Rabu, 12 Juli 2017

PERPPU Pembubaran DPR, KPK dan Rakyat Santai


Sumber foto: Tempo/Tony Hartawan

Saat ini orang riuh meriuhkan DPR yang mengangket KPK. Ada profesor yang berdebat tentang kebenaran kewenangan DPR dalam menggunakan Hak Angket terhadap KPK. Ada yang bilang KPK itu bukan lembaga eksekutif sehingga DPR tak wenang mengawasinya dengan Hak Angket. Ada yang bilang KPK itu termasuk eksekutif karena dalam Trias Politica posisi KPK bukan yudikatif dan bukan legislatif.

Kok heboh nian. Saudara-Saudara kurang rileks, kurang santai dalam berpikir. Yang santai, yang wening, sehingga akan bisa menilai bahwa sandiwara adalah tontonan yang cukup bisa menghibur, bukan malah memakan hati meletupkan emosi.

Kalau saya sebagai seorang rakyat santai dan biasa, cukup meninjau dari satu sudut penting dan satu sudut agak penting. Sudut pentingnya adalah dengan pertanyaan: apakah penggunaan Hak Angket DPR kepada KPK bisa membuat akhir yang buruk bagi KPK? Sudut yang agak penting adalah kembali bertanya kepada diri-sendiri, yakni: sudah relakah aku diwakili oleh DPR dalam urusan-urusan pemerintahan tertentu?

Mari kita uji satu persatu. Bukankah penggunaan Hak Angket DPR kepada KPK tidak akan mungkin berakhir dengan pemangkasan kewenangan KPK atau membunuh KPK? Dalam hal ini, Saudara yang tak suka dengan DPR bisa menahan emosi dengan menggunakan pepatah “DPR menggonggong KPK tetap bebas riang berlalu.” Dan bagiku, biarpun DPR bersuara menggelegar memenuhi langit, tapi DPR bukanlah petir yang dapat menyambar hangus KPK.

Seumpama dalam kesimpulan angketnya nanti DPR berkesimpulan bahwa KPK adalah setan yang harus dibasmi, tapi siapakah yang akan mengeksekusi kesimpulan tersebut? Tidak ada. Dari segi yang penting itu maka Hak Angket DPR bukanlah ancaman bagi KPK.

Selanjutnya dari segi yang agak penting adalah menyangkut hakikat DPR. Katanya konsensus di negara ini menempatkan DPR sebagai wakil rakyat. Dalam makna yang luas, rakyat boleh mengawasi semua lembaga aparatur negara dan pemerintah tanpa perlu diberikan sekat yang bernama “independensi lembaga.” Lha kalau menjadi lembaga negara independen, tidak boleh dikontrol? Itu asas superliberal. Liberalisme ditentang para pendiri NKRI ini. Silahkan teliti gagasan-gagasan para pendiri NKRI di sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.

Jika Saudara menggunakan alat takaran Hukum Tata Negara tentang kesetaraan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara, maka DPR tak layak untuk mengawasi presiden, MA, MK, BPK, KY, MPR. Setara kok mengontrol? Pihak yang mengontrol itu yang kedudukannya lebih tinggi. Lha masak mandor mengawasi mandor? Tapi Saudara disodori  prinsip cheks and balances di mana lembaga-lembaga negara itu saling mengontrol. Itu sistem hukum pasar bebas yang mengharapkan keseimbangan dengan hubungan-hubungan alamiah yang terjadi. Pasar bebas itu liberalisme.

Saudara akan mendapatkan kenyataan yang tidak tuntas dalam sistem tata negara dan tata hukum itu. Di Indonesia ini, jika ada lembaga-lembaga tinggi negara yang bersengketa, maka MK menjadi wasitnya. Aturannya begitu. Tapi kalau MK sendiri yang bersengketa dengan lembaga tinggi negara lainnya (misalnya bersengketa dengan MA), lalu siapa yang akan menjadi wasitnya? Tidak ada.

Kalau Saudara mengajukan uji materiil Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan lain-lainnya peraturan di bawah Undang-Undang (UU) maka yang berwenang menguji adalah MA. Kalau UU diuji oleh MK. Tapi kalau Saudara merasa ada Peraturan MA yang merugikan Saudara, ke mana Saudara mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan MA itu? Menurut aturannya ya ke MA. Lantas bagaimana putusan MA nantinya yang mengadili produknya sendiri yang berupa Peraturan MA itu? Kan aneh?

Kembali ke DPR dan KPK. Kalau Saudara menggunakan ukuran hakikat DPR sebagai wakil rakyat, kan boleh-boleh saja DPR selaku wakil rakyat mengundang dan bertanya kepada lembaga-lembaga apapun di negara ini yang menjalankan urusan pemerintahan dan kenegaraan? Coba Saudara mikirnya jangan positivistik melulu tentang fungsi DPR menurut UUD 1945. Praktik ketatanegaraan berdasarkan kebiasaan (konvensi) itu juga bagian dari konstitusi. Kan begitu teorinya? Padahal kebiasaan itu ya berangkat dari hal yang tadinya tidak biasa.

Lha wong hanya mengundang dan meminta keterangan saja kok diributkan? Yang penting kan DPR tidak menjadi tirani yang bisa membubarkan lembaga ini dan itu. DPR itu jangankan membubarkan KPK, lha mengurangi kewenanangannya saja tak bisa, kecuali dengan membuat UU yang harus ada persetujuan presiden. DPR tidak bisa bertindak sendiri dalam membuat UU.

Ada lagi professor yang berdebat tentang KPK itu termasuk lembaga eksekutif atau bukan. Jawabannya dijadikan ukuran bahwa Hak Angket DPR itu hanya untuk eksekutif (pemerintah). Jika KPK bukan lembaga eksekutif maka DPR tidak berwenang menggunakan Hak Angket kepada KPK.

Saya geleng-geleng kepala. Mengapa para profesor ini membayangkan diri di abad ide Trias Politica dengan extreme separation of power-nya. Padahal Hans Kelsen sudah memberikan gambaran dengan contoh riil bahwa tak ada lembaga negara yang dikategori murni sebagai eksekutif, yudikatif dan legislatif. Contohnya, MA itu selain memegang kekuasaan yudikatif juga memegang kekuasaan legislatif karena juga membuat Peraturan MA.

MA juga mempunyai fungsi eksekutif dalam mengatur penggunaan anggaran dan kepersonaliaan MA dan pengadilan-pengadilan di bawah MA. Presiden bersama-sama dengan DPR membuat UU. Presiden sendiri juga membuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berarti presiden itu juga legislatif. KPK sendiri juga membuat peraturan internal dan menyelenggarakan administrasi di lembaganya. KPK juga bisa disebut sebagai lembaga terkait dengan fungsi yudikatif.

Coba baca Pasal 38 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman.” Penjelasannya menjelaskan “Yang dimaksud dengan “badan-badan lain” antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.” Kalau Saudara menggunakan analogi fungsi (atau dalam fiqihnya adalah qiyas), kan KPK masuk di dalamnya sebagai lembaga yang fungsinya terkait kekuasaan kehakiman (yufikatif).

Karena terlalu kaku dan formil dalam berpikir, maka jadilah keriuhan, rebut balung tanpa isi, seperti para guk guk yang berebut tulang tanpa gizi. Hal yang bukan masalah tapi dipermasalahkan serius sampai gontok-gontokan.

Ayolah yang santai saja. Kalau DPR mau memanggil MK atau MPR sekalipun untuk dimintai keterangan, ya nggak masalah wong DPR itu wakil rakyat. Lha cuma soal menggunakan hak untuk ngobrol aja kok dibikin ramai. Ngobrol dengan berdebat di dalam gedung DPR kan nggak apa-apa? Kalau perlu ada sedikit adegan saling lempar kursi, biar ada sedikit dramanya.

Makanya, salah sendiri MPR diturunkan kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Seumpama MPR dipertahankan menjadi lembaga tertinggi negara yang isinya wakil dari partai politik, utusan daerah, utusan golongan buruh, petani, nelayan, profesional, pengusaha, masyarakat adat, dan golongan lainnya, yang tidak menunjukkan dominasi golongan tertentu, maka MPR bisa menjadi penengah yang baik. MPR juga bisa membentuk panel macam: Panel HAM, Panel Pemberantasan Korupsi, Panel Informasi Publik, Panel  Rekrutmen Pejabat Negara dan macam-macam, sehingga kita juga tidak perlu harus menghidupi lembaga independen yang banyak macamnya itu. Panel dalam MPR semacam itu lebih layak untuk mengawasi kinerja KPK.  

Bagi para pembenci DPR hasil pemilihan umum itu, silahkan minta ke presiden Jokowi untuk bikin Perppu Pembubaran DPR ya! Hehehe..... Itu kalau Saudara mau serius.

Tidak ada komentar: