foto ini dari BanjarmasinPost.co.id yang nampaknya dari Oso TV ya? Embuh.
Sebenarnya saya malas menulis tema ini. Ini membicarakan nasib elite. Bukan kelas saya. Tapi rasanya juga tidak tega melihat banyaknya opini yang simpang-siur yang bisa membuat orang salah paham. Jadi saya pun membesarkan hatiku sendiri: "Bagy...Tak ada salahnya kamu urun rembug, siapa tahu berguna." Baiklah.
Selama ini saya banyak
membaca di media sosial facebook, tentang kecurigaan bahwa pencalonan Mbah Kyai
Ma’ruf Amin (MA) sebagai cawapres dipasangkan dengan Jokowi merupakan taktik
untuk menaikkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai wakil presiden pengganti Mbah
Kyai MA di masa depan. Dalam amat hayalannya?
Sebenarnya kita ini tidak
boleh berburuk sangka. Tapi karena yang dihadapi adalah realitas politik yang
jauh dari lugu dan mungkin juga banyak ketidakjujuran, tidak hitam-putih, maka
kecurigaan semacam itu muncul.
Ya. Jangankan untuk menjadi
wakil presiden, Ahok itu bisa juga menjadi presiden. Selama Tuhan yang
menakdirkan untuk itu. Iya nggak? Kecuali yang tidak punya keyakinan dengan
kekuasaan Tuhan ya tidak percaya itu. Nggak usah melihat baik buruknya
seseorang ya untuk melihat kansnya menjadi presiden. Kita tengok sejarah. Ada
orang baik semacam Ratu Shima, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang menjadi raja.
Ada pula orang jahat seperti Namrud, Fir’aun dan Abrahah yang menjadi raja.
Semua kan karena Tuhan mengizinkannya. Jadi, Ahok yang baik menurut para
pendukungnya dan tidak baik karena menista agama menurut lawan-lawannya, bisa
saja “diangkat” menjadi Presiden Indonesia oleh Tuhan.
Sekarang, tiba saatnya saya
membahas dari segi hukumnya, apakah Ahok memang bisa menggantikan Mbah Kyai MA,
seandainya memang Jokowi – Mbah Kyai MA terpilih di tahun 2019 ini nanti. Maaf,
para pendukung Prabowo – Sandi jangan cemberut membaca hayalan ini. Kan masih
April nanti, segala sesuatunya bisa terjadi, termasuk gagal semua karena
sesuatu sebab. Kita doakan semuanya lancar demi keberlangsungan republik para koruptor
yang harus ditlateni ini.
Dengan banyaknya komentar
tentang kecurigaan itu, saya sebenarnya berharap ada pakar Hukum Tata Negara
yang menjawabnya. Tapi kok ya belum ada ya? Makanya saya yang bukan pakar, tapi
cuma “orang hukum” pinggiran, dengan gemetar karena belum makan malam, akan
berusaha menjawabnya.
Sebenarnya jawabannya
gampang, wong tinggal membaca pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Tapi
mungkin cara menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan itu yang memang
membutuhkan bekal ilmu hukum, ilmu tafsir. Bukan tafsir Al-Quran loh ya, meskipun
ada beberapa kemiripan metoda.
Kalau di dalam ilmu tafsir
Quran itu ada faktor asbabunnuzul (sebab turunnya ayat) sebagai salah satu dasar
untuk memahami makna suatu ayat Quran, pun di dalam ilmu tafsir hukum ada
tafsir historis dengan meneliti riwayat maksud pembuat peraturan. Dalam ilmu
tafsir Quran juga harus ada bekal ilmu nahwu shorof. Dalam ilmu tafsir hukum
juga ada pemahaman sususanan gramatikal dan makna leksikalnya.
Tapi untuk menafsirkan
ketentuan hukum tentang syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden serta
tatacara pemberhentian dan pemilihan serta pengangkatan pengganti presiden dan
wakil presiden, tidak membutuhkan ilmu tafsir yang rumit. Biasa saja.
Jadi begini ya. Mari kita
tengok UUD 1945. Jangan hanya nengok UUD lainnya, yakni untung, untung dan
duit. UUD lainnya itu penting, tapi UUD 1945 juga tak kalah penting. Gara-gara
tidak memahami UUD 1945 maka orang tidak tahu apa saja hak dan kewajiban
konstitusionalnya, tidak tahu bagaimana hukum dasar mengatur negara ini.
Padahal saya sendiri ya tidak paham-paham amat, karena setelah membacanya jadi
lupa. Maklum daya memori kurang sip dan IQ tidak pernah dites. Mau tes IQ ya
malu. Jangan-jangan cuma di bawah 100. Gak mbois.
Maaf Mbah Kyai MA, saya
doakan Mbah Kyai seger waras, sehat selalu dan panjang umur. Ini saya hanya
membuat pengandaian, hayalan, dengan tujuan agar orang-orang yang curiga atau
yang bertanya-tanya mendapatkan kejelasan. Andai saja nanti Mbah Kyai MA saat
menjadi wapres kok ternyata tidak bisa menjalankan tugasnya, atau mungkin
karena wafat, maka MPR akan memutuskan pemberhentiannya. Lalu apakah benar
bahwa Ahok langsung dapat diangkat menjadi penggantinya? Tidak. Mengapa kok
tidak bisa langsung?
Ayo kita buka UUD 1945. Baca
Pasal 8 ayat (2). Di situ ditentukan: “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil
Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang
untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.”
Nah, jelas ya bahwa
mengangkat wakil presiden pengganti itu adalah urusan MPR. Terserah MPR.
Andaikan dua calon wakil presiden yang diajukan oleh Presiden itu tidak
disetujui oleh MPR maka ya terpaksa Presiden harus mengajukan calonnya lagi. Tapi
untuk detilnya juga harus membaca Peraturan Tata Tertib Sidang Paripurna MPR
yang dibuat oleh MPR.
Saya mengandaikan bahwa suatu
saat Ahok (dan satu orang calon wakil presiden lainnya) diajukan oleh Jokowi
selaku Presiden, untuk menggantikan Mbah Kyai MA selaku Wakil Presiden. Apakah
MPR akan pasti memilih Ahok? Mungkin karena koalisi pemerintah yang berkuasa
menguasai MPR?
Jadi begini. Anggota MPR
adalah anggota DPR ditambah dengan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sebagai pendekatan saja ya. Untuk periode
2014-2019, anggota MPR berjumlah 692 orang terdiri dari 560 anggota DPR dan 132
anggota DPD.
Nah, untuk partai penguasa
dan koalisinya adalah PDIP 109 orang, Golkar 91 orang, PKB 47 orang, PPP 39
orang, NasDem 36 orang dan Hanura 16 orang. Total 338 orang. Ternyata jumlahnya
kurang dari separoh jumlah anggota MPR. Tapi kita belum bisa memetakan suara
DPD berlabuh ke mana. Kita juga belum tahu bagaimana hasil pemilu DPR dan DPD
tahun 2019 ini. Jadi semuanya masih berada di angkasa yang mendung di musim
hujan ini. Belum klir.
Baiklah. Sekarang saya akan
membawa pada persyaratan yuridis calon wakil presiden. Mari baca Pasal 169 UU
No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut ditentukan 20 butir
syarat-syarat untuk dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Nah, rupanya Ahok tersandung
di syarat huruf p yang menentukan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Jadi, di pasal ini jelas bahwa yang menjadi ukurannya “bukan berapa tahun
hukuman penjara yang dijatuhkan oleh Hakim”, tetapi “berapa lama ancaman
hukuman pidana penjara” dari tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana, yang
diputuskan oleh Hakim.
Ahok telah divonis melakukan
tindak pidana Pasal 156 a KUHP yang memuat ancaman pidana 5 (lima) tahun
penjara. Meskipun Hakim menghukum Ahok dengan pidana penjara selama dua tahun.
Sekali lagi, yang dijadikan ukuran bukan lamanya hukuman yang dijatuhkan oleh
Hakim, tetapi lamanya ancaman hukum pidana terhadap tindak pidana yang
dilakukannya.
Pasal 156 a KUHP buatan
Sukarno itu (UU No. 1/PNPS/1965) menentukan: “Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan pada pokoknya bersifat pemusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Nah, dengan demikian Ahok
tidak memenuhi salah satu syarat untuk menjadi calon wakil presiden, sehingga
tentunya MPR dalam verifikasinya tidak akan menerima pencalonan Ahok untuk
menggantikan Mbah Kyai MA sebagai wakil presiden. Jika MPR melanggar itu, ya
akan bisa didemo berjilid-jilid. Jangankan cuma dua atau tiga jilid, mau demo
seribu jilid juga sah-sah saja, tidak ada masalah. Toh demonya juga baik-baik, tertib,
tidak merusak kantor redaksi koran, tidak membakar gedung pemerintah, tidak
menumbangkan pohon-pohon yang tak berdosa. Ingat nggak? Hehe....
Secara pribadi sebenarnya
saya tidak setuju penggunaan Pasal 156 a KUHP ini secara langsung. Seharusnya
ada tahap-tahap non-hukum pidana yang dilakukan. Kecuali jika seseorang setelah
dilakukan upaya-upaya pendamaian dengan umat tapi dia masih songong wal arogan menghina-hina
agama orang lain atau agamanya sendiri (yang tentu dianut banyak orang), maka dia
pantas dimasukkan RSJ, bukan dipidanakan. Mungkin jiwanya labil.
Demikian tanggapan singkat
terhadap hayalan tentang Ahok dan Mbah Kyai MA. Para pendukung Ahok masih tetap
berhak berdoa agar Ahok bisa menjadi presiden Indonesia, sebab toh hukum juga
tidak mustahil untuk berubah.
Pun para lawan Ahok juga berhak
berdoa agar Ahok hidup bahagia menjadi artis dan pengusaha, tidak perlu menjadi
presiden dan wakil presiden.
Apa sih jabatan presiden dan
wakil presiden? Wong cuma pelayan rakyat saja kok. Belum lagi kalau jadi
presiden dan wakil presiden tapi hidup dibohongi sama orang-orang pintar dan
licik di sekelilingnya, dimanfaatkan. Jadi kehilangan kewibawaan juga. Tapi itu
hanya terjadi di negara Pinguin sana. Di Indonesia ini presidennya hebat-hebat.
Daripada ramai-ramai ribut
dan tidak mampu memunculkan para calon presiden yang berkualitas tinggi, karena
sistem dominasi partai politik yang juga butuh kapital besar dalam berpolitik,
ya mending yang jadi presiden Indonesia ini giliran saja per provinsi. Raja
Malaysia juga digilirkan kan? Tapi apa mau para politisi DPR dan DPD itu mengubah
UUD 1945 untuk menerapkan sistem giliran itu? Sudah, ini jangan ditanggapi
serius!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar