Jumat, 11 Desember 2015

KORUPKRASI

Mendiang Prof. Muchsin (dosen dan Hakim Agung) dalam sebuah kelas perkuliahan pernah berkata kepada kami, katanya jaman dahulu ia menjadi calon anggota DPR berkeliling kampanye ke daerah-daerah, tidak mengeluarkan uang untuk diberikan kepada warga. Sebaliknya ia malah diberi “sangu” oleh warga. Tapi jaman sekarang sudah terbalik, para calon anggota parlemen atau calon kepala daerah yang berkeliling kampanye dengan membagi-bagi uang atau barang. Kini ongkos demokrasi kian mahal.

Kini, partai politik (parpol) makin pintar berdagang. Jika ada kader luar parpol pengin menjadi calon kepala daerah, maka harus membayar “uang mahar.” Nggak peduli itu parpol berlabel nasionalis atau agamis, sama saja.

Saya pernah membela seorang calon kepala daerah yang gagal dalam pemilu kepala daerah (pemilukada) yang digugat oleh parpol pengusungnya dengan alasan bahwa ia masih mempunyai kewajiban membayar uang komitmen kepada parpol pengusungnya yang notabene parpol berasaskan Islam itu. Padahal si calon bupati gagal itu sudah merogoh kocek miliaran rupiah untuk biaya macam-macam termasuk biaya meminta rekomendasi kepada pengurus pusat parpol itu. Untungnya Hakim menolak gugatan parpol itu dengan alasan yang masuk nalar, yaitu: “Demokrasi berbiaya tinggi akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak fokus mengurus tugas jabatannya karena akan berusaha mengembalikan modal politiknya.” Selain itu, tradisi demokrasi berbiaya tinggi akan menyingkirkan orang-orang yang potensial menjadi pemimpin atau wakil rakyat karena tidak punya uang.

Nah, problem demokrasi berbiaya tinggi itulah yang dijadikan alasan segenap parpol untuk mengajukan usulan di DPR agar disusun undang-undang yang memberikan landasan hukum agar ada anggaran negara yang disumbangkan ke parpol. Parpol-parpol dibiayai oleh negara. Masyarakat menentang itu. Apakah benar jika parpol-parpol dibiayai negara lalu itu akan mengurangi korupsi?

Belum tentu. Mengapa? Sebab ini bangsa serakah. Dalam teori yang normal, watak korup birokrasi dapat dikurangi dengan menambah gaji para birokrat atau pegawai negara/pemerintah. Cara itu sudah pernah ditempuh sejak era presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan SBY. Tapi kini korupsi tetap jalan, bahkan menggila. Suap-menyuap dalam penegakan hukum kian liar. KPK kewalahan. Bahkan KPK berkali-kali digedor-gedor hingga temboknya jebol, pondasinya dicoba dibongkar oleh mafia koruptor.

Larangan agama bukan lagi menjadi hal yang ditakuti. Tuhan dibayangkan sebagai sosok yang toleran dengan sogok-menyogok, gratifikasi, penggelapan, penipuan, asal pelakunya mencuci duitnya dengan umroh, naik haji, menyumbang masjid dan panti asuhan. Kegelapan dibayangkan oleh mereka itu sebagai keadaan yang dapat diterangi dengan cara menggunakan kegelapan itu sendiri untuk menjadi penyulut lampu penerang. Mana bisa? Tuhan dalam Quran pun melarang cara busuk itu dengan ayat “Janganlah kalian mencampur-aduk antara yang haq (kebenaran) dengan yang bathil (ketidakbenaran)….!” (Al-Baqoroh: 42).

Mungkin mereka – bagi yang muslim - menerjemahkan akidah Islam sebagai sesuatu perkara yang berdiri sendiri. Padahal misi tunggal Nabi Muhammad adalah “muliaisasi akhlak” alias mengusahakan agar akhlak umat manusia menjadi baik. “Aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Itu kalimat yang sudah jelas. Banyak orang menafsirkan Islam itu sebagai sekadar ikrar dan pengakuan, tanpa melihat apakah ada bukti secara akhlak. Maka dalam memilih pemimpin pun mereka cenderung pada pengakuan dan KTP yang memuat apa agamanya. Padahal pengakuan itu bisa palsu. Kepalsuannya dapat dilihat dari tingkah laku yang dominan pada diri orang itu. Meskipun mengaku sebagai muslim, shalatnya tampak tekun, tapi jika kelakuannya didominasi oleh sikap dan tindakan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip moral Islam, maka pengakuannya itu palsu. Mana bisa disebut muslim jika berangkat naik haji dan umroh dari uang suap atau gratifikasi atau bentuk korupsi lainnya atau hasil menipu atau menggelapkan atau hasil kejahatan lainnya?

Saya tidaklah menentang pemilihan para kepala daerah secara langsung. Tetapi dalam konsidi pemerintahan yang korup (korupkrasi) seperti di Indonesia ini, pemilihan umum sebenarnya sama halnya berjudi. Kita mencari orang baik yang hanya sekitar 10 sampai 15 persen dari seluruh calon pemimpin yang ada. Sementara uang negara yang dikeluarkan untuk itu amatlah banyak jika ditinjau dari kemampuan anggaran negara yang ada yang masih terjerat dengan utang-utang yang kian menggunung.

Apakah kita tidak bertanya kepada rakyat secara langsung, agar tidak menjadi politik hukum yang cuma didominasi oleh ide kelas terdidik saja, apakah dalam kondisi seperti ini pemilukada tetap akan kita jalankan? Ada pula kecenderungan angka golput yang tinggi secara rata-rata sehingga hampir separoh kertas suara yang dibeli dengan uang negara itu dibuang sia-sia.

Coba tanyakan kepada rakyat di masing-masing daerah secara langsung. Jika mereka mayoritas menjawab bahwa pemilukada tidak perlu dilakukan, bagaimana jika para kepala daerah ditetapkan oleh MPR yang banyak nganggurnya itu? Atau dengan cara bagaimana baiknya? Tentu dengan amandemen UUD 1945 setelah meminta pendapat rakyat. Cara yang dipilih oleh rakyat itu juga jalan demokrasi.

Selama ini pun amandemen UUD 1945 dan penyusunan berbagai undang-undang yang menyangkut pemilu masih merupakan politik hukum yang elitis, memandang rendah pendapat rakyat pada umumnya, seolah-olah hanya kaum terdidik yang paling pintar. Ujung-ujungnya hanya menciptakan dasar hukum politik komersiil yang dijalankan oleh partai-partai politik. Apalagi tradisi demokrasi berbiaya tinggi juga melibatkan uang korporasi selaku donatur politik yang akhirnya ikut-ikutan mendikte pemerintahan terpilih. Setiap presiden Indonesia yang terpilih pun akhirnya juga punya agenda politik balas budi kepada tim sukses mereka yang didanai korporasi-korporasi atau para pengusaha.

Seharusnya jalannya demokrasi Indonesia itu berada dalam laboratorium besar yang mandiri, bukan sebuah laboratorium raksasa yang didanai oleh kekuasaan uang yang sering mendikte kehendak bangsa. Dalam laboratorium itulah berbagai eksperimen dengan niat positif dilakukan, hingga suatu saat menemukan formulanya sendiri yang cocok bagi bangsa ini. Bukan sekedar ikut-ikutan cara bangsa lain yang berarti kita ini tidak kreatif.

Tidak ada komentar: