Di kursi depanku diduduki seorang perempuan muda yang parasnya lumayan cantik. Di sebelah kirinya ditempati seorang perempuan berkerudung, mungkin seusiaku, ia tampak sedikit gembrot. Kursi itu jatah tiga orang. Di sebelah kananku seorang perempuan sekitar 60 tahunan, dan di sebelah kanan perempuan tua itu duduk seorang pemuda yang semula kukira anak perempuan tua ini.
Aku membisu, memainkan HP, ber-fesbuk-ria di
dalam kereta api kelas ekonomi bernama Penataran dengan tujuan akhir stasiun
Blitar. Berangkat dari stasiun Gubeng Surabaya jam 07.40 WIB, tanggal 18
Oktober 2016.
Hal yang tidak saya sukai, saat aku duduk di
dekat perempuan muda yang tak aku kenali. Seperti biasa, saya tak akan pernah
mengawali untuk mengajaknya bicara. Bahkan memandangnya pun tidak. Lebih baik
jika di dekatku duduk perempuan tua atau lelaki, entah muda atau tua.
Biasanya aku justru mengamati pandangan
lelaki di sekitarnya, yang nanar tanpa malu menatapi perempuan cantik. Atau
seringkali mencuri-curi pandang. Saya hanya bisa menduga, mungkin para lelaki
itu berpikir, “Bagaimana jika perempuan cantik ini aku yang memilikinya.”
Saya tak pernah mengagumi perempuan cantik.
Dalam hidupku aku hanya kagum kepada para perempuan pejuang yang dalam banyak
hal bahkan tak sempat melihat bentuk alisnya sendiri. Mungkin karena sejak
kecil saya melihat ibuku yang pekerja keras dan mendidikku untuk tidak
lama-lama meluangkan waktu istirahat. Jauh sebelum Presiden Jokowi punya slogan
“kerja kerja kerja”, ibuku sudah punya prinsip itu sejak ia muda. Makanya kalau
saya melihat perempuan dan pria yang kemayu dan manja, mentolo tak balang sandal! Tapi ya kasihan juga ya.
Saya pernah naik angkutan kota duduk
berdampingan dengan seorang perempuan kusut yang bau badannya lebus, dia
tampaknya pulang kerja selepas waktu Maghrib. Saya membayangkan dia habis
bekerja di rumah untuk keluarganya, atau pulang dari tempat kerjanya. Bau
lebusnya pun tenggelam oleh nilai
perjuangannya. Saya bisa memaklumi bau lebusnya, dibandingkan perempuan wangi
yang cuma bisa gaya.
Apalagi para pria yang pernah kutemui menganggur,
suka mabuk, lalu meggoda para perempuan yang ditemuinya. Tampaknya itu lebih
buruk dibandingkan pemandangan kuda nil di kebun binatang. Ya sudahlah. Hidup
memang tak ideal. Seperti diriku sendiri yang mungkin memuakkan bagi orang
lain. Monggo, selamat muak….
Untungnya perempuan cantik di depanku itu
turun di stasiun kota Malang. Saya serasa mendapatkan angin segar untuk
bernafas. Langit pikiranku pun menjadi cerah. Alhamdulillah. Sejurus kemudian
ibu tua yang duduk di sebelah kananku berpindah tempat, duduk di depanku, di
kursi yang ditinggalkan perempuan muda itu tadi.
Ibu tua itu bernama Rahimah. Dia orang asal
Minang, tampak dari logat bicaranya. Saya mulai berbincang dengannya saat ia
bertanya kepada perempuan yang duduk di sebelahnya, bertanya tentang Blitar. “Apakah
stasiun Blitar masih jauh ya Bu?” tanyanya. Tapi perempuan di sebelahnya
ternyata tidak tahu. Lalu aku yang menjawabnya dan menjelaskannya.
Bu Rahimah merupakan pensiunan guru SMP di
Riau. Dia sejak muda hidup di Riau, hingga berkeluarga di Riau dan menjadi orang
Riau. Katanya, penduduk asli Riau adalah orang-orang Melayu, selain juga ada
suku yang hidup di pedalaman yang jarang berkomunikasi dengan orang luar
komunitas suku tersebut. Warga Riau juga banyak dari suku Jawa, mungkin karena
program transmigrasi di era Orde Baru. Selain itu juga ada suku Minangkabau,
Batak, Banjar, Tionghoa dan Bugis. Tapi penguasa ekonomi di Riau bukanlah orang
asli Riau.
