Rabu, 13 Februari 2008

Jasa Besar Rakyat vs Pak Harto

Ketika Pak Harto, orang besar Orde Baru itu dalam keadaan sakit keras, pro-kontra pendapat tentang pemberian maaf kembali bergemuruh. Jasa besar Pak Harto menjadi argumen sentral dan dianggap penting untuk memaafkan Pak Harto. Sayangnya, banyak orang pintar yang mencampur-aduk antara soal pemberian maaf dengan hukum dan keadilan. Runyamnya, gagasan pemberian maaf kepada Pak Harto maunya dibarter dengan jasa besar Pak Harto. Besarnya jasa Pak Harto diukur dengan peran Pak Harto dalam perjuangan memertahankan kemerdekaan, membesarkan Indonesia di jaman Orde Baru saat Pak Harto menjadi presiden.

Suara-suara rakyat kecil di pasar, warung, sawah, tegalan mengomparasikan keadaan kini dengan jaman Pak Harto. Kata mereka, keadaan sekarang lebih sulit dibanding jaman Pak Harto. Itu dijadikan rujukan. Ada juga pemikir yang meminta kita agar tidak menguras energi untuk mikir soal Pak Harto sebab ada masalah yang jauh lebih penting, menghadapi gelombang besar globalisasi. Katanya, lawan kita bukan Pak Harto, tapi negara-negara raksasa, Amerika Serikat (AS) contohnya.


Jasa besar


Di dunia ini, malang benar nasib orang atau rakyat kecil. Meski tubuhnya kering, keringatnya habis terperas dalam peran mereka membangun negara, tapi sangat jarang ada penilai yang kemudian mengusulkan kepada rakyat kecil untuk sekedar memeroleh tanda jasa, meski mereka tak akan pernah berpikir soal tanda jasa. Beberapa waktu lalu di Surabaya ada seorang Kepala Dinas yang diberikan penghargaan atas jasanya untuk mengasrikan, menghijaukan kota. Tapi yang jelas bukan sang Kepala Dinas yang bersimbah keringat mencangkul dan menanam tanaman, juga bukan dia yang masuk ke dalam got atau selokan untuk membersihkannya. Sang Kepala Dinas cukup dengan tongkat wewenangnya bisa menyuruh orang-orang kecil bawahannya, dengan ongkos pekerjaan yang dianggarkan dari uang dan kekayaan rakyat. Lalu semua beres. Jadi, jasa besarnya dinilai dari kepintarannya dalam memimpin, menggerakkan rakyat kecil untuk bekerja keras. Rakyat kecil hanyalah alat, mesin kerja. Kebesaran jasanya diambil-alih oleh pimpinannya.

Silahkan bertanya kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Pak Harto berjasa besar: Apa arti jasa dan apa ukuran besar atau kecilnya jasa? Apa beda antara pemenuhan tugas kewajiban kenegaraan atau pemerintahan dengan jasa? Jika seumpama mereka dapat menjelaskan dengan tartil dan tepat, lalu tanyakan: apakah jasa dalam konteks pemikiran agama, moral dan hukum dapat ditukar dengan maaf? Lalu siapa yang berhak memberi maaf: Rakyat semuanya, pemerintah, pengadilan, korban, atau siapa? Bagi kita, sulit untuk memeroleh persamaan perasaan dan pikiran keadilan antara orang yang merasa menjadi korban Pak Harto dengan pihak yang merasa memeroleh jasa Pak Harto. Jika saja hukum memaksakan diri untuk mengabaikan para korban maka terjadilah tirani hukum yang menyumbat akses keadilan.

Selanjutnya kita mesti belajar untuk lebih mendalami tentang arti tugas dan kewajiban sebagai penyelenggara negara dibandingkan dengan arti jasa. Jasa besar Pak Harto dalam perasaan dan pikiran orang-orang yang menganggap demikian, apakah disebabkan oleh peran Pak Harto yang lebih besar dibandingkan kewajibannya sebagai pengurus negara, ataukah memang peran yang dilakukannya itu tugas dan kewajibannya? Jika dalam soal Pak Harto, kasus lumpur Lapindo, perkara korupsi, narkoba dan lingkungan hidup negara ini tak bisa tegas menyelesaikannya, jangan harap bisa menghadapi AS, Cina dan arus globalisasi. Wong ngurus kedelai saja kita seperti keledai, padahal tanah di negara ini teramat luas? Lha kaya minyak tapi juga pusing dengan tingginya harga minyak? Ini republik jungkir-balik. Kalau Rusia punya Vladimir Putin, Indonesia melahirkan ‘Vladimir Pusing.’


Rakyat kecil


Seorang maharaja pun tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan para penasihat dan pembantu di sekelilingnya. Pun tanpa peran rakyat sebagai roda kendaraan negara maka negara tak bisa bergerak maju. Rakyat adalah nyawa dan kunci kekuatan serta kemajuan negara. Pikiran dasar itu sering dilupakan sehingga dengan tergesa-gesa kita menyimpulkan bahwa kebesaran Indonesia jaman Orde Baru merupakan jasa besar Pak Harto. Jika cara berpikir seperti itu kita bawa ke masa depan maka negara ini akan tetap mengalami kelumpuhan sebab rakyat yang menjadi nyawa negara ini kita letakkan di kotak wayang, dianggap bayang-bayang kebesaran para pemimpin negara.

Dengan pemahaman tersebut kita telah mendewakan investor dengan cara menghambakan rakyat dalam pembangunan. Revolusi Hijau jaman Orde Baru dipahami sebagai langkah keberhasilan swasembada pangan Indonesia, padahal investasi pembangunan pertanian yang mengandalkan pupuk kimia (anorganik) menjadi bencana pertanian masa depan, sebab tanah pertanian mengalami kerusakan akumulatif akibat pengasaman. Hari ini para petani menanggung beban ongkos produksi yang tinggi. Jika saja tak segera disadari, bencana pertanian Indonesia akan semakin besar. Belum lagi patenisasi benih akibat kekuasaan investor yang menimbulkan ketergantungan para petani kepada para penguasa paten benih. Negara tunduk kepada investor, rakyat dibiarkan menjadi hamba. Inilah salah satu bentuk tirani korporasi seperti yang dilihat ekonom David Korten (1995).

Indonesia harus kembali ke khitahnya sesuai landasan konstitusional negara ini, UUD 1945. Pengurus negara merupakan pelayan jasa publik, rakyat merupakan pemilik kedaulatan. Jasa besar para pengurus negara merupakan tugas dan kewajiban hukum. Itu tak dapat dipersamakan dengan misalnya seorang sukarelawan sosial yang melayani rakyat meskipun hukum tidak menugaskan dan mewajibkannya. Mulailah menata ruang-ruang negara ini dengan orientasi kebutuhan rakyat, bukan karena kebutuhan para pemodal, sehingga kita tak akan gampang menabrak konsep konservasi ekologis agar dapat menyelamatkan rakyat. Kemajuan apa yang hendak diraih Indonesia jika praktik pembangunannya melahirkan bencana yang membawa kerugian ekonomi, sosial dan budaya setiap detik detak jantung Indonesia?

Kita mesti mulai menengok jasa besar rakyat kecil kepada Indonesia. Mereka biasanya dikorbankan, digusur, digerakkan untuk pembangunan Indonesia. Kita tak akan mampu melawan besarnya gelombang globalisasi tanpa kekuatan rakyat. Kekuatan rakyat adalah ketahanan mereka. Syukur-syukur investasi rakyat Indonesia bisa merambah ke luar Indonesia, untuk menjadi sahabat baik asing, bukan menjajah. Seperti dalam politik, mungkin tak ada sekutu abadi dalam ekonomi. Investor akan kembali ke asalnya jika hajatnya selesai. Seharusnya bukan Indonesia yang dimanfaatkan mereka, tapi mereka bermanfaat untuk Indonesia. Rakyatlah merupakan sekutu abadi negara. Mulailah bekerja dengan rakyat, tidak dengan cara membohongi, menipu dan mengorbankan rakyat. Kasus Pak Harto menjadi pelajaran. Hanya bangsa bodoh yang tak mau dan tidak mampu belajar. Lebih bodoh lagi jika tetap bodoh setelah belajar.

Tidak ada komentar: