Ilustrasi gambar: dari tehelka.com
Sekarang
lagi ramai berita dan opini tentang kasus dugaan perkosaan di dalam tubuh UGM,
sehingga UGM menjadi sorotan.
Kaum lelaki memang kurang ajar. Laki-lakilah yang sering memperkosa. Daripada memperkosa, mbokyao mending dijepitkan ke pagar bambu sana, anumu!
Ada
juga, pernah seorang mahasiswi yang curhat kepada saya, dia mau diajak kencan
dosen pembimbing skripsinya, tapi dia menolak. Dia curhat begitu ketakutan,
tentang konsekuensi penolakannya itu apakah akan ada akibat terhadap kelancaran
skripsinya. Saya bilang kepadanya, “Kamu tak usah cemas. Jika dia mempersulit
skripsimu, saya akan menguliti kedoknya. Kamu sebut namaku di depannya, dia
pasti akan bilang, “Siapa itu aku gak kenal, haha.....” Alhamdulillah kekhawatirannya
itu tidak terjadi. Dia sekarang sudah sarjana.
Saya
hendak berkisah tentang sebuah kasus dugaan perkosaan. Dahulu, kasus itu
menjadi berita lokal yang cukup besar di Surabaya dan Gresik. Tapi karena kasus
ini kasus rakyat kecil, ya tidak seheboh kasus perkosaan mahasiswa UGM yang
gaungnya jadi internasional itu.
Jika
tidak salah (saat menulis ini saya malas membongkar berkas), sekitar lebih dari
tujuh tahun lalu, saya dimintai pendapat rekan kantorku untuk membela empat orang
(anak) tersangka pemerkosa. Empat tersangka tersebut, yang dua orang berumur 16
tahun, yang dua orang berumur 18 dan 19 tahun. Korbannya seorang cewek berumur
21 tahun.
“Saya
tidak mungkin mau menjadi pembela para pemerkosa. Biar saja mereka dihukum
berat atas perbuatannya. Saya punya ibu dan anak perempuan. Saya bisa
membayangkan betapa menderitanya perasaan perempuan korban perkosaan,” kataku.
Aku menolak menjadi penasihat hukum empat tersangka yang sudah ditangkap dan
ditahan.
“Jangan
buru-buru menolak! Coba tanyai dulu mereka para tersangka itu. Ibu mereka yang
datang kepadaku, menangis, meminta bantuan. Mereka orang-orang tidak mampu.” Saya
biasanya kalau ada kalimat “orang tidak mampu membutuhkan bantuan hukum” ini
jadi ingat kemiskinanku sendiri sejak lahir. Trenyuh.
Hatiku
sedikit luluh. Aku datangi kantor polisi tempat empat tersangka itu ditahan.
Kebetulan saya kenal dengan kepala unit kepolisian yang menjadi penyidik
perkara ini. Saya dipersilahkan menemui empat tersangka itu. Masih remaja. Saya
memandangi wajah-wajah yang lusuh dan letih.
“Kami
diminta ibu kalian untuk bertemu dengan kalian. Mengapa kalian tega memperkosa
seorang gadis? Itu perempuan. Ibumu juga perempuan kan?” tanyaku retoris.
“Tidak
ada perkosaan Pak. Ini tuduhan bohong. Kami tidak memperkosa gadis itu.” Jawab
tersangka yang berumur 19 tahun. Rupanya dia yang menjadi tersangka utama. Tuduhannya
adalah “memperkosa dengan cara menggilir menyetubuhi korban.” Kejahatan yang
sadis.
“Jika
tidak memperkosanya, lalu apa yang kalian lakukan sehingga kalian ditangkap
polisi dan ditahan di sini?” tanyaku.
Maka
pemuda 19 tahun yang menjadi tersangka itu berkisah. “Pada mulanya saya sendiri
Pak yang mengenal gadis itu. Dia bekerja sebagai penjaga toko asesoris HP. Saya
bertukar nomor HP dengan dia. Saya seperti pacaran dengan dia. Lalu suatu saat
saya janjian dengan dia untuk bertemu di sebuah tempat. Kami bertemu di tempat
itu. Lalu saya SMS tiga teman saya ini, sehingga mereka datang. Saat itu saya
memang meraba-raba tubuh cewek itu. Saya ngremponi dia (ngremponi = meremas
payudaranya). Tadinya sebelum tiga teman saya ini datang, dia mau Pak. Tapi
setelah teman-teman saya datang, dia tidak mau. Lalu teman-temanku ini ikut
meraba-raba dia. Lalu ada seorang satpam yang lewat dan memergoki kami,
sehingga kami lari.”
