Melimpahnya sumber daya alam (SDA) Indonesia yang tak dapat diperbaharui yang terpendam dalam bumi Indonesia merupakan konsekuensi keadaan geologis Indonesia. Negara ini dilalui jalur ring of fire yang membentang dari Sumatera hingga Papua. Indonesia dihimpit oleh tiga lempeng lapisan bumi. Dalam kurun ribuan dan jutaan tahun lalu terjadi proses pergerakan lempeng bumi dan erupsi gunung berapi yang menenggelamkan sekian banyak kekayaan flora dan fauna yang akhirnya membuahkan SDA migas dan mineral.
Dengan memahami bahwa Indonesia kaya SDA dan ‘kaya’ potensi bencana maka ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pengurus negara ini, di pusat dan daerah, yaitu: (1) memetakan wilayah bencana, termasuk cara-cara penanggulangannya, dan (2) menciptakan daya tahan Indonesia berkaitan dengan pengelolaan kekayaan SDA tersebut. Selama ini, rakyat Indonesia hanya menjadi penonton dalam pengelolaan SDA Indonesia yang melimpah, dan bahkan menjadi korban.
Memetakan wilayah bencana
Kasus tsunami Aceh, gempa Jogja, gempa Sumatera Barat, dan lain-lainnya, termasuk rangkaian letusan gunung berapi sudah dialami bangsa Indonesia. Indonesia rawan mengalami pergerakan lapisan atau patahan tanah. Tapi kebijakan negara belum pernah memetakan wilayah-wilayah rawan bencana secara serius. Tata ruang Indonesia, pusat dan daerah, tak ada yang memetakan rencana tata ruang dan rencana wilayah (RTRW) yang menginformasikan ruang-ruang potensi bencana. Padahal informasi itu sangat penting bagi masyarakat.
Kawasan pertambangan dengan kegiatan pemboran bumi sampai di kedalaman ribuan kaki, seperti pada pertambangan migas, juga harus dipetakan sebagai wilayah rawan bencana. Kasus lumpur Lapindo merupakan contoh kebobolan negara. Padahal dalam kasus serupa di Subang tahun 1982, di Kuala Simpang Aceh, termasuk di Jawa Timur sendiri sumur milik Pertamina, semua kecelakaan pemboran tersebut bisa diatasi. Para ahli pemboran yang pernah bekerja di Pertamina (Robin Lubron dan Mustiko Saleh), Andang Bachtiar, dan Prof. Rudi Rubiandini menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo bisa dihentikan (Jawa Pos, 30/1/2008).
Di sisi lain, terjadi kesembronoan dalam melakukan konversi lahan. Akibatnya fatal. Ambil contoh data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi tahun 2005 menyebutkan tiga bencana yaitu: banjir, kebakaran dan tanah longsor dari tahun 1998 – 2004 terjadi 1150 kali bencana dengan korban kematian 9.900 orang dan kerugian Rp. 5,922 triliun. Di pesisir Jawa misalnya, dalam kurun 1996 hingga 1999 setidaknya terdapat 1.289 desa dilanda banjir. Pada akhir 2003 jumlahnya meningkat menjadi 2.823 desa dilanda banjir. Selain soal penggundulan hutan, hal itu juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem pesisir karena konversi lahan dan reklamasi (Equinox Publishing, 2006; Walhi, 2007). Sepanjang tahun 2006, Indonesia panen bencana 364 kali menghasilkan 10 juta warga pengungsi, lebih dari 10 ribu orang meninggal dunia dan harta puluhan triliun rupiah raib (Walhi, 2007). Bencana banjir akibat meluapnya Bengawan Solo di akhir 2007 hingga sekarang, dan banjir di Situbondo, Pasuruan dan Bondowoso juga akibat dari rusaknya hutan serta konversi lahan yang menghancurkan fungsi lahan penyerapan air hujan. Belum lagi soal pencemaran pesisir akibat 80 persen industri di Jawa berada di pesisir Utara Jawa membuang limbah ke laut.
Demi masa depan nasib Indonesia, harus ada reparadigma pembangunan ekonomi, selain pemetaan wilayah rawan bencana. Tak kalah penting, memberikan pelatihan maupun pendidikan tata cara penanggulangan bencana kepada para aparatur pemerintah yang berwenang dan masyarakat sendiri. Penanggulangan bencana dalam perspektif hukum (menurut UU No. 24/2007) tidak sekadar cara mengatasinya, tapi juga pencegahannya (pasal 35), termasuk menetapkan daerah rawan bencana (pasal 32). Jika hal tersebut terlaksana, kerapuhan Indonesia bisa dikurangi, sambil terus membangun ketahanan pangan (termasuk air) dan energi nasional.
Ketahanan Indonesia
Ketahanan Indonesia ditopang kekayaan SDA dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tapi data United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2004 menunjukkan indeks prestasi SDM Indonesia berada di urutan 111 dari 177 negara yang diteliti. Tahun 2007/2008 meningkat sedikit di urutan 107, tetap di kategori medium human development. Contoh ‘ketololan’ itu misalnya tampak pada pengelolaan kekayaan laut. Indonesia hanya mampu mengekspor ikan senilai kurang dari 2 miliar USD per-tahun, padahal Thailand yang tidak punya laut bisa mengekspor sekitar 4 miliar USD per-tahun. Penyebabnya bukan karena tingginya konsumsi ikan oleh rakyat domestik. Tahun 1997 misalnya konsumsi ikan nasional hanya sekitar 19 kg/kapita setiap tahun, lebih rendah dari Vietnam dan Malaysia yang mencapai 33 kg/kapita setiap tahun (Burke, et all, 2002, Walhi 2007).
Mestinya penduduk Indonesia bisa kaya-raya hanya dengan kekayaan laut dan pertanian. Luas lautan Indonesia mencapai dua pertiga wilayah Indonesia, tapi 90 persen nelayannya masih menggunakan alat tradisional, kalah jauh dari para pencuri ikan laut Indonesia. Untuk swasembada pangan (beras) sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan kekurangan sekitar 400 ribu hektar sawah padi sistem intensifikasi organik, untuk mengatasi defisit beras nasional. Di Merauke sedang dikembangkan budidaya seluas 1,9 juta hektar (Majalah Tempo, 3-9/12/2007). Di Gorontalo pertanian jagung juga mulai bangkit memakmurkan.
Ironisnya, Indonesia saat ini justru kehilangan kedaulatan pangan dan energi. Kasus balita kurang gizi, busung lapar, konsumsi nasi aking, krisis kedelai, dan lain-lain merupakan bukti ketidakberdayaan pangan Indonesia. Kacaunya APBN akibat meroketnya harga migas dunia yang dijangkar di New York Mercantile Exchange juga merupakan bukti ketidakdaulatan Indonesia atas energi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada ‘kebutuhan luar’ (outward looking oriented), mengabaikan ketahanan nasional. Itu berkaitan dengan resep ekonomi Mafia Barkeley yang termasuk mengabadikan utang Indonesia.
Indonesia harus memahami strategi asing (utamanya korporasi asing) dalam memanfaatkan negara-negara ketiga (Selatan). UNDP menyodorkan realitas dunia bahwa 82,7 persen pendapatan dunia dikuasai oleh 20 persen penduduk kaya di dunia ini (Daniel C. Maguire, 2000). Artinya, 17,3 persen pendapatan dunia dibagi oleh 80 persen penduduk dunia yang mayoritas ada di belahan Selatan. Malapetaka ketidakadilan itu harus diakhiri dengan kecerdikan Indonesia.
Ke depan, politik dan hukum disusun untuk memerkuat kekuatan rakyat sendiri dengan prinsip resources nationalism atau inward looking oriented. Singapura, Malaysia dan China telah memerkuat diri untuk menandingi dominasi korporasi asing dengan memerkuat BUMN mereka yang bahkan bisa merambah ke dunia manapun. Sambil kita terus tak lelah meningkatkan pemberantasan korupsi yang juga menggerus ketahanan Indonesia. Negara maju sedang berhemat atas SDA mereka dan telah mengembangkan energi alternatif (misalnya bioenergi), yang ujung-ujungnya akan membutuhkan bahannya dari Indonesia. Waktunya Indonesia menjadi tuan, bukan terus-menerus menjadi hamba.
Jangan juga lupa, membangun Indonesia adalah meningkatkan kualitas nasib hidup rakyat Indonesia. Kalau membangun dengan cara meracuni dan merusak hidup rakyat, maka itu bukan pembangunan. Harus ada keadilan ekologis untuk ketahanan Indonesia. Jika dikelola dengan benar, bersahabat dengan alam, melimpahnya kekayaan Indonesia tak akan berubah menjadi malapetaka.