Selasa, 12 Februari 2019

Ahok Bisa Saja Jadi Presiden. Apalagi Hanya Wakil Presiden


 foto ini dari BanjarmasinPost.co.id yang nampaknya dari Oso TV ya? Embuh.

Sebenarnya saya malas menulis tema ini. Ini membicarakan nasib elite. Bukan kelas saya. Tapi rasanya juga tidak tega melihat banyaknya opini yang simpang-siur yang bisa membuat orang salah paham. Jadi saya pun membesarkan hatiku sendiri: "Bagy...Tak ada salahnya kamu urun rembug, siapa tahu berguna." Baiklah.

Selama ini saya banyak membaca di media sosial facebook, tentang kecurigaan bahwa pencalonan Mbah Kyai Ma’ruf Amin (MA) sebagai cawapres dipasangkan dengan Jokowi merupakan taktik untuk menaikkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai wakil presiden pengganti Mbah Kyai MA di masa depan. Dalam amat hayalannya?

Sebenarnya kita ini tidak boleh berburuk sangka. Tapi karena yang dihadapi adalah realitas politik yang jauh dari lugu dan mungkin juga banyak ketidakjujuran, tidak hitam-putih, maka kecurigaan semacam itu muncul.

Ya. Jangankan untuk menjadi wakil presiden, Ahok itu bisa juga menjadi presiden. Selama Tuhan yang menakdirkan untuk itu. Iya nggak? Kecuali yang tidak punya keyakinan dengan kekuasaan Tuhan ya tidak percaya itu. Nggak usah melihat baik buruknya seseorang ya untuk melihat kansnya menjadi presiden. Kita tengok sejarah. Ada orang baik semacam Ratu Shima, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang menjadi raja. Ada pula orang jahat seperti Namrud, Fir’aun dan Abrahah yang menjadi raja. Semua kan karena Tuhan mengizinkannya. Jadi, Ahok yang baik menurut para pendukungnya dan tidak baik karena menista agama menurut lawan-lawannya, bisa saja “diangkat” menjadi Presiden Indonesia oleh Tuhan.

Sekarang, tiba saatnya saya membahas dari segi hukumnya, apakah Ahok memang bisa menggantikan Mbah Kyai MA, seandainya memang Jokowi – Mbah Kyai MA terpilih di tahun 2019 ini nanti. Maaf, para pendukung Prabowo – Sandi jangan cemberut membaca hayalan ini. Kan masih April nanti, segala sesuatunya bisa terjadi, termasuk gagal semua karena sesuatu sebab. Kita doakan semuanya lancar demi keberlangsungan republik para koruptor yang harus ditlateni ini.

Dengan banyaknya komentar tentang kecurigaan itu, saya sebenarnya berharap ada pakar Hukum Tata Negara yang menjawabnya. Tapi kok ya belum ada ya? Makanya saya yang bukan pakar, tapi cuma “orang hukum” pinggiran, dengan gemetar karena belum makan malam, akan berusaha menjawabnya.

Sebenarnya jawabannya gampang, wong tinggal membaca pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Tapi mungkin cara menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan itu yang memang membutuhkan bekal ilmu hukum, ilmu tafsir. Bukan tafsir Al-Quran loh ya, meskipun ada beberapa kemiripan metoda.

Kalau di dalam ilmu tafsir Quran itu ada faktor asbabunnuzul (sebab turunnya ayat) sebagai salah satu dasar untuk memahami makna suatu ayat Quran, pun di dalam ilmu tafsir hukum ada tafsir historis dengan meneliti riwayat maksud pembuat peraturan. Dalam ilmu tafsir Quran juga harus ada bekal ilmu nahwu shorof. Dalam ilmu tafsir hukum juga ada pemahaman sususanan gramatikal dan makna leksikalnya.

Tapi untuk menafsirkan ketentuan hukum tentang syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden serta tatacara pemberhentian dan pemilihan serta pengangkatan pengganti presiden dan wakil presiden, tidak membutuhkan ilmu tafsir yang rumit. Biasa saja.

Jadi begini ya. Mari kita tengok UUD 1945. Jangan hanya nengok UUD lainnya, yakni untung, untung dan duit. UUD lainnya itu penting, tapi UUD 1945 juga tak kalah penting. Gara-gara tidak memahami UUD 1945 maka orang tidak tahu apa saja hak dan kewajiban konstitusionalnya, tidak tahu bagaimana hukum dasar mengatur negara ini. Padahal saya sendiri ya tidak paham-paham amat, karena setelah membacanya jadi lupa. Maklum daya memori kurang sip dan IQ tidak pernah dites. Mau tes IQ ya malu. Jangan-jangan cuma di bawah 100. Gak mbois.

Maaf Mbah Kyai MA, saya doakan Mbah Kyai seger waras, sehat selalu dan panjang umur. Ini saya hanya membuat pengandaian, hayalan, dengan tujuan agar orang-orang yang curiga atau yang bertanya-tanya mendapatkan kejelasan. Andai saja nanti Mbah Kyai MA saat menjadi wapres kok ternyata tidak bisa menjalankan tugasnya, atau mungkin karena wafat, maka MPR akan memutuskan pemberhentiannya. Lalu apakah benar bahwa Ahok langsung dapat diangkat menjadi penggantinya? Tidak. Mengapa kok tidak bisa langsung?