Saya
pun bertanya kepada tiga tersangka lainnya itu. “Apa benar ceritanya seperti
itu?” Maka tiga orang tersangka lainnya membenarkan cerita temannya yang paling
gede itu.
Saya
tidak percaya begitu saja. Saya menguji psikis mereka. “Baiklah. Saya percaya
dengan kalian. Mungkin saya akan membela kalian, tapi dengan syarat bahwa saya
yakin kalian tidak memperkosa cewek itu. Untuk itu, saya mau kalian bersumpah
di hadapan saya dengan kalimat sumpah seperti ini: “Saya bersumpah, demi Allah,
bahwa saya tidak melakukan perkosaan kepada gadis bernama ................
sebagaimana yang dituduhkan kepada kami. Jika sumpah saya ini tidak benar maka
semogaa Allah mengutuk saya dan memberikan azab langsung, yaitu kami akan mati
ditabrak truk jika perkara ini telah selesai diadili.” Bagaimana, kalian mau
bersumpah seperti itu?”
Empat
orang tersangka itu bersumpah di hadapan saya dengan sumpah yang kalimatnya
telah saya tetapkan itu. Maka, saya menyanggupi menjadi penasihat hukum untuk
membela mereka. Waktu itu saya berpikir, jika mereka tidak melakukan perkosaan
maka mereka tidak boleh dihukum karena perkosaan. Tapi jika memerasi
payudaranya dengan paksa, maka harus dihukum karena pencabulan. Jadi, hukuman
harus dijatuhkan sesuai perbuatannya, bukan terhadap hal yang tidak
dilakukannya.
Singkat
cerita, kasus mulai disidangkan dalam sidang yang tertutup untuk umum, karena
itu kasus asusila.
Gadis
yang menjadi korban dihadirkan sebagai saksi korban. Terhadap pertanyaan
majelis hakim dan jaksa penuntut umum, gadis itu menjelaskan bahwa dirinya
telah diperkosa oleh empat orang terdakwa itu dengan cara disetubuhi paksa
secara digilir, hingga peristiwa perkosaan itu berakhir setelah dipergoki oleh seorang
satpam. (Hanya saja, sayangnya satpam tersebut tidak dijadikan sebagai saksi yang
hadir dalam sidang perkara tersebut).
Saat
tiba giliran saya bertanya, maka gadis korban tersebut saya berikan
pertanyaan-pertanyaan guna menggali kebenaran keterangannya lebih lanjut.
“Saudari
saksi korban... Sidang ini tertutup dan kami punya kewajiban menjaga
kerahasiaan dari apa yang Anda terangkan. Jadi di sini bagi Anda tidak perlu
ada ketakutan, kecemasan atau perasaan was-was. Saya ini seorang ayah dari anak
saya yang juga perempuan. Saya punya anak perempuan. Saya bisa memahami rasa
derita yang Anda rasakan. Saya turut prihatin dengan adanya kasus ini. Jika
memang para terdakwa yang saya dampingi ini bersalah, mereka memang harus
dihukum. Saya bukan pengacara yang asal membela orang, dalam arti jika klien
saya bersalah ya harus dihukum,” kataku. “Maaf ya, saya punya pertanyaan dan ini
pertanyaan sangat pribadi... Apakah
sebelum ada peristiwa perkosaan ini Anda sudah pernah punya pacar dan pernah
melakukan hubungan badan?” tanyaku. “
“Saya
belum pernah melakukan hubungan badan sebelumnya Pak,” jawabnya.
“Baik.
Begini saudari saksi. Saya pernah membaca artikel tentang perempuan yang
melakukan hubungan seks pertama kali di malam pertama setelah menikah. Katanya,
bagi yang masih perawan ada yang mengeluarkan darah karena robeknya himen atau
apa. Tapi ada juga yang tidak mengeluarkan darah. Maksud saya begini, pada saat
Anda diperkosa oleh para terdakwa ini secara bergilir, saat itu Anda masih
perawan, sesuai jawaban saudara tadi. Jika Anda digilir oleh empat terdakwa ini
dalam perkosaan itu, maka saat itu ada keluar darah atau tidak dari vagina
Anda?” tanyaku.
“Iya
Pak, ada keluar darah dari vagina saya,” jawabnya.
“Nah,
pada saat Anda mulai diperkosa, tentunya yang melepas celana dalam Anda adalah
para terdakwa ini. Tadi Anda menerangkan bahwa perkosaan itu terhenti karena
dipergoki oleh seorang satpam yang lewat di tempat kejadian. Para terdakwa ini
lari, kabur. Lalu Anda ditolong oleh satpam itu. Pertanyaan saya, apakah
setelah kejadian itu Anda sempat mengenakan kembali celana dalam Anda?” tanyaku.
“Iya
Pak. Saya ambil celana dalam saya dan saya pakai lagi,” jawabnya.
“Apa
warna celana dalam yang Anda pakai saat itu?” tanyaku.
“Warna
krem Pak,” jawabnya.
“Anda
tadi menerangkan jika vagina Anda berdarah setelah terjadi perkosaan. Lalu
selanjutnya setelah peristiwa perkosaan berakhir, Anda mengenakan kembali
celana dalam Anda. Selanjutnya setelah sampai di rumah, apa yang Anda lakukan
dengan baju Anda, termasuk celana dalam itu?” tanyaku.
“Saya
melepasnya Pak. Lalu dikemasi oleh ibuku. Lalu saya mandi,” jawabnya.
“Apakah
Anda bisa melihat saat Anda melepas baju dan celana dalam Anda sewaktu di rumah
itu, adakah bekas darah di celana dalam Anda?” tanyaku.
“Iya
Pak. Ada bekas darahnya,” jawabnya.
Lalu
saya meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan kepada jaksa penuntut
umum guna menunjukkan dan memeriksa barang bukti, termasuk apakah celana dalam
milik korban tersebut dijadikan barang bukti. Saya, korban, majelis hakim,
jaksa dan para terdakwa bersama-sama di hadapan meja sidang memeriksa celana
dalam milik korban.
“Saudari
saksi.... Anda tadi menerangkan katanya ada bekas darah di celana dalam Anda. Benar
ini kan celana dalam yang Anda pakai saat itu? Ternyata ini tidak ada bekas
darahnya?” tanyaku.
Majelis
hakim memerintahkan kami untuk kembali duduk di kursi kami masing-masing.
“Silahkan
saksi menjawab pertanyaan penasihat hukum!” perintah Ketua majelis hakimnya.
“Iya
Pak. Itu tidak ada bekas darahnya, karena sebelum diserahkan ke polisi celana
dalam dan baju saya yang saya pakai waktui itu sudah dicuci oleh ibu saya,”
jawab korban.
“Baiklah..
Pertanyaan saya selanjutnya adalah: Ketika terdakwa ini (saya menunjuk terdakwa
yang umur 19 tahun) yang kata Anda pertama kali memperkosa Anda, saat terdakwa
ini mulai menindih dan memasukkan kelaminnya ke vagina Anda, maka apa yang Anda
rasakan pada waktu itu?” tanyaku.
Gadis
itu diam sebentar, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Lalu dia melihatku. (Setiap
aku bertanya kepadanya aku selalu merendahkan suaraku dan tersenyum kepadanya,
dengan maksud agar dia tidak merasa tertekan).
“Waktu
itu saya tidak merasakan apa-apa Pak,” jawabnya. Saya mulai curiga dengan
jawabannya itu.
“Pada
saat Anda diperkosa, Anda sadar atau pingsan?” tanyaku.
“Saya
sadar Pak,” jawabnya. Dia tampak mulia gelisah.
“Anda
tidak merasakan apa-apa? Benar begitu? Bisakah Anda mengira-ngira dari rasa
saat Anda ditindih dan diperkosa saat itu, apakah Anda bisa merasakan bahwa
kelamin terdakwa ini masuk ke vagina Anda?” tanyaku.
Gadis
itu diam sejenak. Lalu dia menjawab, “Ya rasanya dingin begitu Pak.”
“Tidak
ada rasa nyeri?” tanyaku.
“Tidak
Pak,” jawabnya.
“Setelah
itu selanjutnya apa yang terjadi?” tanyaku.
“Ya
itu Pak, setelah itu ada satpam lewat, lalu dia dan teman-temannya itu lari,”
jawabnya.
“Loh....
Anda harus jujur loh ya. Tadi Anda menerangkan kepada Pak Hakim dan Pak Jaksa,
katanya Anda ini diperkosa secara digilir oleh empat terdakwa ini? Kok sekarang
keterangannya berubah? Kok jadinya hanya diperkosa satu terdakwa ini, terus
dipergoki satpam, lalu para terdakwa lari. Jika demikian, anda hanya diperkosa
satu orang terdakwa ini? Apakah begitu?”
Tiba-tiba
terdakwa yang berumur 19 tahun menyela, “Dia memang bohong itu Pak! Saya juga
tidak memperkosanya!”
Saya
pun membentak terdakwa itu, “Diam kamu! Jika tidak disuruh bicara oleh Hakim, kamu
jangan sembarangan menyela omongan!” semprotku dengan marah. Terdakwa itu pun diam
menunduk.
“Silahkan
Anda menjawab pertanyaan saya tadi. Jadi yang benar bagaimana? Saudara hanya
diperkosa oleh satu orang terdakwa ini, atau digilir oleh empat terdaakwa ini?”
tanyaku kepada gadis korban itu.
“Diperkosa
oleh dia Pak. Teman-temannya itu tapi membantu memegangi saya,” jawab gadis
itu.
“Baiklah.
Jadi kalau begitu Anda tidak digilir oleh empat terdakwa ini ya. Berarti yang
tiga hanya sebagai pelaku yang membantu perkosaan itu. Apakah benar begitu?
Atau bagaimana?”
“Iya
Pak. Teman-temannya hanya membantu memegangi saya,” jawabnya.
Setelah
selesai memeriksa keterangan gadis korban tersebut maka ibunya yang berada di
luar ruangan dipanggil masuk untuk memberi keterangan sebagai saksi. Setelah
tiba giliranku bertanya, maka saya mengonfirmasi keterangan gadis korban tadi
yang menerangkan peran ibunya yang katanya mencuci baju anaknya yang menjadi
korban perkosaan tersebut.
“Saudari
saksi kan ibu dari korban ya. Nah, pada waktu kejadian perkosaan Anda kan tidak
mengetahuinya. Anda tahu saat anak Anda datang, katanya diantar oleh seorang
satpam. Pertanyaan saya, saat anak Anda datang dalam keadaan demikian yang
katanya habis diperkosa itu, maka apakah yang Anda lakukan untuk merawat dan
menenangkan anak Anda tersebut pada malam hari itu?” tanyaku.
“Saya
menyuruhnya segera mandi Pak. Besoknya
saya baru ke kantor polisi bersama dengan suami saya dan anak saya itu untuk
melaporkan kejadian pemerkosaan itu,“ jawabnya.
“Ketika
waktu itu Anda menyuruh anak Anda mandi, lalu siapa yang mengemasi bajunya,
apakah anak gadis Anda sendiri, ataukah Anda?” tanyaku.
“Yang
mengemasi bajunya ya saya Pak,” jawabnya.
“Apakah
termasuk celana dalam yang dipakai saat perisitwa perkosaan itu?” tanyaku.
“Iya
Pak,” jawabnya.
Lalu
saya memohon untuk dilakukan pemeriksaan barang bukti celana dalam itu di muka
sidang tersebut agar ibu korban tersebut melihatnya, dan dia membenarkan memang
barang bukti tersebut adalah celana dalam dan baju korban yang dipakai saat
terjadi perisitwa perkosaan tersebut.
“Apakah
ibu pernah mencuci baju-baju anak ibu tersebut, termasuk celana dalamnya,
sebelum diserahkan atau setelah diserahkan kepada polisi untuk barang bukti?”
tanyaku.
“Tidak
Pak. Malam itu saya kemasi bajunya, saya masukkan ke dalam tas plastik, lalu
besok paginya saya bawa ke kantor polisi saat laporan masalah pemerkosaan itu
dan saya serahkan kepada polisi tempat saya melapor itu Pak,” jawab ibu dari
korban tersebut.
Dari
keterangan saksi korban dan ibunya tersebut ada perbedaan. Korban mengatakan
bahwa celana dalamnya terdapat bekas darah dan hilang bekas darahnya karena
dicuci oleh ibunya, tetapi ibunya menerangkan bahwa dia tidak pernah mencuci
celana dalam korban dan dalam pemeriksaan barang bukti di muka meja hakimnya
ibu korban tersebut menerangkan bahwa memang celana dalam anaknya tersebut
tidak ada bekas darahnya.
Pada
akhirnya, majelis hakim perkara tersebut tidak yakin adanya peristiwa perkosaan
secara bergilir. Saya setuju dengan pendapat majelis hakim bahwa dalam perkara
tersebut yang terjadi adalah kejahatan pencabulan, sehingga terdakwa yang
berumur 18 dan 19 tahun itu dihukum enam bulan penjara dan dua terdakwa yang
berumur 16 tahun dihukum dengan pidana penjara enam bulan dengan masa percobaan
selama satu tahun.
Hal
yang hingga sekarang saya belum menemukan jawabannya adalah: mengapa kasus
pencabulan itu dikonstruksikan seolah merupakan kasus perkosaan yang dilakukan
dengan cara keji, yakni: diperkosa dengan cara disetubuhi bergilir oleh empat
pelaku. Saya sempat mendapatkan informasi bahwa menjadi menjadi dalang skenario
“pembengkakan” kasus itu adalah si anu... Tapi sayangnya saya kesulitan
mendapatkan buktinya sebab saya sudah tidak bisa berkomunikasi lagi dengan
keluarga korban setelah kasus itu diputus Pengadilan.
Kasus
tersebut dramatis. Para orang tua remaja-remaja yang melakukan pencabulan itu
didatangi oleh orang-orang yang mengaku pejabat, diintimidasi, disuruh membayar
sejumlah uang dengan ancaman-ancaman. Tapi kami dengan telaten mendampingi dan
mengarahkan mereka.
Kasus
tersebut semula sudah menjadi berita media massa yang terkenal dengan isi
berita yang memberi stigma seolah para pelaku telah melakukan perkosaan dengan
cara yang kejam, yakni memperkosa secara menyetubuhi paksa secara bergilir
empat orang. Tetapi setelah fakta-faktanya terungkap dalam persidangan dan
setelah adanya putusan pengadilan, opini yang pertama kali muncul tentang
adanya perkosaan secara keji itu tidak dapat dilenyapkan begitu saja. Kesembuhan
luka sosial akibat informasi sesat itu berjalan perlahan-lahan seiring waktu
berjalan.
Artinya
begini, bahwa apa yang menjadi berita dan opini yang sudah terlanjur tersebar
itu belum tentu merupakan opini dan berita yang menunjukkan kebenaran yang
sejatinya, sebelum kebenaran itu benar-benar diuji dalam sebuah pemeriksaan
yang fair dan berimbang.
Oleh
sebab itu, saya menyarankan agar kasus perkosaan yang menimpa gadis UGM itu
dibawa saja ke ranah hukum, agar dapat diuji secara fair untuk menemukan
bagaimana kejadian yang sesungguhnya. Kasus tersebut bukanlah kasus tertangkap
tangan, tetapi kasus yang kejadiannya tidak ada yang menyaksikan. Dibutuhkan
teknik pemeriksaan yang mestinya harus dilakukan dengan cara-cara yang “kreatif”
untuk membongkar peristiwa yang sebenarnya.
Mungkin
nantinya putusan Hakim tidak akan memuaskan, tetapi dengan mengujinya melalui
pemeriksaan yang fair di muka pengadilan maka di sana akan diperoleh fakta-fakta
yang lebih jelas, daripada hanya menjadi gosip di medsos.
Pendamping
korban harus meyakinkan korban atau keluarganya untuk meleporkan masalah itu ke
Kepolisian, jika memang tim UGM yang telah melakukan investigasi tidak mau
melaporkannya ke Kepolisian. Tapi tentu bukan dengan memaksanya.
Jika
memang itu kejahatan, apakah itu kejahatan perkosaan ataukah pencabulan, harus
dapat dipastikan. Ataukah jangan-jangan bukan keduanya? Korban perkosaan
ataupun pencabulan harus direparasi hak-haknya, terutama mentalnya agar bangkit
kembali bersemangat. Sebaliknya, korban kesesatan informasi juga harus
direparasi haknya.
Orang
yang melakukan kejahatan harus dihukum sesuai dengan perbuatan nyata yang
dilakukannya, bukan dihukum dengan hukuman yang melebihi dari kadar perbuatan
jahatnya. Itu salah satu prinsip keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar