Wakil Presiden Boediono menanggapi: penjualan mobil murah tidak perlu dihambat karena hal itu sebagai konsekuensi era industrialisasi. Boediono juga menyatakan bahwa solusi kecemasan adanya kemacetan jalan adalah peningkatan transportasi publik secepatnya. Untuk Jakarta, dia menyarankan agar digunakan sistem electronic road price (ERP) yang memberlakukan biaya ekstra bagi pemakai jalan-jalan utama di ibu kota pada saat-saat sibuk (Jawa Pos, 20/9/2013).
Disebut "mobil murah" tentu dari sudut pandang kantong si kaya. Bagi rakyat kecil mobil itu tetap saja mahal. Tapi, karena fasilitas kredit yang makin longgar, bisa saja banyak orang yang jungkir-balik untuk membeli, karena iklan "mobil murah" itu melekat di pikiran mereka.
"Mobil murah" tersebut termasuk kendaraan bermotor yang dasar pengenaan pajaknya adalah 0 (nol persen) dari harga jual. Yakni, untuk kendaraan bermotor yang termasuk program mobil hemat energi dan harga terjangkau (selain sedan atau station wagon). Persyaratannya: motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu; atau motor nyala kompresi (diesel atau semi-diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu. Begitu teks pasal 5 ayat (1) huruf c PP No 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor.
Peraturan Pemerintah No 41/2013 itu menentukan tarif pajak progresif teknis. Semakin tinggi kapasitas isi silinder kendaraan bermotor atau makin boros bahan bakar, pajaknya semakin tinggi. Sedan dan station wagon termasuk kena tarif pajak lebih tinggi. PP tersebut tidak menyuruh agar memproduksi mobil murah, tapi menjadi fasilitas pembebasan pajak bagi industri otomotif untuk memproduksi dan memasarkan low cost and green car (LCGC).
Bagi pengusaha otomotif, PP tersebut menjadi bagian alat strategi bisnis untuk keberlangsungan bahkan peningkatan kekayaan. Mereka melihat tuntutan hukum ekologis global dan kemampuan kelas menengah yang jumlahnya kian banyak. Sejarah hukum sejak zaman kuno hingga sekarang selalu menunjukkan adanya "kolusi" antara kaum borjuis dengan birokrat dan penguasa politik dalam penciptaan hukum untuk kepentingan mereka.
Dari aspek hukum perdagangan, kalimat kunci "jangan menghambat penjualan" yang disampaikan Wapres Boediono tersebut merupakan prinsip perdagangan bebas ala World Trade Organization(WTO). Yakni, prinsip larangan adanya hambatan-hambatan perdagangan (nontrade barriers), terutama dalam bentuk regulasi dalam suatu negara.
Ke depan, seperti yang dinyatakan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Indonesia juga akan dibanjiri mobil murah dari luar negeri, termasuk dari India dan Thailand. Pertanyaannya: kapan pemerintah Indonesia benar-benar berniat membangun kendaraan bermotor nasional yang akan mampu bersaing di pasar global?
Pembukaan UUD 1945, harga mati yang tak boleh diubah, menyatakan segala penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Kita dapat bertanya kepada diri-sendiri: apakah penggunaan merek-merek kendaraan Jepang, Eropa, dan Amerika yang dilakukan hampir semua pemilik kendaraan bermotor di negara ini bukan merupakan bukti penguasaan kebudayaan, pasar, teknologi, dan hak milik intelektual kepada bangsa ini?
Kolonialisme dalam sepanjang sejarah sebenarnya bukanlah kebutuhan suatu negara menguasai negara lain, tetapi kebutuhan para pemilik kapital besar menguasai sumber daya alam dan pangsa pasar di dunia. Ekonom David Korten menyebut fenomena itu sebagai judul bukunya When Corporations Rule The World. Korporasi yang mengatur dunia, bukan negara-negara. Persis keprihatinan Oswaldo De Rivero, mantan diplomat Peru di WTO.
Indonesia perlu mencontoh Malaysia yang gagah berani dan serius memproduksi mobil nasional mereka dan menjual ke dalam serta ke luar negeri. Jika Indonesia tidak mampu menjalankan amanah konstitusi untuk menghapus penjajahan di dunia, minimal bisa membebaskan dirinya dari penjajahan.
Bertambahnya kemacetan jalan raya di kota-kota yang dipenuhi kendaraan bermotor juga akibat hukum yang diciptakan menjadi alat liberalisasi. Bukan menjadi alat untuk mengatur, mengendalikan, menertibkan, dan membatasi kebebasan perdagangan kendaraan bermotor yang di masa depan akan menciptakan keruwetan yang sulit diurus, seperti yang terjadi di Jakarta saat ini.
Tidak mungkin terwujud politik hukum yang militansi untuk membela kepentingan negara jika para penyusun regulasi negara ini adalah para komprador. Atau, setidak-tidaknya tanpa sadar cara berpikirnya mengikuti sekian banyak teori dan postulat ilmuwan yang menjadi kaki-tangan para penguasa ekonomi dunia.
Dimuat Jawa Pos, 23 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar