Para terdidik modern mengatakan bahwa Amerika
Serikat (AS) itu negara demokratis dan China komunis itu otoriter. Tetapi Lewis
Stanley tahun 2011 mengabarkan bahwa lebih dari 2,2 juta orang menjadi tahanan AS,
dari sekitar 300 juta penduduknya. Diperkirakan 5 persen dari 2,2 juta tahanan
itu adalah orang-orang tak bersalah. Tetapi di China hanya beberapa ratus ribu orang
yang menjadi tahanan, padahal jumlah penduduk China sekitar Rp 1,3 miliar
manusia. Bagaimana penilaian Anda tentang hal itu? Hukum China jelas berbeda
dengan hukum Amerika.
Pesan Peter de Cruz yang ahli perbandingan hukum,
jangan sesekali menggunakan ukuran “hukum Barat” (yang sekuler) untuk mengukur
kebaikan hukum di negara-negara lain di dunia ini. Di Asia dan Afrika terdapat
sistem hukum yang bersumber dari keyakinan masyarakatnya, dari hukum agama
mereka.
Bagi Patrick Glenn, sebagaimana dikutip oleh
Prof. Werner Mensky, Barat yang sekuler telah melakukan globalisasi (segala
bidang) secara resmi di permukaan, tapi Islam juga melakukan globalisasi
(Islamisasi) di bawah permukaan. Jika kedua kekuatan itu sulit untuk saling
memahami maka terjadilah benturan peradaban sebagaimana diramal oleh
Huntington. Di sisi lain ada kekuatan besar yang tak dapat diremehkan, yaitu
China.
Itulah makanya Mensky melakukan studi
perbandingan hukum global, mempelajari sistem hukum Barat, Hindu, Islam, Afrika
dan China. Seluruh sistem hukum tersebut berinteraksi. Orang yang menilai hukum
adat dan hukum agama lebih buruk dibandingkan hukum sekuler, ibaratnya adalah seperti
orang yang melihat lautan dari permukaannya, belum tahu kedalamannya, apalagi
dasarnya. Sama halnya mereka melihat hukum sekuler hanya dari perilaku para
polisi, advokat dan hakim. Apakah kebaikan hukum dapat dilihat dari sumbernya?
Sebenarnya filsafat hukum tidak akan pernah
tuntas dalam membahas dan menjawab pertanyaan: “Dari mana asal-usul atau sumber
hukum itu?” Selama ini filsafat hukum menjawab bahwa ada dua sumber atau
asal-usul hukum, yakni dari Tuhan dan dari pemikiran manusia itu sendiri.
Tentu saja, orang-orang yang berkeyakinan
tentang Tuhan yang mengatur kehidupan ini, akan merasa benar dengan pendapatnya
bahwa sumber hukum adalah hukum Tuhan. Sebaliknya, kelompok pemikiran yang
lain, mereka yakin dengan kebenaran bahwa hukum itu dibuat oleh manusia,
sehingga sumber hukum adalah pemikiran manusia itu sendiri.
Mereka yang percaya bahwa sumber hukum adalah
Tuhan, terbagi dalam pendapat yang berbeda pula. Terbukti bahwa terdapat
bermacam-macam agama yang dalam hal tertentu punya aturan hukum yang sama, tapi
juga banyak berbeda dalam aturan yang lainnya. Aturan agama juga membutuhkan
penafsiran. Dalam penafsiran tersebut rentan dengan relativitas kebenaran atau kekeliruan.
Jika Tuhannya sama, mengapa orang-orang Kristen bebas makan daging babi, tapi
umat Islam diharamkan makan daging babi? Masak Tuhan kok diskriminatif dalam
hal yang sama?
Itulah misteri manusia. Misteri yang tak akan
dapat terpecahkan di sepanjang jaman. Manusia sudah melalui jaman nabi Nuh, nabi
Ibrahim, nabi Musa, nabi Daud, Ramayana dan Mahabarata, Alexander Agung, Yesus
(nabi Isa a.s.), nabi Muhammad s.a.w., perang dunia I dan perang dunia II,
hingga sekarang.
Kan’an, putera Nuh itu telah berselisih
menetang keyakinan hukum ayahnya, hingga perselisihan itu berakhir dengan
kematian Kan’an yang tenggelam. Kan’an menganggap aturan Nuh, ayahnya itu
irasional. Bagaimana masuk akal wong orang
hidup di daratan kok harus menyiapkan bahtera alias kapal besar? Rezim Firaun Ramses
II menerapkan hukum yang ditentang Musa, juga berakhir dengan konflik dan kematian.
Hukum Bibel / Injil Isa (Yesus) bertentangan dengan hukum rezim Romawi dan
tafsir hukum Taurat para pemuka agama Yahudi. Para Kurawa berselisih dengan Pandawa
dalam hukum Hindu memunculkan kisah Mahabarata yang bernuansa “terbunuh atau
membunuh”.
Peristiwa persekongkolan hukum gereja dengan
kaum ningrat di Eropa abad kegelapan memunculkan ketidakpercayaan atas hukum
agama, menghinggapi pemikiran manusia-manusia modern membuat mereka mengusahakan
gagasan baru yang kerap disebut sebagai sekulerisme. Hukum harus muncul dari
kesepakatan warga seperti yang dikemukakan Rousseau dalam Teori Kontrak Sosial
yang dibuatnya. Sampai-sampai Marx menyindir, agama adalah candu sosial.
Maksudnya: Mengapa perilaku para pemuka gereja waktu itu malah membuat kacau
masyarakat?
Tapi rupanya teori hukum sebagai Kontrak
Sosial itupun juga hanya gagasan utopis. Hingga saat ini yang masih tetap
terjadi adalah bahwa hukum itu ditetapkan oleh para penguasa, meskipun mungkin
mereka dalam beberapa hal mendengarkan aspirasi-aspirasi. Namun, aspirasi yang
ditampung juga tidak mungkin utuh, sebab masyarakat sendiri juga berbeda dan
bahkan bertentangan aspirasi mereka.
Di jaman modern yang konon berdiri di atas
sendi-sendi demokrasi ini ternyata memunculkan kekuasaan tirani baru yang
disebut tirani korporasi yang sanggup menguasai dan membunuh jutaan manusia
dengan cara-cara yang sistematik yang bahkan tak dirasakan para korbannya. Tirani
korporasi itulah yang mendikte kepada negara-negara di dunia harus menyusun
hukum yang bagaimana. Tirani korporasi juga mengerahkan kekuatan orang-orang
terdidik guna mendukung doktrin-doktrin hukum modern yang menguntungkan mereka.
Lalu apakah hukum sekuler itu lebih bagus dan lebih adil bagi manusia di dunia
dibandingkan dengan hukum agama (yang juga ditafsirkan secara sekuler / oleh
manusia di muka bumi)?
Kita dapat melihat sejarah yang telah digelar
dari jaman kuno dahulu hingga sekarang, ternyata misteri karakter manusia mempunyai
kecenderungan yang sama, yakni terdapat karakter jahat yang bertarung melawan
karakter benar. Tapi pihak mana yang jahat dan pihak mana yang benar, itu juga
tergantung sudut pandang orang-orang yang melihatnya. Pengarang kisah
Mahabarata mungkin mengarahkan pandangan kita bahwa Kurawa itu jahat dan
Pandawa itu mulia. Tapi apakah keliru jika orang-orang lain mempunyai cara pikir
yang berbeda dalam menilai kisah tersebut, bahwa ternyata Kurawa dan Pandawa
itu dinilai sama-sama jahatnya? Namun, apakah kejahatan mereka dapat
diselesaikan dengan cara-cara hukum yang damai? Bagaimana jika karakter jahat
mereka tidak dapat dilenyapkan padahal masyarakat membutuhkan kedamaian segera
dengan tanpa ada mereka?
Ada kejahatan yang memang dipandang secara
universal sebagai kejahatan. Membunuh orang, itu kejahatan. Berbisnis narkotika,
itu kejahatan. Meneror manusia, itu juga kejahatan. Merusak ekologi juga
kejahatan. Pertanyaannya, apakah para pelaku kejahatan tersebut mempunyai
kecenderungan yang sama bahwa mereka memang para penjahat yang tak dapat
dientaskan dari watak jahatnya? Jika memang ada penjahat yang dapat dientaskan
dari watak jahatnya, ada berada persen angkanya? Ini juga misteri.
Orang-orang modern mulai memunculkan gagasan
penghapusan terhadap bentuk hukuman mati, sebab nyawa itu hak Tuhan. Hukuman
mati itu melanggar hak asasi manusia (HAM), sebab hak hidup tak dapat
dikurangi, bahkan oleh hukum itu sendiri. Begitu pula hukuman cambuk juga
dikritik sebagai hukuman yang tidak manusiawi.
Bagi mereka yang mempertahankan bentuk
hukuman mati berargumen, pertama, bahwa hukuman mati itu dikenal dalam
Kitab-kitab Suci agama sehingga Tuhan sendirilah yang menetapkan adanya hukuman
mati itu. Manusia tinggal menyalin dalam Kitab Undang-Undang yang mereka buat. Kedua, hukuman mati itu sudah dirumuskan
dalam undang-undanga. Maka orang yang melanggarnya sama saja dengan membunuh
dirinya sendiri. Sudah tahu ada rambu dilarang masuk jurang kok tetap masuk
jurang, ya akhirnya masuk jurang.
Konon, konsep baru dalam hukum pidana adalah mengubah
cara pandang kepada para penjahat. Hukum pidana tak lagi memidana para
penjahat, tapi membinanya. Makanya lembaganya disebut Lembaga Pemasyarakatan.
Mungkin suatu saat nanti Hukum Pidana akan diganti namanya dengan Hukum
Pembina. Para penjahat yang telah dinyatakan bersalah oleh Hakim tidak lagi
disebut sebagai terpidana, tapi menjadi Terbina. Itu memang menjadi menarik. Apakah
usaha-usaha sekulerisasi hukum itu kelak akan membuahkan hasil yang lebih baik?
Kelak sejarah akan menyimpulkan itu.
Namun ada fakta-fakta sosial yang agaknya
menarik diamati. Di negara Bhutan konon hukum agama Budha dipatuhi sedemikian
rupa hingga para kecoakpun hidup aman dan damai sebab warga Bhutan pantang
membunuh binatang, apalagi manusia, kecuali manusia yang berbuat kejahatan
berat. Tapi di Myanmar ada kasus Rohingnya yang sangat kasar di mana terjadi pembantaian kepada umat muslim. Dahulu di
Bali, meski banyak orang mabuk arak, tapi tidak ada orang Bali yang berbuat
kejahatan mencuri, apalagi membunuh. Pencuri yang tertangkap kebanyakan dari
luar Bali. Itu karena warga Bali taat dengan hukum adat mereka. Hukum adat Bali
merupakan hukum agama di Bali, yakni Hindu. Hukum agama yang menjadi substansi
hukum adat, ditegakkan oleh sistem adat. Tapi sekarang orang Bali yang menjadi
pejabat di luar Bali ya mulai ada yang dihukum karena korupsi.
Ada teori yang terkenal dalam ilmu hukum,
yakni bahwa hukum resmi negara itu dibutuhkan masyarakat karena norma-norma
selain hukum, yakni norma kesusilaan dan agama sudah tak lagi efektif.
Seandainya norma kesusilaan dan norma agama serta norma adat tersebut efektif,
dipatuhi masyarakat, maka tidak diperlukan hukum negara, sebab masyarakat sudah
tertib dan damai dengan sendirinya. Tapi bukanlah itu juga hanya hayalan, sebab
semakin manusia modern semakin sekuler dan merasa bahwa mereka harus
menciptakan sendiri hukum demokratis yang rupanya juga hanya menjadi utopia?
Selamat menempuh jalan misterius dunia yang dalam
perkembangan hukum sekulernya telah memodifikasi perlawanan kepada kejahatan menjadi
solidaritas dan kebaikan kepada “para terbina.” Pertanyaannya adalah:
solidaritas itu sebagai nilai kemanusiaan ataukah sebagai solidaritas terhadap
sesama penjahat? Sebab, kadang “mengawani” kejahatan dapat menghentikan atau
mengubahnya, atau sebaliknya dapat pula dianggap sebagai bagian dari kejahatan
itu. Karena tak ada satupun manusia yang dapat memprediksi, apakah para
penjahat dapat diakhiri kejahatannya dengan kebaikan dan solidaritas.
Para ahli hukum yang bijaksana selalu
menekankan nasihat, biarkan masyarakat yang menentukan hukum mereka sendiri,
apakah memilih hukum sekuler ataukah hukum agama. Jika terdapat perselisihan
pendapat ya biar diselesaikan dengan cara yang arif oleh masyarakat itu
sendiri, jika perlu dengan pemungutan suara. Tak semua pihak dapat dipuaskan.
Tapi pelaksanaan hukum yang adil bagi semua golongan akan menciptakan keadaan
baik karena masyarakat pada umumnya puas dengan keadilan yang diberikan. Apakah
yang diberlakukan hukum sekuler ataukah hukum agama atau hukum adat, baik
buruknya akan ditentukan oleh bakat keadilan para penegak hukum dan penyelenggara
negara. Tapi apakah itu bisa terwujud mengingat bahwa transformasi tirani
negara ke tirani korporasi yang terus berlangsung secara lebih hebat? Kekuasaan
apapun tak pernah membiarkan dirinya mudah dilucuti, yang dengan demikian
demokrasi pun menjadi budak tirani itu sendiri.
Kini yang memprihatinkan adalah lenyapnya
pelajaran Hukum Antar Golongan, sehingga pertarungan mazhab hukum sekuler
dengan hukum alam menjadi semacam permusuhan. Padahal hukum agama dapat
dilaksanakan oleh para pemeluk mereka sendiri yang menghendaki aspirasi
tersebut, dengan diatur oleh Hukum Antar Golongan yang dipergunakan untuk
menyelesaikan perselesihan berlakunya hukum yang berbeda. Ini menjadi penting,
sebab usaha-usaha uniformisasi (penyeragaman) hukum yang berbaju pluralisme adalah
hal yang justru menghina realitas pluralisme hukum itu sendiri.