Kecil
Rp. 50,22 triliun milik keluarga Ical itu kecil, jika dibandingkan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pernah ‘dipinjam’ para pemilik bank-bank di Indonesia senilai Rp. 699,9 triliun, tapi menurut catatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di akhir masa tugasnya berakhir 27 Pebruari 2004 nilai uang itu menyusut menjadi Rp. 449,03 triliun sebab banyak aset yang nilainya digelembungkan. BPPN hanya berhasil mengembalikan kepada negara sebesar Rp. 172,4 triliun. Cuma, kekayaan keluarga Ical memang lebih banyak dibandingkan kerugian negara sebesar 2,53 USD atau sekitar Rp. 23 triliun temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit terhadap 5 kontraktor production sharing (KPS), yaitu Cevron Pasifik Indonesia, Conoco Philips Grissik, Petro China Internasional Jabung, Medco E & P Rimau dan BOB Pertamina – Hulu – PT. Bumi Siak Pusaka, dan menemukan (Jawa Pos, 4/11/2006). Kelak kita juga akan tahu bagaimana hasil audit BPK terhadap Grup Bakrie yang juga menjadi KPS di Blok Brantas dengan kasus lumpurnya itu.
Kekayaan keluarga Ical itu terlalu kecil dibandingkan data Bank Dunia tentang rakyat miskin Indonesia tahun 2006 yang persentasenya 49 persen dari sekitar 230 juta orang Indonesia. Indonesia yang dipenuhi rakyat miskin dan para koruptor ini patut bangga memiliki Ical, Sukanto Tanoto, R. Budi Hartono, Eka Tjipta Widjaja, dan orang-orang kaya Indonesia lainnya yang diumumkan oleh Forbes kepada dunia. Mereka mengharumkan Indonesia. Itu juga menunjukkan bahwa prinsip Bhineka Tunggal Ika di Indonesia semakin membanggakan, tidak terbatas pada kesatuan dalam multikultur, agama, adat, suku, warna kulit dan lain-lain, tapi juga kesatuan dan persatuan antara orang kaya, miskin, koruptor, orang jujur, pendosa, pemahala, penipu, perampok, pemangsa, korban, dan lain-lain.
Award
Keluarga Ical tak akan memberi award bagi dirinya sendiri, dengan Ahmad Bakrie Award atas kesuksesan ekonomi itu. Tapi, siapapun boleh memunyai ide untuk memberikan award kepadanya, sebab ideologi bangsa Indonesia semakin mengarah pada materialisme, termasuk penampilan. Saya mendengar protes ibu-ibu yang bertanya mengapa peraih Panasonic award bidang seni peran itu kok Agnes Monica, bukan misalnya Naysilla Mirdad yang aktingnya digandrungi ibu-ibu, mampu membuat air mata mereka meleleh-leleh. Suara ibu-ibu itu kalah jumlah dengan anak-anak mereka yang tak tertarik dengan peran-peran orang rendahan. Anak-anak muda sekarang lebih kagum dengan penampilan yang enerjik, menawan, elegan dan mewah. Lupakan peran orang miskin, kesan kuno, dan lugu! Itu penampilan outdated, tidak laku, hanya mampu menarik orang-orang yang mendekati ajal.
Tetapi lain dalam politik: Rakyat miskin merupakan daya tarik dan kebutuhan. Di setiap kampanye, baik di dalam jadual yang ditetapkan maupun di luar jadual seperti yang saat ini juga sedang berlangsung, rakyat miskin adalah kekuatan yang harus ditarik dengan magnet janji, tak peduli gombal. Jika perlu dengan mimik serius dan titik air mata. Siapapun politikus yang dapat menarik harapan kaum miskin mayoritas itu, akan memeroleh tongkat legal kekuasaan dalam negara demokrasi. Dalam masa kampanye itulah, ketika politikus belum berkuasa, atau sedang memersiapkan perpanjangan kekuasaan, rakyat miskin menjadi sangat berarti. Tak peduli bagaimana nasib mereka setelah memilih sang aktor politik. Rakyat miskin menjadi obyek penelitian, menjadi alat hitung anggaran negara yang harus dikeluarkan. Setelah puluhan tahun, nasib rakyat miskin tetap terjaga, aman tak goyah tetap miskin. Tetapi seringkali miskin secara tidak aman sebab sewaktu-waktu dihalau dengan pentungan serta letupan amunisi.
Menjadi rakyat miskin Indonesia merupakan prestasi luar biasa. Partisipasi demokrasi mereka tinggi. Di Papua yang kaya-raya tapi rakyatnya miskin itu, rakyat pedalaman rela berjalan kaki sehari dua malam, bermalam di hutan dalam perjalanan, untuk memberikan suara mereka dalam pemilu, dalam ritual demokrasi. Setelah itu rakyat miskin diuji kesabaran mereka, benar-benar teruji, karena janji kosong kampanye politik terus mengalun, menyeruak di setiap pori-pori kehidupan bernegara. Akhirnya, rakyat miskin menyadari: bahwa kebohongan adalah biasa terjadi, termaklumkan, menjadi tradisi, hukum adat korupsi. Rakyat miskin pun mulai meniru gaya itu, adat korupsi berkembang. Jika kelak ada di antara kaum miskin yang berubah nasib sehingga sanggup membangun gedung-gedung, mereka akan mengisinya dengan kebohongan pula, sampai penuh dan bahkan temboknya pecah, kebohongan itu tumpah berserakan memenuhi halaman, jalan-jalan raya, dan bertemu dengan serakan kebohongan yang tersemburat tumpah dari gedung-gedung kekuasaan. Jadilah negara ini bangunan kebohongan.
Keluarga Ical boleh menerima ‘Kaya Award’, tapi rakyat miskin lebih berhak menerima ‘Miskin Award’. Politikus mungkin membutuhkan uang, tapi negara ini akan mengalami ‘kematian’ demokrasi ketika rakyat miskin tak ada. Keluarga Bakrie hanya puluhan orang, tapi rakyat miskin Indonesia jutaan orang. Tanpa jutaan rakyat miskin itu, tak ada lagi kehidupan seni politik peran yang menangisi kemiskinan, tak ada lagi seni permainan anggaran kemiskinan, tak ada lagi pesta seni sunatan dana-dana bantuan, tak ada lagi … jika tak ada rakyat miskin itu.
Lalu bagaimana kelak nasib negara ini jika yang tua meneruskan pengembaraan mereka untuk terus memainkan seni politik peran dan merasa terlalu jauh dari kematian? Bagaimana pula jika kaum mudanya terlalu mengagumi kemewahan serta kekayaan, berusaha melebihi apa yang telah diperoleh kaum tua yang terus gemar bermain? Apa kelanjutan acara pidato kepemudaan di Jakarta sewaktu ‘bersumpah pemuda’ yang baru saja mengalun penuh semangat itu? Masak rakyat miskin akan mengalungkan bunga tanda Retorika Award kepada para pemuda itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar