foto ini diambil dari makassar.tribunnews.com
Sebelum merenung mendalam, sedalam
samudera planet Yupiter (emang ada?), orang-orang di medsos sudah ramai-ramai menghakimi
Neno Warisman, politisi pendukung calon presiden – wakil presiden Prabowo –
Sandi. Mengapa itu terjadi?
Memang, ada warga media sosial
facebook yang abnormal. Banyak. Siapa mereka? Contohnya, mereka yang tidak mempunyai
kapasitas dalam ilmu hukum, tetapi membuat argumentasi hukum alakadarnya
berdasarkan logika yang dimilikinya. Bahkan mereka ini dalam perdebatan ilmu
hukum merasa lebih hebat dibandingkan para sarjana hukum, master hukum, doktor
hukum. Padahal sekolahnya tidak mendalami ilmu hukum. Mengapa itu bisa terjadi
pada mereka? Mereka sedang mabuk kepayang dalam urusan dukung-mendukung dalam pemilu capres.
Tapi ada baiknya lebih dulu saya beberkan riwayat atau latar belakang kemabukan massal itu.
Latar Belakangnya: Siapakah
Prabowo dan Jokowi?
Sebelum saya membahas doa
Neno Warisman yang meniru doa Rasulullah Muhammad SAW dalam Perang Badar itu,
saya akan membahas dulu latar belakang doa itu, yakni dengan menjawab
pertanyaan: “Siapakah Prabowo dan siapakah Jokowi yang sebenarnya?” Apa kaitannya dengan doa Neno Warisman?
Para pembaca, yang baik dan
yang jahat. Termasuk para intelejen: yang baik dan yang jahat. Siapakah Prabowo
itu? Dia bukan siapa-siapa. Prabowo sesungguhnya bukan idola bagi masyarakat,
bahkan tidak diidolakan oleh para pendukungnya sendiri. Kok bisa begitu? Iya.
Ayo kita buka memori politik
masa lalu. Masa lalu itu kadang penting untuk dikenang dan diingat. Ketika pemilu presiden dan
wakil presiden (pilpres) kali pertama tahun 2004, ada 6 pasang capres-cawapres,
yakni: 1. Jenderal Wiranto – KH Salahuddin Wahid dicalonkan Partai Golkar; 2. Megawati
Sukarnoputri – KH Hasyim Muzadi dicalonkan PDIP; 3. Amien Rais – Siswono Yudhohusodo
dicalonkan PAN; 4. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) dicalonkan
oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI; 5. Hamzah Haz – Jenderal Agum Gumelar
dicalonkan PPP; dan KH Abdurrahman Wahid – Marwah Daud Ibrahim dicalonkan PKB.
Dari enam pasang
capres-cawapres tersebut, pasangan Gus Dur – Marwah Daud Ibrahim dinyatakan
tidak lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebab Gus Dur tidak lolos tes
kesehatan atas rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Gus Dur kecewa, menggugat KPU
dan IDI ke Pengadilan, tetapi upaya hukumnya gagal. Pada waktu itu, oleh karena
Gus Dur gagal lolos menjadi capres dalam pilpres 2004 itu, maka dia menyatakan
mendukung adiknya, KH Salahudin Wahid sebagai cawapres yang berpasangan dengan
Wiranto. Namun pasangan Wiranto – KH Salahuddin Wahid kalah dan tidak lolos ke
putusan kedua dalam pilpres 2004 tersebut, sehingga Gus Dur memutuskan untuk
golput alias tidak mendukung pasangan capres-cawapres yang lolos ke putaran
kedua, yakni Megawati – KH Hazim Muzadi yang melawan SBY – JK.
Dalam putaran kedua itu SBY –
JK memenangkan pilpres 2004, sehingga SBY – JK menjadi presiden dan wakil
presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat dalam sejarah politik di
Indonesia.
Pada waktu itu, tahun 2004,
Prabowo dan Jokowi di mana? Prabowo di tahun 2004 masih di Golkar. Tapi di
internal Golkar itu, Prabowo kalah pengaruh melawan Wiranto yang lolos konvensi
menjadi bakal calon presiden yang diusung Partai Golkar. Lha Jokowi di tahun
2004 itu baru menjadi pengurus DPC PDIP Solo. Tahun 2005 barulah Jokowi menjadi
Walikota Solo berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo. Waktu itu Jokowi belum
populer. Dia terpilih menjadi Walikota Solo dengan perolehan suara hanya sekitar
36,62%. Setelahnya, media massa gencar memberitakan “kehebatan” Jokowi sebagai
Walikota Solo.
Pilpres tahun 2004 itu,
siapakah yang tidak kenal Megawati, puteri Presiden Sukarno yang sangat populer
sejak zaman Orde Baru itu. Bahkan saat masih mahasiswa, di zaman Orde
Baru, saya pengagum Megawati, pernah berkirim surat dukungan kepadanya untuk
terus memperjuangkan demokrasi Indonesia. Tapi ketika Megawati menjadi presiden setelah Gus Dur dilengserkan, saya agak sebel sama dia. Kebijakan-kebijakannya tidak sesuai yang saya harapkan. Saya juga pernah mengritiknya dengan opini di koran Jawa Pos saat pemerintahannya mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk konglomerat Sjamsul Nursalim dalam kasus korupsi BLBI, dalam rangka penghentian kasus korupsi BLBI yang diselesaikan dengan cara "cengli cengli" itu. Menyebalkan.
Namun, ternyata di pilpres 2004 itu Megawati kalah. Di putaran pertama, Megawati – KH Hasyim hanya memperoleh
sekitar 26,6% suara, kalah dengan SBY – JK yang memperoleh sekitar 33,5% suara.
Di putaran kedua pilpres 2004 itu, Megawati – KH Hasyim hanya mendapatkan 39,3% suara. Mereka kalah
telak dengan SBY – Kalla yang meraup 60,6% suara. Rakyat mayoritas percaya
kepada SBY – JK untuk menjadi presiden.
Mengapa Megawati yang populer
sejak zaman Orde Baru itu tidak lagi dipercaya oleh mayoritas rakyat untuk
menjadi presiden, dibandingkan dengan SBY yang tadinya di zaman Orde Baru adalah
“jenderal yang tidak terkenal”, kecuali hanya dikenal di kalangan para aktivis
demokrasi?
Ya. Rakyat sedang mencari juru selamat negara, setelah Megawati dinilai
tidak berhasil, sebagai presiden sebelumnya. Tetapi mengapa pilihan rakyat kok
pada SBY – JK, kok bukan kepada Wiranto, atau para kyai NU semacam KH Salahudin
Wahid dan KH Hasyim Muzadi yang juga populer di kalangan umat NU?
Ternyata, ketokohan NU dalam
riwayat politik nasional ini, meskipun dipadukan dengan ketokohan nasionalis
populer seperti contohnya Megawati itu, tidak terlalu menentukan suara rakyat
mayoritas.
Lalu sosok yang bagaimana
yang dicari oleh rakyat Indonesia ini? Ternyata tokoh populer semacam Amin Rais pun juga tidak diminati rakyat untuk menjadi presiden. Nah.....
Selanjutnya, di pilpres tahun
2009 inilah Prabowo muncul di pentas politik nasional dengan menggunakan Partai
Gerindra yang didirikannya pada Februari 2008. Tahun 2009 adalah tahun
kemesraan PDIP – Gerindra, yang mengusung Megawati – Prabowo sebagai
capres-cawapres yang juga didukung oleh beberapa partai gurem seperti Partai
Kedaultan, Partai Pakar Pengan, Partai Marhainisme, Partai Buruh, PSI (bukan
PSI-nya Grace Natalie loh ya..), dan Partai Merdeka.
Pada waktu itu Megawati –
Prabowo melawan para capres-cawapres lainnya, yakni pasangan JK – Wiranto yang
diajukan oleh Partai Golkar dan Partai Hanura; serta pasangan SBY – Budiono yang
dicalonkan oleh Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan PKB yang didukung oleh 18
partai kecil termasuk PBB, PDS, PKPI, dan lain-lain.
Lagi-lagi dalam pilpres 2009
itu SBY menang telak dari lawan-lawannya dengan memperoleh 60,8% suara.
Megawati – Prabowo hanya memperoleh 26,79% suara. JK – Wiranto hanya
mendapatkan 12,4% suara. Kemenangan SBY yang terpilih sebagai presiden selalu
dengan perolehan suara yang meyakinkan. Dua kali Megawati selalu kalah telak melawan
SBY yang pernah menjadi menterinya.
Bayangkan, Prabowo di tahun
2009 berpasangan dengan tokoh populer seperti Megawati itu, ternyata hanya
mendapatkan 26,79% suara. Jadi, Prabowo itu tidak populer di mata rakyat. Dia
bukan siapa-siapa. Prabowo bukan tokoh yang menjadikan masyarakat Indonesia
tertarik kepadanya. Dia kalah jauh dalam kepopuleran dibandingkan SBY.
SBY-lah yang menjadi
harapan rakyat mayoritas, dipercaya oleh rakyat mayoritas dengan perolehan suara
yang cukup meyakinkan, karena SBY dinilai dapat diharapkan menjadi juru selamat
bangsa. Meskipun akhirnya banyak kader tokoh partai Demokrat yang ditangkapi
KPK dalam kasus suap (korupsi), seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan
Angelina Sondakh serta Nazarudin yang fenomenal itu. Inilah manusia. Godaan harta dan cinta asmara bisa menjatuhkannya.
Pada saat itu, tahun 2009
Jokowi sudah sangat populer, menjadi aktor politik yang ditokohkan oleh media
massa dengan kisah-kisah kesuksesannya. Pada waktu itu pemerintahan SBY
memberikan penghargaan-penghargaan kepada Jokowi, seperti contohnya penghargaan
Kota dengan tata ruang terbaik (ke-dua), Pelayanan Prima tingkat nasional,
pelaksanaan pengelolaan keuangan yang baik, dan lain-lain. Majalah Tempo juga
menobatkannya sebagai salah satu tokoh dari 10 tokoh nasional tahun 2008. Oleh
karena itu, saat pemilihan Walikota Solo tahun 2010, Jokowi meraup suara lebih
dari 90% dari suara pemilih. Tahun 2010 itu Jokowi sudah sangat populer citra
ketokohannya di tingkat nasional. Saat itu, Prabowo masih bukan siapa-siapa,
kalah jauh citranya dibandingkan dengan Jokowi.
Singkat cerita, karena
ceritanya sudah panjang, Jokowi diorbitkan menjadi Gubernur DKI Jakarta dari
usaha bersama kemesraan Megawati dan Prabowo. Bahkan Prabowo pernah mengatakan
bahwa dialah yang meyakinkan Megawati agar Jokowi diusung menjadi calon
Gubernur DKI Jakarta dengan pasangan Ahok selaku calon wakil Gubernur. Ada yang
mengatakan bahwa itu dibiayai oleh Hashim Djoyohadikusumo. Baiklah,
setidak-tidaknya waktu itu Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan cara “mokel”
dari jabatannya sebagai Walikota Solo adalah tidak luput dari peran Prabowo
yang hal itu sudah diakui oleh Jokowi sendiri. Jadi, para pendukung Jokowi apa gak perlu cium tangan Prabowo nih...? Salim gitu?
Waktu itu barangkali Prabowo
memang berharap Megawati dan PDIP akan melaksanakan isi Perjanjian Batutulis 16
Mei 2009, di butir 7 menentukan bahwa Megawati dan PDIP akan mendukung
pencalonan Prabowo sebagai capres di pilpres tahun 2014. Tapi ternyata yang
namanya janji politik itu sering meleset. Rakyat sudah sering mengalami itu.
Nah, di tahun 2014 itulah,
ketika hanya ada dua tokoh yang menjadi calon presiden, yakni Jokowi dan
Prabowo, dengan latar belakang riwayat itu, maka mulai muncul polarisasi tajam.
Yakni pendukung Jokowi melawan pendukung Prabowo. Para pendukung Jokowi adalah
mereka yang mempercayai kehebatan Jokowi sebagai juru selamat rakyat. Maka
dalam pilpres tahun 2014 dibuat hayalan oleh para pendukung Jokowi, bahwa kubu
Jokowi – JK adalah Pandawa yang sedang melawan kubu Prabowo – Hatta Rajasa (HR)
yang digambarkan sebagai pihak Kurawa. Para aktivis HAM dan demokrasi berkampanye
agar rakyat tidak memilih Prabowo yang distempel sebagai pelanggar HAM,
penculik para aktivis di zaman perjuangan reformasi.
Saya suka dengan tekad para aktivis ini saat mereka melihat di sekeliling Jokowi ada Jenderal Wiranto, Jenderal Hendropriyono, Jenderal Ryamizard Ryacudu, Jenderal Luhut Panjaitan dan tokoh-tokoh Orde Baru lainnya, termasuk JK. Para aktivis itu bertekad, "Kita akan merebut Jokowi dari oligarki itu?" Saya dalam hati meledek, "Yah...menolak orang yang dibilangnya penculik, kok menerima idolanya didampingi si anu si itu tuh... Coba bisa nggak kelak merebutnya." Tapi ledekanku itu tidak buruk juga. Ternyata hingga sekarang para aktivis itu sedikitpun tak mampu menarik tangan Jokowi. Mau merebut gimana?
Kembali pada hal kepopuleran
Jokowi. Ada sebagian masyarakat yang tidak suka dengan Jokowi, karena Jokowi
dianggap plin plan dalam omongannya. Saat sudah menjadi Gubernur Jakarta,
katanya akan menyelesaikan masa
jabatannya selama 5 tahun, tetapi ternyata tidak. Belum lagi soal mobil esemka
yang turut mengangkat citranya, ternyata tidak ada juntrungannya. Belum lagi
ditambah adanya informasi fitnah bahwa Jokowi itu PKI dan sebagainya.
Jadi, dengan membaca riwayat
tersebut, sesungguhnya para pendukung Prabowo itu dalam dugaan saya, pada
umumnya mereka bukan orang-orang yang mengagumi Prabowo seperti para pendukung
Jokowi yang mengagumi Jokowi yang sejak awal citranya dibesarkan oleh media
massa.
Para pendukung Prabowo pada umumnya adalah mereka yang “tidak menyukai
Jokowi.” Seandainya lawan Jokowi bukan Prabowo, misalnya Cak Lontong atau Sukiman
petani Desa Banggle yang tidak populer itu, lalu diorbitkan di pentas politik
nasional untuk melawan Jokowi, maka orang-orang yang tidak suka dengan Jokowi
akan mengelu-elukan Sukiman itu dan menganggap Sukiman sebagai pahlawan yang
berani melawan Jokowi.
Dalam pilpres 2014, ternyata
kemenangan Jokowi – JK hanya sekitar 53,15% suara dan Prabowo – HR dengan 46,85%.
Pada waktu itu golput mencapai sekitar 30,4% dari suara pemilih terdaftar.
Jumlah pemilih terdaftar adalah 190.307.134 orang. Orang yang tidak menggunakan
hak pilih berjumlah 58.990.183 orang.
Nah, diantara orang yang
mendukung Jokowi dan orang yang tidak menyukai Jokowi inilah ada yang mabuk
kepayang, dengan halusinasi tinggi, penuh emosi. Bisa jadi kan Neno Warisman itu termasuk yang mabuk kepayang ingin ganti presiden 2019?
Tuhan Neno Warisman
Doa Neno Warisman yang
membuat dunia medsos ramai itu merupakan doa yang menirukan doa Rasulullah
Muhammad SAW pada saat Perang Badar. Sekitar 300 orang pasukan Rasulullah SAW
harus menghadapi sekitar 1.000 orang pasukan kafir Quraish dari Makkah. Mungkin
saja bahwa Rasululullah SAW berpikir bahwa jika pasukannya kalah maka sudah
tidak ada lagi orang yang percaya dengan Islam, dan umat Islam permulaan itu
akan punah. Makanya Rasulullah SAW berdoa, itinya: “Ya Allah jika kami tidak
menang maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahMu!”
Apa makna dari doa Rasulullah
SAW itu? Jadi, Tuhan orang Islam itu bukanlah Tuhan yang dipercaya oleh kaum
kafir Quraish Makkah itu. Makanya di dalam Islam ada ayat lakum dinukum waliyaddiin.
Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Silahkan saja kau menyembah tuhan yang kau
percaya, aku menyembah Tuhanku yang aku yakini. Jadi, Tuhan dalam pandangan
Islam tidak sama dengan Tuhan yang diyakini oleh agama lain. Meskipun ada yang
mencoba menganalogikan orang buta yang menilai bentuk gajah, ya itu tidak
berguna, sebab memang tidak begitu adanya. Mana ada orang beragama dibilang buta dalam akidah?
Saat Tuhan umat Yahudi dinilai
sudah berbeda karakter dalam pandangan golongan Yahudi lainnya, maka
muncul Yesus yang kemudian diyakini sebagai juru selamat sehingga muncul konsep
ketuhanan baru yang disebut Kristen itu. Tentu saja orang yang beragama Yahudi
tidak menyembah Yesus yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai Tuhan. Begitu
pula orang Islam tidak mungkin menyembah Yesus. Orang Kristen juga tidak pergi
ke kuil untuk menyembah Dewa. Jadi, Tuhan dalam keyakinan masing-masing agama
itu berbeda. Lha wong Tuhan dalam agama yang sama saja bisa yakini berbeda. Orang
Syiah menilai Allah meridhoi golongannya, tapi orang Sunni menilai Allah
melaknat orang Syiah.
Nah, oleh sebab itu, Neno
Warisman yang sedang berdoa dalam doanya itu, janganlah dinilai bahwa Tuhan
yang diyakini olehnya adalah Tuhanmu. Belum tentu. Kalian para orang pintar ini
kadang-kadang lucu dan GR, gegedean perasaan. Lalu kenapa kalian meyakini bahwa
Tuhan kalian adalah Tuhan Neno Warisman?
Mungkin ada yang bertanya,
bukankah sila ke-1 Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa? Jadi Tuhan itu hanya
satu. Iya. Tuhan Esa. Tak perlu harus Maha Esa. Jika ada Maha Esa, mengapa
tidak ada maha dua yang bukan Tuhan? Jadi, andaikan perumus Pancasila itu cukup
merumuskan “Ketuhanan Yang Esa” itu lebih pas. Kalau besar, layak jika Tuhan
Maha Besar. Kalau kuasa, layak jika Tuhan Maha Kuasa. Tapi kalau Satu, kenapa
harus ada Tuhan Maha Satu? Memang jumlah yang hanya satu itu bisa dibuat
menjadi maha?
Tuhan Satu itu menurut
keyakinan penganut monoteisme. Tapi siapa Tuhan Yang Satu itu, hal itu ada di
dalam bayangan atau keyakinan masing-masing pemeluk agama. Tidak mungkin
Tuhan Yang Satu itu mempunyai Kepribadian dan ciri yang berbeda dan bahkan
berlawanan. Oleh sebab itu, bisa jadi pula bahwa Tuhan Yang satu dalam bayangan
dan keyakinan Neno Warisman itu berbeda dengan Tuhan Yang Satu dalam bayangan
dan keyakinan kalian. Jadi, hentikan ke-GR-an itu! Jangan ikut-ikutan dengan
Neno Warisman yang sedang GR yang menganggap Tuhan yang dipercayai Neno adalah
Tuhan kalian.
Artinya, mungkin dalam keyakinan Neno Warisman, Tuhan para orang yang tidak menyukai Jokowi itu berbeda dengan Tuhan umat yang mendukung Jokowi. Jika sampai Jokowi menang maka orang tidak akan percaya lagi dengan Tuhan yang diyakini oleh Neno dan umat lainnya yang tidak menyukai Jokowi. Karena dalam pandangan Neno Warisman, Tuhan Neno Warisman itu juga tidak suka dengan Jokowi, bagaikan Tuhan yang tidak suka dengan Raja Firaun. Kira-kira begitu keyakinannya.
Lalu apa kaitannya dengan
riwayat kepopuleran Jokowi dan “ketidakpopuleran” Prabowo itu? Jadi begini.
Saya sudah sampaikan bahwa para pendukung Jokowi banyak yang mabuk kepayang dan
para orang yang tidak menyukai Jokowi juga banyak yang mabuk kepayang pula.
Zaman dahulu ada ulama
yang mabuk kepayang dengan keyakinannya seperti Al-Hallaj yang di dalam
ekstasenya dia bilang, “Ana Al-Haq.” Al-Haq itu ya Allah Yang Maha Benar. Akhirnya dia dipenjarakan, lalu dituduh
sebagai penghasut pemberontakan kepada Kekhalifahan Abbasyiah yang berpusat di
Baghdad, sehingga dia dihukum mati secara keji dan mengenaskan oleh kekuasaan
politik. Padahal penguasa yang memenjarakan dan menghukum mati Al-Hallaj itu tidak mengetahui maksud perkataan Al-Hallaj itu. Tapi karena penguasa saat itu juga mabuk kepayang maka terjadilah seperti itu.
Nah, Neno Warisman barangkali
juga termasuk yang sedang ekstase, mabuk cita-cita, agar di pilpres 2019 ini
nanti Jokowi kalah, sehingga Prabowo yang menjadi presiden. Coba perhatikan, tagar politik
yang selama ini terkenal adalah “2019GantiPresiden” dan bukan tagar “PrabowoPresiden-2019.”
Dilihat dari makna tagar “2019GantiPresiden” itu, artinya “yang penting 2019 ganti
Presiden", "yang penting bukan Jokowi.” Tapi karena lawan tandingnya hanya
Prabowo maka Prabowo lah yang dielu-elukan diharapkan menjadi pahlawan untuk
menggantikan Jokowi.
Prabowo tidaklah seperti SBY
yang tidak sekadar diharapkan masyarakat pendukungnya untuk mampu menghadang
Megawati, tapi SBY itu juga dinilai gagah dan ganteng oleh banyak para wanita, menjadi
idola, sesuai penilaian William Lidle, pengamat politik Indonesia saat itu. Prabowo
adalah “alat” atau subyek tumpuan ganti presiden 2019 bagi para orang yang tidak menyukai Jokowi. Makanya para pendukung
Prabowo tidak terlalu peduli amat siapa Prabowo itu.
Jika kemabukan massal itu terus berlangsung, ini akan menjadi NKRI = Negeri Kemabukan Rat-berat Indonesia. Oke.
Jika kemabukan massal itu terus berlangsung, ini akan menjadi NKRI = Negeri Kemabukan Rat-berat Indonesia. Oke.