Anda
mungkin pernah mendengar kisah kepahlawanan yang hebat yang dilakukan oleh Adipati
Sawunggaling yang konon tak kalah hebat dengan Pangeran Diponegoro. Bahkan
perang rakyat Surabaya yang dipimpin Sawunggaling melawan kolonial Belanda adalah
perang yang besar di mana Adipati Sawunggaling berhasil membunuh Jenderal De
Boor. Dalam kisah perlawanan Sawunggaling itu tentu ada pengkhianatan pula dari
orang-orang bangsa sendiri. Sama seperti kisah-kisah perjuangan lainnya yang
juga menyuguhkan kisah para antek.
Di
tanah kelahiran tokoh besar Sawunggaling inilah saya akan berkisah tentang penjajahan
modern, di mana tanah warga masyarakat Dukuh Sepat Surabaya dirampas melalui cara-cara
hukum modern. Tanah warga itu dikenal dengan tanah waduk Sepat. Kisah yang saya
ceritakan ini bersumber dari keterangan beberapa warga Dukuh Sepat dan beberapa
dokumen yang mendukungnya.
Tanah
waduk Sepat pada mulanya merupakan tanah kas desa (TKD) atau bondho deso yang merupakan hak kolektif
masyarakat Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya. Pada
zaman Orde Lama, ketika Lidah Kulon masih berupa desa, warga Dukuh Sepat, Desa
Lidah Kulon, Lakarsantri, menyumbangkan sebagian tanah hak milik mereka yang saling
berbatasan, untuk dijadikan waduk milik bersama warga desa. Makanya tanah
tersebut disebut tanah cuwilan.
Cuwilan
merupakan kosa kata bahasa Jawa yang artinya adalah “sebagian yang diambil.”
Kata “dicuwil” artinya “diambil sebagian dengan cara dipotong menggunakan
tangan.” Warga yang tanah-tanahnya berbatasan bergotong-royong menyumbangkan
sebagian tanah mereka yang dicuwil untuk tanah waduk tersebut. Tanah tersebut
berupa tanah waduk seluas sekitar 66.750 m2 terletak di wilayah RW 03 dan RW 05
Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya.
Waduk
Sepat atau dikenal dengan waduk Sakti Sepat mempunyai fungsi sosial bagi
masyarakat Dukuh Sepat, diantaranya: Tempat wisata pemancingan dan perahu; Tempat
pemeliharaan ikan yang biasa dipanen oleh warga Dukuh Sepat; Tempat berjualan
warga yang melayani warga yang datang di waduk Sepat tersebut; Tempat warga
untuk berdoa bersama dalam acara-acara bersih kampung, istighosah, dan
syukuran. Pendek kata, Waduk Sepat tersebut menjadi bagian dari kebudayaan dan perekat
hubungan sosial warga Dukuh Sepat.
Sebagaimana
pada umumnya, kapital datang berusaha untuk melahap apa saja yang ada di depan,
belakang dan sekitarnya. Pun kapital pengembang partikelir mulai meluaskan
kekuasaan bisnisnya di sekitar wilayah Lidah Kulon. Para penguasa kapital tidak
peduli dan tidak mau tahu apa itu nilai kebudayaan warga, sakralitas properti hak
komunal, nilai ekologis, semuanya dilibas demi akumulasi kapital yang mereka
usahakan. Cita-cita akumulasi kapital itu selalu melibatkan para pejabat negara
atau pemerintah yang dijadikan para centeng. Baik dalam sistem monarkhi,
ataupun demokrasi, kekuasaan kapital selalu menjadikan para birokrat menjadi
budak dan memecah-belah persatuan masyarakat. Kekuasaan kapital juga mendikte
bagaimana hukum dibuat dan dioperasionalkan. Ingat bahwa VOC yang pernah menjajah Nusantara itu adalah korporasi yang kemudian didukung beberapa penguasa dan para antek pribumi di Nusantara.
Kembali pada soal waduk Sepat. Pada
tahun 2003 pernah ada perjanjian sewa-menyewa Waduk Sepat antara pengembang dan
warga, yang berakhir di tahun 2008. Waduk Sepat digunakan pengembang sebagai
tempat penampungan air dan saluran pembuangan dari perumahan Citraland, (PT.
Ciputra Surya Tbk.) yang masih terus berjalan sampai sekarang meskipun
pengembang tidak lagi membayar kepada warga.
Tahun
2011 Pihak PT. Ciputra Surya Tbk. pernah melakukan pembagian dana CSR (corporate social responsibility) Rp 3
miliar melalui Panitia 16. Panitia 16 adalah sebagian orang dari warga Dukuh
Sepat sendiri yang mengklaim mewakili
warga untuk mengambil dana tersebut dan membentuk panitia yang disetujui oleh
Lurah Lidah Kulon (waktu itu Ahmad Supriyadi) dan
Camat Lakarsantri (waktu itu Minun Latif), berjumlah sekitar 16 orang. Warga
Dukuh Sepat RW 03 dan RW 05 tidak mengakui panitia sebab proses pembentukannya
dipaksakan, tidak transparan, tidak melalui rapat warga dan tidak melibatkan
perangkat RT dan RW. Pembagian ini menuai konflik sebab warga sudah curiga jika
dana CSR itu ada tendensinya dengan pelepasan waduk.
Panitia
16, Kelurahan Lidah Kulon serta pihak Kecamatan Lakarsantri menjelaskan kepada warga
bahwa pembagian dana itu adalah dana CSR yang tidak ada hubungannya dengan pelepasan
waduk Sepat. Namun dalam pertemuan warga dengan pihak pengembang PT. Ciputra
Surya Tbk yang difasilitasi oleh DPRD Kota Surabaya menjelaskan bahwa dana itu
memang bukan dana CSR, melainkan dana kompensasi pelepasan waduk Sepat.
Ternyata,
Pemerintah Kota Surabaya memang telah melepaskan tanah tersebut kepada PT.
Ciputra Surya, Tbk. dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya No.
188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat
Keputusan No. 39 Tahun 2008.
Tanah
waduk warga Dukuh Sepat tersebut termasuk menjadi objek tukar guling yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya (di masa Walikota Bambang D.H.) dengan
PT. Ciputra Surya, Tbk. berdasarkan Perjanjian Bersama antara Pemerintah Kota
Surabaya dengan PT. Ciputra Surya, Tbk. Nomor 593/2423/436.3.2/2009 / Nomor
031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tanggal 4 Juni 2009. Warga Dukuh Sepat sejak semula
menyatakan menolak peralihan hak atas tanah waduk tersebut. Mereka tidak pernah
dimintai persetujuan.
Menurut pihak PT. Ciputra Surya Tbk, tanah waduk Sepat
tersebut merupakan bagian dari tanah tukar guling antara PT Ciputra Surya
Tbk dengan Pemkot Surabaya yakni ditukar
tanah untuk membangun Surabaya Sport
Centre (SSC) di Pakal. Pemkot Surabaya kekurangan lahan sekitar 20 hektar.
Sementara, tanah 20 hektar di sekitar SSC adalah milik PT Ciputra Surya Tbk.
Setelah tukar guling tersebut, PT. Ciputra Surya Tbk
memperoleh sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas tanah waduk Sepat yakni
SHGB Nomor 4057 /
Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Surat Ukur tanggal
21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 M2. Berdasarkan data fisik yang tertulis dalam sertifikat
tersebut dijelaskan bahwa tanah waduk Sepat tersebut merupakan “tanah
pekarangan.” Padahal hingga tulisan ini
dibuat, tanah tersebut masih tetap berupa waduk. Tentu saja ini merupakan
manipulasi yang sangat berani. Mengapa kekuasaan birokrasi Badan Pertanahan
Nasional di Surabaya berani mengamini manipulasi yang kasar dan terang-terangan
seperti itu? Itulah nyali kekuasaan yang menganggap pihak di luar dirinya
sebagai sesuatu yang sama sekali tidak diperhitungkan atau diremehkan. Semua
memang mahfum bahwa uang bisa mengatur segalanya, asalkan cocok besarnya.
Warga Dukuh Sepat yang masih konsisten menolak “perampasan” waduk
Sepat dengan menggunakan hukum yang manipulatif itu tetap berjuang
mempertahankan tanah hak komunal peninggalan leluhur mereka. Pada tanggal 4
Juli 2011, pihak PT. Ciputra Surya dibantu Kepolisian akan melakukan pemagaran
lahan waduk Sepat, namun ditolak oleh warga. Pada waktu itu penolakan warga
dikriminalisasi Polrestabes Surabaya. Namun karena protes warga dan mediasi
yang dilakukan Komnas HAM maka kriminalisasi tersebut dihentikan.
Pada tanggal 14 April 2015 pihak PT. Ciputra Surya Tbk
dibantu oleh pasukan Kepolisian melakukan eksekusi atau pengosongan paksa terhadap
lahan waduk Sepat tersebut, sehingga beberapa warga mengalami luka-luka dan
terdapat barang-barang milik warga di lokasi yang dirusak. Selanjutnya lahan waduk
Sepat tersebut dipagar. Di dalamnya masih terdapat bangunan mushola atau masjid
kecil milik warga Dukuh Sepat.
Tak hanya berakhir di situ. Pihak perusahaan juga berusaha memidanakan
warga yang melawan dengan menggunakan Pasal 170 KUHP. Warga pun berusaha
melawan dengan melaporkan adanya pemalsuan data fisik tanah dalam SHGB PT.
Ciputra Surya Tbk yang menyatakan tanah waduk Sepat sebagai tanah pekarangan.
Warga berusaha menguji bagaimana obyektivitas dan keadilan negara yang akan
diberikan kepada mereka. Apakah mereka yang akan dikalahkan dan dipenjara,
ataukah pelaku manipulasi itu yang akan dipenjara. Kelak kita akan melihat apa
yang terjadi, apakah hukum negara ini masih saja tetap menindas mereka yang
lemah dan menjadi korban.
Setelah waduk Sepat dieksekusi dan dipagar, kini lenyap sudah
akses warga Dukuh Sepat atas waduk Sepat tersebut. Warga juga kehilangan akses
terhadap waduk yang mereka bangun. Konon, di negara yang mengadopsi hukum hak
asasi manusia (HAM) ini, eksekusi terhadap obyek yang diperselisihkan hanya
bisa dilakukan atas perintah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Tetapi prinsip hukum tersebut tidak berlaku di sini. Bahkan
benda-benda milik warga di lokasi waduk Sepat tidak bisa diambil. Pada satu
contoh masalah ini kita tidak bisa mengatakan bahwa warga masyarakat telah
merasakan kemerdekaan. Warga Dukuh Sepat bukan dijajah oleh rezim asing, tetapi
dijajah oleh rezim bangsa sendiri yang memperlakukan mereka bukan sebagai warga
negara sendiri. Orang-orang asing dan kapitalnya diundang agar datang di negara
ini, diberikan fasilitas-fasilitas istimewa dan dimanja. Tetapi warga negara
sendiri digencet, dipecah-belah, dirampas hak-haknya dan dilibas menggunakan
hukum negara.
Dengan sisa semangat yang masih ada, warga Dukuh Sepat masih
mencoba percaya kepada hukum dengan mengajukan gugatan masalah tersebut ke
Pengadilan Negeri Surabaya. Itu memang pilihan yang berat. Sebuah langkah yang
spekulatif mengingat minimnya keberpihakan hukum kepada mereka yang lemah.
Hukum memang tidak pernah bisa memberikan keadilan selama hukum berada di
genggaman kelompok kelas menengah dan atas yang tidak tumbuh dari perjuangan
untuk keadilan semua kelas. Ataukah itu akan menjadi sejarah abadi bahwa di
tangan kelas manapun maka hukum akan hanya dijadikan alat transaksi?
Jika suatu saat hukum tidak pernah memihak kepada warga Dukuh
Sepat, barangkali perlawanan puputan ala leluhur mereka Adipati Sawunggaling
bisa saja terjadi. Mereka membuat hukum sendiri. Saat hal demikian terjadi,
orang-orang yang tersingkir dan dilindas yang melakukan perlawanan terhadap
hukum yang melindas, mereka akan disebut sebagai perusuh. Tetapi sejarah akan
terus berlangsung. Kelak pada generasi-generasi mendatang akan bisa menilai
dengan kejujuran nurani mereka.
Bagaimana saya bisa memaknai kemerdekaan negara ini jika di
sini dan di banyak tempat masih banyak terjadi penindasan dan politik
pecah-belah kepada bangsa sendiri? Kita harus menghormati para pejuang
kemerdekaan negara ini yang mengorbankan nyawa untuk kemerdekaan negara ini. Tapi
ternyata hingga hari ini harus melawan penjajah dari bangsa sendiri.
Dalam kisah ini saya memilih mendukung perjuangan warga Dukuh Sepat. Apapun hasilnya di kemudian hari, menempatkan posisi sebagai antek atau komprador bukanlah pilihan saya. Seorang antek mungkin bisa menikmati sedikit uang atau beasiswa yang diberikan oleh penjajah, tetapi para antek hanyalah kotoran sejarah. Justru para antek itulah yang menjadi penghambat bagi masyarakat untuk bisa merdeka. Kalau bisa, usahakan sebisa mungkin, meskipun miskin tapi sekali-kali jangan sampai menjadi antek! Percuma saja berdasi dan berjas, bermobil, tapi dalam sejarah sosial tercatat sebagai antek yang ikut-ikutan mengibarkan merah-putih.
Dalam kisah ini saya memilih mendukung perjuangan warga Dukuh Sepat. Apapun hasilnya di kemudian hari, menempatkan posisi sebagai antek atau komprador bukanlah pilihan saya. Seorang antek mungkin bisa menikmati sedikit uang atau beasiswa yang diberikan oleh penjajah, tetapi para antek hanyalah kotoran sejarah. Justru para antek itulah yang menjadi penghambat bagi masyarakat untuk bisa merdeka. Kalau bisa, usahakan sebisa mungkin, meskipun miskin tapi sekali-kali jangan sampai menjadi antek! Percuma saja berdasi dan berjas, bermobil, tapi dalam sejarah sosial tercatat sebagai antek yang ikut-ikutan mengibarkan merah-putih.
1 komentar:
Inilah yang disebut sebagai kemerdekaan yang bertepuk sebelah tangan. Dibuatlah sebagian warga negaranya menjadi remuk dan tak berdaya. Setengah merdeka!
Posting Komentar