Ayo kita buka UUD 1945. Baca Pasal 8 ayat (2). Di situ ditentukan: “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.”

Nah, jelas ya bahwa mengangkat wakil presiden pengganti itu adalah urusan MPR. Terserah MPR. Andaikan dua calon wakil presiden yang diajukan oleh Presiden itu tidak disetujui oleh MPR maka ya terpaksa Presiden harus mengajukan calonnya lagi. Tapi untuk detilnya juga harus membaca Peraturan Tata Tertib Sidang Paripurna MPR yang dibuat oleh MPR.

Saya mengandaikan bahwa suatu saat Ahok (dan satu orang calon wakil presiden lainnya) diajukan oleh Jokowi selaku Presiden, untuk menggantikan Mbah Kyai MA selaku Wakil Presiden. Apakah MPR akan pasti memilih Ahok? Mungkin karena koalisi pemerintah yang berkuasa menguasai MPR?
Jadi begini. Anggota MPR adalah anggota DPR ditambah dengan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).  Sebagai pendekatan saja ya. Untuk periode 2014-2019, anggota MPR berjumlah 692 orang terdiri dari 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD.

Nah, untuk partai penguasa dan koalisinya adalah PDIP 109 orang, Golkar 91 orang, PKB 47 orang, PPP 39 orang, NasDem 36 orang dan Hanura 16 orang. Total 338 orang. Ternyata jumlahnya kurang dari separoh jumlah anggota MPR. Tapi kita belum bisa memetakan suara DPD berlabuh ke mana. Kita juga belum tahu bagaimana hasil pemilu DPR dan DPD tahun 2019 ini. Jadi semuanya masih berada di angkasa yang mendung di musim hujan ini. Belum klir.

Baiklah. Sekarang saya akan membawa pada persyaratan yuridis calon wakil presiden. Mari baca Pasal 169 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut ditentukan 20 butir syarat-syarat untuk dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Nah, rupanya Ahok tersandung di syarat huruf p yang menentukan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.” Jadi, di pasal ini jelas bahwa yang menjadi ukurannya “bukan berapa tahun hukuman penjara yang dijatuhkan oleh Hakim”, tetapi “berapa lama ancaman hukuman pidana penjara” dari tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana, yang diputuskan oleh Hakim.

Ahok telah divonis melakukan tindak pidana Pasal 156 a KUHP yang memuat ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara. Meskipun Hakim menghukum Ahok dengan pidana penjara selama dua tahun. Sekali lagi, yang dijadikan ukuran bukan lamanya hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim, tetapi lamanya ancaman hukum pidana terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Pasal 156 a KUHP buatan Sukarno itu (UU No. 1/PNPS/1965) menentukan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Nah, dengan demikian Ahok tidak memenuhi salah satu syarat untuk menjadi calon wakil presiden, sehingga tentunya MPR dalam verifikasinya tidak akan menerima pencalonan Ahok untuk menggantikan Mbah Kyai MA sebagai wakil presiden. Jika MPR melanggar itu, ya akan bisa didemo berjilid-jilid. Jangankan cuma dua atau tiga jilid, mau demo seribu jilid juga sah-sah saja, tidak ada masalah. Toh demonya juga baik-baik, tertib, tidak merusak kantor redaksi koran, tidak membakar gedung pemerintah, tidak menumbangkan pohon-pohon yang tak berdosa. Ingat nggak? Hehe....

Secara pribadi sebenarnya saya tidak setuju penggunaan Pasal 156 a KUHP ini secara langsung. Seharusnya ada tahap-tahap non-hukum pidana yang dilakukan. Kecuali jika seseorang setelah dilakukan upaya-upaya pendamaian dengan umat tapi dia masih songong wal arogan menghina-hina agama orang lain atau agamanya sendiri (yang tentu dianut banyak orang), maka dia pantas dimasukkan RSJ, bukan dipidanakan. Mungkin jiwanya labil.

Demikian tanggapan singkat terhadap hayalan tentang Ahok dan Mbah Kyai MA. Para pendukung Ahok masih tetap berhak berdoa agar Ahok bisa menjadi presiden Indonesia, sebab toh hukum juga tidak mustahil untuk berubah.

Pun para lawan Ahok juga berhak berdoa agar Ahok hidup bahagia menjadi artis dan pengusaha, tidak perlu menjadi presiden dan wakil presiden.

Apa sih jabatan presiden dan wakil presiden? Wong cuma pelayan rakyat saja kok. Belum lagi kalau jadi presiden dan wakil presiden tapi hidup dibohongi sama orang-orang pintar dan licik di sekelilingnya, dimanfaatkan. Jadi kehilangan kewibawaan juga. Tapi itu hanya terjadi di negara Pinguin sana. Di Indonesia ini presidennya hebat-hebat.

Daripada ramai-ramai ribut dan tidak mampu memunculkan para calon presiden yang berkualitas  tinggi, karena sistem dominasi partai politik yang juga butuh kapital besar dalam berpolitik, ya mending yang jadi presiden Indonesia ini giliran saja per provinsi. Raja Malaysia juga digilirkan kan? Tapi apa mau para politisi DPR dan DPD itu mengubah UUD 1945 untuk menerapkan sistem giliran itu? Sudah, ini jangan ditanggapi serius!

Tidak ada komentar: