Ini tentang dua kasus yang
lagi mengemuka, meski mungkin banyak lagi kasus yang tidak atau belum
terdeteksi publik. Kasus Bu Nuril, korban pelecehan seksual dan kasus Budi Pego
yang dituduh menyebarkan ajaran komunisme. Dua kasus ini sebenarnya simpel, bisa
dipecahkan oleh pemikiran anak remaja SMA. Jika sampai para orang sepuh di
Mahkamah Agung (MA) yang notabene dianggap ahli hukum kok tidak mampu
memecahkan kebenaran kasus-kasus tersebut, maka kebangeten. Ada sesuatu hal
yang menjadi sebabnya. Terutama adalah “cara berpikir” atau paradigma. Di sisi
lain juga ada faktor yang dapat membuat para ahli tua itu menyimpangi
paradigmanya sendiri gara-gara faktor X.
Guru Honorer Ditelepon Cabul Kok Didenda Rp 500 juta dan Dipenjara 6 bulan ?
Foto: Detik.com
Bu Baiq Nuril Maknun, seorang guru honorer. Tentu saja perempuan. Dia ditelepon seorang lelaki, kepala sekolahnya, kepala sekolah SMAN 7 Mataram, omongannya menjurus seksuil. Bu Nuril merekamnya. Lantas dia curhat kepada temannya. Lalu temannya meminta rekaman itu dan menyebarkannya. Lha kok Bu Nuril diadili dan dihukum oleh MA, setelah sebelumnya Hakim Pengadilan Negeri Mataram memutuskan bebas. MA menghukum ibu guru honorer itu dengan hukuman penjara selama 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
Saya mengutip berita di
medan.tribunnews.com tanggal 19 November 2018, didasarkan isi putusan
Pengadilan Negeri Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr. Bagaimana bunyi rekaman
telepon Haji Muslim (Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram) kepada Bu Nuril?
Rupanya
dalam teleponnya Haji Muslim bercerita tentang peristiwa saat Haji Muslim melakukan
persetubuhan atau hubungan badan dengan Landriati di hotel Puri Saron Senggigi.
Menurut Bu Nuril, saat itu Haji Muslim tersebut mengajak Bu Landriati dan Bu
Nuril untuk kerja lembur. Saat masuk kamar hotel, Haji Muslim menyuruh Bu Nuril
dan anaknya agar bermain di kolam renang. Sekitar satu setengah jam kemudian Bu
Nuril masuk kamar hotel bersama anaknya yang di dalamnya ada Haji Muslim dan Bu
Landriati tersebut, ketika pintu kamar hotel terbuka Haji Muslim menunjukkan
kain sprei tempat tidur yang terdapat ceceran sperma, lalu Haji Muslim berkata
kepada Bu Nuril, “Ini bekas saya habis berhubungan sehingga sperma saya muncrat
sekali, kenapa kamu cepat datang ke kamar?” dan seterusnya.
Saat Bu Nuril sudah pulang,
sore harinya bulan sekitar Agustus 2012 jam 16.30 WITA, Haji Muslim menelepon
Bu Nuril, Haji Muslim menceritakan tentang bagaimana gayanya saat dia
berhubungan badan dengan Bu Landriati. Pada saat Haji Muslim menelepon tentang
perbuatan asusilanya itulah Bu Nuril merekamnya.
Mungkin Bu Nuril bercerita
adanya rekaman telepon tersebut, sehingga Haji Imam Mudawin mendesak Bu Nuril
untuk memberikan rekaman telepon Haji Muslim tersebut dengan alasan untuk
dilaporkan ke DPRD Kota Mataram sebagai bukti, dengan tujuan untuk membersihkan
SMAN 7 Mataram dari manusia asusila.
Bulan Agustus 2015 Bu Nuril
baru memberikan rekaman telepon Haji Muslim tersebut kepada Haji Imam Mudawin,
dengan permintaan agar Haji Imam Mudawin tidak menyebarkan rekaman tersebut,
tetapi boleh hanya untuk bukti laporan ke DPRD Kota Mataram.
Selanjutnya Haji Imam Mudawin
memberikan hasil copy data rekaman tersebut kepada Bu Sri Rahayu dan Mulhakim.
Selanjutnya Mulhakim memberikan copy rekaman tersebut kepada Muhajidin (guru
Kimia SMAN 7 Mataram). Mulhakim juga memberikan copy data rekaman tersebut
kepada Indah Deporwati selaku Pengawas SMAN 7 Mataram dan kepada orang lainnya
di lingkungan SMAN 7 Mataram dan Dinas Pendidikan Kota Mataram seluruhnya
sekitar 7 orang.
Saya tidak perlu bicara
terminologi hukum tentang perbuatan “mendistribusikan” atau “mentransmisikan”
serta “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik menurut UU ITE. Tetapi
mari kita berangkat dari filsafat hukum pidana yang tujuannya adalah untuk
menciptakan tertib hukum guna melindungi publik dari kejahatan. Jika MA
menghukum pidana Bu Nuril dalam perkara tersebut, tertib masyarakat mana yang
diciptakan, atau kepentingan hukum publik mana yang dilindungi oleh MA?
Dalam hukum pidana demikian
itu ada istilah “korban”. Kepentingan korban yang bernama Haji Muslim itulah
yang dilindungi oleh MA. Saya tidak habis pikir, jika fakta-fakta tersebut
benar, mengapa MA melindungi seorang pejabat pendidikan (kepala sekolah negara)
yang perbuatannya asusila, merobohkan marwah dunia pendidikan, merusak pagar
pendidikan negara? Mengapa hukum Indonesia ini dikonstruksikan sebagai hukum
yang sangat individual? Apakah MA tidak dapat memikirkan prinsip prima facy,
antara lebih penting mana melindungi kepentingan hukum Haji Muslim yang seperti
itu dengan kepentingan hukum Bu Nuril yang diperlakukan seperti itu?
Tentu saya tidak akan menuduh
bahwa MA mempunyai pola pikir seperti Haji Muslim selaku pria yang menjabat
sebagai kepala sekolah negara yang mengajak kerja lembur guru perempuan di
kamar hotel yang ujungnya di situ bukan lembur kerja tetapi lembur menumpahkan
nafsu birahinya. Dalam arti, tidak layak saya menuduh para pria Hakim Agung
yang mengadili Bu Nuril itu adalah para pria sekelas Haji Muslim.
Para pria hakim Agung itu
seharusnya bisa berpikir bahwa mereka bukan tipe Haji Muslim, sehingga para
Hakim Agung itu tidak ikut tersinggung, tidak perlu menghayati perasaan derita
Haji Muslim saat rekaman telepon pornonya itu tersebar. “Pak Haji, kalau mau hohohihi di
hotel, ya gak usah menggunakan dalih kerja negara lembur! Itu kan penistaan
pendidikan? Hehehe....
Apalagi menghukum denda Rp
500 juta seorang guru honorer? Lha wong nasib guru honorer di negara ini
kembang-kempis seperti nafas jerapah asma kok didenda Rp 500 juta. Hakim saja
yang penghasilanya jauh di atas guru honorer kalau didenda Rp 100 juta ya
kelimpungan kok. (Dalam arti hakim jujur, ahli surga, yang tidak mau terima duit sogok. Bukan hakim
ahli neraka yang kerjaannya terima sogok).
Budi Pego, Petani Ndeso Lulusan Tsanawiyah yang Memecahkan Rekor Nasional
Foto: Kholik Mawardi
Hal lain yang tidak kalah tak masuk akal adalah putusan Hakim yang menyatakan Budi Pego “melakukan tindak pidana menyebarkan ajaran komunisme.” Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menghukum Budi Pego dengan hukuman penjara 10 bulan dan putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Begitu kasus itu sampai di MA, lha kok MA menambah hukumannya secara drastis menjadi 4 tahun penjara.
Hal lain yang tidak kalah tak masuk akal adalah putusan Hakim yang menyatakan Budi Pego “melakukan tindak pidana menyebarkan ajaran komunisme.” Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menghukum Budi Pego dengan hukuman penjara 10 bulan dan putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Begitu kasus itu sampai di MA, lha kok MA menambah hukumannya secara drastis menjadi 4 tahun penjara.
Budi Pego konon dulunya
pernah bekerjasama dengan perusahaan tambang emas Tumpang Pitu sebelumnya,
yakni IMN. Itu isu yang terus disebarkan. Seandainya itu benar, apakah Budi
Pego dalam melawan pertambangan emas Tumpang Pitu Banyuwangi yang dilakukan
oleh PT. BSI dan PT. DSI selaku anak korporasi Merdeka Copper Gold itu adalah
suatu sikap yang salah?
Saya tidak usah bercerita
panjang lebar tentang bagaimana nasib masyarakat sekitar tambang emas Freeport
di Papua, Newmont di Minahasa sulawesi Utara, maupun Newmont di Nusa Tenggara. Silahkan
mencari kisah-kisah nasib mereka melalui internet. Makanya, rencana tambang
emas di Silo Jember dinyatakan haram oleh Bathsul Masail Istimewa PCNU Jember.
Pertambangan juga seringkali membuat masyarakat terpecah-belah. Mungkin itu
merupakan agenda yang biasa dipakai para kumpeni.
Budi Pego bukan satu-satunya
penolak tambang emas Tumpang Pitu. Banyak warga sekitar tambang yang
menolaknya. Di Pengadilan Negeri Banyuwangi saya bisa mendengarkan bagaimana warga
mengeluh akses pekerjaannya di hutan menjadi berakhir. Belum lagi gangguan
debu, rusaknya jalan desa mereka, hasil panen buah naga yang menurun dan
lain-lain.
Siapa yang mendapatkan
keuntungan terbesar dari tambang-tambang emas itu dan siapa yang harus
menanggung beban akibat kerusakan ekologi yang diakibatkannya? Apakah ekonomi
tambang mineral dan batubara di negara ini merupakan ekonomi penting yang mampu
menyejahterakan masyarakat? Jawabnya adalah: Yang sejahtera
adalah para pemilik kapital, para makelar investasi dan para anteknya yang tidak bisa hidup jika tidak menjadi penjilat.
Budi Pego, seorang lelaki
petani desa, lulusan tsanawiyah, dihakimi oleh Pengadilan, dinyatakan melakukan
kejahatan “menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Kok
keren? Lha dia, buku sejarah saja tidak punya. Kerjanya bertani, tidak punya
organisasi, bukan anggota organisasi, kecuali paling-paling sesekali ikut
jamaah yasinan.
Coba silahkan tanyai para
tetangganya, apa yang Budi Pego kerjakan setiap hari? Apakah Budi Pego pernah
bicara tentang komunisme? Di mana di mengajarkan ajaran komunisme? Jangankan Budi
Pego yang hanya lulusan tsanawiyah (sederajat SMP), lha para sarjana di negara
ini pada umumnya tidak paham apa itu komunisme. Mereka pada umumnya
mengidentikkan komunisme dengan ateisme. Padahal komunisme itu pada umumnya
bicara soal ekonomi masyarakat, sebagai kritik terhadap kapitalisme. Saya yang
membaca berbagai buku yang mengulas komunisme juga tidak akan pede seumpama dalam suatu mimbar akademik disuruh bicara tentang apa itu komunisme. Kok Budi Pego
dikatakan menyebarkan ajaran komunisme? Hahaha... jangankan saya, Nella Kharisma akan tertawa kalau tahu kisah pengadilan seperti itu. Begitu pula Thukul Arwana, akan langsung njungkel.
Delik penyebaran ajaran
komunisme / marxisme-leninisme diciptakan dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Undang-Undang tersebut dibuat pada masa rezim BJ Habibie, pada zaman reformasi.
Jadi, bayangkan, seorang Budi Pego yang merupakan petani ndeso lulusan
tsanawiyah itu telah memecahkan rekor nasional, menjadi orang yang pertama kali
menjadi terdakwa dan terpidana penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Dia dianggap sebagai orang yang “melakukan kejahatan terhadap keamanan negara.”
Mbok mbok mbok....... Apakah negara adalah kumpeni tambang emas itu?
Dari kedua contoh kasus
tersebut, saya sebagai warga negara Indonesia telah tertawa sendiri
terbahak-bahak melihat betapa mengerikannya cara berpikir para orang tua ahli
hukum itu, yakni menginjak nasib seorang perempuan lemah berpenghasilan kecil
dengan memberikan perlindungan kepada lelaki kepala sekolah negara yang telah
melakukan perbuatan penuh dengan lendir nafsu birahi dengan menggunakan dalih
kerja pendidikan; dan menghukum seorang petani kecil ndeso lulusan tsanawiyah
dengan tuduhan “menyebarkan ajaran komunisme / marxisme-leninisme”. Sepertinya itu bukan peradilan, tapi dagelan.
Kesimpulan saya hanya satu
kata: “Cuuuuuuukkkkkkk!”