Rabu, 13 Maret 2019

Golput dalam Pandangan Filsafat Romo Frans Magniz: Menggunakan Ukuran Moral Mana?


                                              Sumber foto: sesawi.net, dari Kompas

Romo Franz Magnis – Suseno, dalam tulisannya di Koran Kompas tanggal 12 Maret 2019 mengemukakan pendapatnya bahwa harus ada alasan sah untuk tidak memilih (golput), misalnya karena TPS terlalu jauh maka biaya untuk ikut memilih menjadi mahal, atau karena harus merawat seseorang yang tidak dapat ditinggalkan. Jika Anda tidak mempunyai alasan yang sah untuk golput, maka Anda mungkin bodoh, atau berwatak benalu, kurang sedap, atau secara mental tidak stabil, Anda seorang psyco-freak.

Saya heran, mengapa tulisan “uring-uringan” semacam itu kok dimuat oleh media sebesar Kompas? Pendapat dan tuduhan Romo Magniz kepada umat golput itu setara dengan ujaran kebencian kepada golongan warga yang tidak mempergunakan hak pilihnya. Tapi tentu saya tidak setuju jika pendapat, yang meskipun mengandung tuduhan yang kasar, dilaporkan polisi. Akan jadi apa negara ini jika sedikit-sedikit lapor polisi terhadap pendapat atau opini seseorang? Ya jadi bangsa sensi, pemarah, tidak bermental bagus.

Tidak biasa ada seorang Romo dan Guru Besar yang bahasanya kasar dengan menggunakan kata “bodoh”, “berwatak benalu”, “mental tidak stabil.” Lagian tanpa menjelaskan secara ilmiah tuduhan semacam itu. Kalau orang ndeso seperti saya yang lahir di dusun di tengah hutan ini mungkin masih bisa dimaklumi jika misalnya menggunakan kata-kata kasar seperti “jancuk”, “bangsat”, “bodoh”, dan lain-lain meskipun itu juga tidak etis.

Menurut Romo Magniz, menggunakan hak pilih dalam situasi sekarang ini adalah wajib secara moral, bukan wajib secara hukum. Alasannya ialah untuk mencegah agar yang buruk jangan berkuasa. Kita tak memilih yang terbaik. Tetapi mencegah yang terburuk berkuasa.

Tetapi sayangnya Romo Magniz juga tidak berani mengungkap, siapa yang dia maksudkan “yang terburuk” dari kedua calon presiden itu, apakah Jokowi atau Prabowo. Karena di dalam tulisan opininya itu Romo Magniz menyatakan, “Kalau Anda menolak Prabowo, pilih Jokowi! meski Anda kecewa dengan Jokowi. Kalau Anda tak mau Jokowi jadi presiden lagi lima tahun ke depan, pilih Prabowo, meski ia jauh dari haparan Anda!”

Kepakaran filsafatnya

Terus terang, saya bukan pakar filsafat. Tapi saya boleh dong menilai dengan ragu terhadap kepakaran filsafat seseorang pakar dan guru besar filsafat, termasuk Romo Magniz. Andai saja saya disuruh berdebat tentang filsafat dengan mahasiswanya Romo Magniz, sudah pasti saya akan nggleput, modar, tak berdaya, kalah telak, kejang-kejang kemampuan. Apalagi debat dengan Romo Magniz, baru melihat orangnya saja saya pasti sudah tak mampu berkata-kata terkena auranya.

Oleh sebab itu saya beraninya hanya membantah Romo Magniz melalui tulisan ini. Tapi jika ada yang memaksa saya untuk berdebat dengan Romo Magniz, maka terpaksa saya mau dengan membawa tongkat untuk pegangan kepercayaan diri.

Pertama, jika Romo Magniz menyatakan bahwa cegahlah yang terburuk untuk berkuasa tetapi dia tidak menunjukkan siapa calon presiden yang terburuk itu dan dengan alasan apa dan bagaimana, tetapi malah menyarankan pilih Jokowi atau Prabowo sesuai dengan penilaian masing-masing, lalu bukankah memang orang bisa berbeda-beda penilaian?

Lalu dalam memberi nilai “buruk” dan “terburuk” kepada dua calon presiden itu akan menjadi nilai yang relatif, sehingga kebenarannya juga menjadi tidak pasti. Ketika Romo Magniz “mewajibkan” kami untuk memilih dengan memberikan ukuran nilai “buruk” dan “terburuk” kepada dua calon presiden yang ada itu, yang hal itu merupakan penilaian “etis”, maka Romo Magniz sama saja dengan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih untuk menjadi juri, dan bukan lagi orang-orang yang mempergunakan hak politiknya untuk memilih. Padahal seharusnya Romo Magniz bisa menilai sendiri, apakah Jokowi lebih buruk dibandingkan dengan Prabowo, atau sebaliknya, dengan mengemukakannya di dalam tulisannya itu, dengan alasan-alasan tertentu.

Ketika seluruh pemilih tidak mempunyai penilaian yang seragam tentang siapa “yang terburuk”, maka akan ada pemilih yang menilai “Jokowilah yang terburuk”, dan ada pemilih yang menilai bahwa “Prabowolah yang terburuk.” Jika sudah begitu, apa manfaat para pemilih dalam menggunakan hak pilih dengan pertimbangan untuk tidak memilih yang terburuk.

Lalu bagaimana dengan orang yang menilai bahwa keduanya mempunyai kadar yang sama dalam keburukan atau kebaikan? Apakah mereka ini tetap wajib memilih dalam keadaan mempunyai penilaian demikian? Apakah orang-orang demikian harus dianggap bodoh begitu saja, padahal mereka ini mungkin adalah orang-orang yang lebih paham tentang siapa Jokowi dan siapa Prabowo dibandingkan dengan Romo Magniz?

Kedua, Romo Magniz mengatakan bahwa memilih dalam pemilu dalam situasi sekarang adalah kewajiban secara moral, bukan kewajiban secara hukum. Pendapat Romo Magniz ini setidaknya bisa saya bedah ke dalam dua perspektif.

Perspektif pertama adalah tentang aliran atau mazhab pemikiran. Ketika Romo Magniz mengatakan bahwa kewajiban menggunakan hak pilih bukan merupakan kewajiban hukum, tetapi merupakan kewajiban moral, maka Romo Magniz memisahkan antara moral dengan hukum.

Pemikiran Romo Magniz tersebut merupakan corak pemikiran mazhab positivisme ala Auguste Comte dan John Austin di abad ke-19. Ilmuwan hukum penganut mazhab positivisme Hans Kelsen yang dikenal dengan Teori Hukum Murninya, tidak benar-benar berani memisahkan hukum dengan unsur-unsur psikologi, sosiologi, etika, dan teori politik. Kelsen memaklumi pencampuradukan tersebut karena bidang-bidang yang lainnya itu membahas pokok persoalan yang berkaitan erat dengan hukum. Kelsen mengatakan bahwa Teori Hukum Murni berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut, bukan lantaran mengabaikan atau memungkiri kaitannya, melainkan karena hendak menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi sehingga mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.

Kelsen memang mengatakan, hukum dan moral merupakan jenis norma yang berlainan, namun hukum adalah sebagai bagian dari moral, yang mengidentikkan hukum dengan keadilan. Hukum memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral. Jadi, hukum itu sendiri berarti merupakan moral. Di sisi lain Kelsen memang membedakan moral dengan hukum hanya pada soal “bagaimana cara menegakkannya.” Bedanya adalah bahwa hukum ditegakkan dengan sanksi paksaan, sedangkan moral adalah “sebuah tatanan positif tanpa paksaan.” Dengan pemikiran demikian maka dapat saya katakan bahwa sebenarnya dalam pandangan Kelsen tersebut, hukum adalah moral yang ditegakkan dengan sanksi.

Hukum Indonesia Tanpa Moral?

Lalu, apakah hukum Indonesia merupakan hukum yang terpisah dari moral? Konsensus nasional Indonesia menyatakan bahwa sumber dari segala sumber hukum nasional adalah Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila juga dikatakan sebagai Dasar Filsafat Negara atau philosifische gronslag, yang menjadi sumber nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan. Nilai-nilai Pancasila juga diambil dari nilai-nilai agama.

Pancasila itu sendiri, jika ditinjau dari pandangan Hans Kelsen penganut mazhab positivisme tersebut, bukanlah merupakan hukum, karena Pancasila tidak memuat ketentuan sanksi bagi para pelanggarnya.

Tetapi seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat di negara ini tentu harus bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, sebab Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Indonesia bersumber dari nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan yang merupakan nilai-nilai moral Pancasila, sehingga hukum Indonesia haruslah merupakan moral Pancasila.

Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi, hukum Indonesia tidak menganut mazhab positivisme, kecuali di dalam sistem hukum pidana terdapat asas legalitas.

Oleh karena itu, aliran pemikiran positivisme yang dipergunakan Romo Magniz yang membedakan antara kewajiban moral dengan kewajiban hukum untuk memilih dalam pemilu, adalah tidak tepat, sebab hukum yang berlaku di Indonesia adalah moral Pancasila, sepanjang tidak dinyatakan bertentangan dengan konstitusi atau peraturan di atasnya  oleh lembaga yang berwenang.

Perspektif kedua adalah soal sumber nilai moral. Ketika Romo Magniz mengatakan bahwa memilih dalam pemilu presiden dan wakil presiden adalah kewajiban moral (bukan kewajiban hukum), lantas nilai moral itu bersumber dari mana? Apakah hanya bersumber dari logika? Jika Romo Magniz mempergunakan ukuran nilai moral yang bersumber dari luar nilai-nilai Pancasila, lantas nilai moral dari mana, apakah dan bagaimana justifikasinya, karena ini menyangkut demokrasi Indonesia yang tunduk kepada nilai-nilai Pancasila? Jikapun terdapat nilai dari luar Pancasila maka nilai itu harus sesuai dengan nilai Pancasila.

Sumber dari segala sumber hukum yang juga menjadi sumber nilai moral yang dianut di negara ini adalah Pancasila. Artinya begini: Jika peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak mewajibkan orang untuk memilih dalam pemilu, maka ketentuan hukum demikian tidak bertentangan dengan moral yang bersumber dari nilai Pancasila.

Jika peraturan yang demikian (tidak mewajibkan orang untuk memilih dalam pemilu) bertentangan dengan moral dalam arti moral Pancasila, maka peraturan tersebut harus dibatalkan. Namun nyatanya peraturan yang tidak mewajibkan orang untuk memilih tersebut (UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) masih berlaku dan tidak ada masyarakat yang menentang dengan cara mengujinya melalui lembaga yang berwenang.

Jadi, tidak benar jika perbuatan memilih dalam pemilu itu dikatakan tidak wajib secara hukum, tetapi wajib secara moral, karena sumber dari ketentuan hukum tersebut berasal dari nilai Pancasila yang juga menjadi sumber moral bagi bangsa Indonesia. Apakah boleh dan rasional jika dalam hal yang sama kok moral mewajibkannnya tetapi hukum tidak mewajibkannya, padahal sumber nilainya berasal dari sumber yang sama?   

Demikian pendapatku sebagai seorang golputer yang memang melihat kedua calon presiden Indonesia kali ini tidak semata-mata melihat pribadi-pribadi mereka, tetapi dalam melihat kebaikan dan keburukannya dengan melihat sebagai kesatuan-kesatuan golongan masing-masing.

Kekuasaan sebagai presiden tidak mungkin akan dijalankan oleh seorang Jokowi atau seorang Prabowo, melainkan oleh kolektivitas golongan mereka. Oleh sebab itu, orang memilih calon presiden tidak cukup hanya melihat personalitas para calonnya, tetapi juga harus meneliti lokomotif dan gerbong yang dipergunakan mereka dan siapa saja para yang mempunyai peran-peran vital dalam mengusahakan dan tentu akan turut menjalankan kekuasaan itu. Dalam menilai golongan Jokowi dan golongan Prabowo, saya tidak melihat mana yang terburuk.

Justru moral Pancasila ini mendorong saya untuk “harus melakukan apa” daripada “saya tidak boleh melakukan apa” di dalam demokrasi ini. Jika saya sudah dapat “melakukan apa yang seharusnya saya lakukan” maka tidak perlu lagi ada “apa yang tidak boleh saya lakukan”, sebab kewajiban demokrasi telah saya tunaikan, diantaranya adalah mengawasi siapapun yang terpilih menjadi presiden beserta kelompoknya yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan presiden.

Jika ada orang-orang yang dahulu mengatakan Prabowo tidak layak dipilih sebab dia punya kasus penculikan kepada para aktivis reformasi, bukankah setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, ternyata selama ini dia tidak membentuk Pengadilan HAM adhoc agar Prabowo diadili?

Bukankah di gerbong Jokowi juga terdapat orang-orang yang tidak lebih baik daripada Prabowo yang diberikan kekuasaan oleh Jokowi?
Bukankah Jokowi juga pernah merasakan jasa Prabowo yang turut mengorbitkan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta?
Jika ada yang dahulu mengatakan bahwa jika nanti Prabowo terpilih menjadi presiden maka akan terjadi represi atau kekerasan kepada rakyat, dan bukankah selama ini itu malah telah terjadi selama Jokowi menjadi presiden?
Jadi, bagaimana aku bisa menilai siapa yang terburuk di antara Jokowi dengan Prabowo, jika ternyata memang keduanya berada di masing-masing gerbong oligarki yang bobotnya tak dapat saya bedakan?

Rezim Jokowi juga melalui UU No. 7 Tahun 2017 dan Mahkamah Konstitusi juga telah menjadi penyebab terbatasnya orang yang dapat dicalonkan menjadi calon presiden, sehingga rakyat tidak banyak mempunyai pilihan dan seolah negara ini kekurangan orang yang layak untuk menjadi presiden.

Salam golput.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam golput

Subagyo mengatakan...

😀😀😀👍