Mendiang Prof. Muchsin (dosen dan Hakim
Agung) dalam sebuah kelas perkuliahan pernah berkata kepada kami, katanya jaman
dahulu ia menjadi calon anggota DPR berkeliling kampanye ke daerah-daerah,
tidak mengeluarkan uang untuk diberikan kepada warga. Sebaliknya ia malah
diberi “sangu” oleh warga. Tapi jaman sekarang sudah terbalik, para calon
anggota parlemen atau calon kepala daerah yang berkeliling kampanye dengan
membagi-bagi uang atau barang. Kini ongkos demokrasi kian mahal.
Kini, partai politik (parpol) makin pintar
berdagang. Jika ada kader luar parpol pengin menjadi calon kepala daerah, maka
harus membayar “uang mahar.” Nggak peduli itu parpol berlabel nasionalis atau
agamis, sama saja.
Saya pernah membela seorang calon kepala
daerah yang gagal dalam pemilu kepala daerah (pemilukada) yang digugat oleh
parpol pengusungnya dengan alasan bahwa ia masih mempunyai kewajiban membayar
uang komitmen kepada parpol pengusungnya yang notabene parpol berasaskan Islam
itu. Padahal si calon bupati gagal itu sudah merogoh kocek miliaran rupiah
untuk biaya macam-macam termasuk biaya meminta rekomendasi kepada pengurus
pusat parpol itu. Untungnya Hakim menolak gugatan parpol itu dengan alasan yang
masuk nalar, yaitu: “Demokrasi berbiaya tinggi akan menjadikan kepala daerah
terpilih tidak fokus mengurus tugas jabatannya karena akan berusaha
mengembalikan modal politiknya.” Selain itu, tradisi demokrasi berbiaya tinggi
akan menyingkirkan orang-orang yang potensial menjadi pemimpin atau wakil rakyat
karena tidak punya uang.
Nah, problem demokrasi berbiaya tinggi itulah
yang dijadikan alasan segenap parpol untuk mengajukan usulan di DPR agar disusun
undang-undang yang memberikan landasan hukum agar ada anggaran negara yang
disumbangkan ke parpol. Parpol-parpol dibiayai oleh negara. Masyarakat
menentang itu. Apakah benar jika parpol-parpol dibiayai negara lalu itu akan
mengurangi korupsi?
Belum tentu. Mengapa? Sebab ini bangsa
serakah. Dalam teori yang normal, watak korup birokrasi dapat dikurangi dengan
menambah gaji para birokrat atau pegawai negara/pemerintah. Cara itu sudah
pernah ditempuh sejak era presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan SBY.
Tapi kini korupsi tetap jalan, bahkan menggila. Suap-menyuap dalam penegakan
hukum kian liar. KPK kewalahan. Bahkan KPK berkali-kali digedor-gedor hingga
temboknya jebol, pondasinya dicoba dibongkar oleh mafia koruptor.
Larangan agama bukan lagi menjadi hal yang
ditakuti. Tuhan dibayangkan sebagai sosok yang toleran dengan sogok-menyogok,
gratifikasi, penggelapan, penipuan, asal pelakunya mencuci duitnya dengan
umroh, naik haji, menyumbang masjid dan panti asuhan. Kegelapan dibayangkan oleh
mereka itu sebagai keadaan yang dapat diterangi dengan cara menggunakan kegelapan
itu sendiri untuk menjadi penyulut lampu penerang. Mana bisa? Tuhan dalam Quran
pun melarang cara busuk itu dengan ayat “Janganlah kalian mencampur-aduk antara
yang haq (kebenaran) dengan yang bathil (ketidakbenaran)….!” (Al-Baqoroh: 42).
Mungkin mereka – bagi yang muslim - menerjemahkan
akidah Islam sebagai sesuatu perkara yang berdiri sendiri. Padahal misi tunggal
Nabi Muhammad adalah “muliaisasi akhlak” alias mengusahakan agar akhlak umat
manusia menjadi baik. “Aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak
mulia.” Itu kalimat yang sudah jelas. Banyak orang menafsirkan Islam itu
sebagai sekadar ikrar dan pengakuan, tanpa melihat apakah ada bukti secara
akhlak. Maka dalam memilih pemimpin pun mereka cenderung pada pengakuan dan KTP
yang memuat apa agamanya. Padahal pengakuan itu bisa palsu. Kepalsuannya dapat
dilihat dari tingkah laku yang dominan pada diri orang itu. Meskipun mengaku
sebagai muslim, shalatnya tampak tekun, tapi jika kelakuannya didominasi oleh
sikap dan tindakan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip moral Islam, maka
pengakuannya itu palsu. Mana bisa disebut muslim jika berangkat naik haji dan
umroh dari uang suap atau gratifikasi atau bentuk korupsi lainnya atau hasil
menipu atau menggelapkan atau hasil kejahatan lainnya?
Saya tidaklah menentang pemilihan para kepala
daerah secara langsung. Tetapi dalam konsidi pemerintahan yang korup (korupkrasi)
seperti di Indonesia ini, pemilihan umum sebenarnya sama halnya berjudi. Kita
mencari orang baik yang hanya sekitar 10 sampai 15 persen dari seluruh calon
pemimpin yang ada. Sementara uang negara yang dikeluarkan untuk itu amatlah
banyak jika ditinjau dari kemampuan anggaran negara yang ada yang masih
terjerat dengan utang-utang yang kian menggunung.
Apakah kita tidak bertanya kepada rakyat
secara langsung, agar tidak menjadi politik hukum yang cuma didominasi oleh ide
kelas terdidik saja, apakah dalam kondisi seperti ini pemilukada tetap akan
kita jalankan? Ada pula kecenderungan angka golput yang tinggi secara rata-rata
sehingga hampir separoh kertas suara yang dibeli dengan uang negara itu dibuang
sia-sia.
Coba tanyakan kepada rakyat di masing-masing
daerah secara langsung. Jika mereka mayoritas menjawab bahwa pemilukada tidak
perlu dilakukan, bagaimana jika para kepala daerah ditetapkan oleh MPR yang
banyak nganggurnya itu? Atau dengan cara bagaimana baiknya? Tentu dengan
amandemen UUD 1945 setelah meminta pendapat rakyat. Cara yang dipilih oleh
rakyat itu juga jalan demokrasi.
Selama ini pun amandemen UUD 1945 dan
penyusunan berbagai undang-undang yang menyangkut pemilu masih merupakan
politik hukum yang elitis, memandang rendah pendapat rakyat pada umumnya, seolah-olah
hanya kaum terdidik yang paling pintar. Ujung-ujungnya hanya menciptakan dasar
hukum politik komersiil yang dijalankan oleh partai-partai politik. Apalagi
tradisi demokrasi berbiaya tinggi juga melibatkan uang korporasi selaku donatur
politik yang akhirnya ikut-ikutan mendikte pemerintahan terpilih. Setiap presiden Indonesia yang terpilih pun akhirnya
juga punya agenda politik balas budi kepada tim sukses mereka yang didanai
korporasi-korporasi atau para pengusaha.
Seharusnya jalannya demokrasi Indonesia itu berada dalam laboratorium besar yang mandiri, bukan sebuah laboratorium raksasa yang didanai oleh kekuasaan uang yang sering mendikte kehendak bangsa. Dalam laboratorium itulah berbagai eksperimen dengan niat positif dilakukan, hingga suatu saat menemukan formulanya sendiri yang cocok bagi bangsa ini. Bukan sekedar ikut-ikutan cara bangsa lain yang berarti kita ini tidak kreatif.
Seharusnya jalannya demokrasi Indonesia itu berada dalam laboratorium besar yang mandiri, bukan sebuah laboratorium raksasa yang didanai oleh kekuasaan uang yang sering mendikte kehendak bangsa. Dalam laboratorium itulah berbagai eksperimen dengan niat positif dilakukan, hingga suatu saat menemukan formulanya sendiri yang cocok bagi bangsa ini. Bukan sekedar ikut-ikutan cara bangsa lain yang berarti kita ini tidak kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar