Senin, 28 Juli 2014

Lebaran Bersama Gam

Ini adalah cerita orang jelata. Orang yang masa mudanya berjoget dangdut di malam Minggu di halaman terbuka, di zaman listrik negara belum masuk di desaku yang berada di tengah hutan jati. Kaum kelas menengah ke atas yang suka musik Metallica, Linkin Park, Greenday dan sejenisnya mungkin tidak cocok membaca cerita ini. Begitu pula para penggemar Mahir Zein. Ini bukan cerita relijius.

Hari ini, 28 Juli 2014, bertepatan dengan Idul Fitri. Seperti biasa, saya tidak terlalu suka tradisi lebaran  yang berfilosofi silaturahmi tetapi dalam kenyataannya menjadi ajang konsumerisme dan pamer.

Pamernya kaum jelata, membanggakan hasil kerjanya dari kota atau luar negeri, bisa membeli ini dan itu, menunjukkan berapa besar penghasilannya. Tetapi di ujung riak gelombang kesenangan itu ada seorang perempuan lemah yang menanggung aib menjadi pergunjingan. Seorang perempuan desa itu hamil menjadi korban lelaki yang tidak bertanggung jawab. Perempuan itu pulang ke desa menanggung derita dan malu. Tak satupun yang peduli kecuali pada isu dan gosip luas bahwa ia perempuan tak bermoral. Lalu terdengar berita kematiannya bersama bayinya saat ia melahirkan bayinya yang tak jelas siapa ayahnya. Ditakdirkan hidup miskin, ternoda, lalu mati dalam derita dan aib.

Saya berhayal, andai saja orang yang bersuka-ria lebaran menjenguk perempuan itu, membesarkan hatinya, lalu menukar sikap pamer dan kesombongan mereka dengan bergotong-royong membawa perempuan itu agar bisa melahirkan di rumah sakit, sehingga ia dan bayinya selamat. Atas dasar ketidakadilan dalam kenyataan itulah saya tidak menyukai “pesta lebaran”. Tetapi itu sikap pribadi. Silahkan semua menikmati kebahagiaan masing-masing berlebaran. Bagiku, silaturahmi dapat aku lakukan pada waktu yang tak terikat dengan peristiwa upacara tertentu.
Malam jelang lebaran kali ini anak sulungku yang autis, Gam, sulit tidur. Hiperaktifnya agak keterlaluan. Hampir semalaman dia dan aku tidak tidur. Setelah sholat Subuh, aku lihat Gam tertidur pulas. Hari pagi lebaran ini aku memutuskan tidak berangkat sholat Id. Menunggu anakku yang tertidur pulas. Jika kubangunkan ia kuajak sholat Id, khawatir malah rewel dan mengganggu jamaah lainnya.

Lebaran tahun lalu kami di Tulungagung. Saat itu saya ajak Gam sholat Id di depan kantor Pemkab Tulungagung. Tapi rupanya sebelum sholat Id dimulai Gam rewel. Dia sulit bisa diam dalam waktu yang agak lama. Agar tidak mengganggu kekhusukan jamaah lainnya maka aku ajak Gam jalan-jalan, undur dari shaf jamaah, urung sholat Id.

Mempunyai anak seperti Gam, saya selalu berusaha untuk memahaminya sebagai anugerah. Saya selalu membesarkan hatiku sendiri, bahwa tidak semua orang diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk mempunyai anak yang luar biasa seperti itu. Luar biasa dalam perlakuan merawatnya dan bersikap kepadanya. Terus terang banyak kesulitan yang saya hadapi, tetapi saya terus-menerus belajar. Terkadang saya mengkhawatirkan masa depannya, apakah ia kelak bisa hidup mandiri ketika saya tua dan meninggalkan dia. Saya selalu berdoa, semoga Tuhan memberiku kesehatan yang memadahi, kemampuan ekonomi, serta umur yang panjang, agar dapat selalu mendampinginya hingga dia dewasa dan bisa hidup mandiri. Saya juga selalu mendoakan dia agar diberikan kemampuan hidup yang terus berkembang, menjadi anak dan orang yang saleh dan berguna.

Dalam perjalanannnya, memang saya tidak selalu bisa bersabar. Terkadang saya berlaku kasar ketika dia berperilaku yang menyulitkan, banyak keluhan orang di sekelilingnya, pada saat beban pekerjaanku juga sedang berat bertumpuk. Saya selalu menyesal jika telah menghukumnya dengan cara yang keras, sehingga saya menangisinya sambil memeluknya. Kepergian ibunya satu setengah tahun lalu sedikit banyak juga membuatku agak terasa tidak lengkap dalam merawatnya. Ibunya almarhumah memang lebih banyak waktu kerjanya, seperti aku, namun saya tentu masih teringat ketika Gam menangis menyebut nama ibunya saat ibunya masih ada.

Pada malam lebaran kemarin saya ajak Gam ke toko pakaian. Ia sudah tinggi. Semua orang memujinya, ganteng. Selama ini aku belum pernah membelikan dia celana panjang, kecuali untuk keperluan sekolahnya. Kuajak dia masuk toko pakaian, aku perlihatkan banyak model celana panjang dan baju lengan panjang. Rupanya ia tidak tertarik. Aku suruh ia mencoba celana panjang jeans ukuran 30. Ah, ternyata kurang besar.

Di usianya yang 14 tahun itu ternyata ukuran celana panjangnya 32. Dia tidak suka jeans. Kupilihkan celana kain yang agak tebal dan elastis. Kubelikan dua celana panjang dan satu baju kemeja. Kucobakan agar ia memakainya. Ternyata benar, ia telah menjadi remaja yang tampan. Kalau kuingat masaku SMP kelas 1 dulu tentu jauh. Aku hanya anak desa yang hitam dan dekil, bau rumput sawah. Jauh dibandingkan dengan Gam. Aku bersyukur, setidaknya banyak orang yang bilang Gam itu ganteng. Cukup bisa membesarkan hatiku untuk membanggakannya.

Dengan baju barunya itu, nanti setelah suasana kembali normal, setelah hiruk-pikuk lebaran berakhir, saya akan luangkan waktu pergi bersama Gam ke desaku menjenguk neneknya (ibuku). Meski pandangan ibuku sudah kabur karena usianya yang sudah 88 tahun, tapi ibuku tentu masih bisa melihat Gam yang sudah makin besar. Dalam kurun waktu sekitar 6 bulan belakangan ini pertumbuhan fisiknya lumayan cepat. Tiba-tiba Gam sudah menjadi remaja. Ia sudah besar, hampir menyamai aku.

Aku sengaja jarang mengajak Gam berkunjung ke neneknya di desa. Saya sering berkunjung sendiri ke ibuku tanpa Gam, dan ibuku selalu menanyakan kabar Gam. Mengapa? Kalau aku ajak Gam berkunjung ke desa ibuku selalu menangisinya, kesedihannya meluap dalam tangis semalaman tidak tidur, terutama setelah istriku meninggalkan kami. Tapi ibuku pengin melihat Gam yang sekarang sudah seperti apa. Ibuku nanti pasti akan lebih senang melihat cucunya yang sudah besar dan makin ganteng. Aku juga akan memamerkan ke ibuku bahwa Gam sudah bisa membaca, sebab dulu ibuku sering meragukan apakah Gam bisa membaca dan menulis.

Apapun yang akan terjadi, hidup ini akan terus menjadi cerita, yang masing-masing orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri.

Surabaya, 28 Juli 2014, ….. juga dalam ingatan kasus Kudatuli 27 Juli 1996 yang kian dilupakan.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

sebuah ungkapan yg mendekati kejujyran dari seseorang yg mengaku pekerja hukum & sosial...

Anonim mengatakan...

berarti masih belum jujur ya