Kemarin (27/11) para dokter mengadakan protes, bahkan ''mogok'', di banyak wilayah. Pemicunya adalah putusan Mahkamah Agung (MA) RI No 365 K/Pid/2012 tanggal 18 September 2012 yang menghukum penjara dr Dewa Ayu Sisiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian (dr Ayu dkk).
Kebetulan, saya mempunyai setidaknya dua kali pengalaman tidak terlupakan dengan dunia kedokteran. Kasus pertama, ayah tiri yang membesarkan saya meninggal karena operasi di sebuah rumah sakit. Saya selaku keluarga diberi rekam medis setelah berkirim surat kepada direktur rumah sakit tersebut.
Dokumen rekam medis itu saya konsultasikan kepada dokter kenalan teman saya. Menurut dia, berdasar hasil rekam medis praoperasi, hasil laboratorium menunjukkan kekurangan albumin dalam tubuh.
Saya berkirim surat kembali kepada direktur rumah sakit tersebut untuk menanyakan hal itu. Lalu, direktur tersebut menelepon saya dan meminta maaf. Saya bertanya, mengapa tidak diberikan albumin sebelum operasi? Jawabannya, rumah sakit khawatir keluarga kami tidak mampu membayar karena harganya mahal. Mereka melihat penampilan kusut kami sebagai orang desa, dianggap miskin tidak punya duit.
Kasus kedua, istri saya meninggal dengan diagnosis terakhir terkena infeksi selaput otak dalam keadaan yang sudah terlambat untuk ditangani. Mulanya, awal-awal istri saya mengeluh sakit. Saya periksakan ke dokter spesialis dalam (internis). Lalu, dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, kecuali USG. Dokter itu menyatakan bahwa istri saya menderita kekurangan kalium. Tetapi, beberapa hari setelah minum obat resep dokter tersebut, ternyata sakitnya tidak reda sehingga saya bawa ke rumah sakit untuk rawat inap (opname).
Sekitar seminggu dirawat inap di rumah sakit tersebut, dokter yang menangani menyatakan istri saya sembuh. Tapi, saya kurang percaya. Sebab, keadaannya masih lemah dan kesadarannya menurun. Dokter bilang, nanti kalau sudah sampai di rumah makin sehat karena bertemu anak-anak kami. Setelah saya bawa pulang, kesadaran istri saya justru makin menurun sehingga saya bawa ke rumah sakit lainnya. Di rumah sakit lain itulah baru ketahuan istri saya menderita infeksi selaput otak. Akhirnya, dia meninggal setelah dirawat sekitar 10 hari.
Meski menerima dua pengalaman itu sebagai takdir, saya mencatat dua hal. Pertama, terkadang ada dokter yang terlalu meremehkan pasiennya sehingga tidak terlalu serius dalam menjaga nyawa pasien.
Kedua, ada dokter-dokter yang ''tidak cakap'', tetapi terlalu yakin dengan kemampuannya. Diagnosisnya bisa meleset dari ilmu dan pengetahuan serta pengalaman yang seharusnya dimiliki seorang dokter yang sudah berani membuka praktik umum. Saking yakinnya, pernah anak saya muntaber. Ketika dikonsultasikan ke dokter untuk minta resep obat, anak saya malah disuruh opname. Tapi, ternyata sakitnya sembuh setelah saya turuti nasihat apoteker.
Tanda Tangan Karangan
Perlu diintrospeksi, apakah adil para dokter itu ''mogok'' untuk memprotes kasus yang menimpa dr Ayu dkk? Kita cermati putusan MA itu. Pertama, MA dalam memutus perkara tersebut tidak dilandasi pendapat hukum yang berdiri sendiri, melainkan juga berdasar penjelasan bukti ilmiah kedokteran itu sendiri.
Ada surat keterangan dari RSU Prof Dr R.D. Kandou Manado No 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani dr Johannis F. Mallo SH SpF DFM. Dia menyatakan, sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung (VER). Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus dan bisa terjadi karena komplikasi dari persalinan itu sendiri.
Keterangan rumah sakit tersebut diperkuat keterangan para ahli kedokteran, yaitu dr Hermanus Jakobus Lalenoh SpAn, Prof Dr Najoan Nan Warouw SpOG, dr Robby Willar SpA, dan Johannis F. Mallo SH SpF DFM. Selain itu, kesembronoan tersebut dapat dilihat dari tanda tangan yang tertera di lembar persetujuan operasi (hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada 9 Juni 2010 No Lab: 509/DTF/2011) yang menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/spurious signature.
Lalu, kenapa para dokter yang mogok sehari itu hanya meneriakkan protes: ''Jangan kriminalisasi dokter!'' dengan menunjukkan telunjuk jarinya kepada para penegak hukum? Mengapa mereka tidak juga menodongkan telunjuk jarinya kepada dunia kedokteran sendiri yang telah memberikan rekomendasi ilmiah kepada para hakim untuk memutus perkara tersebut?
Setiap kelompok masyarakat berhak mengemukakan pendapatnya di muka umum, termasuk para dokter, dan itu dijamin konstitusi. Tetapi, tindakan mogok melayani masyarakat menunjukkan sikap tanggung jawab profesi penting yang kurang memadai.
Gawat bila golongan kelas menengah memandang bahwa menjalankan profesi mereka bukanlah kepentingan umum, tetapi kepentingan para pribadi dalam mencari nasib hidup masing-masing dan golongan. Juga, merasa harus dibedakan dalam perlakuan hukum sembari melupakan bahwa orang yang berelasi dengan mereka juga punya hak.
(dimuat Jawa Pos, 28 Nopember 2013)