Ini adalah
cerita orang jelata. Orang yang masa mudanya berjoget dangdut di malam Minggu
di halaman terbuka, di zaman listrik negara belum masuk di desaku yang berada di
tengah hutan jati. Kaum kelas menengah ke atas yang suka musik Metallica,
Linkin Park, Greenday dan sejenisnya mungkin tidak cocok membaca cerita ini.
Begitu pula para penggemar Mahir Zein. Ini bukan cerita relijius.
Hari ini, 28
Juli 2014, bertepatan dengan Idul Fitri. Seperti biasa, saya tidak terlalu suka
tradisi lebaran yang berfilosofi
silaturahmi tetapi dalam kenyataannya menjadi ajang konsumerisme dan pamer.
Pamernya kaum
jelata, membanggakan hasil kerjanya dari kota atau luar negeri, bisa membeli
ini dan itu, menunjukkan berapa besar penghasilannya. Tetapi di ujung riak gelombang kesenangan itu ada seorang perempuan lemah
yang menanggung aib menjadi pergunjingan. Seorang perempuan desa itu hamil
menjadi korban lelaki yang tidak bertanggung jawab. Perempuan itu pulang ke
desa menanggung derita dan malu. Tak satupun yang peduli kecuali pada isu dan
gosip luas bahwa ia perempuan tak bermoral. Lalu terdengar berita kematiannya bersama
bayinya saat ia melahirkan bayinya yang tak jelas siapa ayahnya. Ditakdirkan
hidup miskin, ternoda, lalu mati dalam derita dan aib.
Saya berhayal, andai saja orang yang bersuka-ria lebaran
menjenguk perempuan itu, membesarkan hatinya, lalu menukar sikap pamer dan
kesombongan mereka dengan bergotong-royong membawa perempuan itu agar bisa melahirkan
di rumah sakit, sehingga ia dan bayinya selamat. Atas dasar ketidakadilan dalam
kenyataan itulah saya tidak menyukai “pesta lebaran”. Tetapi itu sikap pribadi.
Silahkan semua menikmati kebahagiaan masing-masing berlebaran. Bagiku,
silaturahmi dapat aku lakukan pada waktu yang tak terikat dengan peristiwa
upacara tertentu.
Malam jelang lebaran kali ini anak sulungku yang autis, Gam, sulit
tidur. Hiperaktifnya agak keterlaluan. Hampir semalaman dia dan aku tidak
tidur. Setelah sholat Subuh, aku lihat Gam tertidur pulas. Hari pagi lebaran
ini aku memutuskan tidak berangkat sholat Id. Menunggu anakku yang tertidur
pulas. Jika kubangunkan ia kuajak sholat Id, khawatir malah rewel dan
mengganggu jamaah lainnya.
Lebaran tahun lalu kami di Tulungagung. Saat itu saya ajak
Gam sholat Id di depan kantor Pemkab Tulungagung. Tapi rupanya sebelum sholat
Id dimulai Gam rewel. Dia sulit bisa diam dalam waktu yang agak lama. Agar
tidak mengganggu kekhusukan jamaah lainnya maka aku ajak Gam jalan-jalan, undur
dari shaf jamaah, urung sholat Id.
Mempunyai anak seperti Gam, saya selalu berusaha untuk
memahaminya sebagai anugerah. Saya selalu membesarkan hatiku sendiri, bahwa
tidak semua orang diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk mempunyai anak yang
luar biasa seperti itu. Luar biasa dalam perlakuan merawatnya dan bersikap
kepadanya. Terus terang banyak kesulitan yang saya hadapi, tetapi saya
terus-menerus belajar. Terkadang saya mengkhawatirkan masa depannya, apakah ia
kelak bisa hidup mandiri ketika saya tua dan meninggalkan dia. Saya selalu
berdoa, semoga Tuhan memberiku kesehatan yang memadahi, kemampuan ekonomi,
serta umur yang panjang, agar dapat selalu mendampinginya hingga dia dewasa dan
bisa hidup mandiri. Saya juga selalu mendoakan dia agar diberikan kemampuan
hidup yang terus berkembang, menjadi anak dan orang yang saleh dan berguna.
Dalam perjalanannnya, memang saya tidak selalu bisa bersabar.
Terkadang saya berlaku kasar ketika dia berperilaku yang menyulitkan, banyak
keluhan orang di sekelilingnya, pada saat beban pekerjaanku juga sedang berat
bertumpuk. Saya selalu menyesal jika telah menghukumnya dengan cara yang keras,
sehingga saya menangisinya sambil memeluknya. Kepergian ibunya satu setengah tahun lalu
sedikit banyak juga membuatku agak terasa tidak lengkap dalam merawatnya.
Ibunya almarhumah memang lebih banyak waktu kerjanya, seperti aku, namun saya
tentu masih teringat ketika Gam menangis menyebut nama ibunya saat ibunya masih
ada.
Pada malam lebaran kemarin saya ajak Gam ke toko pakaian. Ia
sudah tinggi. Semua orang memujinya, ganteng. Selama ini aku belum pernah
membelikan dia celana panjang, kecuali untuk keperluan sekolahnya. Kuajak dia
masuk toko pakaian, aku perlihatkan banyak model celana panjang dan baju lengan
panjang. Rupanya ia tidak tertarik. Aku suruh ia mencoba celana panjang jeans
ukuran 30. Ah, ternyata kurang besar.
Di usianya yang 14 tahun itu ternyata ukuran celana
panjangnya 32. Dia tidak suka jeans. Kupilihkan celana kain yang agak tebal dan
elastis. Kubelikan dua celana panjang dan satu baju kemeja. Kucobakan agar ia
memakainya. Ternyata benar, ia telah menjadi remaja yang tampan. Kalau kuingat
masaku SMP kelas 1 dulu tentu jauh. Aku hanya anak desa yang hitam dan dekil,
bau rumput sawah. Jauh dibandingkan dengan Gam. Aku bersyukur, setidaknya
banyak orang yang bilang Gam itu ganteng. Cukup bisa membesarkan hatiku untuk
membanggakannya.
Dengan baju barunya itu, nanti setelah suasana kembali
normal, setelah hiruk-pikuk lebaran berakhir, saya akan luangkan waktu pergi
bersama Gam ke desaku menjenguk neneknya (ibuku). Meski pandangan ibuku sudah
kabur karena usianya yang sudah 88 tahun, tapi ibuku tentu masih bisa melihat
Gam yang sudah makin besar. Dalam kurun waktu sekitar 6 bulan belakangan ini
pertumbuhan fisiknya lumayan cepat. Tiba-tiba Gam sudah menjadi remaja. Ia
sudah besar, hampir menyamai aku.
Aku sengaja jarang mengajak Gam berkunjung ke neneknya di
desa. Saya sering berkunjung sendiri ke ibuku tanpa Gam, dan ibuku selalu
menanyakan kabar Gam. Mengapa? Kalau aku ajak Gam berkunjung ke desa ibuku
selalu menangisinya, kesedihannya meluap dalam tangis semalaman tidak tidur,
terutama setelah istriku meninggalkan kami. Tapi ibuku pengin melihat Gam yang
sekarang sudah seperti apa. Ibuku nanti pasti akan lebih senang melihat cucunya
yang sudah besar dan makin ganteng. Aku juga akan memamerkan ke ibuku bahwa Gam
sudah bisa membaca, sebab dulu ibuku sering meragukan apakah Gam bisa membaca
dan menulis.
Apapun yang akan terjadi, hidup ini akan terus menjadi
cerita, yang masing-masing orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri.
Surabaya, 28 Juli 2014, ….. juga dalam ingatan kasus Kudatuli
27 Juli 1996 yang kian dilupakan.
2 komentar:
sebuah ungkapan yg mendekati kejujyran dari seseorang yg mengaku pekerja hukum & sosial...
berarti masih belum jujur ya
Posting Komentar