang siapa “yang
terburuk”, maka akan ada pemilih yang menilai “Jokowilah yang terburuk”, dan
ada pemilih yang menilai bahwa “Prabowolah yang terburuk.” Jika sudah begitu,
apa manfaat para pemilih dalam menggunakan hak pilih dengan pertimbangan untuk
tidak memilih yang terburuk.
Lalu
bagaimana dengan orang yang menilai bahwa keduanya mempunyai kadar yang sama
dalam keburukan atau kebaikan? Apakah mereka ini tetap wajib memilih dalam
keadaan mempunyai penilaian demikian? Apakah orang-orang demikian harus
dianggap bodoh begitu saja, padahal mereka ini mungkin adalah orang-orang yang
lebih paham tentang siapa Jokowi dan siapa Prabowo dibandingkan dengan Romo
Magniz?
Kedua, Romo Magniz mengatakan bahwa memilih dalam pemilu dalam situasi sekarang adalah kewajiban secara moral, bukan kewajiban secara
hukum. Pendapat Romo Magniz ini setidaknya bisa saya bedah ke dalam dua
perspektif.
Perspektif
pertama adalah tentang aliran atau
mazhab pemikiran. Ketika Romo Magniz mengatakan bahwa kewajiban menggunakan hak
pilih bukan merupakan kewajiban hukum, tetapi merupakan kewajiban moral, maka
Romo Magniz memisahkan antara moral dengan hukum.
Pemikiran
Romo Magniz tersebut merupakan corak pemikiran mazhab positivisme ala Auguste
Comte dan John Austin di abad ke-19. Ilmuwan hukum penganut mazhab positivisme
Hans Kelsen yang dikenal dengan Teori Hukum Murninya, tidak benar-benar berani
memisahkan hukum dengan unsur-unsur psikologi, sosiologi, etika, dan teori
politik. Kelsen memaklumi pencampuradukan tersebut karena bidang-bidang yang
lainnya itu membahas pokok persoalan yang berkaitan erat dengan hukum. Kelsen
mengatakan bahwa Teori Hukum Murni berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang tersebut, bukan lantaran mengabaikan atau memungkiri kaitannya,
melainkan karena hendak menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang
berlainan metodologi sehingga mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan
batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.
Kelsen
memang mengatakan, hukum dan moral merupakan jenis norma yang berlainan, namun
hukum adalah sebagai bagian dari moral, yang mengidentikkan hukum dengan
keadilan. Hukum memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral. Jadi, hukum
itu sendiri berarti merupakan moral. Di sisi lain Kelsen memang membedakan moral
dengan hukum hanya pada soal “bagaimana cara menegakkannya.” Bedanya adalah
bahwa hukum ditegakkan dengan sanksi paksaan, sedangkan moral adalah “sebuah
tatanan positif tanpa paksaan.” Dengan pemikiran demikian maka dapat saya katakan bahwa sebenarnya dalam pandangan Kelsen tersebut, hukum adalah moral yang
ditegakkan dengan sanksi.
Hukum Indonesia Tanpa Moral?
Lalu,
apakah hukum Indonesia merupakan hukum yang terpisah dari moral? Konsensus
nasional Indonesia menyatakan bahwa sumber dari segala sumber hukum nasional
adalah Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila juga dikatakan sebagai Dasar
Filsafat Negara atau philosifische gronslag, yang menjadi sumber nilai
kebenaran, kebaikan dan keadilan. Nilai-nilai Pancasila juga diambil dari
nilai-nilai agama.
Pancasila
itu sendiri, jika ditinjau dari pandangan Hans Kelsen penganut mazhab positivisme
tersebut, bukanlah merupakan hukum, karena Pancasila tidak memuat ketentuan
sanksi bagi para pelanggarnya.
Tetapi
seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat di negara ini tentu harus
bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, sebab Pancasila adalah sumber segala
sumber hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Indonesia bersumber
dari nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan yang merupakan nilai-nilai moral
Pancasila, sehingga hukum Indonesia haruslah merupakan moral Pancasila.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi, hukum Indonesia tidak
menganut mazhab positivisme, kecuali di dalam sistem hukum pidana terdapat asas
legalitas.
Oleh
karena itu, aliran pemikiran positivisme yang dipergunakan Romo Magniz yang
membedakan antara kewajiban moral dengan kewajiban hukum untuk memilih dalam
pemilu, adalah tidak tepat, sebab hukum yang berlaku di Indonesia adalah moral
Pancasila, sepanjang tidak dinyatakan bertentangan dengan konstitusi atau peraturan
di atasnya oleh lembaga yang berwenang.
Perspektif
kedua adalah soal sumber nilai moral.
Ketika Romo Magniz mengatakan bahwa memilih dalam pemilu presiden dan wakil
presiden adalah kewajiban moral (bukan kewajiban hukum), lantas nilai moral itu
bersumber dari mana? Apakah hanya bersumber dari logika? Jika Romo Magniz
mempergunakan ukuran nilai moral yang bersumber dari luar nilai-nilai
Pancasila, lantas nilai moral dari mana, apakah dan bagaimana justifikasinya,
karena ini menyangkut demokrasi Indonesia yang tunduk kepada nilai-nilai
Pancasila? Jikapun terdapat nilai dari luar Pancasila maka nilai itu harus
sesuai dengan nilai Pancasila.
Sumber
dari segala sumber hukum yang juga menjadi sumber nilai moral yang dianut di
negara ini adalah Pancasila. Artinya begini: Jika peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia tidak mewajibkan orang untuk memilih dalam pemilu, maka
ketentuan hukum demikian tidak bertentangan dengan moral yang bersumber dari
nilai Pancasila.
Jika
peraturan yang demikian (tidak mewajibkan orang untuk memilih dalam pemilu) bertentangan
dengan moral dalam arti moral Pancasila, maka peraturan tersebut harus
dibatalkan. Namun nyatanya peraturan yang tidak mewajibkan orang untuk memilih tersebut
(UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) masih berlaku dan tidak ada masyarakat
yang menentang dengan cara mengujinya melalui lembaga yang berwenang.
Jadi,
tidak benar jika perbuatan memilih dalam pemilu itu dikatakan tidak wajib
secara hukum, tetapi wajib secara moral, karena sumber dari ketentuan hukum
tersebut berasal dari nilai Pancasila yang juga menjadi sumber moral bagi
bangsa Indonesia. Apakah boleh dan rasional jika dalam hal yang sama kok moral
mewajibkannnya tetapi hukum tidak mewajibkannya, padahal sumber nilainya
berasal dari sumber yang sama?
Demikian
pendapatku sebagai seorang golputer yang memang melihat kedua calon presiden
Indonesia kali ini tidak semata-mata melihat pribadi-pribadi mereka, tetapi
dalam melihat kebaikan dan keburukannya dengan melihat sebagai
kesatuan-kesatuan golongan masing-masing.
Kekuasaan
sebagai presiden tidak mungkin akan dijalankan oleh seorang Jokowi atau seorang
Prabowo, melainkan oleh kolektivitas golongan mereka. Oleh sebab itu, orang
memilih calon presiden tidak cukup hanya melihat personalitas para calonnya,
tetapi juga harus meneliti lokomotif dan gerbong yang dipergunakan mereka dan
siapa saja para yang mempunyai peran-peran vital dalam mengusahakan dan tentu akan
turut menjalankan kekuasaan itu. Dalam menilai golongan Jokowi dan golongan
Prabowo, saya tidak melihat mana yang terburuk.
Justru
moral Pancasila ini mendorong saya untuk “harus melakukan apa” daripada “saya
tidak boleh melakukan apa” di dalam demokrasi ini. Jika saya sudah dapat “melakukan
apa yang seharusnya saya lakukan” maka tidak perlu lagi ada “apa yang tidak
boleh saya lakukan”, sebab kewajiban demokrasi telah saya tunaikan, diantaranya
adalah mengawasi siapapun yang terpilih menjadi presiden beserta kelompoknya
yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan presiden.
Jika
ada orang-orang yang dahulu mengatakan Prabowo tidak layak dipilih sebab dia punya kasus
penculikan kepada para aktivis reformasi, bukankah setelah Jokowi terpilih
menjadi presiden, ternyata selama ini dia tidak membentuk Pengadilan HAM adhoc
agar Prabowo diadili?
Bukankah
di gerbong Jokowi juga terdapat orang-orang yang tidak lebih baik daripada
Prabowo yang diberikan kekuasaan oleh Jokowi?
Bukankah
Jokowi juga pernah merasakan jasa Prabowo yang turut mengorbitkan Jokowi
menjadi Gubernur DKI Jakarta?
Jika
ada yang dahulu mengatakan bahwa jika nanti Prabowo terpilih menjadi presiden
maka akan terjadi represi atau kekerasan kepada rakyat, dan bukankah selama ini
itu malah telah terjadi selama Jokowi menjadi presiden?
Jadi,
bagaimana aku bisa menilai siapa yang terburuk di antara Jokowi dengan Prabowo,
jika ternyata memang keduanya berada di masing-masing gerbong oligarki yang
bobotnya tak dapat saya bedakan?
Rezim
Jokowi juga melalui UU No. 7 Tahun 2017 dan Mahkamah Konstitusi juga telah menjadi
penyebab terbatasnya orang yang dapat dicalonkan menjadi calon presiden,
sehingga rakyat tidak banyak mempunyai pilihan dan seolah negara ini kekurangan
orang yang layak untuk menjadi presiden.
Salam
golput.
2 komentar:
Salam golput
😀😀😀👍
Posting Komentar