Saya bertanya, bagaimana gambaran Riau itu.
Dia menjelaskan bahwa Riau yang merupakan salah satu provinsi di tengah Pantai
Timur Sumatera itu merupakan wilayah yang cukup panas, banyak terdapat
perkebunan kelapa sawit. Saat dia menceritakan perkebunan sawit itu, dia
mengisahkan bagaimana penderitaan penduduk Riau yang seringkali dirundung
bencana asap akibat kebakaran hutan dan perkebunan kelapa sawit. “Para
penguasaha sawit dan para pejabat Riau kaya-kaya Pak. Tapi rakyatnya tidak ada
kemajuan apa-apa, hidupnya pas-pasan. Kami hanya mendapatkan derita akibat
perbuatan mereka yang menumpuk kekayaan.” Menurut Bu Rahimah, cara bersikap para
pejabat di Riau juga masih bersifat kesukuan.
Riau boleh dikata sebagai wilayah provinsi
yang terkaya di Indonesia. Selain hutannya, Riau juga mempunyai sumber daya
minyak dan gas bumi, gas alam, perkebunan karet dan serat, serta kelapa sawit. Di
jaman Orde Baru, di tahun 1970-an, produksi migas nasional di wilayah Riau,
dikelola California Texas Indonesia (kini Chevron Pasific Indonesia), merupakan
70 persen dari produksi migas nasional. Betapa kayanya. Tapi apakah rakyat Riau
menjadi makmur?
Investasi perkebunan kelapa sawit menyebabkan
terjadinya deforestasi yang hebat. Hutannya habis. Pada tahun 1982, hutan di
Riau masih tersisa sekitar 78 persen. Tapi pada tahun 2009, setelah 10 tahun
reformasi, hutannya tinggal tersisa sekitar 22 persen. Setiap tahun hutan di
Riau ditebangi rata-rata 160 ribu hektar. Tentu saja itu adalah ekosida alias
pembasmian lingkungan hidup, sebab dengan dihabiskannya hutan maka selain
sumber air yang kian menipis, maka adanya banyak keanekaragaman hayati yang
lenyap.
Bu Rahimah menceritakan bahwa di
perkebunan-perkebunan kelapa sawit dibuatkan pemukiman-pemukiman untuk para
penduduk yang bekerja sebagai pekerja kebun sawit. Namun sayangnya tidak
dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah yang berdekatan dengan
pemukiman-pemukiman tersebut. Para pekerja perkebunan kelapa sawit itu katanya
juga banyak yang berasal dari Jawa.
Berbincang tentang perkebunan kelapa sawit
itu, maka saya pun juga mengisahkan
perjalanan saya, setelah tumbangnya Suharto tahun 1998, di daerah Tulang Bawang
Provinsi Lampung. Setelah lulus kuliah tahun 1997, saya sempat belajar tata
cara berkebun sayur sawi di Jakarta dan cara berternak burung puyuh di Solo. Ada
orang yang mengajakku bekerja di perusahaan peternakan dan pertanian sayuran yang
akan didirikan di Bali. Tapi krisis ekonomi global menghantam perekonomian
Indonesia, sehingga rencana mendirikan perusahaan itu gagal.
Tahun 1998 saya berkelana sampai ke Tulang
Bawang Lampung, sempat akan bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit yang baru
ditanam. Beberapa hari saya mengamati para pekerja perkebunan itu, saya
berbincang-bincang dengan mereka. Ternyata mereka hanya diupah Rp 3 ribu per
hari. Perkebunan tersebut merupakan perkebunan plasma, menggunakan lahan para
transmigran dari Jawa yang tak punya modal untuk membuat perkebunan. Rencananya,
setelah 25 tahun maka lahan perkebunan kelapa sawit itu akan dikembalikan
kepada para petani. Begitulah perjanjian antara perusahaan perkebunan dengan
para petani pemilik lahan.
Saya menilai itu sebagai eksploitasi kasar. Saya
lihat para petani transmigran di Tulang Bawang memang mengenaskan dan tak punya
banyak pilihan. Itu berbeda dengan para transmigran di wilayah Metro yang
lumayan makmur karena tanahnya bisa ditanami padi yang tidak membutuhkan biaya
besar.
Maka sayapun membatalkan diri, tidak jadi
bekerja sebagai mandor perkebunan sawit tersebut. Lalu saya pergi ke kota
Bandar Lampung menjadi pekerjaan sebagai guru, tetapi gagal, hingga akhirnya
saya kembali ke Jawa, pergi ke Jakarta, di mana di Jakarta ini saya juga tidak
mendapatkan pekerjaan setelah berusaha mencari pekerjaan selama sekitar
sebulan.
Saya bertanya kepada Bu Rahimah, apakah warga
Riau tidak mengadakan perlawanan atas penindasan yang terjadi di Riau itu. Bu
Rahimah menjelaskan keadaan masyarakat Riau yang “penurut” dengan keadaan yang sedang
mereka alami. “Kami memang tak bisa berbuat apa-apa. Kami tak tahu harus
bagaimana.”
Lalu saya berusaha mengingat sejarah
perlawanan orang Riau. Tullius Cicero mengatakan bahwa sejarah adalah guru
kehidupan. Mengabaikan masa lalu berarti terus menjadi anak kecil.
Pada abad ke-13 memang Kesultanan Indragiri bersahabat
dengan Belanda (VOC). Demikian pula
Kesultanan Siak di abad ke-18 terbelah menjadi dua kubu, di mana Raja Muhammad
Ali bekerjasama dengan Belanda melawan Raja Ismail. Penguasa Kesultanan Siak
bekerjasama dengan Belanda untuk menundukkan Pulau Penyengat yang dipimpin Raja
Haji Fisabilillah. Mereka juga bekerjasama menundukkan Selangor. Jadi, secara
sejarah memang Riau bukan merupakan basis perlawanan. Jika saya keliru dalam
hal ini, ya tolong diluruskan.
Tak terasa kemudian sampailah kereta api di
stasiun Kepanjen Kabupaten Malang. Di situlah saya berpamitan kepada Bu
Rahimah, sebab saya harus turun di situ. Bu Rahimah melanjutkan perjalanan
menuju Blitar. Ia akan berziarah di makam Bung Karno. Setelah masa pensiunnya,
Bu Rahimah mengunjungi banyak tempat di pulau Jawa.
Siang itu di Kepanjen terasa panas terik. Saat
itu saya masih memikirkan apa yang diceritakan Bu Rahimah tentang Riau yang
kaya tapi dirundung malang. Ada beberapa gelintir orang yang kaya berkuasa,
yang hanya memikirkan diri sendiri. Mereka tega menindas menyengsarakan
masyarakat. Itu kebalikan dari apa yang dikatakan oleh Cicero, negarawan
Romawi yang lahir tahun 106 SM, bahwa kita tidak lahir untuk diri sendiri. Cicero
juga mengatakan, biarlah kesejahteraan masyarakat yang menjadi hukum utama.
Atau apa yang dikatakan oleh Augustinus, bahwa jika tak ada keadilan maka di
situ tak ada hukum.
Suatu masyarakat yang biasa hidup tertindas
mungkin akan merasakan itu sebagai kebiasaan yang tidak menggetarkan jiwa
mereka. Setiap pemilu mereka hanya menjadi obyek penipuan dan kebohongan
kekuasaan. Tetapi para terpelajar yang bertanggung jawab tentu tak akan
membiarkan itu terus terjadi tanpa perubahan ke arah yang lebih baik.
Harus ada para provokator untuk menggedor
kesadaran masyarakat, agar mereka terbangun dari alam bawah sadarnya yang
dikuasai oleh tipuan-tipuan tentang rasa syukur yang membiarkan kemunkaran itu terus
terjadi. Padahal rasa syukur itu berada di ruang yang berbeda dengan kewajiban
untuk melawan ketidakadilan.
Tapi saya percaya bahwa ciri sejarah bisa
berubah. Riau akan bisa menciptakan sejarah perlawanan itu di masa depan.
Mungkin tak lama lagi. Di mana dominasi perkebunan sawit itu akan dihancurkan,
dan hutan Riau dikembalikan, meskipun mungkin tak akan bisa pulih sempurna
seperti sedia kala. Ini seperti membangun mimpi. Tapi itu lebih baik
dibandingkan dengan mimpi tentang kenikmatan rasa jiwa ketika sedang melihat
penindasan. Karena hidup bukan untuk memikirkan nasib diri sendiri. Kau bisa
hebat dengan bersabar menerima penindasan terhadap dirimu sendiri. Tapi kau menjadi
tak berguna jika diam melihat saudarmu dihinakan dan dilindas oleh para tiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar