Katakanlah diukur dari Surabaya, jumlah dana tersebut setara dengan anggaran beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kota Surabaya selama 14,5 tahun (anggaran raskin Kota Surabaya pertahun adalah Rp. 6 miliar), setara dengan biaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran di Sidoarjo (yang terjebak kasus lumpur Lapindo itu) selama 4 tahun, atau bisa untuk membangun 1.751 unit rumah sederhana dengan harga Rp. 49 juta perunit, bisa untuk membayar upah 106.650 orang buruh menurut upah minimum Kota Surabaya (Surya, 12/12/2007).
Lembaga ‘bisnis’
Sebenarnya anggaran DPR tahun 2007 dinaikkan hampir 50 persen, dari Rp. 1,085 triliun menjadi Rp. 1,519 triliun. Dengan 550 orang jumlah anggota DPR maka rata-rata seorang anggota DPR tahun 2007 ini dijatah sekitar Rp 2,760 miliar setahun, atau Rp 230 juta perbulan. Mengapa kehendak dan tabiat para pejabat wakil rakyat tersebut selalu paradoks dengan fakta kemiskinan di negara ini yang ditahun 2006 saja menurut Wolrd Bank adalah 49 persen dari total penduduknya?
Sesungguhnya tingkah laku tersebut tidak jauh-jauh dari tabiat korup bangsa ini. Jika kita melihat negara ini digarong habis-habisan dalam kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang masih menyisakan masalah, menjadi episode kisah korupsi yang panjang, itupun tak lepas dari korelasi disfungsi tugas kontrol para anggota dewan. Bagaimana mereka akan mengontrol pemerintahan untuk melaksanakan efesiensi ekonomi dan pemberantasan korupsi jika DPR ternyata menjadi dewan pemiskinan rakyat? Bagaimana pelaku korupsi mau mengawal pemberantasan korupsi, jika tak ingin bunuh diri?
Tabiat para anggota dewan tersebut mengukuhkan pendapat bahwa partai politik lebih banyak menjadi mesin pengerat terhadap uang negara. Benar nyatanya apa yang dikatakan Yudi Latif bahwa pertimbangan ekonomis seringkali mengalahkan aspirasi publik seperti diindikasikan oleh hasil jajak pendapat. Yang dilakukan parpol bukanlah menjaring aspirasi rakyat, melainkan menjaring sebanyak mungkin arus dana yang masuk (Gatra Nomor 33, Juni 2007). Kelakuan parpol tersebut adalah sebagaimana yang dilakukan para pengurusnya yang duduk di parlemen dan lembaga pemerintahan. Dengan demikian kita tak bisa mengharapkan agar DPR tak menjadi lembaga ‘bisnis’ tempat untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Racun hedonisme yang dahulu merambah ke otak para penganut feodalisme, otoritarianisme, kapitalisme, komunisme, kini juga menyerang di ruang-ruang demokrasi sehingga negara inipun mengalami kesesatan demokrasi, berubah menjadi hedonikrasi.
Penindasan yuridis
Johan Galtung (1996) berteorema bahwa dalam negara otoriter yang tertindas mungkin kaum kelas menengah, dan dalam negara demokrasi yang tertindas adalah kaum kelas bawah. Ini juga tampak di Indonesia. Dahulu di masa Orde Baru kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) banyak terjadi terhadap hak-hak sipil dan politik yang biasa lebih mudah diakses kaum menengah dibandingkan rakyat jelata. Waktu itu Golkar menjadi parpol penguasa yang tak tertandingi sebab kekuasaan koersif mendesain keadaan seperti itu. Dua parpol lainnya, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan kesulitan hidup. Penindasan kepada rakyat jelata hanya terjadi ketika ada halangan-halangan politik kekuasaan dan kebijakan ekonomi yang terhalang. Cara penindasannya secara langsung, main ambil, tangkap, buang, siksa atau bunuh.
Tapi pelanggaran HAM di jaman Orde Reformasi (yang demokratis) dilakukan secara lebih cerdik dan sistematis. Hak-hak sipil dan politik dilanggar dengan cara penetapan aturan electoral threshold bagi parpol, tetapi tidak mempunyai akibat yang penting sebab para elite politik dapat menempuh jalan lain dengan mengubah nama parpol. Justru yang mempunyai akibat penting terhadap kesejahteraan rakyat adalah penindasan sistemik yang menggunakan instrumen hukum kekuasaan. Undang-undang dan regulasi lainya didesain untuk kepentingan elite yang mempunyai akibat tersingkirnya atau tereduksinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat kelas bawah yang selama ini dianggap ‘biangkerok’ ketakutan investor. Aturan-aturan dibuat sedemikian rupa sehingga para pejabat bisa leluasa memperoleh sebanyak-banyaknya uang dan fasilitas negara yang mempunyai akibat inefisiensi pengelolaan atau pembelanjaan uang negara, dan rakyatlah korbannya.
Maka di negara ini ada kecerdikan elite penguasa untuk meloloskan diri dari ilegalitas korupsi dengan jalan legalisasi korupsi. Kasus-kasus penganggaran belanja negara dan daerah-daerah dalam Undang-undang tentang APBN ataupun Peraturan Daerah tentang APBD dari tahun ke tahun yang menunjukkan tingginya angka belanja untuk keperluan para pejabat, mereduksi optimalisasi dana pengentasan kemiskinan dan investasi sosial, merupakan gejala legalisasi korupsi. Padahal konstitusi mengamanatkan agar kekayaan dan keuangan negara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah yang dapat dikatakan sebagai penindasan yuridis dalam negara demokrasi yang sesat, di mana hukum didesain untuk keuntungan ekonomi para pemain politik sehingga tetap memiskinkan rakyat, terutama yang sudah miskin. Demokrasi menjadi sesat sebab pemerintahan bukan lagi dari, oleh, dan untuk rakyat, tapi berubah menjadi pemerintahan dari rakyat (melalui pemilu atau pilkada), oleh dan untuk pemegang kekuasaan. Jadi, rakyat dirayu saat kampanye pemilu atau pilkada, lalu dikhianati setelah pemilu dan pilkada.
Menghadapi situasi seperti itu maka rakyat harus mulai menyusun kebersamaan untuk menguatkan partisipasi dan kontrol dalam/kepada pemerintahan. Pembentukan forum-forum rakyat di seluruh wilayah negara ini perlu dilakukan. Forum-forum tersebut terhubung sebagai jaringan rakyat. Kekuatan rakyat terorganisir sebagai alternatif mendorong jalanya pemerintahan yang baik, ketika parpol-parpol tak mampu mengendalikan perilakunya. Rakyat berhak untuk ‘memaksa’ para wakilnya dan penyelenggara negara untuk kembali ke jalan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar