Kamis, 21 Februari 2008

Ekologi: Indonesia yang Terjajah

Kasus perusakan lingkungan hidup (ekologi) di Indonesia menunjukkan semakin berat akibatnya bagi masyarakat. Guiness Book of World Record telah mencatat rekor Indonesia sebagai negara paling kencang lajunya dalam merusak hutan di dunia. Setiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 1,8 juta hektar. Data pemerintah jauh lebih seru, yaitu 2,8 juta hektar hutan hilang per tahun. Kita sudah melihat akibatnya, kematian rakyat kecil berserakan di mana-mana tertimbun longsor dan tertelan banjir akibat hancurnya hutan. Banjir besar dan longsor rata memenuhi Nusantara akibat degradasi fungsi ekologi.

Khusus untuk Jakarta contohnya, tata ruang wilayahnya kacau, tidak memerhatikan konsep pelestarian fungsi ekologi. Bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta kacau karena jalan tol terendam, akibat semakin habisnya lahan serapan air di sekitarnya. Ada bangunan pabrik-pabrik dan perumahan semakin meluas. Bandara Soekarno-Hatta terancam dengan penurunan tanah tujuh centimeter (cm) tiap tahun akibat besarnya volume pengambilan air tanah. Permukaan air laut pun naik sekitar 15 cm setiap tahun akibat pemanasan global. Kalau pemerintah akan membangun tol tinggi sebagai jalan akses ke bandara dengan menghabiskan sisa hutan mangrove, bagaimana dengan nasib bandara yang niscaya akan tenggelam itu? Apakah akan meninggikan bandara, berkejaran dengan laju naik air laut dan penurunan tanah Jakarta-Tangerang?

Pengurus negara mestinya harus mulai paham dengan paradigma keadilan ekologi (ecological justice, disingkat ecojustice). Kehancuran ekologi lebih banyak disebabkan besarnya kepentingan pertumbuhan ekonomi, padahal konsideran UU No. 23 Tahun 1997 menegaskan adanya ’perkawinan’ ekonomi-ekologi. Hukum administrasi negara sebagai alat pengatur dan pengendali tak mampu menyelamatkan masyarakat, terpukau dengan prediksi angka pertumbuhan ekonomi tapi tak pernah memprediksi kerugian ekologis yang kini terbukti merusak kalkulasi ekonomi. Neraca ekonomi akan hancur jika neraca lingkungan hancur. Membangun ulang jalan tol atau memindahkan bandara merupakan akibat kerugian ekologis. Berapa banyak uang akan dikeluarkan? Namun, korban yang paling menderita adalah mereka yang berada di kelas bawah dalam stratifikasi sosial (kelompok sosial rentan) yang selama ini selalu disingkirkan dalam konsep pembangunan pertumbuhann ekonomi itu. Sudah tersingkir, miskin, lalu tersapu banjir dan tertimbun longsor.

Peradilan hukum perdata dan pidana pun kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban ekologis para elite perusak atau pencemar alam. Konon, menurut penjelasan UUD 1945, Indonesia ini merupakan negara hukum (rechtsstaat). Praktiknya, dalam masalah-masalah kecil, hukum selalu garang kepada rakyat lemah. Justru dalam masalah besar hukum tidak serius menghukum ’orang-orang besar.’ Korporasi besar-besar yang hanya bernafsu mereguk keuntungan tapi menumpahkan racun serta kerusakan lingkungan dan sosial, tidak diberi sanksi hukum yang tegas, padahal konon hukum Indonesia yang bersumber dari Pancasila yang menuju pada keadilan sosial. Pancasila hidup dalam kematian moral para pemujanya.

Hakim dan pengadilan dalam mengadili perkara memang harus memihak, bukan kepada penggugat atau tergugat, bukan kepada penuntut atau terdakwa, tetapi memihak kepada kebenaran dan keadilan. Doktrin hukum Indonesia bukan individualisme, tapi integralisme sosial. Bangunan Indonesia dalam pandangan Prof. Soepomo, salah satu penyusun UUD 1945, merupakan paham negara integralistik. Rakyatnya bersatu dengan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia. Kemakmuran dan kebahagiaan bukan milik pribadi-pribadi yang diperoleh dengan cara merusak nasib orang lain. Hukum seharusnya menjadi alat pencegah kejahatan lingkungan hidup, pengendali perilaku, tapi malah berubah menjadi monster sosial, meluaskan lingkungan kematian. Negara demokrasi macam apa yang sedang berjalan ini?

Negara seharusnya segera mengubah paradigma tentang pembangunan ekonomi. Ruang negara ini harus ditata dengan konsep berpadu yang memerhatikan pelestarian fungsi ekologi. Kanal Timur yang dibuat Jakarta hanyalah solusi tambal sulam jika tak menyisakan lahan-lahan penyerapan air hujan. Bogor yang selama ini digunduli juga harus ditata ulang. Diperlukan ketegasan pemerintahan. Jika selama ini pemerintah sadis dalam menggusur masyarakat miskin yang dianggap mengganggu ketertiban, lantas mengapa tidak berani ’menggusur’ rumah-rumah mewah yang merusak fungsi pelestarian lingkungan hidup?

Negara ini sudah ratusan tahun terjajah. Kini setelah merdeka tak mampu menyelamatkan rakyat dari kutukan ketertindasan. Bahkan Indonesia hanya menjadi dapur ekonomi para raksasa dunia. Akibatnya, hanya penderitaan yang menjadi makanan rakyat Indonesia sehari-hari.

Keselamatan ekologis menjadi syarat keselamatan manusia sebab manusia hidup bergantung kepada alam. Kalau Indonesia menoleransi perusakan dan pencemaran alam atas nama pembangunan ekonomi, yang diterima hanya kehancuran, bukan kemajuan. Perangkat hukumnya sudah ada, tinggal ditegakkan!

Tidak ada komentar: