(Dimuat Jawa Pos, 28 Maret 2014)
Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil UU No. 15 Tahun 2013
tentangi Perubahan UU No. 19 Tahun 2013 tentang APBN (UU APBN-P Tahun 2013),
yang diajukan oleh korban Lapindo dalam Peta Area Terdampak (PAT) yang menjadi
tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. (Lapindo).
Jika
diringkas, inti amar Putusan MK No. 83/PUU-XI/2013 tersebut menyatakan bahwa
Pasal 19 ayat (1) huruf a UU APBN-P Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga
akibatnya ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai bahwa Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat
menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap
masyarakat di dalam PAT oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.
MK
memandang bahwa dikotomi hukum antara korban dalam PAT yang menjadi tanggung
jawab Lapindo dengan korban yang berada di luar PAT yang menjadi tanggung jawab
negara telah menyebabkan absennya negara, terjadi ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan, terjadi kesenjangan terhadap dua kelompok korban tersebut.
Negara mempunyai kewajiban mengeliminasi kesenjangan itu.
Namun
MK tidak memberikan pertimbangan secara eksplisit tentang bagaimana cara negara
menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian untuk korban dalam PAT
tersebut. Untuk itu, diperlukan interpretasi dalam pengambilan kebijakan oleh
negara. Namun karena pengujian tersebut terkait dengan UU APBN, maka dapat
diambil inti maksud putusan MK tersebut, yakni: APBN juga harus dianggarkan
untuk pelunasan korban Lapindo dalam wilayah PAT tersebut.
Dengan
demikian, hal itu menjadi kabar gembira bagi para korban Lapindo dalam PAT yang
selama ini nasibnya masih belum beres karena Lapindo masih terus ngapusi (ingkar janji) karena alasan
ketidakmampuan finansial. Sekaligus hal tersebut juga menjadi kabar gembira
bagi Lapindo, hadiah bagi Lapindo yang selama ini berusaha memperoleh “dana
talangan” alias utangan dari pemerintah guna melunasi kewajibannya tersebut.
Tetapi
hal itu juga menjadi kabar yang tidak enak bagi mereka yang menentang kebijakan
pemerintah yang dianggap memanjakan Lapindo. Belum lama ini beberapa warga
negara Indonesia (Letjen Marinir (Purn) Suharto, dkk.) juga mengajukan uji
materiil UU No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2011 tentang
APBN 2012. Mereka tidak sepakat jika negara melalui APBN harus dibebani untuk
menanggung tanggung jawab Lapindo. Namun permohonan tersebut ditolak oleh MK
dalam putusannya No. 53/PUU-X/2012 dengan alasan bahwa negara wajib
menyelesaikan masalah korban Lapindo.
Dalam
pertimbangan hukumnya, waktu MK masih tidak menyoal dikotomi hukum antara warga
korban dalam PAT dengan warga korban di luar PAT. MK menyatakan bahwa terlepas
apakah semburan lumpur Lapindo itu diakibatkan oleh bencana alam atau bukan,
terdapat tanggung jawab perusahaan, yaitu Lapindo yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan, dengan membayar ganti kerugian dengan membeli tanah dan bangunan
milik rakyat yang rusak akibat lumpur Lapindo dan tanggung jawab negara di luar
PAT (hal. 83). Intinya, MK membenarkan ketentuan UU APBN yang mengalokasikan
dana ganti kerugian kepada korban Lapindo yang berada di luar PAT.
Bagi
rakyat Indonesia dan bagi korban Lapindo, istilah di dalam dan di luar PAT
sebenarnya juga merupakan istilah yang menyesatkan. Mengapa sampai muncul
kebijakan berupa Perpres No. 14/2007 tentang BPLS yang beberapa kali diubah,
yang memberikan istilah di dalam PAT dan di luar PAT?
Hal
itu berkaitan dengan riwayat melemahnya kebijakan Presiden SBY, yang semula
mengeluarkan Keppres No. 13/2006 tentang Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur
di Sidoarjo, yang membebankan seluruh biaya penyelesaian yang dilakukan oleh
Timnas tersebut kepada Lapindo. Namun tahun 2007 kebijakan Presiden SBY itu
berubah, dengan membagi beban antara negara dengan Lapindo, dengan membuat
garis pisah antara PAT dengan luar PAT. Meskipun akal sehat mengatakan bahwa di
luar PAT itu juga wilayah area terdampak, sehingga yang paling tepat istilahnya
adalah PAT yang ditanggung Lapindo dan PAT yang ditanggung negara.
Persoalan
berikutnya adalah bagaimana pemerintah melaksanakan putusan MK No. No.
83/PUU-XI/2013 tersebut? Jika putusan MK ini dijadikan dasar bagi negara untuk
menyusun APBN yang juga mengalokasikan dana pelunasan korban Lapindo dalam PAT yang menjadi tanggung jawab Lapindo tersebut,
maka negara harus merancang dan melaksanakan penagihan kepada Lapindo. Jangan
sampai kasus tersebut menjadi legalisasi korupsi, di mana negara tekor dan
Lapindo dilepaskan dari tanggung jawabnya.
Rancangan
kebijakan pemerintah tersebut juga tentang teknis pelaksanaan di lapangan.
Bagaimana kelanjutan Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) tanah antara PT.
Minarak Lapindo Jaya (perusahaan yang ditugasi Lapindo untuk membeli tanah
korban dalam PAT)? Apakah setelah dilunasi oleh pemerintah dengan menggunakan
dana APBN maka PIJB tersebut dilanjutkan dengan pelepasan hak atas tanah kepada
Lapindo, ataukah pelepasan haknya menunggu Lapindo melunasi kewajibannya kepada
negara?
Apakah
pelaksanaan putusan MK tersebut dapat dilakukan dengan cara cessie (pengalihan piutang) antara
korban Lapindo yang belum dilunasi tersebut dengan pemerintah, baik pusat
maupun daerah? Setelah dilakukan cessie, bagaimana dengan status tanah yang
sebagian telah dibayar oleh Lapindo?
Apakah
nilai tanah bekas milik korban Lapindo akan ditaksir harganya secara
keseluruhan di mana sebagian akan diserahkan kepada Lapindo (untuk diberikan
hak kepadanya) senilai dengan uang yang telah dibayarkannya kepada korban
Lapindo dengan menggunakan metoda perbandingan luas, sebab sulit dengan cara
metode penentuan harganya yang mungkin masih jatuh?
Ataukah
pemerintah berani memailitkan Grup Bakrie agar dapat dilakukan sita dan lelang
terhadap harta kekayaannya untuk melunasi kewajibannya, dengan menggunakan
doktrin piercing the corporate veil
dengan melihat siapa yang menjadi dalang Lapindo, sebab Lapindo yang didirikan
di Amerika Serikat hanya sebuah unit bisnis khusus dari holdingnya?
Terpaksa
pemerintah harus menanggung keruwetan yang sejak semula memang sudah seperti
benang kusut. Andaikan negara ini tegas menghukum Lapindo bertanggung jawab
tanpa harus disuruh membeli tanah korban Lapindo mungkin tidak akan menemui
keruwetan-keruwetan teknis.
Minimal
ada tiga hal yang mesti disusun dalam kebijakan hukum setelah putusan MK
tersebut, yakni: 1. Korban Lapindo segera diselesaikan masalahnya; 2. Negara
tidak dirugikan; dan 3. Lapindo diberikan sanksi karena telah melanggar hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar