Sumber foto: Tempo/Tony Hartawan
Saat ini orang riuh meriuhkan DPR
yang mengangket KPK. Ada profesor yang berdebat tentang kebenaran kewenangan
DPR dalam menggunakan Hak Angket terhadap KPK. Ada yang bilang KPK itu bukan
lembaga eksekutif sehingga DPR tak wenang mengawasinya dengan Hak Angket. Ada
yang bilang KPK itu termasuk eksekutif karena dalam Trias Politica posisi KPK
bukan yudikatif dan bukan legislatif.
Kok heboh nian. Saudara-Saudara
kurang rileks, kurang santai dalam berpikir. Yang santai, yang wening,
sehingga akan bisa menilai bahwa sandiwara adalah tontonan yang cukup bisa
menghibur, bukan malah memakan hati meletupkan emosi.
Kalau saya sebagai seorang rakyat santai dan biasa, cukup meninjau dari satu sudut penting dan satu sudut agak penting. Sudut
pentingnya adalah dengan pertanyaan: apakah penggunaan Hak Angket DPR kepada
KPK bisa membuat akhir yang buruk bagi KPK? Sudut yang agak penting adalah
kembali bertanya kepada diri-sendiri, yakni: sudah relakah aku diwakili oleh
DPR dalam urusan-urusan pemerintahan tertentu?
Mari kita uji satu persatu. Bukankah
penggunaan Hak Angket DPR kepada KPK tidak akan mungkin berakhir dengan
pemangkasan kewenangan KPK atau membunuh KPK? Dalam hal ini, Saudara yang tak
suka dengan DPR bisa menahan emosi dengan menggunakan pepatah “DPR menggonggong
KPK tetap bebas riang berlalu.” Dan bagiku, biarpun DPR bersuara menggelegar
memenuhi langit, tapi DPR bukanlah petir yang dapat menyambar hangus KPK.
Seumpama dalam kesimpulan angketnya
nanti DPR berkesimpulan bahwa KPK adalah setan yang harus dibasmi, tapi
siapakah yang akan mengeksekusi kesimpulan tersebut? Tidak ada. Dari segi yang
penting itu maka Hak Angket DPR bukanlah ancaman bagi KPK.
Selanjutnya dari segi yang agak
penting adalah menyangkut hakikat DPR. Katanya konsensus di negara ini menempatkan
DPR sebagai wakil rakyat. Dalam makna yang luas, rakyat boleh mengawasi semua
lembaga aparatur negara dan pemerintah tanpa perlu diberikan sekat yang bernama
“independensi lembaga.” Lha kalau menjadi lembaga negara independen, tidak
boleh dikontrol? Itu asas superliberal. Liberalisme ditentang para pendiri NKRI
ini. Silahkan
teliti gagasan-gagasan para pendiri NKRI di sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Jika Saudara menggunakan alat takaran
Hukum Tata Negara tentang kesetaraan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara,
maka DPR tak layak untuk mengawasi presiden, MA, MK, BPK, KY, MPR. Setara kok mengontrol? Pihak yang
mengontrol itu yang kedudukannya lebih tinggi. Lha masak mandor mengawasi
mandor? Tapi Saudara disodori prinsip cheks and balances di mana
lembaga-lembaga negara itu saling mengontrol. Itu sistem hukum pasar bebas yang
mengharapkan keseimbangan dengan hubungan-hubungan alamiah yang terjadi. Pasar
bebas itu liberalisme.
Saudara akan mendapatkan kenyataan
yang tidak tuntas dalam sistem tata negara dan tata hukum itu. Di Indonesia ini, jika
ada lembaga-lembaga tinggi negara yang bersengketa, maka MK menjadi wasitnya. Aturannya
begitu. Tapi kalau MK sendiri yang bersengketa dengan lembaga tinggi negara
lainnya (misalnya bersengketa dengan MA), lalu siapa yang akan menjadi
wasitnya? Tidak ada.
Kalau Saudara mengajukan uji
materiil Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan
lain-lainnya peraturan di bawah Undang-Undang (UU) maka yang berwenang menguji
adalah MA. Kalau UU diuji oleh MK. Tapi kalau Saudara merasa ada Peraturan MA
yang merugikan Saudara, ke mana Saudara mengajukan permohonan uji materiil
terhadap Peraturan MA itu? Menurut aturannya ya ke MA. Lantas bagaimana putusan
MA nantinya yang mengadili produknya sendiri yang berupa Peraturan MA itu? Kan aneh?
Kembali ke DPR dan KPK. Kalau Saudara menggunakan ukuran
hakikat DPR sebagai wakil rakyat, kan boleh-boleh saja DPR selaku wakil rakyat mengundang
dan bertanya kepada lembaga-lembaga apapun di negara ini yang menjalankan
urusan pemerintahan dan kenegaraan? Coba Saudara mikirnya jangan positivistik melulu
tentang fungsi DPR menurut UUD 1945. Praktik ketatanegaraan berdasarkan
kebiasaan (konvensi) itu juga bagian dari konstitusi. Kan begitu teorinya? Padahal
kebiasaan itu ya berangkat dari hal yang tadinya tidak biasa.
Lha wong hanya mengundang dan
meminta keterangan saja kok diributkan? Yang penting kan DPR tidak menjadi
tirani yang bisa membubarkan lembaga ini dan itu. DPR itu jangankan membubarkan
KPK, lha mengurangi kewenanangannya saja tak bisa, kecuali dengan membuat UU
yang harus ada persetujuan presiden. DPR tidak bisa bertindak sendiri dalam
membuat UU.
Ada lagi professor yang berdebat
tentang KPK itu termasuk lembaga eksekutif atau bukan. Jawabannya dijadikan
ukuran bahwa Hak Angket DPR itu hanya untuk eksekutif (pemerintah). Jika KPK
bukan lembaga eksekutif maka DPR tidak berwenang menggunakan Hak Angket kepada
KPK.
Saya geleng-geleng kepala. Mengapa
para profesor ini membayangkan diri di abad ide Trias Politica dengan extreme
separation of power-nya. Padahal Hans Kelsen sudah memberikan gambaran
dengan contoh riil bahwa tak ada lembaga negara yang dikategori murni sebagai
eksekutif, yudikatif dan legislatif. Contohnya, MA itu selain memegang
kekuasaan yudikatif juga memegang kekuasaan legislatif karena juga membuat
Peraturan MA.
MA juga mempunyai fungsi eksekutif dalam mengatur penggunaan anggaran
dan kepersonaliaan MA dan pengadilan-pengadilan di bawah MA. Presiden
bersama-sama dengan DPR membuat UU. Presiden sendiri juga membuat Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berarti presiden itu juga legislatif. KPK
sendiri juga membuat peraturan internal dan menyelenggarakan administrasi di
lembaganya. KPK juga bisa
disebut sebagai lembaga terkait dengan fungsi yudikatif.
Coba baca Pasal 38 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, “Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasan kehakiman.” Penjelasannya menjelaskan “Yang dimaksud dengan “badan-badan
lain” antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.” Kalau Saudara menggunakan analogi
fungsi (atau dalam fiqihnya adalah qiyas), kan KPK masuk di dalamnya sebagai
lembaga yang fungsinya terkait kekuasaan kehakiman (yufikatif).
Karena terlalu
kaku dan formil dalam berpikir, maka jadilah keriuhan, rebut balung tanpa
isi, seperti para guk guk yang berebut tulang tanpa gizi. Hal yang bukan
masalah tapi dipermasalahkan serius sampai gontok-gontokan.
Ayolah yang
santai saja. Kalau DPR mau memanggil MK atau MPR sekalipun untuk dimintai
keterangan, ya nggak masalah wong DPR itu wakil rakyat. Lha cuma soal
menggunakan hak untuk ngobrol aja kok dibikin ramai. Ngobrol dengan berdebat di
dalam gedung DPR kan nggak apa-apa? Kalau perlu ada sedikit adegan saling
lempar kursi, biar ada sedikit dramanya.
Makanya, salah sendiri MPR diturunkan kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Seumpama MPR dipertahankan menjadi lembaga tertinggi negara yang isinya wakil dari partai politik, utusan daerah, utusan golongan buruh, petani, nelayan, profesional, pengusaha, masyarakat adat, dan golongan lainnya, yang tidak menunjukkan dominasi golongan tertentu, maka MPR bisa menjadi penengah yang baik. MPR juga bisa membentuk panel macam: Panel HAM, Panel Pemberantasan Korupsi, Panel Informasi Publik, Panel Rekrutmen Pejabat Negara dan macam-macam, sehingga kita juga tidak perlu harus menghidupi lembaga independen yang banyak macamnya itu. Panel dalam MPR semacam itu lebih layak untuk mengawasi kinerja KPK.
Bagi para pembenci DPR hasil pemilihan umum itu, silahkan minta ke presiden Jokowi untuk bikin Perppu Pembubaran DPR ya! Hehehe..... Itu kalau Saudara mau serius.